B4b 1 - B4g14n 8 (D4v1d vs G0li4th)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Memasuki pukul 1 pagi pertempuran masih berlangsung sangat sengit. Robin membawa tujuh dari sisa pasukan tactical-nya untuk kembali memperkuat poros sentral yang mulai kewalahan menghadapi gempuran pemberontak. Untuk menuju ke poros sentral tidaklah mudah karena hujan peluru bisa saja menembus tubuhnya. Ia memberi aba-aba pada kesatuan Sersan Mike yang siap memberi perlindungan dari tengah.

"Baiklah, dengarkan aku. Kita mungkin kalah jumlah, bukan berarti kita harus menyerah. Warga sipil yang terjebak di garis depan perlahan telah kita bawa keluar. Ingat! Ratusan warga sipil telah kita selamatkan," Robin menepuk bahu Kopral Galantine yang masih setia di sisinya, "Misi kita saat tiba di garis depan adalah menyelamatkan warga sipil dan kesatuan dari Kapten Hamilton serta Letnan Faurlin keluar dari peperangan ini. Sudah separuh jalan kita berhasil, tinggal separuh lagi bertahan bersama kesatuan Sersan Mike dan Sersan Emily yang sudah berkumpul di poros sentral," lanjutnya.

"Direktur Robin, apakah bala bantuan yang dijanjikan oleh Penasihat Oda akan tiba?" sahut Tamtama Lance yang membungkuk kelelahan di hadapan pemimpinnya. Terdengar suaranya sedikit bergetar karena rasa takut.

Robin melepas masker gas yang sedari tadi ia kenakan, disusul oleh para prajuritnya yang melakukan hal sama. Kali ini, wajah lelah dan pucat dibanjiri peluh terpancar dari raut masing-masing. Robin mendekatkan dirinya kepada Lance lalu membantunya berdiri.

"Tenang saja, bantuan akan tiba bahkan kita tak akan menyadari kehadirannya," kata Robin suaranya terdengar sedikit serak akibat berteriak terus-menerus. Dia melihat beberapa prajuritnya seperti kehilangan napsu untuk bertempur-kaki terkena luka tembak, seragam compang-camping akibat peluru nyasar, dan bibir kering karena haus belum lagi menghadapi efek radiasi bom membuat hati Robin tergerak sementara pertempuran hebat masih terjadi pada titik sentral. "Penasihat Oda tidak akan meninggalkan kita ... dan aku," Robin melempar kontak mata kepada enam prajurit yang melingkarinya, "Aku akan merasa terhormat jika bertarung sampai mati bersama kalian. Pada pokoknya, kita tidak bisa melupakan jargon The Heaven Wrath, katakan bersamakau wahai Saudaraku, apa bunyi jargon itu!" Robin mengangkat senjatanya ke angkasa.

"Leave no man behind!" seru para prajurit serempak dan berhasil membuat Robin merinding.

Setelah seruan itu terlontar, Robin beserta sisa dari kesatuan taktis langsung pergi ke poros tengah. Mereka berlari dari sayap kanan, ketika Sersan Mike dan Sersan Emily menyaksikan pemimpin mereka hadir, lantas langsung menembak ke arah musuh secara serempak sehingga kesatuan Robin dapat selamat menuju tempat berkumpul.

"Sersan Mike, Sersan Emily! Aku sangat senang bertemu kalian," seru Robin sumringah.

Kesatuan mereka akhirnya berkumpul kembali di poros sentral. Sisa pasukan dari heavy dan light infantry menyatu bersama tactical unit merupakan sebuah elaborasi mematikan tak peduli jumlah mereka yang tinggal sedikit. Mereka berlindung pada sebuah lubang besar bekas ledakan untuk menghindari hujan peluru. Memang, persediaan peluru mulai menipis, paramedis sedikit demi sedikit kehabisan bahan pokok, dan banyak prajurit mulai berguguran. Namun, mereka tetap bersatu di bawah panji "The Heaven Wrath" demi melindungi warga sipil dari ancaman para pemberontak.

"Direktur Robin, kau tidak apa?" tanya Sersan Emily cemas.

Robin tertawa tetapi tidak terbahak, sesekali ia menunduk saat ada ledakan terjadi di dekat lubang tempat mereka berlindung. "Tentu, aku tidak apa," imbuhnya.

"Direktur, kau punya rencana untuk menghadapi serangan pemberontak yang mulai menyentuh pertahanan terakhir kita?" sambung Sersan Mike dengan napas tersekal dan rasa haus mulai meneror dahaganya.

"Kita akan menerapkan taktik Oda untuk berkumpul di poros sentral hingga bantuan tiba. Apapun yang terjadi jangan sampai lengah dan hematlah peluru," jelas Robin seraya menembaki pemberontak yang terlintas di matanya.

"Di mana sisa pasukanmu, Direktur?" tanya Sersan Emily-lagi.

Robin menengok ke tempat Emily tengah tiarap. Ia menelan ludah kemudian menyunggingkan salah satu ujung bibirnya, "Aku mengutus sepuluh pasukan taktisku untuk pergi ke zona merah radiasi aktif kurang lebih 3 mil dari sini, untuk memastikan bahwa masih ada warga sipil yang terjebak di sana. Sementara aku membawa sepuluh sisanya untuk bantu memperkuat poros tengah; sayangnya, aku kehilangan tiga orang ketika pergi ke tempat ini."

Sersan Mike lalu berdehem dan menyikut Sersan Emily. Di sisi lain, Emily meng-aduh atas respon yang diberikan oleh Mike. Laki-laki dengan rahang tegas dan berewok tipis itu mendelik ke arah Emily agar tidak melanjutkan pertanyaan bodoh yang hanya memperkeruh suasana.

"Aku harap kesatuan yang kukirim ke zona merah baik-baik saja," pungkas Robin.

Kedua sersan andalannya mengangguk paham. Mereka lalu membantu Robin melumpuhkan pasukan pemberontak yang mulai mendekat. Namun tanpa disangka, hujan bom molotov tiba-tiba membanjiri tempat berlindung mereka dengan api-sialan, molotov. Para pemberontak tahu senjata pamungkas di saat-saat terakhir peluru mulai menipis yakni membakar musuh hidup-hidup.

"Astaga, kita harus berlindung ke sisi lain!" seru Mike sambil menyeret Emily yang hampir terbakar pecahan api molotov.

"Cepat, bawa prajurit keluar dari lubang ini!" tekan Robin yang membantu prajuritnya untuk mundur.

Robot terakhir milik The Heaven Wrath akhirnya meledak akibat terbakar bom molotov. Hawa panasnya juga mulai menyengat dan membakar sisa dari pasukan perdamaian tersebut. Robin melihat sekeliling, tak percaya apa yang disaksikan oleh mata kepalanya. Para prajurit menjerit kepanasan, ada yang berlari tak terarah karena lidah api mulai melilit hidupnya, dan jeritan takut terdengar santer meneror telinganya.

Seorang pemberontak melompat dari lautan api dengan garang. Ia mengenakan gas masker bernodakan darah, meregangkan panah untuk siap menembak ke arah Robin, dan rompi anti peluru yang sudah terkoyak ketika menyergap pasukan The Heaven Wrath. Semua terlihat dengan gerak lambat, Robin tak mampu berkutik saat anak panah dari besi baja melesat dan menancap lengan sebelah kirinya.

Pemberontak itu berdecih dari balik masker karena tembakan anak panahnya meleset. Melihat kejadian yang mengancam nyawa Robin membuat Sersan Mike berseru dari arah belakang kemudian melompat kembali ke dalam lubang tersebut dan secara tidak langsung menjadi arena pertempuran satu melawan satu-antara Sersan Mike dan pemberontak yang menggunakan panah.

Pemberontak itu melepas masker gasnya. Tatapannya tajam seperti harimau yang lapar, rambut coklat gelapnya berbaur dengan langit malam, dan badan atletisnya merepresentasikan karisma sebagai seorang kombatan perang. Ia menaruh busur panah di tanah lalu mengeratkan sarung tangan sedari tadi ia kenakan seraya menantang Sersan Mike bertarung dengan tangan kosong.

"MIIKEEE!" seru Robin dari atas lubang itu.

"Emily, cepat bawa Direktur pergi dari sini. Biarkan aku membantai orang berengsek yang berani menyakiti Direktur Robin," suruhnya datar.

Sebuah intonasi yang tidak disukai oleh Robin karena tahu Mike sangat bersungguh-sungguh untuk melakukan duel. Di sisi lain, ia kenal reputasi dari orang yang baru saja menembakkan anak panah dan menantang Mike bertarung satu melawan satu itu. Dia adalah Aidan Lee-Komandan Perang dari pasukan pemberontak. Belum pernah kalah ketika melakukan duel-satu melawan satu. Kuda-kudanya mantap seperti petarung andal yang merangkap jabatan sebagai malaikat maut. Ya, Aidan Lee memiliki julukan Malaikat Maut saat bertarung di medapn tempur. Reputasi inilah yang ditakuti oleh Robin. Ia khawatir akan nasib salah satu sersan andalannya-bukan karena Robin tidak percaya, melainkan Mike sudah bertempur berjam-jam, sebagai manusia biasa dia pasti kelelahan. Sayangnya, Mike telah gelap mata akan sifat arogan.

"MIIIKEEE!" seru Robin sekali lagi. Ia melawan ketika Sersan Emily dan Tamtama Lance hendak membawanya pergi dari lubang tersebut. Air mata meleleh dari pelupuknya. Perasaannya mulai diselimuti warna biru-dadanya seperti ditimpa benda yang sangat berat-semua bermuara pada satu hal; nyawa Sersan Mike. "MIIIKEEE!" panggil Robin-lagi. Sementara tubuhnya mulai bergejolak karena anak panah yang menancap lengannya merobek daging sehingga darah mengucur dari sumber luka.

Sersan Mike menoleh sambil tersenyum ke arah Robin hingga barisan gigi besarnya terlihat. Robin sangat mengingat perjuangan Mike dan Emily ketika promosi menjadi seorang sersan. Mereka berdua adalah prajurit gigih, pemberani, dan memiliki dedikasi tinggi untuk membela keutuhan Olnymp State pada umumnya dan The Heaven Wrath secara khusus. Dia sangat mengingat bagaimana tingkah laku konyol Mike yang sering mengganggu Emily ataupun kesatuan lainnya dengan ide jahil; seperti mematikan lampu kamar mandi dan menyembunyikan jangkrik di bawah bantal seseorang. Mike sangat menyukai lagu-lagu tahun 80-an dan kerap kali bersama rasa percaya dirinya yang tinggi, menyanyikan lagu Woman ciptaan John Lennon dengan lantang padahal suaranya sangat sumbang.

Namun, hal-hal bodoh itu yang sangat berkesan dan melekat dalam dirinya. Robin tidak ingin kehilangan Mike-dia sangat takut. Takut kehilangan seseorang yang rela memberikan nyawa demi membela Robin.

Duel itu pun telah berlangsung. Pasukan pemberontak melingkari lubang tersebut sambil bersorak mendukung komandan mereka. Aidan melancarkan serangan pertama dengan memukul rahang bawah dengan telak sehingga membuat Mike meludah darahnya. Mike mengejek pukulan Aidan dengan sebuah tawa, tetapi tenggelam dalam sorakan pemberontak. Keduanya saling adu jotos; tulang retak, gigi patah, dan darah menjadi sorotan utama pertarungan tersebut. Sampai memasuki menit kesepuluh, akhirnya pandangan Mike mulai kabur dan napasnya terasa sangat berat. Darah terus mengucur dari hidung dan mulutnya. Sementara Aidan hanya mendapat luka lebam di bagian pipi sebelah kiri dan rasa sakit mulai menusuk tulang rusuknya.

Mike mungkin memiliki badan yang lebih besar ketimbang Aidan. Namun, sepuluh menit berdarah dimenangkan oleh Komandan Pemberontak. Prajurit The Heaven Wrath itu pun berlutut karena kakinya tak mampu untuk berdiri lagi. Berulang kali ia terbatuk-batuk kemudian muntah darah. Belum pernah seumur hidupnya, Mike merasa selelah dan sesakit ini.

Aidan meraih belati yang disaku pada sepatu boots-nya yang dihiasi bercak darah kental. Ia berdiri di hadapan Mike-dingin, seperti malaikat maut hendak mencabut nyawa korbannya. Pasukan pemberontak berseru, "Bunuh! Bunuh! Bunuh!" berulang kali. Tengkuk Mike merinding hebat, jantungnya berdegup cepat. Namun, inilah konsekuensi yang harus diterima olehnya.

Kekalahan telak bermuara pada kematian.

"Cepat lakukan, biar aku menunggumu di alam sana untuk bertarung lagi," pinta Mike terbatuk-batuk.

Tanpa basa-basi, belati itu berhasil menggorok leher Sersan Mike. Laki-laki berbadan besar tumbang bersimbah darah-menggelapar seperti binatang yang baru saja dibantai. Pupil matanya berubah menjadi putih. Satu lagi, prajurit andalan Robin gugur di medan perang.

"Dear, my enemy. You already fought hard. Let this blade bid you the farewell ceremony as I am respect your death," ungkap Aidan lirih sementara wajahnya telah dibasahi darah Mike dari eksekusi tersebut.

Ketika para pemberontak merayakan kemenangan mereka. Seorang prajurit berseru bahwa ada bala bantuan dari pihak pemerintah datang untuk menyerang balik para pemberontak. Prajurit mata-mata itu melapor kepada Aidan bahwa tiga pesawat tak dikenal dan lima buah helikopter little birds terdeteksi melalui radar. Dengan segenap tenaga terakhir, Aidan memutuskan untuk menyuruh pasukannya mundur dan berhenti mengejar sisa kesatuan The Heaven Wrath.

(Pesawat Siluman B-2 Bombardier; tidak dikenal dalam radar)

(Helikopter Little Birds)

"Kita mundur. Jangan biarkan angkatan udara mereka merenggut kemenangan kita malam ini!" ujar Aidan kemudian berlari dengan cepat menuju kegelapan.

Namun, tidak semua pasukannya sadar akan perintah tersebut. Saat pesawat-pesawat tiba, banyak pemberontak yang terkena ledakan dan senapan mesin mematikan dari angkatan udara milik pemerintahan. Aidan sempat berdiri sebentar, menyaksikan sisa prajuritnya yang meledak dan tewas di babi buta oleh hujan peluru. Emosinya kembali meletup-letup. Ia berseru dan mencoba untuk menyerang balik angkatan udara, tetapi langkah Aidan ditahan oleh dua rekannya yang sedari awal berjuang bersamanya.

"Kau tidak bisa melakukan ini, Aidan, kita harus mundur sekarang!" paksa seorang laki-laki dengan wajah Persia dan berewok lebat yang menahannya dari belakang.

"Aidan! For God sake, we have to leave this place!" sahut rekan perempuannya yang mengenakan logo medis di lengan kiri dan menahan Aidan dari depan.

Ledakan dari bom yang dijatuhkan pesawat siluman B-2 berhasil meratakan bangunan, kendaraan, dan kesatuan garis depan pemberontak dengan tanah. Melihat kesempatan ini membuat semangat Robin kembali memuncak. Ia tahu anak panah itu masih menancap pada lengan kirinya. Namun, sangat disayangkan jika kesatuan terakhir dari The Heaven Wrath mundur padahal pasukan pemberontak sudah lari ketakutan akibat bombardir dari angkatan udara.

Robin berdiri di hadapan para prajuritnya. Dia terlihat sangat aneh, helaian rambut pirang gelap tertiup angin, sorot matanya tajam seperti predator berdarah dingin. Pendapat Emily dan Galantine yang memintanya untuk mundur sudah tidak dihiraukan lagi. Robin tidak peduli dengan anak panah yang tertancap. Ia melihat ke bawah-ada noda darah dan sebuah panji negara mereka yang terkoyak akibat tertembak peluru. Robin mengangkat bendera itu sesekali meringis kesakitan dari luka yang masih menempel pada lengannya.

"The Heaven Wrath!" panggil Robin. Sisa dari pasukannya telah berkumpul menjadi satu dan siap menunggu perintah Robin selanjutnya. Bau bom napalm yang dijatuhkan oleh angkatan udara tercium sangat jelas di hidungnya, jeritan pemberontak yang kesakitan menggebu genderam dalam hatinya, kali ini Robin siap melancarkan serangan pamungkas.

"SALLY FORTH!"* seru Robin dengan garang.

Para prajurit pemberani dari The Heaven Wrath pun kembali terjun ke medan tempur dan membunuh sisa dari para pemberontak yang tidak sempat mundur dari sana. Suara mesin pesawat dan baling-baling helikopter seperti lonceng kematian bagi mereka. Di satu sisi, suara itu bagaikan titik balik bagi The Heaven Wrath untuk membalas dendam.

Aidan dipukul mundur.

Robin maju tak gentar.

Oda, kau berhasil, terima kasih, sebut Robin dalam hatinya hingga tak sadar embun telah membasahi pelupuk mata sang pemimpin.

***

Footnote:

Sally Forth: Maju/serang (sebuah perintah resmi dari kamus militer untuk melakukan serangan pada babak kedua dan seterusnya)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro