BAB 5: Kerja Sama Buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Pemirsa, kembali lagi bersama kami tim investigasi--”

Ahim dan Ghani yang sempat absen sukses melahirkan kekhawatiran sesaat. Ada yang sudah mencari mereka di sana-sini, tetapi nihil. Seperti buronan tingkat internasional saja. Seperti pedagang bakso boraks yang viral saja.

“Ke mana saja kalian?”

Ahim mengedik bahu dan mengangkat tangan. “Jualan bakso?”

Kalau Ghani yang ditanya, “Babysit?”

Berdasar reportase investigatif, Ahim mengaku jujur bahwa dia benar-benar tidak menjual bakso boraks, melainkan sekadar buang hajat belaka. Saat menongkrong di kamar mandi, dia beserta Ghani melihat wajah orang-orang serius sekali--sepertinya cuma mereka berdua yang menghilang?--berbondong-bondong pergi ke lapangan apel, bersama seorang pria dewasa.

Jadi Ahim dan Ghani lama karena menongkrong.

“Aduh, panas ….” Ahim membuat pengurai naik darah karena hendak berteduh ke tempat yang tertutup bayangan pepohonan.

Secara garis besar, sepasang putra tersebut memahami apa yang sudah terjadi selama mereka gaib. Itu juga menjelaskan mengapa teman-temannya di lapangan berhawa tegang, melakukan diskusi dalam udara beringsang. Selain itu, ini momen yang pas untuk berkenalan dengan Pak D.

Otak Ghani sebenarnya dominan malas berpikir. Namun, kali ini dia dihadapkan pada situasi yang menuntutnya untuk berpikir keras. Putra jangkung itu harus ambil andil guna memecahkan kejadian-kejadian ganjil yang berlangsung. Menurut isi kepala Ghani, dengan adanya Pak D, para peserta bisa mendapatkan sosok pemimpin yang menenangkan. Mereka bisa memanfaatkan pola pikir orang dewasa. Mereka bisa mengatur strategi bekerja sama. Mereka bisa mencegah terjadinya pemberontakan. 

Mereka bisa--

"Anak-Anak," tetapi Pak D berseru seiring raut muka datarnya menegang, kedua matanya membulat. “Semuanya berbaris yang rapi. Kita akan melaksanakan PBB."

Sebagian peserta menatap bingung. Sisanya tidak merespons karena tak dengar.

"Semuanya berbaris rapi!" Teriakannya kini menggelegar. Para peserta jadi bergidik.

Seluruh peserta PBB--sementara berganti nama--mulai berbaris di tengah lapangan, termasuk Ahim dan Ghani. Awalnya mereka terkencar-kencar dan gelagapan karena kekurangan orang, membuat barisan tampak tidak lurus.

"Cepat!"

Pelik, gamam, bisik-bisik menguar. Tiada satu pun mafhum apa yang tengah terjadi. Akhirnya barisan lumayan rapi, dengan empat baris serta enam banjar. Ghani memberi isyarat kepada Ryan untuk menjadi intsruktur. Si putra tinggi tegap berjalan tegas menuju muka barisan.

Namun, Pak D langsung menyemburnya, "Siapa yang menyuruhmu maju ke depan! Kembali ke barisan!"

Ryan hampir terlempar ke belakang, bogem mentah melayang kena pipi kanannya. Pak D dengan napas menderu-deru lagi wajah mengerikan berdiri sikap siap siaga, kemudian mendorong jatuh tubuh Ryan, memukuli putra itu berkali-kali. Ryan mengerang kesakitan hingga babak belur. Peserta lain PBB hanya bisa menyaksikan dengan ngeri lagi nanar, terpaku mematung di lapangan apel. Sebagai ketua kelas, Fathur hendak berseru, tetapi dia urungkan.

Ryan meringkuk di antara rerumputan kuning, wajahnya penuh lebam, beberapa bagian badan ngilu saat digerakkan. Pak D yang naik pitam menatap si remaja putra. "Bangun! Kembali ke barisan!"

Ryan susah payah berdiri, tertatih-tatih menuju barisan putra. Setelah dia berada di barisan, Pak D berdiri di depan tengah.

"Kita akan melakukan periksa kerapian. Kalian sudah pernah mendapat materi ini di kelas X dan XI. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menanamkan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari yang menagrah pada terbentuknya suatu perwatakan seperti cepat tanggap, tangkas, disiplin, tanggung jawab, serta mengolah jasmani sehingga tetap sehat.”

Prelude yang begitu menakjubkan. Sekaligus, begitu meneror. Periksa kerapian terdiri dari sebelas gerakan, diawali komando “mulai” dan diakhiri aba-aba “selesai”.

“Semuanya, istirahat di tempat, grak!" Seluruh peserta PBB dalam posisi istirahat di tempat. "Periksa kerapian!"

Peserta langsung sikap sempurna dan menjawab siap.

"Mulai!"

Peserta melakukan gerakan pertama, memeriksa sepatu kiri sambil menghitung, "Satu-dua," dengan posisi menunduk. Pada gerakan kedua, menilik sepatu kanan seraya, "Dua-dua," pula menunduk. Peserta melakukan gerakan ketiga, mengecek saku celana kiri sembari, "Tiga-dua," sikap menunduk.

Gerakan keempat, memeriksa saku celana kanan, "Empat-dua," juga menunduk. Gerakan kelima, memegang sabuk bagian depan, "Lima-dua," hitungan pertama posisi masih dalam keadaan menunduk, hitungan kedua badan diangkat posisi tegak. Gerakan keenam, menyelia sabuk bagian belakang sementara menghitung, "Enam-dua."

Gerakan ketujuh, mencermati nama dan kancing baju sebelah kiri serta menghitung, "Tujuh-dua". Gerakan kedelapan, kancing saku baju kanan, "Delapan-dua," posisi tangan kiri di atas tangan kanan, lalu mendorongnya ke kanan. Gerakan kesembilan, meninjau kancing di atas pundak kiri, "Sembilan-dua". Gerakan kesepuluh, mengecek kancing di atas pundak kanan, "Sepuluh-dua". Gerakan kesebelas, memeriksa topi dengan, "Sebelas-dua-satu," diakhiri menghitung satu, posisi sikap sempurna.

Pada aba-aba "selesai", posisi kembali ke sikap istirahat di tempat.

Seluruh peserta PBB berdiri. Beberapa tampak ketakutan enggan menatap Pak D, sebagian lain menunduk, sisanya terdiam.

Pak D amat geram.

"Buruk sekali!" bentaknya, "Kebanyakan dari kalian tidak bisa dan ikut teman! Mau jadi apa kalau periksa kerapian tidak bisa!"

Pak D melotot ke barisan putri, lalu melambai ke seseorang.

"Kamu yang di sana!" Putri bermuka gugup dengan nama Alifa terkesiap. "Iya kamu!" Alifa pun melangkah gentar ke depan. "Dari awal sampai akhir salah total! Murid seperti kamu harus diberi hukuman biar jera!"

Para peserta PBB berseru takut khawatir.

Alifa kini berada di depan Pak D. Pria itu menarik kerudungnya ke bawah, setelahnya menjambak kuat rambut yang terlihat. Alifa pun memekik kesakitan. Ada yang sempat berkata, ‘Bapak bukan guru!’ lalu Pak D mencerca dengan umpatan kasar.

Ghani ikut memberi andil guna menyetop tindakan si pria. Dia menatap mantap kepada teman-temannya. " Pak, jika begini terus … kita semua akan menghentikan Bapak."

Sebagian peserta mengernyit, sebagian lagi bersiap.

Ryan maju ke depan, walau tubuhnya masih kesakitan, lalu menerjang Pak D--Alifa menyingkir. Pak D pun jatuh dan terbaring di antara rerumputan, dengan Ryan menahan perutnya.

Ahim langsung masuk dan membantu, "Ayo, teman-teman! Bantu Ryan!"

Ahim berlari ke depan, diikuti Ghani dan Fathur, serta satu putra bernama Panca, kemudian mereka berempat menahan kedua tangan serta kedua paha Pak D. Pak D pun meronta-ronta, berteriak meminta dilepas. Beberapa putri lainnya bergegas ikut menahan tubuh Pak D, kemudian sisanya akhirnya menyusul. Kini semua peserta PBB menahan tubuh si pria besar.

"Murid kurang ajar!"

Ahim mendapat ide. Si cebol berlari ke pinggir lapangan, kemudian kembali dengan membawa sebongkah batu besar. Dia memberikan batu itu ke Ghani, mengangguk sambil berkata, "Kepala." Teman-temannya yang paham langsung tersentak. Ahim kembali menahan tubuh Pak D.

Ghani berdiri di sisi kanan kepala Pak D, mengangkat batu ke atasnya.

"Tidak!"

Para putri yang tahu akan terjadi hal buruk bergidik ngeri.

"Jangan!" mohon Pak D lagi.

Terlambat, Ghani menghantamkan batu itu ke muka Pak D. Para putri memekik penuh kengerian. Wajah Pak D remuk.

"Hentikan!" Suara masih bisa keluar dari mulut Pak D.

Ghani menghantamkan sekali lagi. Kini, kulit wajah Pak D terkelupas, menampakkan sebagian muka robot--mesin mekanik dari logam. Mata berupa kaca merah, pada mulut dijumpai bola lampu, tengkoraknya terbuat dari baja. Terdapat pula sekrup serta piringan bergerigi di dalam kepala.

Hantam lagi. Hidung logamnya hancur menyusup ke dalam. Cahaya merah dari mata kaca pun berkedip-kedip. Mulutnya berulang-ulang menganga dan mengatup seraya mengeluarkan suara tak jelas. Para putri terus-menerus berseru ngeri.

Hantam lagi. Kepala Pak D remuk layaknya kaleng terinjak. Beberapa kilatan listrik kecil bermunculan. Hantam lagi. Makin remuk.

Hantam terus. Pukul terus. Libas terus.

"Hen-ti-kan a--"

Jeritan!

Menubruk, membabi buta, mengawur.

Sinambung begitu, sampai kepala Pak D benar-benar hancur penyek menjadi lempengan logam.

Menatap nanar, para putri berusaha menenangkan diri. Atau berseru ketakutan. Atau lemas gemetar.

Fathur, begitu menyadari hal ganjil, segera bertitah kepada teman-temannya guna melepas pegangan lalu lari menjauh ke Stan Konsumsi. Seluruh peserta pun segera membebaskan aksi menahan mereka, meninggalkan tubuh Pak D, yang hancur serta remuk kepalanya. Mereka lekas bersiah menuju pinggir Stan Konsumsi terdekat lapangan apel.

Semua peserta berdiri di sana, menyaksikan asap yang mengepul dari tenggorokan besi Pak D. Lalu terdengar suara, ‘beep beep beep’ berulang-ulang. Berakhir dengan ledakan kecil yang menghancurkan seluruh tubuh robot tersebut. Beberapa puing terbang ke berbagai arah. Api pun tercipta, disusul asap membubung tinggi, membakar sisa tubuh besi yang, tergeletak di antara rerumputan terbakar. Seluruh peserta menyaksikan pemandangan itu dengan amat ngeri dan penuh ketegangan.

Nyala yang besar menyebabkan para peserta mendapat efek cahaya jingga yang menari-nari. Sisa-sisa dari robot masih dapat terlihat tengah dilalap di tengah lapangan apel.

"Pak D adalah robot ... mengerikan ...."

"Ada yang bisa jelaskan, dari mana robot itu datang ... ?"

“Apa yang sebenarnya terjadi!”

Di bayangan Ahim, Pak D mirip T-800 (bukan suatu virus bakteri apalagi sebuah saluran web video), sayangnya dia kurang tepat. T-1000-lah robot yang jahat.

"Hei, ini seperti Robocop … ?"

Meleset. Namun, bukan Ahim juga yang bilang. Melainkan Denok, satu dari dua putri tanpa kerudung, yang langsung diisyaratkannya teman-temannya untuk tidak bercanda sekarang.

Tetapi, kalau memang boleh bercanda, ada senangnya kalau bisa bermain menyenangkan. Ini semua serasa petak umpet.

Akal sehat, di mana kau? Sekit!

###

Kudus, 25 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro