B4b 1 - B4g14n 7 (Inn0c3nt Cry)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kakek Doyle telah mengemasi barang bawaan yang siap dibawa untuk melakukan ekspedisi darurat: mencari kedua cucuknya dalam tekanan perang berdarah ini. Sebuah duffle bag berwarna hijau cerah itu menyimpan sedikitnya beberapa kaleng makanan dan botol minuman, bir, setelan pakaian sehari-hari, peluru senjata laras panjang yang biasa ia bawa untuk berburu, dan obat-obatan pribadi. Kakek Doyle menyuruh Leal masuk ke dalam mobil pikap klasiknya, perjalanan ini akan terasa panjang jika seorang pria renta menyetir sendirian.

Sebetulnya, Kakek Doyle sangat ragu mengajak anjing kesayangannya ini menemani dalam ekspedisi. Namun, ia akan merasa semakin gusar untuk menitipkan kepada tetangga atau kerabat yang dikenal. Ikatan tuan dan anjingnya merupakan sebuah takdir. Kakek Doyle telah menganggap Leal sebagai anaknya sendiri. Saat Kakek Doyle tengah merasa kesepian, dia hadir menemani sembari duduk pada pangkuannya. Ketika Kakek Doyle menelpon cucuknya dan menyebut nama "Adrianne", Leal pasti berlari dari beranda rumah lalu menggong manja sebagai ucapan rindu untuk Adrianne. Ikatan keduanya sungguh tak terpisahkan bahkan sekadar meninggalkan Leal sebentar demi bekerja di tambang membuat perasaan Kakek Doyle tidak nyaman.

Anjing berwarna keemasan itu mengeluarkan kepala dari jendela seraya menjulurkan lidah. Kakek Doyle menyalakan mesin mobilnya yang terdengar lembut seperti Leal saat sedang mendengkur. Mobil pikap merah ini memang terlihat tua seperti dirinya, tetapi Kakek Doyle sangat telaten untuk merawat dan mengganti oli ataupun suku cadang secara berkala. Semua terlihat terorganisir dengan baik, walaupun Kakek Doyle melakukan perjalanan ini dadakan. Pelatihan disiplin selama tinggal di barak militer masih diaplikasikan sebagaimana mestinya, Kakek Doyle membetulkan posisi topi berwarna hitam dengan logo tim bisbol kesukaannya dan Max, kemudian membuka ritsleting jaket coklat polos yang sudah pudar menampilkan baju polo sebagai dalamannya.

Mereka berhenti sebentar di sebuah pom bensin 24 jam. Sekarang sudah memasuki pukul 11 malam yang artinya waktu bagi Kakek Doyle menjemput kedua cucuknya semakin menipis. Ia telah menggonta-ganti saluran radio fm tetapi yang terdengar hanyalah suara statis.

"Tunggu di situ, Nak," pinta Kakek Doyle kepada Leal kemudian berlalu menuju kasir untuk membayar.

Di dalam toko kecil dengan dinding kayu itu terdapat beberapa orang tengah menonton tv yang ditaruh di atas kasir. Sebuah tayangan berita menampilkan kekacauan terkini menimpa Midwest County. Seorang reporter berita mengenakan helm dan rompi anti peluru sedang mendeskripsikan apa yang dilihatnya. Letusan senjata dan cahaya yang berasal dari sebuah ledakan mewarnai tayangan tersebut. Kakek Doyle memincingkan mata, memastikan bahwa kejadian yang dilihatnya lewat tabung kotak tersebut bukanlah rekayasa.

Hatinya teriris ketika mendengar suara reporter itu bergetar dan sesekali menunduk saat terjadi ledakan tak jauh dari tempatnya melaporkan berita. Orang-orang yang berada di toko saling bertukar pikiran, terlihat raut kecemasan nampak dari wajah mereka. Sementara Kakek Doyle mengingat kedua cucuknya terutama Adrianne setelah melihat rasa takut yang terpancar dari reporter perempuan dari tv.

Dia merasa gagal menjadi orang tua bagi kedua cucuknya. Ia ingat bagaimana Adrianne selalu menyempatkan diri bertanya kabar hampir tiap malam, memastikan bahwa Kakek Doyle baik-baik saja dan memberi tahu bahwa kabar keduanya sangat baik dari Midwest County. Begitupun Max yang antusias bercerita tentang pertandingan bisbol di sekolah. Topi yang dikenakan oleh Kakek Doyle merupakan hadiah ulang tahun ke-65 dari Adrianne dan Max. Namun apa daya, Kakek Doyle belum bisa memastikan kabar mereka berdua.

"Oh, selamat malam Kakek Doyle! Apa yang membawamu kemari?" sapa seorang kasir pria berambut gondrong dan berbadan tambun itu disusul sapaan dari orang-orang lain yang baru sadar Kakek Doyle tengah berdiri di antara mereka.

"Barry, aku hanya mampir untuk membayar bensin," jawab Kakek Doyle dengan suara parau khasnya kemudian menaruh lembaran dollar di atas kasir.

Kasir bernama Barry itu menengok ke luar jendela dan melihat mobil Kakek Doyle yang di dalamnya ada Leal si anjing dan satu hal mencolok baginya adalah—senjata laras panjang ditaruh dengan posisi berdiri di jok sopir.

"Kau ingin pergi ke mana, Kek?" tanya Barry lagi dengan nada ramah lalu memasukkan lembaran dollar ke dalam mesin kasir.

"Yah, kau bisa menyimpan kembaliannya, Barry," sahut Kakek Doyle ketus kemudian berlalu meninggalkan toko.

Barry mengernyitkan dahi. Semua orang yang ada di dalam toko sepakat berpendapat kalau Kakek penggerutu itu akan pergi dari kabin tempat tinggalnya. Namun, Kakek Doyle tidak peduli. Pikirannya hanya terfokus pada kedua cucuknya. Melihat fenomena yang terjadi dari tv membuat Kakek Doyle semakin khawatir dengan kabar kedua cucuknya.

Woof!

Gonggongan itu membuyarkan lamunan Kakek Doyle yang duduk membatu di depan kemudi. Ia pun tersenyum sambil mengusap-usap kepala Leal.

"Aku—aku sangat merindukan mereka, Nak...."

Kakek Doyle tak kuasa menahan kepedihan yang menusuk bagaikan belati tajam. Ia menitiskan embun kemudian Leal memelas dan berpindah pada pangkuan tuannya. Perjalanan masih amat panjang, sementara kabar Adrianne dan Max belum jelas. Langit malam terlihat gelap pekat meninggalkan suhu dingin yang menggigit.

Mesin mobil kembali menyala. Tangisan singkat itu memiliki arti lain agar Kakek Doyle dapat bangkit demi menyelamatkan kedua cucuknya. Ia telah hidup selama 72 tahun. Tercatat pernah mengabdi untuk negara sejak usia 18 tahun melalui program wajib militer dan berhenti saat menginjak usia 27 tahun. Keluarganya tidak harmonis, ayahnya adalah pemabuk akut yang suka memukuli Kakek Doyle saat masih muda. Tak luput pula, tinju telak itu terkadang mendarat di wajah ibu dan kakak kandungnya yang autis.

Kakek Doyle tidak ingin masa lalu kelamnya menimpa Adrianne maupun Max. Ia bahkan rela tidak menikah demi membawa kabur ibu dan merawatnya hingga ajal menjemput. Walaupun demikian, kakaknya yang autis dianugerahi kehidupan lebih baik dan memiliki keturunan seorang anak perempuan yang nantinya menjadi ibu kandung bagi Adrianne dan ibu angkat Max.

Napasnya memburu senada dengan detak jantung yang berdegup cepat ketika mengingat kembali masa-masa kelam itu. Kakek Doyle menggenggam erat kemudinya sementara kaki rentanya menginjak pedal gas dengan sungguh-sungguh, sehingga membuat kecepatan mobilnya meningkat drastis. Sosok pria yang dibencinya kembali hadir menghantui Kakek Doyle—sosok berbadan tegap dengan rambut cepak dan tatapan sinis itu menyeringai dalam kepalanya—dia adalah ayah kandung Kakek Doyle, si pemabuk akut.

Tak peduli sebenci dan seberapa jauh Kakek Doyle meninggalkan ayahnya. Dia akan selalu menemukan Kakek Doyle karena bagaimana pun juga, konflik yang terjadi di antara mereka berdua adalah cerminan bahwa Kakek Doyle belum mampu berdamai dengan dirinya sendiri.

***

Seragam bisbol putihnya bernodakan darah dan abu. Max merasakan peluh berjatuhan dengan cepat dari dahinya. Ketika melihat sekeliling, semua terlihat kacau balau; reruntuhan gedung menimpa orang-orang, potongan tubuh yang berceceran seperti serpihan daun, dan bau darah yang terbakar tercium jelas. Max menutup hidungnya dengan telapak tangan. Dia terus berlari tak berarah dalam kabut pekat sementara suara letusan senjata dan jeritan manusia meneror telinganya.

Tiba-tiba Max terjatuh ketika menabrak seseorang yang ada di hadapannya. Ia meringis seraya mengelus bokong yang mendarat di atas potongan beton lalu menyadari orang yang ditabrak olehnya juga ikut terjatuh. Ketika Max hendak menghampiri orang tersebut, ia mendengar rintihan dan suara tangisan dari balik kabut—suaranya banyak sekali, seperti kerumunan lebah yang panik karena sarangnya diserang.

Selanjutnya, Max tak percaya apa yang dilihat oleh mata kepalanya. Napas Max menggebu, matanya membelalak lebar, dan dengkulnya bergetar hebat sehingga ia terjatuh lagi. Max melihat potongan mimpi buruk—gambaran neraka, sebuah parade kematian.

Orang-orang itu berjalan tak berarah sambil merintih kesakitan—kata-kata yang keluar dari mulut mereka pun terdengar tidak jelas. Wajah meleleh seperti mentega yang dipanggang di atas api, tubuh gosong imbas dari ledakan, beberapa orang masih memiliki bola mata tetapi meggantung keluar bagaikan yoyo, kulit hidung meleleh meninggalkan tulang dan sisa daging yang hangus. Mereka merintih meminta tolong. Semuanya bagaikan neraka, Max kencing di celana saat menyaksikan orang-orang itu meleleh akibat ledakan bom.

Dia tak lagi bisa membedakan mana laki-laki dan perempuan. Semua terlihat sama, kulit luar meleleh bercampur darah, nanah, dan noda abu. Max merasakan pergelangan kakinya digenggam oleh tangan kasar, sebuah tangan dari orang yang baru saja ditabrak jatuh olehnya. Max tak mampu berkata apa-apa. Dia merasakan dingin yang menusuk bagian belakang tengkuknya, salah satu bola mata orang itu menjejeh sementara yang satu lagi tergantung keluar.

"To-long. Pa-nas."

Max tak mampu berteriak. Dia bisa mencium bau daging yang terpanggang. Tak lama kemudian, ia pun mati setelah muntah darah. Max melepaskan genggaman tangannya, ia merasa bahwa semua ini mimpi. Dia terus berlari melewati gerombolan orang-orang mengerikan yang berbau menyengat itu.

Sampai akhirnya lengan Max ditahan oleh seorang tentara dengan pakaian serba hitam dengan sebuah logo bertuliskan "The Heaven Wrath" dan wajah ditutupi masker gas anti racun. Para prajurit muncul dari kabut, jumlahnya sekitar sepuluh orang. Max merasakan genggaman erat dari tentara yang memegang lengannya.

"Bagaimana dia bisa selamat dari radiasi ini?" ujar tentara itu monolog lalu membawa Max keluar dari kabut tersebut.

"Hey, Bung, kau yakin zona merah radiasi ini berjarak 3 mil dari garis depan pertahanan, bukan?" tanya tentara yang sedang membawa Max kepada rekan yang ada di sampingnya.

"Iya, kita berada jauh dari garis depan," jawab rekannya kemudian kedua tentara dengan masker gas itu menengok ke tempat Max—mereka heran, bagaimana Max bisa selamat dari radiasi pasca ledakan?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro