Buku Usang Milik Chippin (Hanfalis)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Muci terbaring diam di atas kasurnya. Tangannya yang di angkat telah menjadi pusat perhatiannya. Cincin perak dengan ukiran bunga mawar di tengah yang dikelilingi akar berduri itu terpasang apik pada jari manisnya.

Napas berat berembus, lelaki berambut coklat itu capek dengan segala kemungkinan. Otaknya seakan tak terlalu berguna jika dihadapkan pada hal-hal aneh seperti ini.

"Jadi pengembara ternyata susah, ya." Lagi-lagi napasnya berembus kasar, alisnya bertaut. Ia tak tahu harus berbuat apa.

Padahal jika diingat lagi kejadian musim yang berganti tiap melewati sebuah pohon itu adalah kejadian langka. Selain itu pula dia menemukan bebek yang dapat bicara di sana, akan tetapi ketika kembali ke tempat awalnya bebek tersebut hanyalah seperti bebek biasa.

"Yah, untung saja bebek itu dah kukirim ke tempat orang tuaku. Walau wajahnya terlihat agak kesal saat aku membungkusnya," kata si lelaki sambil bangun. Ketika hendak beranjak pergi, atensinya terpusatkan pada secarik kertas yang melayang masuk, melewati jendela kamarnya.

'Aneh sekali,' batinnya berkata. Pasalnya ia berada di gubuk yang ada dalam hutan, harusnya hanya daun yang dapat masuk melewati angin dan menuju kamarnya. Tetapi, ia malah menemukan secarik kertas yang telah sobek.

Muci mengambil kertas yang masih melayang itu, warnanya kuning usang. Lalu ia membaliknya, kertas sobekkan itu berisi tulisan. Tulisan yang menjanggal di hati Muci.

'Pergilah ke utara, mengikuti sisa cahaya mentari. Janganlah kembali pada bentala, hingga dirinya berhenti menari.'

Lali di bawah kalimat sebelah kiri tertanda nama yang terlihat begitu familiar. 'Chippin? Siapa dia? Aku seperti pernah mengenalnya,' pikir Muci dengan keras.

Dalam kehampaan karena ketidak tahuan itu, tiba-tiba bumi bergetar. Menyebabkan goncangan di sana dan sini. Bahkan hingga menutup jendela yang terbuat dari kayu itu, entah apa yang terjadi Muci berpegangan kuat pada kasurnya.

Mencoba untuk tak jatuh seperti barang-barang hang berada di atas nakas telah begitu. "Astaga, a-ada apa ini?" Muci ketakutan. Ia bahkan telah menutup matanya, berharap bahwa gempa itu segera berhenti.

Beberapa saat kemudian suasana menjadi hening. Diikuti oleh suara gemericik air yang mengenai atap gubuk. Membuat Muci membuka matanya dan menjadi sedikit tenang.

Alis saling bertaut, ia pun melangkah dan kembali membuka jendela kayu di sana. Alangkah terkejutnya ia saat melihat pemandangan di balik jendela.

Tidak ada pepohonan yang rimbun di sana, hanya ada langit semu berwarna kelabu dan ribuan air jatuh yang menyerbu.

Dengan perasaan aneh, Muci tahu. Rasa ini adalah perasaan sama yang ia rasakan saat musim berganti dengan begitu ajaib. Bahkan cincin mawar yang semulanya berwarna perak itu mulai bersinar, menunjukkan kepekatan berwarna biru.

Diikuti pula dengan partikel salju yang turun bersamaan dengan rintiknya air hujan. "Astaga, apa lagi ini? Benarkah aku dikutuk?" tanyanya tak tahan, ia bahkan telah membuka satu-satunya pintu penghubung antar dunia luar dan gubuk itu.

Namun, jantungnya berdegup kencang saat melihat kondisi di luar sana. Gubuk yang ia tempati seakan berada di atas menara setinggi ribuan kaki, dengan air yang menggenangi bagian dasar tak berujung itu.

"Cincin ajaib, kau yang melakukan ini?" tanyanya pasrah, lutut Muci lemas. Harusnya ia bawa saja si bebek yang lumayan membantu itu.

Ia jadi menyesali perbuatannya karena telah membungkus si bebek dan mengirimkannya pada orang tuanya.

_chip chip_

Suara decitan sedikit terdengar, membuat Muci sedikit berharap. Ia juga seperti kenal dengan kejadian ini. Lalu Muci mulai mengitari area gubuk, dimulai mengobrak-abrik kasur, mencari di kolong dan hingga membongkar satu-satunya laci yang berada di sana.

Saat laci itu tergeser nampak seekor anak ayam muncul, lalu sedikit terbang dan hinggap di pergelangan tangan Muci.

Karena tidak siap dengan itu Muci sontak mengibaskan tangannya, ia juga terpeleset akibat sprei yang membuat lantai itu licin. "Aduh, bokongku lagi," ringisnya pelan. Lalu tatapannya teralihkan pada si ayam kecil itu.

"Hey, anak ayam. Apa yang kau lakukan sampai ada di laci itu?" Ayam itu tak menjawab, ia malah terlihat seolah sedang mengukir sesuatu di atas lantai tanah itu.

"Chippin? Namamu? Lucu juga," balas Muci seakan tak sadar ia sedang dalam dunia yang aneh. Anak ayam itu seakan mengangguk, lalu ia mengetukkan paruhnya pada laci bawah yang masih tertutup.

"Mmm kau ingin aku membukanya? Baiklah." Muci menarik laci itu, di dalamnya terdapat buku yang lumayan berdebu. Muci tidak pernah tahu bahwa ada buku di dalam sana, karena wajar saja.

Gubuk ini bukan miliknya, hanya saja gubuk ini peninggalan kakek buyutnya. "Huh? Bukunya terlihat menarik." Muci terdiam memandangi buku itu.

Tatapnya menangkap tulisan sama seperti secarik kertas yang ia lihat tadi. Tangannya pun membuka buku bersampul mawar itu, di halaman pertama pula ia melihat nama yang sama. Serta beberapa nama atau entah apa itu tertulis di sana.

'Chippin membuka bulu, Kweki penuntun hulu, dan Forty si pengendali suhu.'

"Kau itu si Chippin?" tak sempat anak ayam itu berbunyi, gelegar petir menyambar. Membuat gertaran yang dahsyat hingga Muci dapat merasakan pijakannya bergetar begitu hebat.

Dengan panik ia memegang apa saja untuk menjadi penahannya agar tak jatuh, karena dapat ia rasakan juga bahwa seolah poros yang dipijaknya terasa terbalik.

Tangannya juga meraih anak ayam yang terlihat begitu ringkih itu, meninggalkan dirinya menahan diri dengan berpegangan pada pinggiran pintu.

Gubuknya terbalik, bagian yang seharusnya menjadi tembok dengan pintu itu sekarang menjadi lantai yang harus dipijaknya. Muci ketakutan setengah mati, asal kalian tahu.

Muci takut ketinggian.

Posisi tubuhnya tergantung, tangannya mulai lemas. Apa yang bisa ia lakukan? Dengan cemas-cemas ia menahan tangannya begitu kuat, akan tetapi goncangan kecil menyebabkan lepasnya tangan Muci pada pegangan.

"Oh tidak!" rutuknya tanpa bisa melakukan apa-apa. Badannya seakan terjun bebas membelakangi bentala, tangannya ia gunakan untuk merengkuh Chippin dengan begitu hati-hati.

Sambil berharap badannya tak akan remuk ketika terbentur dengan bumi.

...

916

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro