Tragedi-Kelima Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

S.P. Ahim (dunia asli)

Jumat

Pagi itu peserta kemah bersiap untuk hiking. Bantara mengatakan bahwa putra harus ikut semua untuk setelah itu mengikuti salat Jumat, maka dari itu putra yang mengurus stand konsumsi harus diganti putri. Alya dan Atun memutuskan Fina dan Alifa untuk menggantikan aku dan Ghani. Kami pun setuju-setuju saja.

***

Suasana apel sangat riuh, banyak siswa yang asyik sendiri dan tidak mendengarkan pembina apel, termasuk siswa di kelasku. Ini tidak sportif.

Setelah apel selesai, kami disuruh kembali ke tenda untuk mengambil persediaan minuman dan makanan. Bantara bilang hanya memberikan waktu lima menit saja. Tetapi, para peserta malah melebihi waktu itu-apalagi para peserta laki-laki, mereka malah santai-santai di tenda.

Memuakkan.

Geram.

Kelas kami sepertinya salah satu kelas yang lengkap terlebih dulu. Tetapi, teman-temanku malah duduk-duduk di bawah bayangan pohon. Kami menunggu cukup lama. Sampai kami melihat kelas XII MIPA 4 yang sudah baris, disiapkan, dan lalu berangkat hiking. Kami pun lantas bergegas berbaris supaya juga diberangkatkan. Setelah rapi, bantara pun memberangkatkan kami.

Asyiknya.

Tapi.... Bantara yang lain mengatakan, "Jangan berangkat dulu, tunggu koordinasi!"

Otomatis kelas kami berhenti, dan kembali lagi ke lapangan apel.

Ini tidak asyik.

Untuk lagi.... Kami melihat kelas lain diberangkatkan. Hey, hey. Apa maksudnya ini? Tentu saja kelas kami protes.

"Lho kami dulu kok."

"Lho, dan, lho."

Bantara pun akhirnya memutuskan untuk memberangkatkan kami.
Kelas lain yang tadi pun diberhentikan dan menjadi kebingungan. Kami dibiarkan lewat terlebih dahulu.

"Ikuti saja pita merah untuk belok," kata bantara kepada kami.

***

Entah ada apa, tetapi temanku di depan mengajak untuk berlari. Aku dan yang lain pun ikut berlari. Ternyata kelas yang berangkat terlebih dulu-kelas MIPA 4-tersesat. Dan, kelas kami menemukan pita merah-sebuah tanda jalan yang benar.

Setelah berlarian, kami sedikit bingung. Tetapi, kami tetap berjalan. MIPA 4 dari belakang terlihat berlarian. Lantas kami pun berlari juga. Kelas kami menemukan pita lagi. Kami mempercepat langkah demi langkah. Yay, kelas kami yang pertama di depan! Dan, akhirnya kami pun sampai di jalan raya. Kami menemukan pita lagi dan belok ke kanan.

Di sanalah ... awal penyebabnya....

Kami menelusuri jalan raya itu. Di depan, Fifi dan Denok sudah sampai jauh. Ada motor yang lalu lalang. Dan..., ada motor bantara yang lewat.

"Salah! Salah! Balik! Balik!" seru bantara itu.

Kelas kami kebingungan. Bantara itu lewat dengan angkuh tanpa memberikan penjelasan sedikit pun. Fifi dan Denok yang telah sampai di jembatan pun berhenti. Yang lainnya di belakang lebih dulu berhenti melihat kelas lain yang putar balik. Motor bantara tadi kembali lewat. Bantara itu hanya tertawa kecil.

"WOY MALAH KETAWA DOANG!" teriak Panca dengan emosi.

Kelas kami tampak kebingungan dan menjadi marah. Ada juga yang mengumpat.

"Apa maksudnya ini?" kalimat ini pasti ada di setiap benak kami.

Fifi yang kebingungan, mengajak kelas kami untuk kembali dengan raut wajah kesal.

"Kalau gini ceritanya, mending nggak usah ikut hiking!"

"Ngapain capek-capek. Mending di tenda."

"Bantaranya goblok, nggak ngejelasin malah langsung kabur!"

"Alah kemah kok kaya begini aduh duh."

Begitulah kalimat-kalimat yang diucapkan oleh teman-temanku.

Sampai kami bertemu dengan PPL. PPL terlihat kebingungan. Kami pun menceritakan apa yang terjadi. Mereka lalu menjelaskan apa penyebabnya.

"Tadi itu kami koordinasi dulu dengan Pak Mun, jadi kami agak telat. Seharusnya para bantara menunggu kami, lalu kami memberikan briefing kepada peserta, baru berangkat hiking."
"Ini karena kurangnya koordinasi ini. Salah bantaranya ini, seharusnya menunggu PPL dulu."

Lalu ada dua orang bantara yang datang dan memberikan penjelasan.

"Ya tadi memang karena PPL tidak datang-datang, jadi kami berangkatkan, Pak."

"Waktunya sudah mepet soalnya, Pak. Yang laki-laki 'kan juga nanti Jumat-an."

Fifi pun angkat bicara, wajahnya memerah dan lesu. "Tadi itu kelas kami udah itu ya, disuruh kembali, eh, malah kelas lain diberangkatkan. Tapi, terus kelas kami yang diberangkatin. Katanya ikutin pita merah ya. Terus pas kelas lain itu bingung kita udah dapet jalannya ya, udah seneng, yang pertama, paling depan. Eh..., pas sampe di jalan raya, malah disuruh balik. Kita kan ya nggak terima dong, Pak, katanya suruh ikutin pita merah, eh malah dibilang salah. Kan kelas kita nggak bisa diginiin...." Air mata Fifi yang tak tertahankan pun keluar. Ia sudah sampai batasnya. "Pokoknya kita nggak ikutan hiking. Kembali ke tenda saja."

Denok pun menimpali, "Iya, betul. Kelas kami itu harusnya yang nomor satu. Kita ini sudah capek-capek lari tadi. Tapi, ini malah.... Hiks."

Tetapi, atas usulan PPL, kelas kami disuruh mengikuti satu pos saja, setelah itu boleh kembali ke tenda.

Dengan mengatakan supaya tidak lesu dan bisa bersemangat lagi, mereka menyuruh kami menyerukan yel-yel. Kami pun setuju dengan usulan itu. Salah satu bantara dan juga beberapa PPL menemani kami.

Yel-yel kami yang paling bagus adalah:

Siapa sakit hati tepuk tangan,

(Prok, prok, prok)

Siapa sakit hati tepuk tangan,

(Prok, prok, prok)

Siapa sakit hati mari bertepuk tangan,

Siapa sakit hati tepuk tangan

(Prok, prok, prok)

Sungguh mengena.

Kami melewati rintangan sawah yang landai, jalanan kecil, bahkan kami menyeberangi sungai. Kami pun membiarkan kelas lain melewati kami. Meski tahu ada kelas lain di belakang kami dan yang paling terakhir, tetapi kami tahu mereka tidak sesakit kami di-PHP-in oleh bantara.

Setelah sampai di pos 1, kami disuruh menyerukan yel-yel kami. Tetapi, tentu saja kami lesu dan tak bersemangat. Setelah itu, kami meminta kepada PPL untuk kembali ke tenda. PPL pun menawarkan lembar soal, yang seharusnya diberikan di pos 3.

Kami pun kembali ke tenda, mengabaikan pos 2 dan kegiatan-kegiatannya, serta melewati kelas-kelas yang lain.

"Wehh curang, Bu, kok duluan...."

"Lho ngapa nih?"

"Maksudnya gimana?"

"Loh MIPA 1 kenapa tuh?"

Meski begitu, kami tetap berjalan dan berjalan. Teman dari kelas lain yang bertanya hanya kami jawab sekilas. Suasana terik, jalanan yang lengang, ilalang yang menari-nari, menyertai perjalanan pulang kami, ke area perkemahan.

S.P. Ahim (dunia area perkemahan)

Begitulah seharusnya. Tetapi apa yang terjadi? Kami malahan terjebak di pusaran kematian area perkemahan ini, di mana telah banyak dari teman kami yang mati secara tak wajar, meski sudah diketahui penyebabnya adalah kekuatan supranatural, namun kami masih dibuat kebingungan, dan kini hanya kami berempat yang tersisa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro