GD; 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

HOLAAA 🥳

Udah setengah juta aja pasukannya Gery wkwk 🥰 terima kasih banyak dukungannyaa 🤍

Untuk yang belum baca SADAVIR mari-mari ceritanya udah tamat dan masih lengkap bisa langsung dibacaa yaa ☺️

Okay!
Komen gemoy sama bintangnyaa yuk biar makin seruu 😉

Putar lagunya biar makin uwu

SELAMAT MEMBACA!
ENJOY!

GD ; 3

"Di, maaf kayaknya kita cancel dulu jalannya gimana? Karaysa kondisinya drop."

Panggilan telpon dari Gery tadi sontak membuat Diandra akhirnya meminta sopir pribadinya untuk putar balik menuju rumah sakit tempat kerja Gery berada. Karaysa merupakan gadis kecil berusia sepuluh tahun yang mengidap kanker paru-paru dari ia umur lima tahun.

Diandra mengenalnya karena sebelum ia pindah menjadi HRD dan melanjutkan pendidikan S3 nya Diandra pernah menjadi psikolog di rumah sakit itu dan Karaysa adalah pasiennya. Ia bertanggung jawab dibagian psikologi untuk menjaga sikis anak tersebut.

"Gimana keadaannya?" tanya Diandra ketika sampai di ruangan tempat Karaysa dirawat.

"Dia sempat kejang tapi untungnya bisa diselamatin lebih cepat," jawab Gery.

Pintu ruang kamar inap tersebut terbuka menampilkan figur wanita berjilbab cantik yang umurnya lebih muda dari Diandra dan Gery masuk dengan membawa hasil rekap medis perkembangan sikis dari pasien bernama Karaysa Ananda.

"Ini, Dok, hasil perkembangan Karaysa akhir-akhir ini. Semuanya baik malahan semakin baik, tapi..." Wanita dengan jas putihnya yang tertempel nametag bertuliskan Atlana Zunaira Elakshi tersebut menghentikan ucapannya sesaat.

"Kenapa, Lan?" tanya Diandra.

"Karaysa bilang kalau pun harus di operasi dia udah siap terus Karaysa juga bilang mau main sama Dokter Diandra soalnya udah jarang ke rumah sakit jengukin Karaysa," jawab Atlana dengan senyum tipisnya menatap malang bocah berusia sepuluh tahun tersebut.

Diandra yang mendengar hal itu pun tentunya merasa bersalah karena ia yang memang sudah jarang mengunjungi rumah sakit karena kesibukkannya sebagai mahasiswi S3 dan juga pekerjaannya yang lain.

"Oke, thanks. Tolong terus pantau Karaysa, ya, kondisi dia harus tetap stabil dan kalau bisa jangan ada yang bikin di stress atau tertekan," ujar Gery sebagai dokter gadis kecil tersebut.

"Siap, Dok!" balas Atlana.

"Yaudah, kita biarin Karaysa istirahat dulu," kata Gery yang diangguki Diandra dan Atlana.

Kemudian, ketiganya keluar ruangan bersama membiarkan Karaysa tidur dengan nyaman di ranjang pasien yang sudah di tempatinya selama lima tahun terakhir.

Namun, saat akan melangkah menuju ruangan masing-masing panggilan seseorang membuat Gery, Diandra, dan Atlana kompak menoleh meskipun hanya nama Gery yang dipanggil yang ternyata panggilan itu berasal dari orang tua Karaysa, Liksi dan Damar.

"Dokter Gery..."

Gery merapikan jas putihnya dan berjalan mendekati adik kelas sekaligus salah satu temannyanya saat masih SMA hingga sekarang. "Iya, ada yang bisa dibantu?" sahut Gery.

"Emm..." Liksi tampak mengusap air mata yang membasahi hidungnya sebelum menyerahkan lembar persetujuan operasi kepada Gery. "Kami sudah menyetujui dokumen untuk operasi anak kami, tolong bantu Karaysa," lanjut Liksi yang tampak menahan tangisnya membuat Diandra yang tidak tega pun mendekati ibu Karaysa tersebut untuk memberikan usapan hangat di kedua lengannya.

"Kita percaya Karaysa bisa sembuh setelah lo operasi. Dan, juga Karaysa sendiri cuma mau di operasi di rumah sakit ini dan dokternya lo, Ger," ujar Damar.

Gery tampak berpikir sejenak terlebih melihat kondisi Karaysa. Meskipun persentasi kelancaran operasi ada karena umurnya yang juga masih muda tetap saja ada banyak pertimbangan karena ini termasuk dalam operasi besar dan beresiko tinggi. Perlu diketahui juga bila Karaysa sudah memasuki stadium empat.

Namun, Gery harus tetap professional dan meninggalkan perasaan pribadinya karena orang tua pasien dan juga pasien sendiri sudah menandatangani dokumen untuk menjalankan operasi tersebut.

"Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Karaysa. Sus, tolong siapkan jadwal operasi di ruangan satu dan tolong kirim filenya ke form saya," ujar Gery kemudian dengan dibantu asisten susternya yang mengangguk patuh.

"Baik, Dok."

"Kemungkinan tiga hari lagi Karaysa akan dioperasi karena kita harus lihat dulu bagaimana kondisi pasien setelah sadar ini," kata Gery kepada Damar dan Liksi yang kompak mengangguk.

"Terima kasih," ujar Damar dan Liksi hampir bersamaan.

Gery mengangguk dan menepuk bahu teman karibnya tersebut untuk memberikan semangat dan dukungan meskipun dirinya sendiri juga tampak tidak baik-baik saja.

Terlihat dari wajahnya yang lesu meskipun selalu tertutup dengan senyum hangat itu, Diandra tahu betul bahwa Gery sedang tidak baik-baik saja.

Mengingat Karaysa sudah mereka anggap seperti anak mereka sendiri. Gadis kecil yang juga lahir di rumah sakit ini dan sebagian kehidupannya dihabiskan juga di rumah sakit ini.

Gery yakin Karaysa bisa sembuh dengan banyak therapy dan obat yang diberikan secara rutin, akan tetapi bila akhirnya ini adalah waktunya Gery mengoperasi gadis kecil tersebut demi kelangsungan terbaik hidup Karaysa kelak, ia tidak bisa berbuat apa pun karena keputusan pengobatan ini juga bergantung pada kedua orang tua pasien, yaitu Damar dan Liksi.

Di kursi tunggu pengunjung yang tampak sepi di sana lah Gery berada mendudukkan dirinya dengan Diandra yang setia mengikuti kemana pun cowok itu pergi.

Melihat kuris di samping Gery kosong ia pun berjalan kearah kursi tersebut dan duduk di dekat kekasihnya.

"Udah makan?" tanya Gery masih sempatnya memperhatikan Diandra dengan suaranya yang sedikit serak.

Tangan cowok itu yang berada di atas paha Diandra dengan mata yang selalu menatap hangat meskipun kini sedikit sayu itu Diandra membalasnya dengan diselingi senyum lembutnya.

"Belum," jawab Diandra dengan suaranya yang lembut.

Gery yang mendengar hal tersebut pun melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam.

"Bentar-bentar aku minta tolong Lian buat beliin kamu makan kayaknya dia jaga-" Melihat Diandra yang menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis yang terukir itu membuat Gery yang awalnya grasak-grusuk mengkhawatirkan pacar kesayangannya itu perlahan kembali duduk tenang. "Tapi, kamu belum makan, lhoh..." Gery melanjutkan.

Diandra terkekeh pelan dengan tangan yang terulur merapikan rambut hitam Gery yang sedikit berantakan. "Dokter itu harus rapi. Masa mau ketemu pasien rambutnya berantakan gini," ujar Diandra dengan suaranya yang lembut membuat Gery menjadi lebih tenang dari sebelumnya.

Gery meraih tangan Diandra yang merapikan rambutnya dan menggenggamnya lembut. "Beneran nggak mau pesan makan? Nanti kamu sakit gimana kalau telat makan?" tanya Gery lagi memastikan yang kali ini nada suaranya pelan dan sangat lembut.

"Harusnya aku yang bilang gitu ke kamu. Jangan kira aku sibuk terus aku nggak tau, ya, kamu belum makan seharian. Nggak lihat, tuh, di meja kamu ada makanan yang aku kirim dari pagi sampai udah dingin sekarang," tutur Diandra mencubit pelan hidung mancung Gery.

"Nggak sempat, sayang. Tadi aku ada operasi dadakan jadi belum sempat makan makanan yang kamu kirim," balas Gery menjelaskan dengan wajah bersalah dan suara yang Diandra jamin wanita mana pun yang mendengarnya akan semakin luluh oleh cowok itu, tapi tentu saja tidak akan dibiarkan oleh Diandra karena Gery hanya miliknya. Catat itu.

Diandra pun berdiri dari duduknya dengan tangan yang masih berada digenggaman Gery. "Yaudah, sekarang makan. Tadi aku udah minta tolong Anta panasin, sih, di kantin rumah sakit cuma kayaknya sekarang udah dingin lagi, nggak papa, ya?" ujar Diandra dengan menyengir kuda membuat Gery akhirnya ikut tersenyum melihatnya.

Cowok dengan jas dokter tersebut ikut berdiri dari duduknya tanpa melepas tangan wanitanya yang terasa pas di genggamannya itu. Gery mengusap puncak rambut Diandra pelan membuat pacarnya itu tertawa pelan.

"Yuk!" kata Gery yang diangguki Diandra.

Keduanya masuk ke dalam ruangan Gery untuk makan malam bersama.

Bukan hal baru lagi keduanya makan di ruangan dokter ini bahkan makan siang pun jika mendesak Diandra datang dengan membawa masakannya untuk menemani Gery makan siang karena cowok itu yang sering lupa makan jika sudah sibuk dengan pekerjaannya.

Sampai-sampai Diandra sengaja meminta nomor asisten Gery yang bernama Anta untuk menerima laporan pacarnya itu sudah makan atau belum.

"Apa pun keputusan kamu, apa pun yang terjadi kedepannya, dan apa pun itu. Aku akan selalu ada buat kamu, aku disini, Mas. Ada buat kamu dan nggak kemana-mana," kata Diandra disela acara makan mereka atau lebih tepatnya setelah memperhatikan Gery makan dengan lahap di depannya.

Gery menghentikan makannya dan menatap perempuan yang sudah hampir sepuluh tahun menjadi kekasihnya dan selalu ada di semua momen hidupnya. Gery meletakkan sendok dan merentangkan tangannya memberi kode agar Diandra mendekat agar ia dapat memeluk wanita yang dicintainya setelah ibunya itu.

Diandra tentunya membalas pelukkan Gery dan memberikan usapan di bahu cowok itu dan hal tersebut membuat Gery semakin nyaman seperti halnya ia kembali ke 'rumah'.

"Pacar gemoy... sayang banget." Gery berujar pelan tapi masih dapat di dengar jelas oleh Diandra yang tersenyum mendengarnya.

"Precious," kata Diandra menyebut panggilan kesayangannya untuk Gery yang memiliki arti berharga seperti halnya cowok itu yang sangat berharga di kehidupannya.

****
Gimana malam minggunya?
Lanjut gak nih?

Tapii sebelum lanjut buat kalian yang belum baca cerita utama dari Pascal jangan lupa bacaa karena SADAVIR sudah lengkap dan bisa langsung dibacaa okay? 😉

Sampai bertemu di cerita Mas Kecil untuk pasukan gemoy 🥰

Terima kasih dan selamat menunggu kelanjutan ceritanyaa 🙌🏻

SALAM HANGAT
IBU KEPALA SUKU PASCAL
sekar_pipit

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro