B4b 1 - B4g14n 10 (Farew3ll, My Br0th3rs)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seorang petugas medis sibuk menjahit luka bekas anak panah yang menancap pada otot Robin. Dengan sangat telaten ia menarik jarum menembus kulit pemimpinnya yang menganga—darah berwarna merah kehitaman itu mengalir, petugas medis bergegas menyekanya dengan kassa. Sementara Robin hanya menunduk dan menjaga ekspresi wajahnya tetap datar. Rasa sakit luka jahitnya tidak seberapa dibanding hati yang remuk mengingat jumlah prajurit yang tumbang semalam. Robin menghela napas panjang. Dia meremas celana kargonya yang terkoyak dan bernodakan darah.

"Tahan, Direktur. Sebentar lagi selesai," ucap petugas dengan rambut cepak rapih itu dari balik masker. Peluh sebesar biji jagung berjatuhan dari dahinya.

Robin tidak menjawab. Tenda tempatnya melakukan operasi kecil terasa pengap, tank top hitamnya telah kuyup karena air keringat, sebuah radio komunikasi tergeletak di ujung tenda mengeluarkan bunyi sayup-sayup prajurit yang masih sibuk mengevakuasi warga sipil beserta rekan mereka yang gugur di medan tempur. Telinga Robin bergerak tiap mendengar kata K.I.A (Killing In Action)* dari radio, sekaligus merontokkan potongan hatinya secara perlahan.

Walaupun bala bantuan tiba, tetapi jumlah prajurit yang gugur sangatlah banyak. Robin memejamkan mata sambil membayangkan kengerian itu. Suara kesengsaraan dan jerit tangis menggema di telinga, bau anyir darah serta serpihan otak menempel di hidung tiap kali menghela napas, ditambah sekumpulan orang terbakar hidup-hidup begitupun mereka yang terkena ledakan sehingga potongan tubuhnya terpisah terekam jelas pada memori kepalanya. Robin pun mengusap kening berulang kali, mencoba sekuat tenaga agar tayangan horor itu cepat berakhir. Ia mengecap mulutnya yang terasa asin karena darah. Entahlah, mungkin bukan hanya darah Robin saja, pasti telah bercampur milik orang lain.

Petugas medis melilit lengan kirinya menggunakan perban. Bau alkohol menyengat tercium dari tempat prajurit paruh baya itu duduk. Di tengah lautan suara prajurit yang ada di luar tenda, Robin mendengar seseorang memanggil namanya. Berulang kali orang itu bertanya, "Hey, kau tahu di mana Direktur Robin berada?" sesekali memasuki tenda-tenda yang ada di garis depan. Butuh beberapa menit baginya untuk menemukan tenda Robin.

Ketika berdiri di mulut tenda, ia melihat seorang perempuan berambut pirang gelap di atas bahu nampak berantakan membelakanginya. Petugas medis baru saja selesai mengikat perban kemudian berdiri dan memberi hormat saat menyadari Penasihat Oda berjalan tergopoh ke tempat Robin berada.

"Terima kasih, Dok. Kau boleh meninggalkan kami," pesan Oda singkat.

"Baiklah, sebelumnya aku hanya ingin menyarankan agar Direktur Robin beristirahat mengingat luka panahnya cukup dalam. Aku juga menemukan cidera ringan pada engkel kirinya, tetapi Direktur ..." petugas itu menarik masker ke bawah dagu.

"Tetapi?" ulang Oda cemas, ia telah berlutut di depan Robin yang nampak lelah dan pucat.

"Dia menolak untuk beristirahat. Aku khawatir dengan kesehatan Direktur," lanjutnya. "Untuk saat ini, jangan sampai ada yang memancing emosi Direktur karena lukanya cukup serius."

Oda sepakat dengan penjelasan petugas medis yang baru saja meninggalkan tenda. Tersisa mereka berdua—bertemu pasca pertempuran. Sekarang waktu menunjukkan pukul empat pagi. Keduanya hening—tak menyapa satu sama lain. Radio mulai senyap tetapi derap kaki orang-orang di luar tenda menemani mereka. Robin mencoba untuk mengangkat bahu kirinya yang kebas. Namun rasa sesak mulai menyerang paru-parunya. Perempuan itu menundukkan kepala membiarkan keringat dingin berjatuhan dari dagu. Ia memberi kode kepada Oda dengan menepukkan dada berulang kali.

Lalu Oda mengambil sebuah kantong muntah, sementara Robin telah menahan empedu pahit yang sampai di ujung tenggorokannya. Ia pun muntah—mengeluarkan rasa gugup dan mual yang mengocok perutnya sejak tadi. Oda mengusap tengkuk Robin dengan perlahan hingga pemimpinnya selesai.

"Astaga, Robin. Kau harus beristirahat," kata Oda lirih.

Namun Robin tak sepakat—ia mengangkat wajahnya yang pucat dari kantong muntah lalu menggelengkan kepala berulang kali. Oda menggulung lengan kemeja seraya menyeka sisa muntahan Robin dengan sapu tangan.

"Setidaknya biarkan kau berbaring, Robin. Bagaimanapun juga, tubuh dan pikiranmu—" Oda melepas sepatu boots Robin, alasnya lengket karena menginjak darah dan tanah, "Mereka butuh istirahat. Tolong dengarkan aku sebagai Penasihatmu—atau sebagai teman," lanjutnya.

Robin menggeser posisi duduknya sehingga ada ruang bagi Oda untuk duduk di kasur lipat. Laki-laki itu tak punya pilihan lain, ia melepas kacamata yang berembun kemudian menuruti permintaan Robin. Radio di ujung tenda kembali berbunyi mencuri perhatian keduanya.

"Katakan padaku Oda," ujar Robin suaranya serak, "Bagaimana jalannya rapat dengan Presiden semalam?"

"Kita bisa mendiskusikannya—"

"Sekarang!" timpal Robin ketus.

Oda menghela napas panjang kemudian menengok ke arah Robin yang masih terfokus dengan radio komunikasi. Mata hijau sayunya menyiratkan rasa lelah, tetapi Robin tak peduli.

"Aku telah memperingatkanmu, Robin. Jika kau memaksa untuk memprioritaskan hierarki, baiklah akan kuturuti perintahmu."

Gelagat lelaki itu berubah drastis. Oda membiarkan jeda sekitar 10 detik mengurung mereka. Di sisi lain, Robin merinding menyaksikan penasihatnya yang seketika merubah suasana menjadi cukup mencekam. Oda menautkan tatapan tajam dari balik lensa tipis—Robin kenal tatapan itu, sebuah tatapan yang hendak menyampaikan berita tidak mengenakkan.

"Sebelum masuk ke topik pembahasan, aku ingin bertanya satu hal yang sangat pokok mengingat pertanyaanku ini berkaitan dengan hasil rapat bersama Presiden dan Panglima Militer."

"Tanyakan saja," balas Robin intonasi suaranya merendah.

Kemudian Oda berdiri sambil mondar-mandir di depan Robin. Tangannya dilipat ke belakang, "Dari 110 kesatuan Faurlin dan Hamilton yang kau kirim ke garis depan pertahanan, termasuk 50 prajurit yang kau bawa semalam untuk misi penyelamatan; berapa sisa keseluruhan prajurit The Heaven Wrath yang kita miliki sekarang?"

"Tersisa 35 prajurit; 20 prajurit yang ikut bersamaku dari markas utama dan 15 prajurit adalah sisa dari kesatuan Faurlin juga Hamilton yang masih selamat," jawab Robin lalu merasakan jantungnya berdegup cepat karena cemas mendengar tanggapan Oda selanjutnya.

Lelaki itu berhenti seraya melihat langit-langit tenda yang diterangi sebuah lampu berwarna putih kebiru-biruan. Pancaran wajahnya menampilkan sedikit penyesalan setelah mendengar jawaban Robin. Ia pun menunduk sambil membatin, Wahai Surga, apakah duka dan kesedihan ini telah kau takdirkan dari jauh-jauh hari? Oda nampak gelisah, belum pernah selama bekerja dengannya, Robin melihat gelagat penasihatnya seperti ini.

"Aku punya kabar buruk untukmu, Robin," ujar Oda sesekali terpaku saat melihat perban yang melilit lengan si pemimpin. Empatinya terpukul, tak peduli jika Oda ingin bersikap profesional semaksimal mungkin—Robin sudah sangat istimewa di matanya.

"Say it," kata Robin ragu, "Say it frankly, so we can plan for the next step."

"Tidak ada lagi bantuan Angkatan Militer dari Pemerintahan; Panglima Jenderal Lyndonn telah menutup hubungan bilateral antara The Heaven Wrath dan Angkatan Militer Olnymp State. Kita terisolasi menghadapi konflik dengan pemberontak—sementara mereka semakin kokoh dan siap bertempur kapan saja."

Penjelasan Oda, bagaikan ribuan peluru panas yang menghujam tubuhnya. Robin mengepalkan tangan, napasnya memburu senada dengan degup jantung semakin cepat. Untuk sesaat, adrenalinnya kembali memuncak.

"Insolence," ucap Robin lirih kemudian berdiri, "INSOLENCE!" kali ini ia berseru sambil memukul radio komunikasi yang sedari tadi mengirim kabar buruk secara intens.

"Robin, hentikan!" Oda berdiri di belakangnya. Para prajurit di luar sana masih sibuk mengerjakan perintah Robin. Namun mereka tidak tahu bahaya yang mengintai. Oda menghampiri secara perlahan, memastikan bahwa Robin baik saja walaupun ia tak berhenti memegangi lengan kirinya.

"Sudah 2 tahun aku menjaga garis depan pertahanan Midwest County. Tiap penetrasi yang dilancarkan oleh para pemberontak selalu diredam, tetapi Angkatan Militer bungkam. Aku hanya meminta satu bantuan kecil mengingat sebuah bom meratakan garisun terdepan The Heaven Wrath, lantas mereka segan untuk membantu lagi?" Robin terkekeh—mengejek Panglima Jenderal yang terlintas dalam benaknya. "You are swine, Lyndonn!"

Oda berdehem kemudian memohon agar Robin kembali duduk. Cara berjalannya pincang, belum lagi noda darah merembes dari perban. Perempuan itu meringis kesakitan karena adrenalinnya kembali normal. Oda duduk di sampingnya sambil memejamkan mata untuk mencerna kata-kata Robin sebelum memberi pencerahan sebagaimana tugas seorang penasihat.

"Aku mengerti alasan Jenderal Lyndonn melakukan ini—tidak lain tidak bukan adalah meruntuhkan kesatuan The Heaven Wrath. Presiden mempercayai The Heaven Wrath bersama kesatuan kepolisian untuk meredam pemberontak sebagai ancaman internal, sementara Angkatan Militer fokus menghadapi konflik eksternal," Oda mengulum bibirnya yang kering sebelum melanjutkan, "Lyndonn adalah tipikal pemimpin yang ambisius dan haus akan kekuasaan. Sebelum aku diutus olehmu untuk pergi ke rapat terbatas, aku telah memperhitungkan semua ini: bom meledak di garis depan pertahanan, pemberontak memaksimalkan peluang ini demi merebut Midwest County, dan The Heaven Wrath lumpuh—satu-satunya harapan adalah meminta bantuan kepada militer. Namun seperti yang sudah kusebutkan, Lyndonn bukanlah orang yang tulus. Jika kau ingin meminta bantuan, kau harus membayar." Oda tersenyum tipis bukan untuk mengejek, melainkan sepakat dengan cacian Robin bahwa Lyndonn adalah bedebah yang merusak sistem negara mereka, "Singkatnya, Lyndonn sangat membenci The Heaven Wrath. Demi mengambil alih kekuasaan penuh militer, dia harus melenyapkan kesatuan kita. Insiden ini merupakan peluang emas bagi Lyndonn untuk menyaksikan detik-detik kehancuran The Heaven Wrath. Pada kesimpulannya, jika bukan pertolongan Presiden. Kau sudah lenyap dan kepalaku dipenggal karena gagal meminta bala bantuan."

Robin menyimpulkan senyum karena tahu presiden tetap membantu walaupun bala bantuan yang dikirim bukan lagi ranahnya. Robin pun menjatuhkan kepalanya pada pundak Oda.

"Lantas, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Robin suaranya melunak.

Pertanyaan itu terdengar mudah di telinga Oda. Namun, perbedaan prinsip keduanya memungkinkan jawaban Oda tidak akan diterima oleh Robin.

"Katakan saja, Oda. Aku sangat membutuhkan pencerahanmu," lanjut Robin yang dapat mencium bau cologne bercampur keringat dari kemeja penasihatnya.

"Kita harus mundur dan menarik semua pasukan dari garis depan pertahanan untuk meninggalkan Midwest County," kata Oda lalu memperhatikan Robin sedang menggenggam kalung dog tag seraya memejamkan mata.

Mundur. Kata itu bagaikan pecut mengerikan sehingga membuat Robin lari ketakutan. Ia membayangkan pecut tersebut adalah para pemberontak yang berhasil mengusir The Heaven Wrath atau Tentara Perdamaian dari garis depan pertahanan. Nasihat Oda memintanya untuk mundur adalah perkara serius yang tidak bisa disepakati oleh Robin begitu saja. Sejak dua tahun lamanya, The Heaven Wrath berhasil melindungi Kota Midwest County. Kala itu, Robin masih berusia 23 tahun dan menjabat sebagai Kapten Elit di bawah pengawasan Direktur Jenderal Winston Carpenters—yang saat ini menjadi Presiden Olnymp State.

Usianya memang belia, tetapi kemampuan politik dan militer Robin sudah menonjol bahkan sejak dirinya masih remaja. Ketika Winston Carpenters dilantik sebagai presiden, Robin pun dipercaya untuk memimpin The Heaven Wrath pada usia yang masih menginjak 24 tahun. Muda memang, tetapi para perwira The Heaven Wrath sepakat jika Robin menjadi Direktur Jenderal. Bagaimanapun juga, sebelum Winston resmi menjadi kepala negara ia memberi petuah yang harus dipatuhi oleh Robin.

"Jika ada persoalan serius tentang keutuhan militer The Heaven Wrath; kau harus merembukannya bersama Kapten Hamilton. Di sisi lain, jika persoalan itu tentang strategi jangka panjang maupun pendek, kau harus mendiskusikannya bersama Oda. Mereka berdua adalah cahaya dalam kegelapan. Kau harus mengingatnya, Anakku."

Ya, Robin adalah anak angkat dari Presiden Winston.

Langit sendu masih menyelimuti Midwest County seolah mewakili perasaan Robin. Kapten Hamilton belum ada kabar, sementara keputusan untuk menarik mundur kesatuan The Heaven Wrath harus dirembukan terlebih dahulu dengan Hamilton.

Robin menghadapi dilema mengingat keputusan harus segera dibuat; apakah dia harus mendengarkan nasihat Oda atau tetap berpegang teguh dengan pesan ayahnya?

"Some battles you win, some battles you lose," kata Oda memecah keheningan, "Robin, pasukan kita hanya tersisa 35 prajurit, belum lagi banyak warga sipil yang memerlukan bantuan. Menurutku akan sangat kontras dengan tujuan awalmu menolong warga sipil, di satu sisi kau ingin mempertahankan Kota Midwest County. Jika kita mundur sekarang lalu memasok suplai logistik dan mengisi kembali kekosongan yang ditinggalkan oleh para prajurit gugur. Kau akan memiliki peluang besar untuk merebut lagi kota ini; ingatlah—kota hanya sebuah tempat, orang-orang yang tinggal di sanalah membuat kota itu menjadi hidup," ujar Oda mantap, suaranya sedikit menekan walaupun tetap terdengar lembut.

Namun Robin masih sangat ragu untuk memutuskannya—bukan berarti dia tidak percaya dengan Oda, melainkan Robin yang tidak mau mengkhianati perintah ayahnya. Selain itu, Midwest County sudah ia anggap sebagai kota yang istimewa. Memang, tempat itu tidak memberikan kebutuhan materiel baginya. Akan tetapi, saat melihat anak-anak kecil berlari ceria dan menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga mereka adalah kebahagiaan hakiki yang faktanya dirindukan pula oleh Robin.

Dia rela memberi apa saja agar orang-orang tak berdosa itu tetap bahagia. Bagaimana dengan nyawanya? Tentu, asalkan orang-orang yang diperjuangkan olehnya tidak merasakan kepedihan dan trauma masa kecil yang dialami oleh Robin Terbesit bulan sabit dari bibir tipis si pemimpin, mengundang rasa lega dalam hati Oda yang masih membiarkan kepala Robin bersandar pada bahunya.

"Aku selalu kagum dengan analisismu, Oda. Akan tetapi, aku tidak bi—"

Belum selesai Robin merampungkan kalimatnya. Sersan Emily dengan wajah bernodakan abu dan rambut berbau bubuk mesiu tergopoh-gopoh menghampiri Robin. Dari gelagatnya yang panik, sepertinya ada kabar buruk lagi. Emily langsung berlutut dengan kedua lututnya yang lemas. Raut wajahnya pun lesu dan pucat.

"Di—Direktur," panggil Emily, suaranya bergetar.

Robin berjalan dengan pincang ke tempat Emily berlutut. Tentu, Oda bantu memapah Robin dari samping. Bau asam bercampur anyir tercium dari udara yang ada di luar tenda. Awan mendung masih menguasai garis depan pertahanan The Heaven Wrath.

"Bangunlah, Emily. Kau tidak perlu berlutut di depanku," ujarnya lembut kemudian mencoba untuk membantu Emily berdiri.

Namun tindakan Emily selanjutnya membuat Robin semakin terkejut—Sersan Emily sujud di hadapan Robin dan menangis sejadi-jadinya bahkan tangisannya berhasil menohok ulu hati Robin mengingat kondisi mereka yang sedang kalah.

Emily pun angkat bicara. Ia memberikan kabar yang tidak mengenakkan tetapi harus tetap disampaikan, "Kami menemukan jasad Sersan Mike pada sebuah parit—pemberontak melucuti baju dan kalung dog tag ­miliknya. Ia hanya mengenakan celana dalam saat ditemukan. Beberapa prajuritku sempat melihat jasad Sersan Mike ..." tangisnya semakin keras meninggalkan tatapan kosong bagi Robin yang tidak menyadari butiran embun telah jatuh dari pelupuk matanya. "Mereka melihat para pemberontak bersorak kegirangan dan melempar-lempar jasad Sersan Mike di udara...."

Jika kau ingin memenggal kepala Direktur Robin, kau harus langkahi mayatku terlebih dahulu.

Kata-kata itu ... Robin tak menyangka akan kehilangan Mike di saat-saat genting seperti ini. Ia merasakan tubuhnya hilang kendali. Oda langsung menangkap Robin sesaat sebelum kepalanya mencium tanah.

"Mike?" panggil Robin lirih.

Kali ini Tamtama Lance muncul dengan gelagat sama—banjir keringat dan menampilkan raut wajah panik. Siapapun yang melihat Lance dapat langsung menebak bahwa tamtama berusia 19 tahun dengan rambut cepak rapih itu baru saja menangis.

"Dear God, not again," ujar Oda lemas seraya menahan Robin sudah mulai kehilangan kesadaran.

Lance berlutut di sebelah Emily yang masih sujud dan tersedu. Suasana itu semakin memperkeruh duka dari kabar yang akan disampaikan oleh Tamtama Lance, "Kami menemukan jasad Kapten Hamilton yang digantung di mulut stadion bisbol dan kepala Letnan Faurlin yang dipenggal lalu dijadikan trofi oleh para pemberontak," tangis pun pecah dari prajurit kelas satu itu.

Kali ini Robin tak mampu berkata-kata. Pandangannya kabur, tetapi dia bisa melihat sekelabat tiga sosok prajurit andalannya tersenyum ke arah Robin.

"Saudaraku," panggil Robin sambil membalas senyum mereka, "Tinggallah sebentar, aku rindu kalian."

"Robin, sadarlah. Kau harus bertahan," ujar Oda cemas.

"Oda?" sahutnya diiringi tangis yang pecah ketika sadar tiga prajuritnya—saudaranya, telah hilang ditelan cahaya. "Mundur ... aku perintahkan kita mundur," napas Robin memburu dan pandangannya mulai gelap.

Robin Carpenters tak sadarkan diri pada pangkuan Oda setelah menerima kabar buruk bertubi-tubi.

https://www.youtube.com/watch?v=SNw-7GZzib8

***

Footnote:

Killing In Action: Gugur dalam medan tempur

A/N:

Mengingat konflik sudah mulai kompleks, setelah ini gw akan membuat struktur hierarki pada Organisasi Pemberontak, The Heaven Wrath, dan Pemerintahan Resmi.

Semoga berkesan! Stay safe y'all.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro