Pop Out!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pernahkah kalian berada di situasi aneh nan membingungkan jagat kemanusiaan?

Ketika melihat hal-hal absurd yang mengguncangkan batin. Pria rupawan bersayap putih bersih layaknya angsa. Ada pula wanita bertanduk empat dengan kulit merah padam. Namun anehnya adalah mereka duduk pada meja yang sama dan saling bercengkerama menikmati putaran waktu.

Meskipun sudah empat bulan bekerja di sini, pemandangan di hadapanku sekarang tetaplah aneh. Aku mencoba pendam hal itu dengan cara apa pun, tetapi yang mereka lakukan sungguh menaikkan kadar emosi.

Apa-apaan sikap makhluk merah itu, mengangkat kaki ke atas meja? Ini kedai, bukan rumah!

Itu juga yang duduk melayang dekat lampu. Mentang-mentang punya sayap terbang sesuka hati?

Lalu yang paling menjengkelkan adalah keberadaan seseorang yang awalnya kuanggap bidadari. Ternyata oh ternyata, dia tidak kalah seramnya dengan para makhluk bertanduk tersebut.

Cerewet, pemarah, apapun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Andai ini dunia novel aksi, mungkin sudah kubungkam habis orang itu. Ah, sepertinya hal itu mustahil untuk dilakukan.

"Tony! Bisa kerja dengan benar, tidak?" omelnya waktu itu.

"Tony! Sekali lagi kau tumpahkan kopi ini, kepalamu yang aku giling!" bentaknya yang sedikit tidak manusiawi.

"Tony! Tony! Tony!" panggilnya terus menerus. Telingaku ini memanas kala mengingat kelakuannya.

Belum lagi peristiwa itu, ketika aku tidak sengaja salah antar pesanan. Sang wanita bertanduk mengarahkan trisula miliknya pada leherku. Begitu juga dengan salah satu pria bersayap melotot tajam bak elang mendapatkan tikus.

Ketika aku berusaha menenangkan mereka dengan hati-hati. Gelas melayang tepat pada keningku yang lebar. Seluruh pengunjung di kedai tersebut tertawa lepas. Tidak peduli itu dari pihak orang bersayap maupun makhluk merah padam.

"Maafkan kecerobohan pegawai saya." Tasya membungkukkan badannya sembilan puluh derajat.

"Dia tidak memiliki sopan santun pada kami. Jika bukan karena kedermawanan Tuan Camael dan Tuan Leviathan yang memutuskan bahwa tempat ini sebagai wilayah netral. Mungkin tempat ini, kedai yang telah berdiri ribuan tahun ini telah porak-poranda."

Wanita bertanduk itu menghentakkan trisulanya ke lantai. Pemandangan awal berupa kedai minum kini tampak tandus. Keringat mengucur deras di pelipisku. Perangai dari wanita itu benar-benar menghipnotis lawan bicaranya.

"Aku tidak akan memperpanjang masalah ini. Karena, tujuan kami ke sini hanya untuk minum dan istirahat. Sekali lagi anak itu membuat perkara, maka jiwa kalian yang akan membayarnya," ujar wanita bertanduk itu. Dia lalu mengentakkan kembali trisulanya ke lantai menghilangkan efek ilusi tadi.

Tasya segera menyeretku ke dalam dapur. Giginya bergemelutuk tidak tenang. Aku bisa melihat kerisauan di dalam matanya.

Ah, aku lupa menjelaskan bahwa tempat ini sungguhlah aneh bin ajaib.

Meski dalam satu bangunan yang sama, bagian dapur dengan konter depan tempat menjamu tamu terpisahkan oleh selaput tipis tidak terlihat. Ketika mencapai wilayah dapur kalian tidak akan bisa mendengar maupun melihat apa yang terjadi di sisi depan, begitu pun sebaliknya. Selaput itu seakan-akan memisahkan dimensi ruang dan waktu.

Sesampainya di dapur Tasya mendesah panjang. Aku melihatnya dengan sedikit keraguan. Apa dia akan menjual jiwaku sebagai ganti atas permasalahan yang tadi?

"Berulang kali kubilang padamu. Jangan sampai membuat masalah dengan mereka!" bentaknya dengan nada melengking.

"Maaf, Sya."

"Maaf saja tidak cukup!" Tasya memijit dahinya. Aku paham dia tengah pusing berat sekarang.

"Begini ya, Tony. Kedai ini adalah warisan dari kakek buyutku. Aku pun tidak ingin berurusan dengan tempat ini. Apalagi dengan mereka! Uh, memikirkan yang terburuk saja sudah buatku mual."

"Terus kenapa Tasya tetap membuka kedai ini?" tanyaku lirih.

"Kau pikir ini keinginanku? Jelas tidak! Aku terpaksa mengelola kedai ini hanya karena darah yang mengalir di tubuhku."

"Maksudnya? Kamu juga jadi tawanan?" tanyaku sedikit asal. Aku tidak pernah mengetahui tentang ini sebelumnya.

Tasya memutar bola matanya. Dia menarik sebuah kursi. Aku pun melakukan hal yang sama dan duduk saling berhadapan.

"Seperti yang iblis tadi katakan mengenai berdirinya kedai ini. Leluhurku adalah pemegang kontrak perdamaian kedua ras tersebut. Beliau mendirikan sebuah tempat perjamuan dan mengundang mereka. Lebih tepatnya Tuan Camael dan Tuan Leviathan. Setelah melakukan kontrak darah dengan kedua pemimpin. Tempat ini menjadi titik netral yang memiliki aturan 'dilarang berperang satu sama lain khusus di wilayah ini'. Itulah sebabnya mereka nampak akrab, bukan?" jelas Tasya.

"Iya juga, ya. Mengingat mereka dua makhluk yang berbeda dan bertentangan, sungguh aneh melihatnya tertawa bersama-sama. Lalu konsekuensinya?"

"Seluruh garis keturunan orang itu diharuskan mengelola wilayah ini. Mereka wajib menjaga kontrak yang sudah terjalin, dan sekarang aku generasi selanjutnya itu. Jika kontrak dibatalkan, maka tempat ini akan menjadi gerbang terbukanya kekacauan akibat perang tiada akhir kedua ras tersebut."

Aku meneguk ludah untuk yang kesekian kali setelah mendengar penjelasan Tasya. Hanya dengan satu kesalahan dari pihak manusia. Mereka akan membuka gerbang dan menyebar kekacauan.

Tergambar dengan jelas peristiwa itu di depanku. Api menyebar ke mana-mana. Lahar bumi dimuntahkan dari dalam tanah. Badai topan di lautan menyebabkan tsunami besar. Bukankah itu sama saja dengan kiamat?!

"Tunggu sebentar." Aku menenggak air dalam gelas. Seraya mengusap keringat yang jatuh aku pun bertanya, "Jika konsekuensinya sebesar itu, lantas apa yang diperoleh kakek buyutmu? Kekuasaankah? Perdamaiankah? Atau apa?"

Tasya nampak berpikir sedikit lebih lama. Mata lentiknya yang ayu terpejam. Andai dia tidak galak, mungkin aku sudah jatuh hati. Tidak-tidak-tidak, hanya orang bodoh yang berpikiran seperti itu.

"Ini cerita lama." Tasya membuka suara. Dia memajukan tubuhnya menguarkan harum wewangian parfum aroma citrus.

"Dulu sekali tanah ini adalah tempat yang tandus. Jangankan pepohonan rindang, tanaman pertanian saja tidak akan bisa hidup. Para warga desa harus jalan bermil-mil jauhnya demi mencari nafkah." Tasya berhenti sejenak mengambil napas sebelum memulai kembali ceritanya.

"Di desa itu ada dua sejoli yang dimabuk asmara. Hampir setiap hari mereka berdua menanam benih-benih pohon dengan harapan tanah itu menjadi subur. Namun, ekspektasi tetaplah ekspektasi. Sedari kecil hingga dewasa, benih tersebut tidak pernah tumbuh."

"Ya, aku setuju dengan hal itu. Realita memanglah kejam." Aku menganggukkan kepala beberapa kali dan mendapat pukulan dari Tasya.

"Sakit tahu!" keluhku.

"Makanya dengarkan dulu sampai selesai, jangan menyela omongan orang." Tasya menahan rasa kesal dan segera mendudukkan diri kembali ke kursi.

"Diam dulu saat kubercerita atau kupatahkan batang lehermu," tambahnya sedikit lalu menyambung kembali cerita yang terputus tadi.

"Meski pohon-pohon tersebut tak pernah tumbuh, pasangan itu tetap setia merawatnya. Orang gila, aneh, bodoh, dan cibiran-cibiran lainnya sudah seperti makanan sehari-hari mereka. Hanya senyum tipis yang tergambar sebagai balasan.

"Ketika malam sebelum pernikahan, sang mempelai perempuan meninggal tanpa sebab dalam keadaan tertidur. Sang pria menangis sekeras-kerasnya. Dia tidak pernah mengira kalau sang kekasih akan pergi lebih cepat.

"Setahun, dua tahun, tiga tahun, pria itu terus menangis kala mengingat sang kekasih. Dia berdoa dari pagi ke malam dan kembali lagi ke pagi, hingga di tahun keempat sebuah keajaiban terjadi.

"Salah satu benih yang dia tanam di dekat makam sang kekasih tumbuh tinggi dalam semalam. Pohon tersebut memiliki lubang seukuran orang dewasa di bagian batangnya. Pria itu yang sedikit penasaran coba memasukinya. Dan kau tahu, Ton?"

"Tidak," jawabku. Sekali lagi pukulannya bersarang di kepalaku.

"Entah, apa yang terjadi selanjutnya terdengar masuk akal atau tidak. Secara tiba-tiba pria tersebut berada di dunia yang jauh berbeda. Peperangan tiada henti dari kedua ras penghuni dunia itu merasuk dalam pandangannya. Sang pria akhirnya mengerti, kenapa desa tempat dia tinggal tidak pernah bisa subur. Semua karena efek samping dari genderang perang mereka.

"Pria itu kembali berdoa dengan sungguh seraya menangisi kemalangan hidupnya. Lalu datanglah Tuan Camael menanggapi doa manusia malang tersebut. Sang pria mengatakan keinginan yang dia pendam dalam-dalam. Bahkan dia juga tidak tanggung-tanggung untuk menawarkan jiwa miliknya serta keturunan dia kelak. Mendengar hal itu, Tuan Leviathan yang berada tak jauh dari mereka berdua ikut tertarik dalam obrolan."

"Apa permintaan pria itu?" tanyaku serius.

"Dia meminta agar kekasihnya hidup kembali. Serta kesuburan tanah di desa tempat pria itu tinggal," balas Tasya. Dia pun menunjuk letak desa tersebut pada peta wilayah Pulau Bermuda melalui ponsel. "Di sini lebih tepatnya. Di kota kecil tempat kita berada sekarang."

Mendengar hal itu buatku sedikit terjengkang dari kursi. Aku tidak mengira kalau tempat ini ada di Bermuda, bukan Miami. "B-bagaimana bisa? B-bukankah kita seharusnya ada di Miami?"

"Benar alamat asli kedai ini memang di Miami. Namun, karena kayu yang dipakai bangunan ini diambil dari potongan pohon tersebut. Maka secara otomatis kita juga terpindahkan ke sana akibat distorsi ruang dan waktu. Jika kau keluar melalui pintu depan kedai, di situ adalah jalanan Miami. Dan bila melalui pintu belakang, kau akan sampai di Bermuda," jelasnya yang bahkan aku tidak paham sedikitpun.

"Lalu bagaimana kelanjutannya?" tanyaku kembali.

"Awalnya permintaan tersebut ditolak oleh Tuan Camael. Karena bagaimanapun juga, manusia yang telah mati tidak bisa hidup kembali. Rasa putus asa tersebut disambut gembira di sisi Tuan Leviathan. Tanpa sadar, pria itu pun menjanjikan suatu hal kepada mereka.

"Kelak di masa depan, sang pria akan membuat sebuah kedai perjamuan dan akan memuaskan lidah mereka dengan makanan. Sebuah rasa yang akan melampaui nikmatnya santapan mereka sehari-hari. Mendengar hal itu Tuan Camael dan Tuan Leviathan menjadi tertarik. Akhirnya permohonan pria tersebut dikabulkan melalui kontrak darah yang aku ceritakan di awal tadi."

"Ah, jadi leluhurmu adalah anak dari si pria itu?" Aku mencoba menebak.

"Ya. Keluargaku adalah garis keturunan dari pasangan itu." Tasya menutup cerita sembari menatapku lekat dan berkata, "Sekarang kau mengerti apa yang kurasakan. Itulah kenapa jangan pernah sampai berurusan dengan mereka."

Dengan dua kalimat pamungkas dari Tasya. Gejolak cairan perutku meronta-ronta untuk segera dimuntahkan. Aku tahu sekarang, kenapa dia mencari pegawai tanpa adanya riwayat penyakit jantung dan mental. Risiko pekerjaan ini terlalu tinggi untuk diatasi manusia normal. Juga, sejarah berdirinya kedai sungguh di luar nalas dan akal sehat.


Tanpa sadar gelak tawa halus keluar dari mulutku. Tasya memicingkan matanya.

"Apa yang kau tertawakan?"

"Hidupku," balasku singkat masih dengan gelak tawa miris.

"Dasar aneh!"

Tasya pergi meninggalkanku tertawa sendirian. Dia kembali menuju bar di konter depan sedikit terburu-buru. Kurenungkan sesaat tiap pernyataannya barusan. Ya ... setidaknya jika hal buruk terjadi, aku akan bertanggung jawab sepenuhnya.

Andai perempuan itu lebih feminim sedikit sifatnya.

***

Seminggu berlalu semenjak kejadian hari itu. Tanda-tanda akan kemarahan dari pihak iblis dan malaikat juga tidak terlihat. Tasya masih dengan senyum cerahnya jika berhadapan dengan mereka, walau itu hanya terlihat di luar saja.

Seperti biasa kegiatanku adalah membersihkan wilayah dapur. Sedikit-banyak aku tidak mengetahui situasi di bagian depan. Ketika sebuah kertas muncul dari mesin penerima, tandanya sebuah pesanan makanan harus segera tersaji.

Aku masih bingung dari mana datangnya pasokan bahan makanan tersebut. Daging, sayuran, ikan, hampir separuh bahan yang tersedia di sini tidak lazim ditemukan di pasar manusia biasa. Sempat terbesit di pikiranku mengenai ini. Apa mungkin ini resep makanan dari dimensi lain?


Bunyi khas dari mesin P.O.S terdengar. Kubaca kertas yang keluar dari sana. Sekilas memang terlihat seperti orderan makanan, tetapi jika diperhatikan lebih jeli, tulisan tersebut adalah kode dari Tasya.

'Ada tamu penting. Jangan mengacaukan apa pun lagi. Pesanan dua mangkuk Hell's Salmon Soup dan Heaven's Bread of Joy. Siapkan tujuh puluh menit dari sekarang.'

"Baiklah, waktunya bekerja. Untung saja dia telah mengajarkanku resep ini walau sedikit."

Empat tungku kompor kunyalakan. Kebetulan kaldu dasar telah dibuat semalam. Aku mengambil sebanyak 200ml ke dalam panci kecil, lalu memanaskan dengan api sedang, menunggu hingga kaldu mendidih.

Seraya menunggu, aku memotong kepala salmon besar yang sedikit berbeda dari jenisnya di pasaran. Ukuran ikan tersebut tiga kali lebih besar dari yang biasanya. Membayangkan ikan tersebut berenang di lautan membuat bulu kudukku meroket.



Kepala salmon telah terpotong menjadi empat bagian. Kucampurkan dengan pasta merah yang memiliki bau menyengat ke dalam panci berisi kaldu. Potongan bawang putih, bombay, jahe merah, dan lada merah pun telah tercampur dengan baik.

Kini beralih pada resep paling sulit yang ada di kedai ini, Heaven's Bread of Joy. Sekilas memang terlihat seperti kue maccaron biasa. Namun, teknik dan bahan yang terpakai benar-benar jauh berbeda. Aku yang amatir dalam dunia masak belum tentu bisa menyajikannya dengan benar.

Keringat merembes keluar sekali lagi dari balik baju. Hawa panas dapur membuatku sedikit pusing. Konsentrasi penuh kucurahkan saat menangani roti tersebut. Api kompor sedikit kukecilkan dengan tangan kiri. Sedang tangan kananku menggepuk-gepuk adonan.

Aku benci makanan manis. Hanya itu yang bisa kupikirkan saat melihat begitu banyaknya jenis gula di meja. Gula, krim, madu berwarna biru-yang entah dihasilkan dari apa, dan juga bumbu rahasia dari kue ini adalah bubuk warna-warni super halus.

Adonan telah mengembang, lalu kubentuk menjadi bulatan-bulatan kecil berdiameter sepuluh senti. Sekiranya ada dua belas biji terbentuk. Tentu saja aku tidak melupakan untuk nyalakan mesin pemanggang.

Kini kobaran api telah membawa suhu ke tingkat seratus lima puluh derajat. Penunjuk waktu telah diatur menjadi lima belas menit. Saatnya mengerjakan hal lain.

Waktu yang tersisa ada tiga puluh menit lagi. Tanganku sedikit bergetar saat mengatasi buah-buahan aneh yang belum pernah aku lihat. Salah sedikit saja racun pada buah akan tercemar dan merusak seluruh rasa makanan.

Ada rasa ingin menyerah terlintas dalam pikiran. Aku tidak sanggup lagi menangani bahan-bahan tersebut. Jika dugaanku benar. Orang penting yang dimaksud oleh Tasya adalah pemimpin kedua ras. Andai terjadi kekacauan sedikit kala memasak, perang akan kembali berlanjut di tanah ini.

"Tenang Tony. Kau pasti bisa."

Aku menyemangati diri sendiri meski tahu tidak menghasilkan apa-apa. Resep tidak akan pernah salah selama kau mengikutinya dengan benar. Kuembuskan napas dalam-dalam melalui hidung dan mengeluarkannya lewat mulut secara perlahan.

Aku menggunakan pisau kecil khusus untuk buah. Kuarahkan mata pisau tersebut searah dengan garis ulir permukaan buah. Perlahan-lahan kulit buah terkelupas seutuhnya. Langkah berikutnya potong buah tersebut menjadi delapan bagian. Yang terakhir adalah mencampurnya dengan air perasan lemon.

Ingin rasanya aku mengeluh dengan keras. Ah, tetapi itu hanya membuatku tampak semakin konyol.

Lima menit lagi, hingga waktu yang ditentukan berakhir. Semua hidangan telah tertata apik di atas mangkuk dan piring.

Sesaat aku bergumam tidak percaya karena telah menyelesaikan dua set makanan tersebut. Aku terduduk lesu melepaskan seluruh beban kepala. Belum selesai stresku berkurang. Panggilan dari perempuan itu telah menanti.

"Sial," umpatku pelan sembari membawa dua nampan ke meja depan.

Terkejut bukan kepalang kala aku keluar dari dapur. Dua orang penting yang dimaksud tidak memiliki penampilan seperti pengunjung lainnya. Yang mencolok dari mereka berdua adalah mahkota tersemat di kepala masing-masing.

"Selamat menikmati, Tuan."

Kuletakkan secara perlahan-lahan dua mangkuk dan dua piring ke atas meja. Aku mencoba tersenyum seramah mungkin. Dengan sikap sedikit membungkuk, kutinggalkan mereka berdua dan mendekat ke tempat Tasya berada.

"Tuan Camael dan Tuan Leviathan."

Seakan tahu apa yang ingin kutanyakan padanya. Tasya menyebut dua nama itu dengan pelan sedikit gelisah.

"Kuharap kau tidak mengacau seperti waktu itu." Dia memelototiku tajam.

Belum pernah aku rasakan takut yang berlebihan seperti ini sepanjang hidup. Terakhir kali rasa takut menghampiri adalah ketika mengunjungi rumah mantan kekasihku. Ayahnya benar-benar menyeramkan dengan tato di sekujur tubuhnya. Sepulang dari sana mendadak dia memutuskan hubungan tanpa sebab. Sial.

"Sya, aku mau bertanya. Memangnya itu resep dan bahan didapatkan dari mana?"

"Dari dimensi mereka. Aku pun juga tidak mengerti awalnya. Namun, melalui catatan milik keluarga. Kurir dari dunia mereka akan mengirim bahan secara berkala. Jadi, semua bahan-bahan ini memang dari dunia seberang," jelas Tasya yang menunjukkan label pada botol-botol sirup di rak belakangnya.

"Aku sempat me-"

Belum selesai ucapanku keluar dari mulut, Tuan Leviathan menggebrakkan mejanya.

Seketika suasana yang awalnya riuh menjadi ciut. Tuan Camael yang masih memakan rotinya hanya berdeham.

Tuan Leviathan mengangkat kepalan tangan kanannya ke udara. Bola-bola kecil berkumpul ketika kepalan tersebut membuka. Dengan suara berat dia menatap tajam padaku.

"Coba jelaskan apa yang kau masak ini atau kuledakkan isi perutmu."

Tuan Leviathan tetap duduk dibangkunya. Salah satu bola kecil mengarah ke jendela ujung dan melenyapkannya menjadi debu.

Aku menoleh ke arah Tasya dengan cepat. Respon yang sama juga dilakukan olehnya.

Tasya menggigit bibir bawahnya, hingga berdarah, seakan mencoba menahan amarah terhadapku. Mata perempuan itu seakan-akan mengatakan akankubunuhkauTony.

Rasa takutku membumbung tinggi. Dengan langkah robot, aku mendekati meja Tuan Leviathan.

"Ma-ma-maaf, Tuan," ucapku terbata-bata.

"Kau mau menyajikan sampah ini padaku?" Dengan menggunakan tangan kiri, dia melemparkan mangkuk tersebut tepat di mukaku.

"Hah ... kau memang tidak punya sopan santun, Levi."

"Diam kau, Camael! Ini tidak ada hubungannya denganmu!"

"Kau mengganggu makan siangku," balas Tuan Camael kesal.

Tuan Camael menoleh ke arahku. Dia berdiri dari posisi duduk dan mengepakkan keempat sayapnya. Sayap itu lebih lebar dan putih dari kebanyakan anggota ras malaikat yang sekarang berada di kedai.


Aku yang melihat kedua orang itu hanya bisa menunduk. Jika memang ini adalah akhir dari kehidupan seorang Tony, akan kuterima dengan senang hati.

"Mohon tunggu sebentar, Tuan-tuan." Tasya berlutut di sebelahku.

"Maafkan kesalahan pegawai saya."

"Jika itu kau, mungkin aku tidak akan memperpanjang perkara. Masalahnya adalah ini kesalahan bocah itu," jawab Tuan Leviathan menunjukku dengan tangan kirinya.

"Setidaknya beri alasan kenapa Tuan Leviathan ingin menghukumnya," pinta Tasya memohon dengan sungguh.

"Baiklah. Masakan yang dia sajikan benar-benar buruk. Selera makanku menghilang akibatnya."

"Saya akan membuatnya kembali. Kali ini akan melebihi ekspektasi yang Tuan bayangkan." Kalimat itu keluar dari mulutku tanpa sadar.


Tuan Leviathan tersenyum sinis. Dia lalu membatalkan bola-bola sihir dari tangan kanannya.

"Baiklah. Aku akan menunggumu selama tiga puluh menit. Buat makanan yang bisa memuaskan kami berdua. Jika tidak, mungkin kau sudah tahu apa yang akan terjadi." Tuan Leviathan menyeringai tampakkan gigi-gigi tajamnya.

Setelah memohon untuk pergi, Tasya menyeretku kembali ke dalam dapur. Reaksinya masih sama seperti tadi, tetapi aku segera menutup mulutnya dengan telunjuk kanan.

"Marahnya nanti saja. Apa ada resep yang bisa kugunakan?"


Tasya menggigit jariku yang menyentuh bibirnya. Mata perempuan itu bagai serigala kelaparan.

"Dua resep tadi adalah yang terakhir! Dan tidak ada resep lain yang bisa memuaskan mereka berdua! Ah, Tony. Kau seharusnya mengerti posisiku."

"Kamu juga seharusnya bisa mengerti aku! Kamu pikir aku tidak tertekan ketika memasak tadi, Hah?!"

Emosiku tak terbendung lagi. Jika memang dia masih ingin menceramahiku, aku tidak segan-segan untuk pergi dari tempat ini sekarang. Namun sayangnya itu hanya sekelebat pemikiran belaka. Andai saja benar-benar pergi dari kedai, entah apa yang bisa kukerjakan nantinya.

"Tasya juga harus bisa mengerti perasaanku. Aaarrghh lupakanlah! Biarkan aku memikirkannya sendiri."

Aku segera mengusirnya dari dapur. Saat ini yang kubutuhkan adalah waktu untuk tenang. Emosi harus bisa kukendalikan sebelum membuang-buang waktu lebih dari ini. Dalam tiga puluh menit, menu baru harus bisa terselesaikan.

***

"Silakan mencicipinya, Tuan-tuan."

Kuhidangkan sepiring bola daging di meja kedua pemimpin ras malaikat dan iblis. Mata mereka memancarkan rasa penasaran begitu tutup piring terbuka. Air liur menetes kala sinar memancar dari masakan tersebut.


Dari belakang Tasya menghampiri dan berbisik, "Apa yang kau buat?"

Aku hanya menunjuk piring kecil di meja bar. Tasya pun menggigit makanan tersebut secara perlahan. Layaknya bom waktu, keajaiban terjadi begitu mereka menggigit dalam suapan kecil.

Mereka bertiga memejamkan matanya sejenak. Tergambar jelas bom kenikmatan yang kusiapkan di dalam bola-bola tersebut menyentuh titik puasnya.

Aroma yang menggugah, cokelat yang melumer dari balik lapisan salmon tipis, juga letupan-letupan manisnya permen memenuhi ruang mulut mereka. Tidak berhenti di situ saja. Kejutan lain akan menyapa mereka begitu memakan bola kedua.

Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat, melihat mereka yang terbuai dalam ledakan fantasi makanan membuatku tenang. Ini adalah kali pertama usaha maksimal yang aku lakukan membuahkan hasil.


Aku tanpa sadar tertawa lepas begitu mendapat acungan jempol dari Tuan Leviathan dan Tuan Camael. Mereka berdua tampak puas atas hidangan yang tersaji. Inikah rasanya mengalahkan iblis dan malaikat?

Tidak lupa kuberikan sisa dari pembuatan makanan itu pada pengunjung yang lain. Mereka saling berebut satu sama lain. Ekspresi yang dikeluarkan oleh para pemimpin membuat hasrat tidak terbendung lagi. Dengan buas para iblis menyerbu piring-piring yang telah kupersiapkan, begitu juga dengan para makhluk bersayap dengan malu-malu mendekat.

Terlepas dari perangai mereka yang buruk. Aku tidak bisa membencinya atau menyalahkan nasib. Bagaimanapun juga mereka tetaplah konsumen di kedai tempatku bekerja. Tidak, hanya kesialan yang membawaku berada di tempat ini.

Andaikan proyek pembangunan datang menghampiri, mungkin aku akan berdiri dengan bangga, menyombongkan hasil studi arsitektur dari universitas itu.

Sayang sekali, keberuntungan tidak mau berteman denganku. Hasil studi tersebut membusuk dalam loker. Berbagai bursa kerja kuhadiri dengan harap menemukan sesuap nasi.


Nyatanya ekspektasi berbanding terbalik dengan kenyataan. Semakin tinggi ekspektasi maka kenyataan akan merendahkannya hingga akhir.

"Memangnya kau tidak lelah luntang-lantung di rumah begitu?" Begitulah yang sering mereka katakan padaku.

Jengah sudah pasti kurasakan. Selalu saja desah panjang yang bisa kubalaskan pada mereka. Sampai salah satu kawan membawakan brosur kedai makanan yang baru saja dibuka.

Dalam brosur tersebut tertera informasi perekrutan karyawan. Tidak ada kriteria khusus bagi sang pelamar. Mungkin ada satu persyaratan yang aneh menurutku. Tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Yah, tidak ada salahnya mencoba.

Aku berjalan menyusuri trotoar perkotaan sore itu. Tidak ada hal istimewa yang menemani sepanjang perjalanan. Polusi dari kendaraan kian meluap. Intensitas para pengendara padat merayap setelah kembali dari kegiatannya di pagi hari. Kadang, di kala memandangi mereka dari sudut jalan, ada rasa iri yang luar biasa di hati.

"Haaaaah!" desahku sedikit mengeluh.

Aku mengeluh sepanjang perjalanan. Keluhanku makin menjadi kala menyadari betapa jauhnya jarak menuju kedai tersebut. Ingin rasanya memukul dengan keras kepala kawanku itu. Ah, tapi dari dia lah aku mendapatkan brosur ini. Beruntung sekali, ia lolos dari hantamanku berkat itu.

Keringat merembes dari balik kemeja biru yang kupakai. Hawa panas sore itu menusuk dalam pikiran. Kerongkonganku mengering akibat dehidrasi. Aku menjadi teringat satu hal setelah pergi sejauh ini. Sudah berapa lamakah sejak tidak keluar dari rumah dan berpergian?

"Keparat! Seberapa jauh lagi tempat itu?" omelku sembari menendang batu waktu itu. Mendadak, sebuah bangunan aneh tertangkap oleh pandanganku.

Kulangkahkan kaki memasuki bangunan tersebut yang ternyata adalah sebuah swalayan kecil. Udara mesin pendingin ruangan menyapa bersamaan dengan seruan seorang perempuan berparas manis. Sebelum pikiranku benar-benar tersadar, bahwa ada perasaan ganjil ketika aku membuka pintu swalayan.

Kuulangi kembali gerakanku sebelumnya. Dengan sedikit mencondongkan setengah badan bagian atas ke belakang. Kurasakan kembali sensasi itu. Sensasi seperti menabrak selaput tipis sekali. Jika bukan orang dengan tingkat sensitivitas tinggi, mungkin dia tidak akan bisa merasakannya.

Begitu kesadaranku muncul ke permukaan, tempat yang tadi sekilas mirip dengan swalayan berubah menjadi kedai kopi.

Perempuan itu juga masih di sana, berdiri tersenyum manis ke arahku.

"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya waktu itu.

Ah, teringat kembali suara lembutnya menggetarkan jiwaku yang terkutuk. Aku pun membalas tersenyum kaku. Tidak, apa ini bisa dibilang tersenyum?

"Aku ingin bertemu dengan manajer toko ini," balasku basa-basi.

"Iya, orang yang di hadapanmu sekarang adalah manajer tempat ini. Apakah ada yang bisa dibantu?" Perempuan itu masih memasang senyumannya.

"Begini." Aku mendekatkan diri dengan duduk di kursi bar tepat di depan dia berdiri.

"Saya ingin melamar pekerjaan di sini. Apakah ada posisi yang kosong? Jika ada saya telah membawa berkas-berkas yang dibutuhkan."

Perempuan itu sedikit menahan tawa. Lalu dia mengambil amplop yang kuletakkan di meja bar.

"Tidak perlu terlalu formal begitu. Santai saja," ungkap perempuan itu dibarengi dengan suara tawa kecil setelahnya.

Rambutnya yang sedikit bergelombang dengan pita di ujung-ujungnya membuatku semakin terpesona. Mata bulat yang besar, bibir mungilnya, seakan-akan membawaku terbang ke langit ketujuh.

"Namamu Tony, ya?"

Impianku harus sirna akibat pertanyaan perempuan tersebut yang tiba-tiba.

"Iya, namaku Tony. Lulusan-"

"Ah, tidak perlu menjelaskannya lagi. Bukankah di sini sudah lengkap semua?" Dia menepuk berkas lamaran kerja yang kubawa.


Perempuan itu memajukan badannya. Semerbak harum wewangian menusuk indra penciumanku. Dia merubah tatapan matanya menjadi serius dan berkata, "Baiklah aku menerimamu di sini tanpa syarat. Kamu akan bekerja mulai jam delapan nanti. Bersiap-siaplah."

Aku mengangguk mantap mendengar pernyataan darinya. Namun, ada satu hal yang telat kusadari.

Itulah awal dari fakta-fakta absurd dan menjengkelkan dimulai.

~Fin~


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro