01. Ab Initio☕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Waktu" bisa menghadirkan rasa untuk mereka yang awalnya tidak memiliki rasa. "Rasa" mampu menciptakan waktu bagi mereka yang biasanya tak punya waktu. Sampai jumpa dalam dimensi tanpa batas waktu dan rasa.

💕Happy-Reading💕

.

.

.

Arya menghentikan mobilnya di depan sebuah tempat pemakaman umum yang jauh dari pusat kota, terbukti dari udara segar yang langsung mengalir masuk ke bronkusnya, mengisi kedua lobus paru-paru di ujung sana dengan oksigen murni sesaat setelah ia menurunkan kaca jendela.

Setelah puas menikmati pertukaran udara sebagai rangkaian akhir dari proses respirasinya, Arya berjalan masuk dengan melintasi pagar kawat yang dipenuhi lilitan sulur tumbuhan genus Dioscorea. Matahari belum terlalu tinggi, embun masih enggan menguap dari rumput liar yang tumbuh tak terpelihara, tanah humus yang lembab pun sukses mencetak pola alas kakinya, meninggalkan titik-titik noda lumpur pada counter sepatu hitam bermerk itu tiap kali empunya mengambil langkah.

Tempat itu masih sama, kecuali lahannya yang makin luas seiring dengan jumlah nisan yang kian bertambah. Sebuah kotak amal besi yang tak jelas lagi bentuk asalnya akibat terjangkit pelapukan kimia-fisika dari air hujan dan panas matahari masih setia berdiri di sana selama bertahun-tahun. Arya sedikit ragu menyelipkan beberapa lembar uang di sana, lebih baik menemui pihak pengelola makam secara langsung, begitu pikirnya.

Arya menyusuri makam-makam di hadapannya dengan hati-hati, tidak ingin mengganggu tidur lelap sang pemilik di bawah sana. Tempat tersebut sangat disakralkan oleh teman-teman sepermainannya sewaktu kecil dulu. Arya merasa geli sendiri begitu teringat mitos yang pernah membuatnya menggigit jari sampai berdarah lantaran menunjuk makam orang sembarangan, bahkan ia pernah tidak tidur semalaman karena tidak sengaja menginjak sebuah kuburan saat sedang berpetualang mencari buah Kersen.

Dari kejauhan tampak dua laki-laki lain sedang duduk berbincang di pos penjaga yang masih kosong. Arya mempercepat langkah menghampiri keduanya.

"Maaf, aku terlambat."

Kedua lelaki tersebut menoleh, salah seorang dari mereka merangkulnya segera.

"Kau benar-benar sulit ditemui sekarang." Lelaki itu menoleh pada pria di sebelahnya. "Vian seorang dokter, tapi kau bahkan lebih sibuk darinya."

Lelaki yang dipanggil Vian itu terkekeh. "Jangan salah Riva, dia itu selevel dengan atasanku sekarang."

Arya tertawa kecil dan balas merangkul kedua sahabatnya tersebut. Tanpa terasa sepuluh tahun telah berlalu sejak mereka memutuskan mengambil konsentrasi berbeda di dunia perkuliahan selepas masa SMA. Sekarang mereka tengah meniti puncak karir masing-masing.

Arya dan Vian mengabdikan diri pada salah-satu perguruan tinggi terkemuka di wilayah Indonesia Timur, kampus mereka dahulu. Arya menjabat sebagai dekan di Fakuktas Ilmu kesehatan. Vian memilih menjadi dokter preklinik yang bertugas sebagai dosen pengajar di Fakultas Kedokteran--hanya terpaut 5 langkah dengan fakultas binaan Arya, sekaligus sebagai dokter pengelola poliklinik.

Adapun Riva mengambil latar belakang yang jauh berbeda dengan kedua sahabatnya, sebagai seorang wakil direktur Departemen Perencanaan dan Pengembangan di sebuah anak perusahaan perangkat lunak kelas dunia berbasis telekomunikasi. Provider produk dan jasa layanan internet yang merajai bidang teknologi-informasi saat ini.

Mereka kemudian berjongkok di depan sebuah makam. Seharusnya masa kesuksesan itu tidak mereka  menikmati bertiga saja, sayang satu orang yang menjadi pionir persahabatan mereka dulu sedang terbaring dalam damai di makam tersebut.

Arya mengelus nisan di sana dengan lembut, membayangkan saat-saat di mana ia membelai rambut seorang gadis manis yang kala itu sering curhat padanya dan menggalau karena banyak tugas. Perasaannya mengharu seketika. Seandainya kamu masih hidup, akan jadi seperti apa kamu sekarang, Del?

Riva menaburkan bunga di atas makam itu dengan sendu. Cairan bening melapisi permukaan kornea matanya, membuatnya tampak berkaca. "Selamat pagi, Del. Minggu ini perusahaanku akan merilis program analisis versi baru, kupikir kamu akan suka itu. Maaf baru bisa menyelesaikannya sekarang. Janjiku sudah lunas, kan?" tuturnya dengan suara bergetar.

Vian memilih diam, menundukkan kepalanya dalam-dalam sedang bahunya terus berguncang sedari tadi. Pikirannya jauh berputar ke masa lalu.

Vian, kamu tau apa impian terbesarku?

Jadi apoteker hebat?

Bukan!

Scientist?

Bukan!

Lalu?

Aku mau suatu saat nanti kita buka klinik sama-sama. Kamu yang memberi resep, aku yang menyiapkan obatnya. Kita bisa sama-sama membuat terapi yang rasional untuk pasien. Keren, kan?

Biasa saja.

Oke, biasa saja juga tidak masalah.

Memang aku mau kerja bareng kamu?

Jadi kamu tidak mau?

Entahlah, lihat nanti deh.

Vian memeluk nisan di depannya. Sejujurnya ia memimpikan hal yang sama. Dalam hati iya menyesal tidak berkata jujur dan melakukan ikrar di waktu itu. Padahal, bisa jadi Tuhan mendengar iktikad mulia tersebut dan memberi waktu untuk mewujudkan mimpi sederhana mereka.

Baik Riva, Arya, maupun Vian kini larut dalam lamunannya masing-masing. Hari itu bertepatan dengan hari ulang tahun Nadella Adannaya, sahabat perempuan mereka sejak SMA sampai menjelang lulus kuliah, sebelum peristiwa nahas yang merenggut nyawanya terjadi.

Sejak kepergiannya, Arya, Riva, dan Vian selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke makam itu setiap hari ulang tahun Nadella, meski tidak lagi bisa memberikan hadiah atau keluar makan bersama.

Arya merengkuh Riva dan Vian. Mereka berdua lebih dekat dengan Nadella dibanding dirinya, khususnya Vian. Arya menyelesaikan studi strata satunya setahun lebih cepat kemudian melanjutkan jenjang magister di luar negeri.

Sampai sekarang pun Arya terkadang masih menyesali keputusannya. Bila saja Arya tahu hidup Nadella tidak lagi panjang, akan ia relakan beasiswa fellowship yang diterimanya tahun itu dan menemani Nadella menghabiskan sisa waktunya. Mendengarkan segala curhatannya, mengunjungi tempat-tempat favoritnya, mentraktirnya makan dan belanja, bahkan bila mungkin, mencegah kecelakaan itu terjadi.

Sebab sekarang, bagaimana pun caranya, seberapa keras pun ia berusaha, sudah tidak ada jalan untuk membuat Nadella bangun dari tidur panjangnya. Menarik kembali jiwanya, mengembalikan detak jantungnya, dan membuat sahabatnya itu membuka mata barang sebentar saja, paling tidak untuk mengucapkan salam perpisahan dan ungkapan terima kasih.

Nadella adalah orang yang sangat Arya rindukan, setelah ibunya. Pribadi ceria berjiwa sosial tinggi yang begitu positif menjalani hidup. Sosok yang dengan besar hati merawatnya kala sakit, membuatkan teh campuran lemon dan madu untuknya bila sedang tak enak badan atau terserang flu dan batuk. Terbukti ampuh, entah karena ketulusan Nadella yang bersedia meracik minuman herbal itu di tengah rutinitasnya yang padat, atau memang karena efek dari senyawa bioaktif ketiga bahan alam tersebut.

"Del ... aku rindu teh herbal buatanmu." Arya berbisik lirih.

Riva hanya tersenyum getir mendengarnya. Terlintas bayang-bayang Nadella di benaknya saat sahabatnya itu mengingatkannya untuk minum obat dengan benar dan teratur, menerornya pagi-siang-malam tiap delapan jam sekali untuk memastikan Riva meminum obat antibiotiknya sampai tuntas agar tidak mengalami resistensi--permasalahan pelik di dunia kesehatan yang merisaukan Nadella. Riva sampai penasaran apa menteri kesehatan juga sampai sefrustasi itu

"Sudah cukup sedih-sedihnya," Riva menyeka setitik air mata di pelupuknya, berusaha tampak tegar, "mari kita kirimkan doa untuk Della," lanjutnya sambil memandang langit pagi yang ikut muram, hanya sedikit garis lurus dari rambatan cahaya matahari yang berhasil menembus awan di atas sana. "Della selalu bilang, kan? Doa itu bisa menembus langit."

Arya dan Vian mengangguk pelan, pandangan mereka ikut mengangkasa. Pancaran cahaya matahari mulai terlihat jelas bersamaan dengan awan kelabu yang memudar. Mereka kemudian sibuk mengirimkan doa kepada sahabat mereka tercinta yang berbaring kurang lebih satu setengah meter di bawah nisan itu. Berharap ketenangan dan kelapangan urusan untuknya di alam sana.

Nadella Adannaya memang memiliki eksistensi yang kuat, bukan karena hawa keberadaannya yang masih terasa, namun kenangannya yang tak pernah hilang. Sosok sahabat yang membuat Arya, Riva, maupun Vian percaya, persahabatan mereka melewati batas ruang dan waktu.

☕☕☕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro