Tragedi-Kesebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yudha mengambil posisi yang nyaman untuk duduk. Lalu, Ahim berkata sambil menunjukkan tangannya yang terikat, "Hei, bukankah seharusnya tali ini dilepas? Kecurigaan kepadaku telah hilang 'kan?" Yudha tampak berpikir-pikir dahulu.

"Sudah lepas saja," kata Qiqit.

Yudha menyetujui perkataan Qiqit. Akhirnya Yudha pun mengendurkan ikatan tali pada tangan Ahim, sehingga Ahim dapat melepaskan ikatan tersebut dan akhirnya bebas.

"Waw, terima kasih," ujar Ahim.

Denok kemudian menunduk, lalu mengangkat kepalanya dan memberitahukan sesuatu ke teman-temannya. "Itu, Yudh, Qit, Fi, Him. Shilka- Shilka sudah mati...."

Ahim melihat ke arah jam tangan milik Fathur, jam 18.38. Qiqit, Fifi, dan Yudha menunjukkan ekspresi kesedihan mereka.

"Tapi, tapi Shilka melakukan bunuh diri. Ia bukan mati karena kutukan." Kelima temannya terkejut.

Lalu, Denok melanjutkan, "Shilka mati ketika jam sudah melewati 18.00. Ketika jam 18.00, semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang mati. Itu berarti kutukan tak terjadi. Shilka tidak mati karena kutukan, melainkan ia mati karena bunuh diri."

Teman-temannya mencoba memahami perkataan Denok. "Apa itu artinya kutukan telah berhenti?" tanya Qiqit.

"Ya, kemungkinan begitu," jawab Denok.

"Kutukan telah berhenti, tidak akan ada yang mati lagi!" Uyut kembali menunjukkan wajahnya yang cerah setelah ia menangis tersedu-sedu akibat kematian Shilka.

"Tunggu dulu! Kita tidak boleh langsung menyimpulkannya!" sergah Yudha, "Kita perlu membuktikannya lagi! Ya, saat jam 7 nanti."

Tiba-tiba Ahim memotong pembicaraan. "Ngomong-ngomong, bukankah seharusnya kita mengubur mayat Shilka? Aku yakin kalian bertiga belum melakukannya."

Denok tak terima. "Panca mengawasi dan mengurusi kalian, tahu!" katanya.

"Ya sudah, ayo," ajak Fifi.

***

Mayat Shilka diturunkan dari cabang pohon, lalu dikubur di sebelah kuburan Fathur. Setelah itu para peserta yang tersisa mendoakan Shilka. Lalu, setelah selesai, mereka pun meninggalkan kuburan teman-teman mereka.

Entah mengapa, suasana saat itu terasa panas sekali. Matahari bersinar dengan terangnya di atas para peserta. Terik matahari membuat mereka berkeringat.

***

Fifi berjalan berdua dengan Yudha.

"Ah, panas sekali!" gerutu Fifi.

"Malam yang terik dan panas!" canda Yudha.

"Huh." Fifi hanya mendengus kesal.

Lalu, mereka berdua melihat Panca yang melambaikan tangannya, mengisyaratkan, "Kemarilah."

"Ada apa ya?" tanya Fifi heran.

Lantas keduanya berlari menuju Panca. Panca menunjuk ke arah lapangan apel yang tempo lalu dibanjiri oleh air dan menjadi danau kecil.

Ketika Fifi dan Yudha telah sampai, sungguh terkejutlah mereka, melihat lapangan apel telah kering. Danau kecil telah surut dan menghilang, meninggalkan rerumputan yang menguning akibat panas matahari.

Fifi tak percaya atas apa yang ia lihat. "Apa ini maksudnya...?"

"Kutukan telah berhenti?" kata Panca.

Lalu, datanglah Qiqit, Uyut, Denok, dan Ahim. Tentu saja mereka juga terkejut melihat danau kecil yang telah hilang.

"Kutukan telah berhenti! Lihatlah danau ini! Inilah buktinya!" seru Fifi.

"Apa maksudnya?! Tidak mungkin!" Qiqit tak percaya.

"Jika itu memang benar, maka kita hanya perlu mencari petunjuk lain tanpa merasa cemas lagi," kata Ahim.

"Tapi, Ahim...! Jika kita salah lagi, bisa jadi nanti kita semua akan mati! Mungkin, mungkin saja batas waktu mundur beberapa menit dan-"

"Sudah, Qit. Mari kita diskusikan hal yang lain." Yudha mencoba menghentikan kekhawatiran Qiqit.

"Baik- Baiklah." Qiqit mencoba menenangkan dirinya.

"Sebelum itu, mengapa kita tidak duduk melingkar saja?" usul Denok. Ahim melihat ke arah jam tangannya, pukul 18.50.

Maka mereka bertujuh duduk secara melingkar, mendiskusikan petunjuk selanjutnya. Selagi masih ada sepuluh menit sebelum batas waktu berikutnya, mereka akan memanfaatkan waktu tersebut sebaik mungkin.

Panca memulai pembicaraan, "Hey, apa kalian tahu saat hi-"

Swuuuungg- Swuungg- Swungg- Wnggg-

Tiba-tiba muncul suara yang aneh. Seperti sesuatu yang dilempar ke arah mereka. Panca menghentikan perkataannya.

"Hei, kalian dengar itu?" tanya Denok.

"Menghindar!" seru Yudha.

Sebuah sabit berputar-putar di atas mereka. Suaranya kembali lagi. Semakin banyak. Semakin banyak. Semakin banyak yang datang....

"Apa sabit itu kembali?!" tanya Uyut.

"Apakah sabitnya bergerak seperti bumerang?!" kata Qiqit.

"Semua menunduk!" perintah Yudha.

Puluhan, bahkan ratusan sabit datang dari berbagai arah berputar-putar di atas mereka layaknya bumerang.

Lalu, datanglah beberapa sabit yang menghunjam ke arah mereka.

"Awas!" teriak Yudha.

Untung semua temannya berhasil menghindarinya. Sabit-sabit itu menancap di atas tanah tempat mereka duduk tadi.

"18.55," kata Ahim dengan datar.

Sabit-sabit itu pun akhirnya pergi menjauh. "Syukurlah." Uyut bernapas lega.

Tiba-tiba, tanah lapangan apel yang mereka pijak bergetar. "Apa lagi ini?!" kata Yudha.

Sreeethhh jessshhh sreeethh-

Sisi-sisi lapangan apel kini terhalang oleh duri-duri yang besar dan tajam.

"Sial!"

"Teman-teman," kata Ahim.

Mereka pun menoleh ke arah duri-duri yang bergerak. Duri tersebut muncul dari ujung kanan, lalu hilang. Muncul duri lain dan tempatnya sedikit bergeser ke depan-kiri, hilang. Muncul lagi dan bergeser ke depan-kiri, begitu seterusnya, yang berlangsung dalam sekejap dan beruntun.

"Durinya datang!" seru Denok.

"Durinya bergerak secara diagonal! Hindarilah!" perintah Yudha. Teman-temannya pun mengikuti perkataan Yudha.

Duri-duri itu mendekat. Semakin mendekat. Dan kini di hadapan Yudha. Yudha meloncat dan berhasil menghindarinya. Diikuti Ahim; Uyut dan Qiqit; Denok, Fifi, serta Panca.

"Alhamdulillah...."

"Aku pikir yang lainnya akan muncul," kata Ahim.

Namun, duri-duri yang menghalangi sisi-sisi lapangan menghilang, kembali lagi ke dalam tanah. Para peserta bernapas lega. Beberapa dari mereka beralih ke posisi jongkok.

"18.58," ujar Ahim.

Muncul suara aneh lagi dari arah utara. "Kini apa lagi!?" kata Yudha.

Panah-panah ranting berdatangan dari udara. Jumlahnya ada ratusan. Mereka menuju ke arah para peserta.

"Semuanya menghindar! Pergilah ke arah pohon!" perintah Yudha.

Lalu, teman-temannya pun berlari ke arah pohon yang paling dekat dengan mereka.

Wush wush wush...
wesh wesh wushhh...
wushhh shuuushhh shhhh...

Suara panah-panah ranting yang datang dari udara dan menancap di atas tanah.

Jepp jlepp jep tepp jepp...

Setelah beberapa menit, panah-panah itu berhenti berdatangan.

"Akhirnya selesai." Yudha bernapas lega. "Tidak ada yang terluka, kan?"

"Ah semuanya ada di sini. Tidak ada yang mati. Kutukan telah berhenti. Alhamdu-" Yudha melihat semua temannya menatap ke satu arah. Panca.

Panca tertusuk-tusuk oleh puluhan ranting. Padahal tadi semua temannya tidak ada yang terkena satu pun.

Tubuh Panca tertembus panah-panah ranting. Darah segar keluar dengan cukup lancar. Kepala, mata, muka, mulut, tenggorokan, dada, perut, lengan, paha, betis, telapak tangan, telapak kaki, semuanya terkena tusukan ranting. Wajah Panca terlihat kesakitan, menunjukkan kematian yang tak damai.

"19.01," kata Ahim sembari melihat ke arah jam tangan Fathur. "Kutukan tidak berhenti," lanjutnya. Semua peserta yang tersisa terbelalak tak percaya.

Yudha tersungkur. Ia tak percaya teman dekatnya telah mati. Yudha meneteskan air matanya, di hadapan teman-teman.

"Yudha," gumam Fifi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro