B4b 1 - B4g14n 1 - (D34th on D3c1s10n)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

https://www.youtube.com/watch?v=VQkWl6-OmR0

Central Midwest, Olnymp State (26th July 2019)

Sebuah jalan aspal berkelok membelah hutan, mengapit SUV Dodge hitam metalik yang dikendarai oleh Takeshi Oda bersama seorang penumpang—sekaligus atasannya, yakni Robin Carpenters yang duduk manis di sebelah kanan. Setelah menghadiri acara debat berita sore, mereka bertolak kembali ke markas bermaksud untuk mempersiapkan pertahanan tentara perdamaian terutama yang menyebar di Midwest County, sebuah kota kecil berada di pinggiran Central Midwest—ibu kota dari negara Olnymp State.

Tiap kali mengingat tentang Midwest County, Robin langsung merasa cemas karena pertahanan di sana sangatlah tipis. Presiden hanya mampu membantu tentara perdamaian dengan memberikan jumlah 100 pasukan elit darat, 25 penembak alat berat, 25 pasukan taktis, dan lima robot garis depan keluaran tahun 2009 yang tentu saja sering kambuh. Keadaan di Midwest County adalah paling kacau dan rawan akan serangan para pemberontak, belum lagi masih banyak masyarakat yang tinggal di sana dan menolak untuk mengungsi ke tempat lain. Semua itu karena satu faktor—kemiskinan.

Ya, mereka yang tinggal di Midwest County adalah orang-orang yang dilabel sebagai kelas bawah baik secara ekonomi ataupun pendidikan. Insiden kiamat membuat kota kecil itu seolah dianaktirikan oleh pejabat negara yang lebih mementingkan konflik makro dan terpaksa mengorbankan kota kecil ini—bukan hanya sebuah kota kecil, tetapi nyawa orang-orang tak bersalah yang menetap di sana.

"Imbecile!" seru Robin secara tiba-tiba lalu memukul dashbor mobil dengan keras sehingga membuat rekannya terkejut.

"Ada apa?" tanya Oda sesekali melirik ke tempat Robin duduk.

Perempuan itu melepas kacamatanya lalu menekan pelupuk mata dengan jari telunjuk dan jempol—menandakan respon frustrasi akan suatu hal yang tidak lain tidak bukan adalah nasib orang-orang di Midwest County. Sayup-sayup suara radio fm yang memutar lagu klasik gubahan Eric Satie berjudul Trois morceaux en forme de poire (Three Pieces in the Shape of a Pear), menyapa telinga mereka berdua serta memberikan pengaruh berbeda. Sejak kecil, Oda memang suka mendengar lagu-lagu klasik, Eric Satie adalah satu di antara banyak komposer yang diidolakannya. Iringan lagu yang tengah diputar dalam radio fm itu membantu Oda berpikir sesekali jarinya mengetuk-ketuk setir mobil mengikuti irama yang disuguhkan. Sementara bagi Robin, potongan nada dengan tempo cepat itu merepresentasikan waktu yang semakin menipis—dia membayangkan nyawa orang-orang terancam, tetapi dirinya belum bisa membantu mereka semua keluar dari penderitaan.

Gila! Kata itu yang tiba-tiba keluar dari bibir tipisnya.

"Mereka lupa dengan Midwest County, aku sangat tidak menyangka itu," kata Robin seraya menyandarkan kepalanya di kaca mobil yang dingin lalu melihat pepohonan itu bergerak cepat tertinggal dari luar sana, "Kau lihat pohon-pohon yang tertinggal di luar sana, Oda?" laki-laki itu mengangguk diiringi rasa penasaran yang mencuat, "Bayangkan pepohonan itu adalah orang-orang yang ada di Midwest County dan kita melaju cepat menggunakan mobil ini. Kau tahu apa yang terjadi?"

Oda tertawa kecil, "Mereka tertinggal?"

"Dengan sengaja," timpal Robin.

"Baiklah, berikan aku pencerahan," balas Oda yang sebenarnya mengetahui perumpaan Robin, tetapi dia pura-pura tak tahu untuk menghormati aspirasi ketuanya itu.

"Pada akhirnya kita akan melupakan Midwest County, mereka memang tidak ada harganya tetapi orang-orang yang tinggal di sana memiliki arti satu sama lain. Mereka berkeluarga, mempunyai kehidupan, mata pencaharian, dan cita-cita. Sayangnya, mata kita telah digelapkan oleh kenikmatan sehingga berujung pada ketamakan."

"Tolong lanjutkan," Robin senang mendengar respon itu dari Oda karena ia tahu pernyataannya dihargai oleh Oda.

"Bagaimanapun juga orang-orang di Midwest County tidak bersalah. Mereka layak hidup sesuai dengan hak yang ada; keamanan, kesejahteraan, dan perlakuan sama. Namun, waktu semakin menipis dan lama-kelamaan kita ..."

"Akan meninggalkan mereka dengan sengaja?" sambung Oda.

Robin hanya mengangguk karena sajak terakhir telah ditutup dengan tepat oleh Oda.

Alunan manja dari musik orkestra itu masih bermain, mereka hampir melewati daerah hutan dan memasuki wilayah Midwest County sesuai dengan papan tanda selamat datang yang terpajang di pinggir jalan. Medannya menanjak dan menurun seperti menaiki bukit.

Oda membetulkan posisi kacamatanya lalu berdehem, "Aku sudah memberikanmu dua kemungkinan saat ditawarkan Presiden untuk mempertahankan Midwest County dari pemberontakan atau merelakannya saja. Dan kau menyetujui opsi mempertahankan kota kecil itu. Lantas, untuk saat ini kita tidak bisa berbuat apa-apa selain bertahan dan mengulur waktu." Robin memutar bola matanya lalu membiarkan tubuhnya terbenam dalam jok empuk itu.

"Jadi maksudmu, keputusan yang aku ambil kemarin salah dan satu-satunya jalan keluar adalah membiarkan orang-orang itu mati dalam penderitaan?"

"Ya ampun, bukan itu maksudku," jawab Oda nadanya meninggi.

Mendengar jawaban Robin membuat Oda tersentak dan jantungnya berdegup cepat. Dia salah menafsir perkataan Oda. Keheningan pun hadir tetapi tak lama pecah ketika radio fm kali ini memutar lagu berjudul Media Vita, sebuah nyanyian yang dinyanyikan oleh para choir dengan nada penuh kesengsaraan karena liriknya mengandung makna untuk meminta pertolongan kepada Tuhan di saat-saat genting.

Oda memutuskan untuk menghentikan mobilnya di pinggir jalan, tak lupa menyalakan lampu hazard lalu turun dan menyaksikan pemandangan kota kecil Midwest County dari atas jalanan bukit yang menurun. Robin semakin kesal dengan kelakukan penasihat perangnya yang tiba-tiba menghentikan mobil tanpa seizinnya.

"Apa aku menyuruhmu berhenti?" tanya Robin ketus dia sudah berdiri di samping Oda.

Sedang laki-laki itu berkacak pinggang kemudian memejamkan matanya seraya menghela napas panjang. "Kau bisa merasakan dan mencium bau itu, Robin?"

Secara otomatis Robin melakukan persis seperti yang dilakukan oleh Oda. Memang benar, ada yang berbeda dari suasana dan aroma di kota kecil itu.

"Aku mencium bau ... asam?" jawab Robin ragu.

Lagi, Oda terkekeh.

"Why the fuck are you smirking about?" tanya Robin seraya mengernyitkan dahinya.

Kali ini Oda melepas kacamatanya lalu menautkan tatapan mereka sambil menyimpulkan senyum tipis. Dari tatapan tersebut Robin dengan jelas bisa melihat iris hitam laki-laki berparas lembut itu. Dan lewat tatapan mereka pula, Robin paham kalau Oda melepas kacamatanya ada hal serius yang ingin diutarakan.

"Bau asam yang kau cium berasal dari bubuk mesiu peluru yang ditembakkan dan bom yang diledakan dalam pertempuran di kota kecil ini secara terus menerus. Rupanya, partikel atom dari dua benda tadi menyatu dengan udara, sehingga menyebabkan oksigen di wilayah ini sangat berbahaya karena terkontaminasi zat asing. Singkatnya, udara yang dihirup di sini sama beracunnya dengan belerang walaupun tidak secara instan langsung membunuhmu, tetapi seperti sifat zat beracun pada umumnya—dia membunuh secara perlahan."

Robin menyaksikan kota kecil yang berkabut dari atas jalanan berbukit. Hatinya makin teriris mendengar ucapan tangan kanannya. Ia memegang dada karena merasakan penderitaan orang-orang di Midwest County.

"Perkataanku di mobil tadi berhubungan dengan fenomena ini serta keputusanmu memilih untuk melindungi Midwest County. Maka dari itu, aku memberikanmu dua kemungkinan sebelum membuat sebuah keputusan karena aku telah memperhitungkan dampaknya: 1. Jika kau memilih untuk melindungi kota ini, ancaman sesungguhnya bukanlah hadir dari para pemberontak, melainkan dampak dari pertempuran yang kita lakukan; zat kimia dari bubuk mesiu dan ledakan bom, memperkeruh tingkat polusi di wilayah ini karena tak hanya udara yang terancam, tetapi kualitas makanan dan air bersih juga terkena imbasnya."

Robin terjatuh di atas tanah batu kerikil yang berhasil melukai lututnya. Matanya berkaca-kaca ketika melihat orang-orang di bawah sana terpaksa beraktivitas seperti biasa di bawah ancaman yang kapanpun bisa merenggut nyawa mereka.

"Kedua: jika kau memilih untuk merelakan kota direbut oleh pemberontak. Aku tidak yakin orang-orang yang tinggal di Midwest County akan hidup aman. Pemberontak pasti akan merekrut dan menjadikan sandera untuk sebuah tebusan, tak menutup kemungkinan juga mereka dibunuh oleh para pemberontak. Pada akhirnya, orang-orang itu tetap menderita tak peduli keputusan yang kau pilih," Oda berjongkok di hadapan Robin lalu menyeka air mata yang meleleh di pipinya, "Aku memberitahu semua ini bukan bermaksud untuk menjatuhkanmu. Namun, inilah kenyataan yang kita hadapi sehari-hari. Aku ingin kau menyadari ini sebelum terlambat, Robin."

Perempuan itu meringkuk dalam dekapan lututnya yang mengeluarkan darah. Dia menangis sejadi-jadinya karena merasakan penderitaan orang-orang tak bersalah di bawah sana. Ambisinya untuk memulihkan perdamaian tersandung karena keputusannya sendiri. Ditambah lagi, kata-kata Oda bagaikan anak panah yang ditembakan tepat ke hatinya—menyakitkan dan tak bisa ditarik kembali.

"A-andaikan aku tidak mengambil keputusan, semua ini pasti tak akan terjadi. Aku gagal, Oda. Aku gagal," isak Robin yang tak berani menatap Oda.

"Kau tidak boleh menyerah, Robin. Kita belum berada setengah jalan untuk merealisasikan ambisimu. Asal kau tahu," Oda mengenakan kacamatanya lagi, tanda ia siap memberikan simpati kepada rekannya, "Selama 29 tahun hidup, aku bertekad untuk mencari seorang pemimpin yang layak untuk aku layani. Selama bertahun-tahun pula, aku selalu gagal menemukan pemimpin yang sesuai dengan kriteriaku. Kebanyakan dari mereka hanya menginginkan popularitas, kekayaan, dan kebahagiaan pribadi—semua berlandaskan keserakahan. Sampai pada akhirnya, aku bertemu denganmu," Oda mengangkat dagu Robin, kali ini ia dapat menatap penderitaan dari sorot mata itu, di sisi lain Oda yakin kalau Robin akan bangkit kembali, "Aku bergidik ketika mendengar kalimatmu tentang kebajikan dan perdamaian, 'aku tidak akan membiarkan orang-orang menderita, karena jika itu terjadi maka aku gagal untuk memulihkan perdamaian. Biarkan aku yang menderita, kalau perlu mati bersama mereka, aku siap menghadapinya!' sejak saat itu, aku yakin bahwa kau adalah pemimpin yang layak aku layani."

Ketika Oda ingin membantu Robin berdiri, dia menolak. Namun, Oda semakin terkejut saat menyaksikan Robin bersujud di hadapan Oda, tanpa sadar pula kening Robin ikut berdarah karena menempel pada alas batu kerikil.

"Aku mohon, jangan tinggalkan aku, Oda. Aku masih butuh bantuanmu. Aku masih membutuhkanmu. Bantu aku pulihkan kembali perdamaian, jika gagal, kau boleh memenggal kepalaku."

"Robin, apa yang kau lakukan?! Bangunlah, aku tidak akan meninggalkanmu," pinta Oda lalu membantu rekannya itu berdiri dan menyeka kerikil serta darah yang mengalir dari keningnya menggunakan sapu tangan, "Mengawal keputusanmu adalah tanggung jawabku, kesetiaan merupakan satu hal yang bisa kutawarkan padamu. Jangan pernah melakukan itu lagi, karena kau adalah orang yang paling kuhormati di dunia ini. Kau dan ambisi perdamaianmu, Robin."

Suara sayup-sayup lagu orkestra dari mobil SUV itu masih terdengar. Langit pun mulai gelap dan udara dingin perlahan menggigit tulang punggung. Oda membantu Robin duduk di jok mobil, jalannya sempoyongan karena lemas akibat menangis. Kemudian ia membantu Robin untuk menenggak air mineral dalam botol hingga habis. Oda berdecak kagum lalu menyimpulkan bulan sabit di bibirnya.

"Jauh lebih baik?" tanya Oda memastikan.

Robin tersenyum dengan salah satu ujung bibirnya. Sebelum menyalakan mesin mobil, ponsel Robin berbunyi dan terdapat angka '04' di layarnya.

"Sekretaris Presiden?" sebut Robin lirih.

"Angkat saja," ujar Oda yang sudah duduk di depan kemudi.

Robin menyeka air mata lalu menghela napas panjang agar dirinya tetap tampil profesional tak peduli bencana yang baru saja dihadapinya. Suara berat terdengar dari seberang sana seperti orang yang ingin mengintimidasi lawan bicaranya, "Carpenters, pada pukul delapan pagi esok di Gedung Oval, Presiden menunggumu untuk sebuah rapat terbatas bersama penasihat militer dan perwakilan anggota kongres. Dia membutuhkan pandanganmu."

Belum sempat menjawab, sambungan telpon telah terputus. Robin menggigit bagian bawah bibirnya lalu menatap Oda dengan cemas.

"Menurutmu, apa alasan Presiden mengadakan rapat terbatas ini?" tanya Robin seraya mengenakan sabuk pengaman.

Sekali lagi dengan pembawaannya yang tenang, Oda merespon jawaban pemimpinnya itu, "Kukira aku tahu apa yang direncanakan oleh Presiden," akunya singkat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro