5. Tawaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kafe bernuansa monokrom yang terletak di sudut jalan itu terlihat sepi. Hanya ada tiga orang karyawan berseragam yang tengah membersihkan meja dan menata kursi. Dua orang berada di dalam ruangan dan satu lainnya berada di luar ruangan. Laki-laki yang berada di luar ruangan itu memiliki rambut panjang dan membiarkan rambutnya menutupi sebagian wajahnya. 

"Kak Adrian." Suara yang selalu Adrian dengar di kampus itu terdengar bahkan saat hari liburnya. 

Adrian menggerakkan jarinya untuk menyisir rambut yang menutupi dahinya dan menghela napas lelah. 

"Hai." Gadis berbaju kuning itu melambai dan tersenyum lebar. Adrian bisa melihat dengan jelas gingsul gadis itu.

"Maaf, kafe ini belum buka. Kami melayani pelanggan mulai pukul sepuluh. Silahkan kembali lagi setelah kafe dibuka." Adrian membalas sapaan gadis itu dengan kalimat yang selalu ia katakan ketika pelanggan datang lebih pagi. 

"Jutek banget sih? Sepuluh menit lagi buka kok." Gadis itu tidak beranjak dari tempatnya. Ia malah memperhatikan Adrian yang kini terlihat lebih mempesona karena mengenakan apron kulit berwarna cokelat. 

Laki-laki berambut panjang itu melirik sekilas dan melanjutkan kegiatannya. Ia kembali mengelap meja dan menata kursi yang belum tersusun di tempat seharusnya. Kebetulan hari ini Adrian bertugas untuk membalikkan tanda yang menunjukkan kalau kafe telah buka. 

Adrian kembali menghela napas saat ia akan membalikkan papan tanda tersebut. Viona sudah berdiri di balik pintu kaca yang kini hendak ia buka. 

"Selamat datang. Silahkan, Kak." Adrian tersenyum dan menyapa Viona dengan ramah. Senyuman yang sangat jarang ia tunjukkan saat berada di kampus. 

"Kayaknya aku bakalan sering main ke sini. Terima kasih." Gadis itu mengedipkan mata kirinya ketika melewati Adrian. 

Begitu gadis itu masuk, Adrian melepaskan ikat rambutnya yang melingkar di tangan kirinya dan mengikat rambutnya kasar. 

Hari ini Adrian bertugas sebagai pelayan yang mengantarkan pesanan pelanggan. Ia mengantarkan makanan dan minuman yang dipesan oleh Viona. Laki-laki yang kini rambutnya sudah dikucir itu meletakkan pesanan Viona dan memberikan sebuah fortune cookie. Kafe mereka memang selalu memberikan fortune cookie bagi pelanggan pertama setiap harinya. 

"Silahkan dinikmati. Ada yang bisa saya bantu lagi, Kak?" Adrian berusaha keras untuk menampilkan senyum.

"Shift kamu selesai jam berapa? Boleh ngobrol sebentar nggak?" 

Adrian memutar bola matanya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap Viona dengan tatapan sesinis mungkin.

"Jangan galak-galak. Aku nggak mau nembak kamu kok. Cuma ada yang mau diomongin aja." Viona menatap Adrian dengan mata yang penuh harap dan kelihatannya gadis itu jujur.

Akhirnya Adrian menjawab pertanyaan Viona setelah menghela napas. "Jam dua siang." 

"Oke. Aku bakalan numpang nugas di sini sampai jam dua." Dengan semangat gadis itu mengeluarkan laptop dan beberapa buku.

Adrian kembali ke balik konter dan meletakkan nampannya. Ia membuka ikatan rambutnya dan mengikat mereka kembali. Kali ini jadi lebih rapi dari sebelumnya. Rekan kerja Adrian yang bertugas menerima pesanan melihat Adrian dan tertawa kecil.

"Pacarnya?" Laki-laki yang mengenakan apron serupa dengan yang digunakan Adrian itu tersenyum penuh arti.

"Bukan. Dia teman sekelas gue." Adrian menjawab sambil merapikan apron yang ia kenakan.

"Temen tapi demen?" Laki-laki tadi tersenyum hingga memperlihatkan lesung pipinya. 

"Enggak, Bang. Dia cuma teman gue aja." Adrian berkata demikian dengan nada datar. Namun, ia meragukan kata-katanya sendiri.


***


Lapangan Universitas Jatayu yang luasnya dua kali lapangan sepak bola itu penuh sesak. Berbagai suara teriakan muncul dari berbagai barisan. Barisan di lapangan itu terbagi menjadi banyak kelompok kecil. Viona tahu kalau mereka dibagi ke dalam barisan sesuai dengan prodi masing-masing. Gadis yang memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi itu kesulitan untuk mencari barisan prodinya. Ia mengandalkan matanya yang minus untuk mencari barisan yang mengenakan pita berwarna kuning. 

Gadis berjas almamater kebesaran itu berjalan sambil terus menyipitkan mata. Ia tidak memperhatikan jalan dan berakhir dengan menabrak seseorang. Laki-laki yang ditabrak itu hanya menatapnya dengan sinis. Bukannya minta maaf, Viona malah menganga tidak percaya. Laki-laki di hadapannya ini benar-benar tipenya. Rambut gondrong yang diikat separuh, mata sipit dan kulit pucat laki-laki itu membuat Viona terpesona sepenuhnya.

"Maaf, Kak." Viona akhirnya meminta maaf setelah beberapa detik.

Laki-laki bermata sipit itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya berbalik kembali menghadap depan. Viona cemberut. Namun, ia baru menyadari kalau laki-laki di depannya ini mengenakan pita kuning sama sepertinya. 

"Permisi." Viona menarik jas almamater laki-laki di depannya hingga laki-laki itu menoleh. "Kakak prodi arsitektur?"

Laki-laki berpapan nama Adrian Birendra itu menghela napas dan menunjuk pita yang melingkar di lengannya. "Lihat ini? Gue mahasiswa baru arsitektur dan bukan kakak tingkat lo."

Viona terpesona. Matanya mengerjap saat mendengar suara Adrian. Selain paras yang benar-benar tipenya, ternyata suara Adrian juga sangat sesuai dengan harapannya. 

"Aku Viona Karunasakara. Kalau kamu?" Gadis bergingsul itu tersenyum hingga mata bulatnya menyipit. 

Adrian hanya menunjuk papan nama yang terkalung di lehernya. 

Viona tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Temenan, yuk!" 

Adrian menghela napas dan menyalami tangan Viona singkat. 

"Terima kasih." Viona tersenyum lebar sebelum salah satu kakak tingkatnya memanggil dan mengarahkannya untuk pindah ke depan. 

Ingatan sederhana itu mampu membuat Viona kembali jatuh hati. Gadis itu membuka laptopnya, tetapi perhatiannya tetap terarah pada laki-laki yang ada di balik konter.  Ia tersenyum memandang Adrian yang tengah mengikat rambutnya. Sejak pertama kali melihat laki-laki itu, Viona sudah merasa kalau Adrian terlihat sangat mempesona.

Setelah beberapa jam, perhatian gadis itu teralih ke fortune cookie. Viona membuka plastik yang membungkus fortune cookie dan membagi kue itu menjadi dua bagian. Ia menarik keluar kertas yang ada di dalamnya bertepatan dengan Adrian yang datang menghampiri mejanya.

"Sekarang gue masuk jam istirahat. Kalau mau ngomong sekarang boleh." Adrian menarik kursi yang ada di depan Viona dan duduk di sana.

Viona sempat terperangah sejenak. Ia meletakkan fortune cookie yang ada di tangan dan sempat meneguk kopinya. 

"Silahkan." 

Viona batal tersenyum. Bibir tebalnya maju hingga membuat gadis itu mirip bebek. "Formal banget, heran."

Adrian menghela napas lelah. 

"Jadi, Yessa telepon aku semalam. Katanya kamu butuh teman belajar." 

Laki-laki bermata sipit itu kembali menghela napas. Yessa memang benar-benar ajaib. 

"Gue nggak butuh teman belajar." Adrian berbicara dengan nada datar.

"Peraturan yang baru keluar itu gimana?" 

Adrian beranjak dari kursinya dan menatap Viona sinis, "Itu urusan gue, bukan urusan lo." 

Setelah mengatakan kalimat itu, Adrian melangkah pergi meninggalkan Viona yang masih dibuat tercengang dengan respon laki-laki itu. 

Adrian melepas ikat rambutnya dan mengacak rambutnya. Ia berjalan dengan tergesa-gesa dan memasuki pintu yang hanya bisa dimasuki oleh staf. 

Setelah laki-laki itu tidak lagi terlihat, Viona membaca kata-kata yang tertulis pada kertas yang ia keluarkan dari fortune cookie. 

Kebahagiaan berasal dari rasa syukur.

Membaca kalimat tersebut membuat Viona cemberut. Ia menghela napas dan meremas kertas di tangannya. 



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro