7. Keputusan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wanita beruban dengan wajah penuh keriput itu kini terlelap. Adrian melihat Nenek dari pintu. Ia baru saja masuk ke rumah setelah menunggu selama tiga puluh menit di halaman rumah. Ia memang sengaja tidak masuk bersama Nenek. Ia menunggu setelah lampu kamar yang berada di depan itu padam. 

Adrian mendekati wanita itu dan memperbaiki posisi selimut yang membalut tubuh Nenek. Sejak kecil Adrian tidak pernah bertemu dengan ibunya. Tidak ada satu pun kenangan yang ia miliki dengan sosok wanita yang seharusnya ia panggil ibu. Sejak lahir, Adrian sudah diasuh oleh Nenek. 

Sebuah foto yang terpajang di atas nakas membawa Adrian mengingat kenangan lama.

"Selamat pagi, Bu." Suara anak-anak di kelas memberi salam pada guru mereka.

Adrian memberi salam dengan semangat sembari sesekali melirik ke arah jendela untuk melihat Nenek.

"Siapa di sini yang diantar Ibu? Angkat tangan!" Lebih dari separuh anak di ruangan itu mengangkat tangan tinggi-tinggi.

"Siapa di sini yang diantar Ayah? Angkat tangan!" Guru tersebut mengulangi pertanyaan tersebut dengan nada yang lebih semangat. Sisa anak yang ada di sana mengangkat tangan, kecuali Adrian.

"Saya diantar Nenek." Adrian mengangkat tangannya setelah anak lain menurunkan tangan. 

"Wah, Adrian diantar Nenek ya? Boleh kasih tahu teman-teman yang mana neneknya?" Guru mereka bertanya diiringi senyuman dan tatapan bersalah.

Adrian melambai pada Nenek. Lambaiannya disambut dengan lambaian serta senyum yang sangat lebar dari Nenek.  

Saat anak seusianya diantar sekolah oleh ibu atau ayah, Adrian berangkat ke sekolah dengan neneknya. Dulu Adrian mengira semua anak dibesarkan sepertinya, tetapi ia mulai bertanya-tanya ketika acara pentas seni di TK. Semua anak yang hadir didampingi orang tua mereka. Hampir semua lengkap, ibu dan ayah. Bahkan ada yang membawa kakek, nenek, hingga adik atau kakak. 

Berbeda dengan Adrian yang datang didamping oleh satu orang, yaitu Nenek. Padahal saat itu ia menjadi pemeran utama dari drama penampilan puncak. Ketika acara foto bersama, Adrian sangat iri melihat kebersamaan keluarga lainnya. Adrian ingin bertanya, tetapi ia tahu kalau pertanyaannya akan membuat Nenek sedih. Jadi, ia mengurungkan niatnya untuk bertanya.

Ketika Adrian masih duduk di kelas 4 SD, tiba-tiba ia dijemput pulang oleh tetangganya. Ia dikabari kalau ayahnya meninggal dunia dan kini Nenek tengah pingsan karena terlalu banyak menangis. Adrian berlari ke rumahnya, melupakan tas maupun bukunya. Ia langsung memeluk wanita yang masih belum sadarkan diri itu. 

Adrian tidak menangis. Ia malah kelihatan khawatir pada kondisi Nenek. Tentu ia tidak menangis karena Adrian tidak punya kenangan indah bersama ayahnya. Yang ia ingat hanya hadiah ulang tahun yang selalu datang setiap tahun hingga usianya 10 tahun. Hadiah
terakhirnya baru tiba sekitar tiga hari yang lalu dan kini ia menerima kabar kalau ayahnya meninggal dunia karena kecelakaan. 

Ketika Nenek bangun, wanita itu langsung memeluk Adrian. 

"Ayah kamu sudah pergi, Adrian." Nenek masih terisak ketika mengatakan itu.

"Iya, Nek." Sebenarnya Adrian tidak begitu peduli. Ayahnya meninggal dunia atau tidak, baginya ayahnya memang sudah pergi. Tidak ada yang perlu ditangisi dari seseorang yang hanya ia kenal dari lembaran foto. 

"Anak Nenek sudah pergi." Wanita itu masih menangis. Tangan kecil Adrian berusaha memeluk dan menenangkan Nenek. Beberapa tetangga masih di sana hingga malam. Beberapa berusaha menenangkan Nenek dan beberapa lainnya menyampaikan cerita kepada tetangga lain yang datang ke rumah.

"Jenazahnya tidak akan dimakamkan di sini. Kata teman-teman yang kerja di sana juga, ada keluarga yang akan mengurus pemakamannya di sana." Pak RT sibuk bercerita sambil menyambut tetangga lain yang baru datang. 

Sejak kejadian itu, Adrian tidak pernah bertanya mengenai ayah maupun ibunya. Bahkan Adrian tidak tahu di mana persisnya letak makam ayahnya. 

***


Ketika Adrian bangun, ia sempat menghela napas. Namun, raut sedih di wajahnya menghilang ketika mendengar suara sudip dan wajan yang beradu. Ia segera menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya dan berlari menuju dapur.

Ruangan dapur itu masih sama seperti sebelumnya. Bau yang menyeruak pun mirip seperti hari-hari yang sudah lewat. Wanita beruban dengan tangan lincah tengah memasak sarapan untuk Adrian. Laki-laki bermata sipit itu tersenyum dan menghampiri Nenek.

"Selamat pagi." Adrian berdiri di samping wanita yang sedang memasak itu.

"Selamat siang yang benar. Ini sudah jam berapa Mada? Kamu nggak ke kampus? Ibu sudah selesai masak nasi goreng. Ini orek tempenya bentar lagi mateng. Mandi dulu sana." Nenek berbicara dengan cepat dan marah-marah layaknya marah seorang ibu pada anaknya.

Adrian menghela napas, kemudian ia tersenyum. Ada lega yang membasuh khawatirnya. Sebelumnya ia takut kalau wanita itu akan melemparinya dengan brutal karena mengira dirinya maling atau orang gila.

"Aku mau bantuin masak."

Laki-laki berambut panjang itu meraih timun dan pisau. Ia berniat membantu dengan memotong timun. Belum juga tangannya bergerak untuk memotong, tangan Adrian sudah ditepuk oleh Nenek.

"Kamu bukannya bantuin malah ngerecokin. Sudah, mandi sana. Itu rambutnya coba disisir dulu. Ibu punya anak satu aja kok susah banget diaturnya."

Adrian cemberut, tetapi ia menurut. Laki-laki berpakaian baju tidur itu berjalan menuju kamarnya untuk mandi.


Laki-laki berkemeja abu-abu dengan rambut terikat itu memilih duduk di taman dekat gedung kuliahnya. Ia sengaja duduk di sana untuk mendapatkan ketenangan. Dikenal sebagai anak yang soliter sangat menguntungkan baginya karena tidak ada orang yang akan mengganggunya ketika duduk sendirian seperti itu.

Baru saja Adrian merasa tenang dan menikmati kesendiriannya, sebuah suara yang ia kenali mendistraksi ketenangannya.

"Adrian Birendra."

"Horor banget lo manggil pake nama lengkap gitu." Adrian bangkit dari duduknya dan berniat membersihkan bokongnya ketika Yessa malah duduk di samping tempat Adrian.

"Sini, gue mau denger cerita lo yang semalem." Yessa menepuk rumput yang ada di sampingnya.

Adrian menghela napas, tetapi ia turut duduk di samping sahabatnya itu. Ia menceritakan detail yang terjadi semalam dan hal tersebut yang membuatnya memutuskan untuk berubah pikiran.

"Jadi, kapan lo ketemu Viona?" Yessa bertanya sambil mencabuti rumput.

"Lo nangis?" Adrian bertanya setelah menyadari kalau mata Yessa berair.

"Nggak. Mana ada gue nangis. Kelilipan ini mah." Yessa mengusap matanya kasar. Wajahnya dihiasi senyum yang dipaksakan.

Adrian tertawa. "Gue ketemu Viona nanti sore habis kelas."

"Serius?" Yessa bertanya dengan wajah sumringah.

"Iya. Gue udah DM dia semalem."

Yessa membaringkan tubuhnya di rumput dan melipat tangannya sebagai bantal. Adrian tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.

"Lo nggak ada rencana buat surat perjanjian atau apa gitu?" Yessa bertanya sambil memejamkan mata.

Pertanyaan Yessa membuat laki-laki yang rambutnya terikat itu berpikir. Perjanjian macam apa yang harus dibuat?

Adrian turut membaringkan tubuhnya di rumput dan melipat tangannya sebagai bantal. Tidak lama kemudian, seorang petugas kebersihan menghampiri mereka dan meminta mereka meninggalkan tempat itu karena rumputnya akan dipotong.

Yessa tidak berhenti tertawa karena kejadian itu. Adrian hanya tersenyum hingga matanya membentuk lekungan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro