22. Nenek

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah melaksanakan ujian terakhirnya, Adrian memilih untuk langsung ke kantin untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan. Ia makan bersama Yessa dan beberapa teman angkatannya. 

Laki-laki berambut panjang itu tidak lagi menjadi bahan pergunjingan untuk beberapa temannya. Terutama orang-orang yang terlibat langsung dengannya baik itu dalam proyek maupun tugas kelompok. Namun, tetap saja ada satu dua orang yang meragukannya dan masih menjadikannya topik pergunjingan.

"Gaya makan lo udah kayak nggak makan seharian." Yessa menggeleng ketika melihat Adrian sampai mengangkat mangkuknya untuk menghabiskan kuah soto.

Adrian meletakkan mangkuknya dan menatap Yessa sinis. "Emang. Gue lupa sarapan tadi pagi."

"Gila lo, hancur sudah citra laki-laki pendiam penuh misteri. Ternyata bar-bar juga." Salah satu teman yang duduk bersama mereka berbicara setelah memindahkan minuman Adrian.

Laki-laki berkulit pucat itu menenggak seluruh air dinginnya hingga hanya tersisa bongkahan es di dasar gelas. "Gue cabut duluan." 

"Eh, kampret. Langsung pergi aja. Bisa sakit perut tahu nggak, itu makanan belom turun." Yessa menarik tas punggung Adrian dengan satu tangan.

"Gue buru-buru." Adrian menepis tangan sahabatnya itu dan melambai dengan senyum tipis.

Teman-teman lainnya yang ada di meja yang sama tertawa karena tingkah mereka.

"Lo belom bayar, Adrian." Yessa memenggil Adrian dengan suara kelewat lantang. Beberapa orang sampai menoleh ke meja mereka.

Adrian berbalik dan menyatukan tangannya untuk memberi kode meminta tolong pada Yessa. Laki-laki berambut cepak itu hanya menghela napas dan melanjutkan kegiatannya. 

Laki-laki berambut terikat itu berjalan menuju pohon besar yang ada di pinggir lapangan rumput. Ia sudah berniat untuk tidur sejenak di sana sebelum melanjutkan aktivitasnya bekerja di kafe. Tanpa terduga, Adrian melihat seseorang yang sangat ia kenali tengah duduk di sana.

Adrian melepaskan ikat rambutnya dan mengacak rambutnya pelan. Ia melingkarkan ikat rambutnya di tangan kiri dan ia berjalan mendekati gadis itu. Gadis itu mengenakan kemeja berwarna kuning pucat dengan celana jeans biru muda. Rambutnya dibiarkan terurai dengan poni tipis yang menutupi dahinya. Gadis itu meluruskan kakinya dan tubuhnya ditopang oleh kedua tangannya. Kepalanya sibuk mendongak melihat awan.

Laki-laki berkulit pucat itu sudah membawa tasnya dengan satu tangan. Tangan lainnya sibuk menyentuh layar posel. Tanpa permisi, Adrian langsung merebahkan tubuhnya di atas rumput dengan paha Viona sebagai bantalnya. Ia membiarkan rambutnya terurai dan sebagian rambutnya jatuh di wajahnya.

"Adrian." Viona benar-benar terkejut mendapati laki-laki favoritnya itu kini ada di hadapannya dengan posisi sangat tidak terduga.

Laki-laki bermata sipit itu tersenyum. Sedari tadi ia menutup matanya. "Nebeng bentar. Gue nggak tidur semalaman."

Viona membeku di tempat. Ia bahkan lupa bernapas sejenak. Matanya mengerjap berkali-kali. Ia kesulitan memahami maksud laki-laki ini.

"Jangan lupa napas. Gue nebeng lima belas menit aja." Adrian berbicara pelan.

Viona salah tingkah. Ia bahkan tidak tahu harus melihat ke arah mana. Langit biru dan awan yang ada di atas sana selalu jadi favoritnya, tetapi laki-laki di hadapannya kini tidak boleh disia-siakan.

Akhirnya, Viona memilih untuk mengamati wajah Adrian. Laki-laki ini kelihatan sangat kelelahan. Lingkar hitam di bawah matanya lebih gelap dari hari pertama ujian. Pasti ia berusaha sangat keras untuk menaikkan nilainya. 

Semakin gadis itu mengamati wajah Adrian, semakin ia menyadari kalau laki-laki itu benar-benar mirip dengan Papi. Bahkan Viona bisa melihat tahi lalat yang ada di bawah mata Adrian. Selama ini ia tidak pernah memperhatikan tanda itu. 

Suara dering ponsel membangunkan laki-laki itu. Adrian tidak langsung bangkit dari tidurnya. Ia sempat mematikan alarm di ponselnya dan menatap Viona sebentar. 

"Lo nggak cantik kalo dilihat dari sini." Adrian tertawa kecil ketika Viona merespon kata-katanya dengan wajah cemberut.

Adrian bangkit dari posisinya. "Sakit nggak kakinya?" 

Viona menggeleng kemudian ia meringis ketika menggeser kakinya. Bukannya prihatin, Adrian malah tertawa. 

"Jahat banget jadi orang." Viona menepuk-nepuk pahanya yang kram.

Adrian membuka tasnya dan mengeluarkan stik cokelat dari sana. Tidak hanya satu batang, tetapi satu kotak. Ia menyerahkan kotak itu pada Viona diiringi dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

"Apa pun hasilnya, terima kasih sudah jadi mentor gue selama ini." Adrian menyampaikan perasaannya dengan tulus.

"Apa-apaan ini perjuangan gue satu semester cuma dibayar sama Choki Choki?" Viona mengeluh.

Laki-laki berambut panjang itu tertawa. "Seenggaknya nggak satu biji. Ini sekotak loh." 

Kalau gue berhasil mempertahankan rambut ini, lo bakal dapat hadiah yang nggak pernah lo duga sebelumnya. 

Adrian tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya berbicara dalam hati. Setelah itu, ia mengikat rambutnya.

Viona membuka kotak cokelat itu dan memberikan satu batang pada Adrian. 

"Terima kasih." 

"Untuk?" Viona bertanya tidak mengerti.

"Cokelatnya." Adrian malah cengar-cengir. 

Hal ini membuat Viona benar-benar kesal. Bisa-bisanya Adrian bercanda ketika ia sudah berharap banyak. 

Gadis berambut gelombang itu memakan cokelat stiknya dengan kasar. Ia tidak memperhatikan kalau kin Adrian tengah menatapnya.

"Viona Karunasakara." 

"Apa?" Viona menjawab kesal.

"Lo mau tahu kenapa gue harus mempertahankan rambut panjang ini?"

Gerakan mulut Viona berhenti. Ia segera menelan cokelat yang ada di mulutnya.

"Kenapa?" Gadis itu sampai memutar tubuhnya untuk memperhatikan kata-kata Adrian.

"Nenek gue menderita Alzheimer." Ada jeda setelah Adrian mengatakan hal tersebut. Sejauh ini, hanya Yessa yang tahu betul kondisi keluarganya. "Awalnya beliau cuma sulit menemukan barang yang disimpan, lupa memasukkan garam ke masakan, tapi semakin lama, penyakitnya semakin parah."

Viona benar-benar meletakkan Choki Chokinya dan kini ia memperhatikan Adrian yang sedang bercerita.

"Saat gue kelas tiga SMA, beliau lupa siapa gue. Nenek mulai memanggil gue dengan nama Ayah. Nenek mulai bertanya kenapa rambut gue nggak gondrong seperti Ayah? Ingatannya berhenti pada dua puluh tahun lalu. Dia bahkan nggak tahu kalau ayah gue meninggal. Ada masanya beliau ingat gue, memanggil gue dengan nama Adrian, tapi itu nggak pernah bertahan lama."

Viona menepuk pundak Adrian pelan. Ia berusaha menguatkan laki-laki itu. 

Mata Adrian mulai berkaca-kaca. "Awal semester ini, ketakutan terbesar gue terjadi. Nenek lupa jalan pulang. Gue sampai jalan berjam-jam untuk menemukannya. Bahkan dengan rambut panjang yang membuat gue kelihatan seperti anaknya, Nenek nggak mengenali gue. Saat itu gue benar-benar memutuskan kalau gue harus belajar lebih giat. Bukan hanya untuk mempertahankan rambut ini, tapi demi masa depan gue dan Nenek nanti."

Air mata menetes dari sudut mata Viona. Ia bahkan tidak menyadari hal itu sampai Adrian mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

"Banyak hal yang sulit dilakukannya sekarang. Bulan lalu waktu ulang tahun Ayah, Nenek buat kue dari pagi sampai malam dan nggak selesai karena Nenek lupa cara membuat kue. Padahal dulunya Nenek punya toko kue sendiri. Saat lihat itu, hati gue sakit banget. Bahkan Nenek nggak bisa ingat untuk melakukan hal yang paling disuka. Untungnya gue masih dikenali karena rambut ini." 

"Gimana kondisi Nenek sekarang?" Viona bertanya dengan suara serak karena menahan tangis.

"Nenek baik-baik aja. Ada tetangga yang selalu bantu gue untuk mengawasi beliau." Adrian menepuk pundak Viona. "Jangan nangis. Gue baik-baik aja." 

"Aku yang nggak baik-baik aja. Bodohnya aku yang nggak tahu kalau Nenek kamu sakit." Viona tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia menangis hingga sesenggukan.

Akhirnya Adrian menarik gadis itu dalam pelukan. Tangannya menepuk punggung gadis itu.

"Gue nggak apa-apa. Kenapa jadi lo yang nangis sih?" Adrian tersenyum. Sebagian dirinya ingin turut menangis, tetapi sebagian dirinya yang lain ingin menertawakan adegan ini. 

Ia tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau kisah hidupnya bisa membuat orang lain menangis. Adrian jarang mengeluh tentang hidupnya. Ia selalu beranggapan kalau semua orang punya luka masing-masing. Hanya saja ada luka yang terlihat nyata dan ada luka yang tertutupi hingga tidak ada orang yang tahu. 

"Boleh aku ketemu Nenek?" Viona bertanya setelah tangisnya usai.

"Boleh. Yang penting lo nggak tiba-tiba nangis kayak tadi." Adrian merebahkan tubuhnya ke rumput setelah mengatakan hal itu. Kini ia merebahkan tubuhnya di samping Viona.

Viona diam dan mulai mengingat hal yang baru saja terjadi. Kalau saja ia tidak menyadari keberadaan Adrian di sana, gadis itu pasti sudah berteriak kegirangan karena tanpa sadar ia baru saja mendapat pelukan dari Adrian. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro