B4b 1 - B4g14n 13 (G4sligth1ng!)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

The Heaven Wrath Main Camp

Beberapa dari warga sipil telah sampai di markas utama The Heaven Wrath (20 mil dari garis depan pertahanan). Max sedang duduk di dalam sebuah tenda, seorang perawat melilit perban pada dahinya kemudian menyeka noda-noda darah yang menempel di lengan serta kaki. Sebuah roti lapis dan segelas teh hangat belum disentuh oleh Max. Perutnya berbunyi dan tenggorokannya terasa kering tetapi belum bisa berkompromi dengan rasa mual yang dialami pasca tayangan horor saat Max berjalan tak berarah di dalam kabut kematian. Para korban ledakan itu-baunya-suara penuh kesengsaraan-luka mereka.

Max langsung menutup kedua telinga. Matanya membelalak lebar kemudian merasakan keringat dingin mulai bercucuran membasahi tubuh. Perawat mencoba untuk menenangkan Max. Namun laki-laki yang masih mengenakan seragam bisbol bernoda abu dan debu itu sangat ketakutan setengah mati.

"Tenanglah, kau sudah aman sekarang. Hei, siapa namamu?" tanya si perawat lalu menggenggam kedua lengan Max yang sangat tegang.

Di dalam pikirannya, Max melihat orang-orang itu masih tersiksa menjadi bahan bakar Neraka. Radiasi semakin melebar membuat bala bantuan harus mundur secara teratur. Sedikit yang mereka tahu, orang-orang itu masih hidup dan berharap nyawanya cepat di angkat karena tak tahan dengan siksaan. Max membungkam mulutnya, seorang perempuan sekaligus perawat itu mulai kewalahan menghadapi Max.

"Tenanglah, kau harus-"

Alam bawah sadarnya mengambil alih-rasa takutnya mengendalikan. Kedua tangan Max telah mencekik perawat itu dengan keras sehingga membuatnya kesulitan bernapas. Piring roti lapis dan gelas teh pecah berserakan di atas lantai. Suara perawat tersebut terdengar seperti orang yang tersedak-mulutnya terbuka dan tertutup dengan cepat seolah tidak ada lagi udara di sana.

Max hilang kendali.

Sekelabat Max dapat melihat sosok yang dicekik olehnya adalah Adrianne. Perlahan Max mulai melemaskan cengkeraman, Adrianne pun bisa bernapas walaupun terbatuk-batuk dan tubuhnya tersungkur di bawah. Ia mengucek mata berulang kali untuk memastikan bahwa perawat itu benar kakaknya. Max menghampiri dengan perlahan kemudian memegang pundak Adrianne terliha serakah menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

"A-Adrianne, itukah kau?" tanya Max suaranya bergetar.

Tebakannya salah, ternyata dia hanya perawat yang barusan mencoba untuk membantu. Max menggelengkan kepala karena tidak percaya. Perempuan itu mengingsut menjauh dari Max tak peduli rok putih selututnya kotor noda tanah, tatapan takut terpancar dari kedua matanya. Max sangat menyesal, perlahan dia menghampiri perempuan yang baru saja dicekik-ada bekas merah keunguan menghiasi lehernya.

"Menjauhlah!" pekiknya kemudian berlari meninggalkan Max.

Ketika penutup tenda terbuka, Max bisa menyaksikan orang-orang berbaris di bawah langit mendung diselimuti asap pekat bekas ledakan. Beberapa dari mereka turun dari truk, sisanya harus dibopong karena sudah terbujur kaku. Ia menelan ludah, semua berjalan dengan gerak lamban. Sebagian prajurit sibuk mendata warga sipil lalu menulis pada sebuah catatan. Namun ada satu hal yang mencuri perhatian Max saat seorang wanita paruh baya berlari turun dari atas truk kemudian memohon kepada prajurit untuk mencari anaknya yang masih hilang.

Max terdiam lalu merasakan suhu dingin mulai menusuk tulang punggungnya. Bagaimana kabar ibu? Max berlutut lemas sambil menundukan kepala. Lagi, pertanyaan itu muncul di kepalanya: bagaimana keadaan ibu di rumah sakit jiwa sekarang? Semakin menyelam ke dalam pikirannya, makin terasa tikaman pisau yang menusuk hati rapuhnya.

"Bagus sekali, kau hampir saja membunuh perawat tadi."

Suara dengan nada tinggi memiliki konotasi sarkas itu menarik perhatian Max kemudian menengok ke sumber bunyi. Ia melihat ada dua orang remaja perempuan-salah satunya terlihat lebih kurus dengan rambut di atas bahu berwarna coklat tua, alis tipisnya diangkat sebelah seakan menantang Max yang sedang bersimpuh di bawah, perempuan itu mengenakan jaket hoodie berwarna hijau army diikuti celana ripped jeans yang terlihat lusuh-bernodakan tanah atau memang sengaja dibuat kotor karena dari sudut pandang pecinta celana jeans-semakin lama kau tidak mencuci celana jeans-mu, makin mahal juga harganya.

"Kau pura-pura tuli, ya? Biar kuperjelas lagi," perempuan itu menepuk-nepuk celana kemudian menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Hei, Kawan! Kau baru saja melakukan percobaan untuk membunuh seorang perawat yang faktanya perawat itu seharusnya memeriksa kami, dasar idiot!"

Teman perempuannya yang terlihat agak gemuk dengan rahang tegas memincingkan mata-tanda tak setuju dengan perbuatan temannya. Rambut pirang gelapnya di cepol tetapi beberapa helai rambut keluar dari ikatannya sehingga meninggalkan kesan berantakan. Ia mengenakan kaus lengan pendek berwarna peach dan celana jeans biru dongker. Max juga dapat melihat pergelangan tangan sebelah kiri perempuan itu dihiasi sebuah gelang dengan lambang bintang Daud yang terjuntai.

"Maaf, aku menyesal," kata Max datar.

"Oh, you bet, asshole!" hina perempuan itu lagi sehingga membuat temannya terusik kemudian beranjak lalu menghampiri Max. "Hei, kau mau ke mana?"

Perempuan yang terlihat sedikit lebih gemuk itu bersimpuh di depan Max seraya mengulas senyum ramah dan menyobek roti lapisnya untuk berbagi. Ia terlihat tenang lalu menawarkan setengah potongannya kepada Max seakan lupa insiden percobaan pembunuhan tadi.

Kesepakatan itu kembali mencuat dari dalam pikiran Max. Roti lapis ditawarkan oleh perempuan ramah yang ada di hadapannya mengundang rasa rindu kepada Adrianne yang kabarnya belum diketahui. Seseorang pernah berkata padanya jika kebersamaan akan lebih bermakna ketika orang itu sudah tidak ada. Yup, pemilik kata-kata itu adalah Adrianne dan begitulah yang dirasakan oleh Max sekarang. Walaupun dia belum mengetahui keberadaan kakaknya, tetapi rasa kehilangan benar-benar nyata seperti mencabik hati Max menjadi kepingan puzzle.

"Mari buat perjanjian: kau harus mencetak angka atau home run untukku, jika gagal kau harus membuatkan roti lapis kesukaanku tiap hari hingga bulan depan. Jika kau berhasil mencetak angka, aku akan selalu menyiapkan bekal untukmu hingga bulan depan, sepakat?"

Max mengambil roti lapisnya kemudian menggigit dan mengecap selai rasa stroberi- yang juga kesukaan Adrianne. Ia menyunggingkan salah satu ujung bibir sebagai respon terima kasih, tanpa sadar setitik embun jatuh dari mata kirinya karena roti lapis yang dimakan oleh Max benar-benar mengingatkan pada Adrianne.

Ia mencoba untuk menelan dalam-dalam rasa mual dan potongan rekaman mengerikan yang dialaminya beberapa jam lalu. Max hanya ingin menikmati kebahagiaan fananya bersama Adrianne karena tahu penyesalan yang dirasakan lebih menyakitkan.

Awal tahun 2019 merupakan tahun berat bagi keduanya karena harus memutuskan untuk menaruh ibu di Rumah Sakit Jiwa Midwest County. Max tidak sepakat dengan ide tersebut, tetapi Adrianne bersikeras untuk menyepakatinya mengingat kondisi ibu sudah di luar kendali mereka berdua. Max sangat ingat perdebatan mereka, nada suara Adrianne yang meninggi, hujan lebat yang mengguyur rumah, dan ibu telah di bawa oleh petugas rumah sakit jiwa.

***

"Do you think I want this shit happened, Max? Do you think I have an intention from a fucking long time ago to put, MY OWN MOTHER, in the asylum?" Adrianne berseru di hadapan Max sementara lelaki itu terbangun dari sofa untuk memastikan pintu kamarnya tertutup rapat dan mendekatkan wajah keduanya.

"You're the one whose made that decision. You don't even discuss it with me first and suddenly-you sign an fucking agreement with the official to put MOM there!" Max melempar jari telunjuknya dengan tegas seakan mengarah ke rumah sakit jiwa-tempat ibu akan berlabuh. Adrianne terkekeh karena tak percaya dengan jawaban adiknya. Air mata mulai mengalir deras membasahi pipinya yang memanas.

"You are gaslighting me, how the fuck you dare to do that?! I was lived with my decision that I regretted since I was 8 years old. EIGHT-FUCKING-YEARS-OLD, MAX! Dad was died because of me and I do not want to make another selfish decision just to regret it later!"

Max menaruh kedua tangannya di kepala. Kakaknya salah menginterpretasikan kata-katanya sementara nada suara Adrianne semakin meninggi diiringi tangisan emosional. Hujan lebat mengguyur daerah rumahnya, sehingga perdebatan mereka tersamarkan dengan suara angin ribut di luar sana.

"It has NOTHING to do with you, Adrianne. It was THE CAR CRASH who took DAD's life. It fucking has nothing to do with you! You don't have to point a GUN on yourself-and making you as an excuses. Do you think I'm not aware with that? You always finds out about my fucking mistake-when I was falling short you came to blame the fucked out of me-and now THIS? You fucking made yourself as an excuses while the matter of fact you're just pointing a GUN on me!"

Adrianne memejamkan mata seraya menengadahkan kepala dan merasakan rahangnya bergetar hebat, "BLAME ME ALL YOU WANT! If I'm stick to keep Mom at the house, then what? See her dying with her lunatic mind and let her harm herself while we're not watch her? Do you think you're the one whose fight for Mom? Then what am I, Max?! A fucking psycho who want to let her own Mother suffer with that Skizo?"

Situasi emosional itu turut mengudang butiran embun jatuh dari pelupuk Max. Ia melihat kakaknya menggigit kuku jari-mencoba untuk meredam rasa cemas di tengah konflik yang memanas. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam, Adrianne masih mengenakan seragam toko kelontong tempatnya bekerja sementara amplop surat yang isinya telah dibaca oleh Max tergeletak di atas nakas.

"You're fucking insane, Adrianne. You give up on us with that decision and the scary part was you're not even realise that you've already merged with the selfishness while making this decision. She is not lunatic, she just need our help!"

Adrianne menghentak kakinya dengan keras di atas lantai kayu menyebabkan bunyi derap cukup kencang, "You are telling me that I am THE BAD GUY and you're the one who have the salvation plan for Mom? You are insolence! I'm fucking done with you ... I wish the situation exchanged that you had DIE and Dad had lived; so that I do not need to made this fucking decision at all!"

Kalimat itu bagaikan petir yang menyambar hati Max. Keheningan mengurung keduanya, Adrianne kemudian mengusap wajah berulang kali karena menyesal akan perkataannya. Ia mendekati Max yang menjaga jarak dengannya. Kakak beradik itu terisak-tak ada ayah ataupun ibu yang menenangkan dan memeluk keduanya. Hanya mereka dan suara hujan lebat dari luar sana.

Daun pintu terbuka menampilkan Kakek Doyle yang basah kuyup dengan raut wajah penuh kekhawatiran karena mendengar keributan dari kamar Max. Ia telah ditelpon oleh Adrianne pada pagi hari untuk datang ke rumah mengingat keputusan yang akan diambil terkait nasib ibu. Namun, Kakek Doyle menyesal karena baru bisa berangkat pada pukul tujuh malam dan inilah yang dilihat oleh mata kepalanya setibanya di rumah cucuknya.

Adrianne telah bersimpuh dan terisak begitupun Max-duduk sambil menundukan kepala di pinggiran Rajang. Kakek Doyle menggerakan kaki rentanya untuk membaca sepucuk surat yang terdapat di atas nakas. Ia mengambil kacamata pada saku kemejanya yang basah kemudian membaca dengan saksama isi surat tersebut.

Bibirnya bergerak tetapi tidak bersuara ketika membaca surat. Namun pada pokoknya, Kakek Doyle merasakan hati yang teriris bukan hanya karena isi pesannya saja -melainkan, Adrianne dan Max masih terlalu muda untuk membuat keputusan yang bahkan belum tentu bisa dipertimbangkan dengan baik oleh Kakek Doyle.

Ia menaruh kembali surat itu kemudian merangkul Max yang sedang tersedu di pinggir ranjang, "Adrianne, kemarilah," panggil Kakek Doyle parau. Adrianne menuruti lalu duduk di sebelah kakeknya.

Ketiganya saling merangkul dan bertukar emosi. Tangisan Adrianne semakin keras sehingga Kakek Doyle harus merespon dengan mengusap punggungnya berulang kali. Ia menatap langit-langit atap mencoba untuk menerjemahkan insiden yang dialami oleh kedua cucuk tersayangnya adalah hal paling tidak adil sedunia. Max mengeratkan dekapannya kepada kakek, lelaki 15 tahun itu menangis pilu.

"Maafkan aku, Max ... sungguh, maafkan kebodohaku," kata Adrianne terbata-bata.

Max hanya bungkam. Kata-kata yang terlontar dari mulut Adrianne bagaikan peluru tajam yang tak bisa ditarik kembali. Justru Max terpaksa harus merasakan rasa sakit itu tak peduli jika ia mencoba sekuat tenaga untuk melupakannya-kalimat Adrianne akan tetap membekas.

***

"Oh yang benar saja, dasar pasangan aneh!" kata perempuan yang sedari tadi menghina Max kemudian berlalu meninggalkan tenda.

Max menyeka air matanya dengan punggung tangan sementara perempuan 'roti lapis' itu mencoba untuk menghibur dengan menepuk lembut bahu Max dua kali.

"Terima kasih atas roti lapisnya, namaku Max," ujarnya ramah seraya menawarkan jabat tangan.

Perempuan itu tidak langsung mejabat tangan Max. Ia mengambil sebuah catatan kecil yang nampaknya penting dari saku celanannya-bentuk catatan itu seperti flipbook disertai gambar. Max pun membuka tiap lembar dari halaman catatan tersebut.

Max tak percaya dengan apa yang dibaca. Mulutnya terperangah dan alisnya menyatu kemudian membaca catatan tersebut di dalam hatinya.

"Namaku Amanda Gwindwell-" Max membuka lembar selanjutnya, "Kau bisa memanggilku Amanda-" kemudian lembar selanjutnya, "Aku tuli, tapi jangan khawatir. Aku bisa membaca gerak bibirmu-" Max menautkan sorot matanya kepada perempuan bernama Amanda yang sedang menggigit potongan terakhir roti lapisnya, "Jika kau tidak bisa bahasa isyarat, izinkan aku menulis untukmu."

Kali ini Amanda menawarkan ulang jabat tangan mereka. Max masih terpana sambil menatap kedua mata Amanda yang berwarna coklat tua. Akhirnya mereka saling mejabat tangan.

"Amanda Gwindwell, senang berjumpa denganmu," kata Max perlahan, disusul senyum manis yang terulas dari wajah Amanda karena tahu mereka sudah resmi menjadi teman.

***

Honorable mentions:

An massive thank you for ChocoLia_for supporting me until this chapter. Hopefully you can held on till very end, yes? Ehehe. Mau bilang terima kasih juga atas kutipan yang kupinjam pada tulisan di atas, semoga berkenan yaaa.

Anyway, jangan lupa untuk meninggalkan jejak berupa vote ataupun komen. Jika berkenan dan suka sama cerita ini, boleh di share ke temen kalian juga. Enjoy the show and stay safe folks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro