14. Quicksilver ☕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy-Reading

-Saturated Space-

.

.

.

"Ramayana Krissandy!"

"Iya, Pak Aryatama Krishna."

Arya mengusap wajahnya frustrasi. "Jangan main-main, Rama! Ini apa?!"

Rama merotasikan pandangannya dengan cuek. "Itu selembar kertas."

Arya menarik napas dalam-dalam, berusaha menyabarkan diri menghadapi adiknya. "Ini kartu hasil studimu!"

"Oh."

"Oh?!" Arya memutar kursi dan menghadap sepenuhnya pada Rama. "Sekarang jelaskan kenapa nilaimu bisa seperti ini!" serunya sambil mengurut pelipis. Satu-satunya predikat paling rendah yang pernah ia peroleh sejak strata satu hingga jenjang magister adalah nilai B. Sementara Rama, adik semata wayangnya itu sukses mendulang 6 nilai C dari 22 SKS mata kuliahnya semester kemarin.

"Enam nilai C?! Nilai C?!" Arya menggeleng putus asa. "Kamu mau buat rantai karbon heksana, hah?!"

Rama mengorek telinganya yang tidak gatal. "Santailah, Kakak."

Selama beberapa saat Arya terhenyak. Untuk pertama kalinya dalam dua belas tahun, Rama memanggilnya dengan sebutan "kakak" lagi. Arya berdeham, buru-buru menepis rasa harunya. Ia harus bersikap profesional sekarang.

"Santai bagaimana, nilaimu hancur begini!

"Biar kujelaskan filosofinya." Rama menghentakkan kepala lalu bangkit mengitari ruang kerja Arya dengan khidmat, tangannya bergerak memberi suggestive gesture layaknya seorang pembicara di depan publik.

"Menurut buku Panduan Mahasiswa jilid II halaman 37, ada beberapa predikat dalam penilaian." Rama memulai orasinya.

"Yang benar jilid VIII halaman 106."

"Terima kasih atas koreksinya."

Arya tanpa sadar mengangguk, lalu sedetik kemudian mengutuk dirinya sendiri.

"Nilai A untuk predikat amat baik, nilai B untuk predikat baik, dan nilai C untuk predikat cukup. Dalam agama, kita dianjurkan untuk tidak hidup berlebihan, se-cukup-nya saja. Sekarang coba jelaskan di mana letak kesalahanku." Rama merendahkan posisinya sampai sejajar dengan pandangan Arya.

Arya memukul meja dengan gemas. Melihat Rama yang perlahan mengambil langkah mundur membuatnya ikut bangkit. Yang terjadi selanjutnya adalah aksi kejar-kejaran antar dua kakak-beradik itu. Ruang kerja Arya yang biasanya tenang dan rapi seketika berubah layaknya kapal pecah sehabis diterjang badai dan menghantam karang.

"Kemari kamu, anak bengal!" Arya berusaha mengejar Rama yang berlari mengelilingi ruang kerja.

Rama tertawa. Sudah lama sekali rasanya ia dan kakaknya itu tidak bermain kejar-kejaran. Bantal di sofa pun digunakannya untuk menyerang.

Arya berhasil menangkap Rama bersamaan dengan pintu ruang kerjanya yang terbuka. Seorang resepsionis di depan pintu menatap mereka setengah terkejut. Ditambah dengan kekacauan di ruang kerja dekan perfeksionis tersebut.

Arya berdeham keras. "Ketuk pintu sebelum masuk. Apa tulisannya kurang jelas?" Arya menunjuk peringatan yang terpajang di depan pintu ruang kerjanya dengan isyarat mata.

Resepsionis tersebut menunduk dan membungkuk dalam-dalam. "Maaf Pak, ada telepon dari Tuan Arthama. Beliau meminta disambungkan dengan Anda."

Arya mendengus, ia memang belum mengecek ponselnya sedari tadi.

"Katakan padanya aku sibuk. Aku ada janji makan siang dengan orang penting. Sampaikan tidak kurang dan tidak lebih." Arya memberi perintah dengan penuh penekanan.

"Baik, Pak."

Rama hanya menatap Arya tanpa suara sampai resepsionis tersebut menghilang seiring dengan daun pintu yang menutup.

"Ayahmu menelepon, tuh!" Rama berusaha menahan getaran suaranya. "Kenapa tidak kamu terima?"

Arya berdecak. "Nanti saja. Urusanku kali ini lebih penting," ujarnya merangkul pundak Rama. "Ayo, nanti kita terjebak macet."

"Ini bukan pencitraan, kan?" bisik Rama saat Arya menariknya keluar ruangan masih dengan mengalungkan lengan di pundaknya.

"Bukan. Citraku sudah baik, untuk apa buat pencitraan lagi.

"Dih, songong!"

"Menular dari kamu."

Rama menyengir. "Pakai mobilmu atau mobilku?"

"Terserah."

"Mobilku lebih keren, sih."

"Ya, sudah. Pakai mobilmu saja." Arya mengalah.

"Nggak, deh."

"Kenapa?"

"Lagi hemat BBM. Persediaan minyak bumi semakin menipis."

Arya mengetuk kepala Rama, tidak yakin adiknya itu benar-benar sedang berhemat. Satu hal yang Arya syukuri, adiknya itu hidup berkecukupan. Sepeninggal ibunya sepuluh tahun yang lalu, Rama dirawat oleh kakeknya sampai beliau berangkat keluar negeri mengurus bisnisnya setahun kemudian. Sejak saat itu Rama hidup sendiri dengan biaya penuh oleh sang kakek.

"Kuncimu mana, Kak?" Rama mengguncang bahu Arya yang sedang melamun.

"Kamu mau menyetir?"

"Tentu. Tidak ada adik yang akan membiarkan kakaknya menyetir untuknya."

Arya masih mematung saat Rama meraih kunci mobil di tangannya dan mulai menyalakan mesin.

Rama membunyikan klakson. "Kak! Kak Arya! Kamu kenapa tinggal mengheningkan cipta di situ? Kesambet baru tahu rasa! Buruan, aku lapar nih!"

Arya meluangkan sekian sekon waktunya untuk menyentil dahi Rama sebelum masuk melalui pintu di sisi yang berseberangan.

Sungguh, ini hari terbaik baginya di antara beribu-ribu hari yang telah lewat kemarin.

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Aldo menatap lara pada deretan vial dan setumpuk mangkuk kaca bekas penelitiannya di sudut gudang. Aldo mengumpat saat merasakan pasokan oksigen dalam paru-parunya menipis di ruang pengap tersebut. Mentang-mentang posisinya sedang tidak menguntungkan, asisten lain yang biasanya tunduk-patuh padanya sekarang berbuat sesuka hati. Mereka mengeluarkan isi lokernya tanpa permisi.

Rasanya tuhan menghukumnya bertubi-tubi. Bebarapa hari yang lalu laptopnya meledak, file penelitian dan skripsinya hilang tak terbekas. Sidang ujian hasilnya pun terpaksa ditunda.

Hari ini, jauh lebih buruk lagi.

Aldo meremas surat pernyataan penangguhan masa akademik di tangannya. Satu semester diharamkan baginya untuk mengikuti segala aktivitas di kampus. Mungkin untuk acara-acara di luar perkuliahan menjadi pengecualian, namun Aldo sudah terlanjur kehilangan muka. Sikap otoriternya sebagai asisten telah tersebar luas di fakultas.

Setidaknya tim futsal kampus masih membutuhkanku sebagai goal-getter pamungkas! Aldo berusaha menghibur diri sambil menuang beberapa pelarut organik untuk membersihkan residu ekstrak yang melekat kuat di permukaan bagian dalam mangkuknya. Tangannya bergetar begitu menghapus jejak hasil jerih payahnya tersebut. Kini tiga bulan penelitiannya berakhir sia-sia.

Begitu kebas mulai mendera syaraf-syaraf perifernya, Aldo berdiri, menumpukan berat tubuhnya pada tembok kusam dan menyeret kedua kakinya yang kaku untuk berjalan keluar.

"Uuuh!" Aldo memijat pelipisnya yang merenyut. Beban pikirannya sepekan ini memang sangat pelik. Orang tuanya bahkan belum tahu-menahu perihal penangguhan masa akademiknya yang akan terhitung mulai tiga hari ke depan.

"Ini semua gara-gara Rama!" Aldo mengepalkan jemarinya. Mana tahu ia kalau praktikan yang hobi membantah itu ternyata adik dekan fakultasnya. Aldo memejam, mengatur napasnya yang tersengal. Ia tidak akan menerima kekalahan ini begitu saja. Baginya, Rama dan teman-temannya sialannya itu harus diberi pelajaran.

Aldo tidak akan main-main kali ini. Ia sudah menyiapkan sejumlah uang untuk menyewa jasa komplotan geng motor dari salah satu rekannya di klub futsal.

Belum sempat Aldo menyeringai menegaskan siasat liciknya, bibirnya sudah lebih dulu terasa kelu, kepalanya berkedut, pandangannya pun ikut berpendar. Refleks Aldo merentangkan kedua tangannya, mengimbangi tubuhnya yang limbung tak tentu arah. Dunia yang seakan berputar di pandangannya membuat ia sulit menentukan posisi dan menyelaraskan gerakan.

Saat kakinya menginjak udara kosong, barulah Aldo menyadari di mana ia berdiri--tepatnya melayang sekarang.

"Sial ini tangga!"

Tak sampai sedetik berlalu, Aldo merasakan tubuhnya berotasi tanpa terkendali, bergulir turun, dan terpelanting kanan-kiri saat membentur dinding pembatas. Bunyi berderak terdengar tiap kali tubuhnya menghantam anak tangga.

Tuhan ... belum cukupkah semua cobaanku?

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Cassy menjerit dalam hati menyaksikan teripang-teripang dalam toples yang siap dieksekusi. Meski sudah berbekal masker, jas laboratorium, dan handscoon tebal, Cassy tetap gemetaran, tak kuasa menyentuh makhluk laut Echinodermata yang licin, lunak, dan dipenuhi tonjolan duri-duri kecil tersebut.

Sore itu mereka mendapat tugas untuk melakukan preparasi sampel untuk praktikum Fitokimia besok. Karena Rean sedang ada kegiatan di UKM Bela Diri dan Naya sibuk dengan urusannya sebagai panitia Dies Natalis, maka mau tidak mau Cassy turun tangan membantu. Beruntung Rama sudah kembali dari acara makan siang perdananya dengan Pak Arya. Setidaknya ia tidak harus bersusah payah mengangkat air dari WC umum ke pinggir lapangan--tempat mereka bekerja sekarang.

Cassy menutup hidungnya saat bau menyengat menguar di udara begitu penutup toples dibuka. Aroma metanol berpadu bau amis timun laut berhasil memicu asam lambungnya naik ke esofagus.

"Kevin?" Cassy mengerutkan dahi begitu membaca nama yang tertera pada label di penutup toples milik kelompoknya. Suaranya sedikit sengau karena hidungnya tertutup. "Nama teripang ini Kevin?!"

Rama yang sedang menyiapkan air bilasan membenarkan. "Iya. Kevin si ketimun laut."

"Ada-ada saja!" Cassy mengalihkan perhatianya pada Chelia yang tampak murung. Biasanya Chelia akan menanggapi kekonyolan Rama dengan tawa, namun kali ini gadis itu membisu. Cassy tahu, Chelia pasti merasa iba pada Kevin--maksudnya si teripang yang menjadi sampel percobaan mereka.

"Kamu kenapa, Sweetheart?" Rama berjongkok di samping Chelia.

"Rama ... teripangnya kasihan ...." Chelia menatap Rama dengan sendu.

"Sudah, jangan sedih begitu. Kevin pasti masuk surga." Rama menepuk pundak Chelia kemudian mengelus toples sampel di hadapannya. "Rest in peace, Kevin."

Cassy menghembuskan napas panjang melihat Chelia dan Rama yang sibuk meratapi jasad teripang menjijikkan tersebut, seperti biota laut itu anak mereka sendiri saja.

Cassy paham, retensi memori Chelia yang kuat membuat perasaannya sangat rapuh. Tapi berduka untuk seonggok teripang menjijikkan yang bahkan rupanya tidak bisa terindentifikasi? Cassy tidak habis pikir untuk itu.

"Teripangnya lucu, lembut, seperti squishy!" Di lain pihak Erva berseru. "Coba pegang deh, Cassy!"

"Iyuuuh! Jorok tahu, Va!" Cassy bergidik melihat Erva yang memainkan teripang di tangannya. Teman-temannya memang tidak ada yang normal.

"Jijik, ya? Kalau nggak bisa biar aku saja yang kerja bagianmu." Edward merebut pisau bedah di tangan Cassy yang merapat ke arahnya.

"Serius, Eddy?"

"Serius. Kamu nggak terbiasa pegang pisau, kan? Nanti tanganmu luka."

Mata Cassy berbinar seketika. Benar kata Edward, jangankan merajang teripang, mengiris bawang saja tidak pernah ia lakukan.

Diam-diam Cassy melirik Edward di sebelahnya.

Kalau diperhatikan, Edward lumayan cakep juga. Ah, bukan. Memang cakep dalam sekali lihat, kok! Wajah blasterannya khas, senyumnya manis, pandai bergaul, pengertian pula! Pasti akan menyenangkan bila bisa menjadi ...

"Tidak!"

Cassy menghentakkan kepala menyadari apa yang baru saja dipikirkannya. Bisa-bisanya hatinya berkata demikian. Ia bahkan masih sakit hati dan belum bisa melupakan Vino, mantan pacarnya yang masih sering mengiriminya pesan dengan kata-kata manis.

"Apanya yang tidak?" Edward sedikit terkejut dengan seruan Cassy.

"Hah?! Nggak! Nggak ada apa-apa!" Cassy memalingkan wajahnya yang memerah.

"Teman-teman!"

Cassy bersyukur dalam hati begitu perhatian Edward teralihkan saat mendengar panggilan Naya. Hanya sekejap. Sebab setelahnya Cassy dikejutkan dengan Naya yang berlari ke arah mereka dengan panik.

"Kenapa, Naya?" Chelia dan Erva lekas memeluk Naya yang gemetaran. Rama dan Edward pun mendekat, meninggalkan pekerjaan mereka.

Naya menarik napas dalam. "Kak Aldo jatuh dari tangga! Dia tidak sadarkan diri sekarang!"

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Gio menarik tangan Erva menjauh dari kerumunan orang yang menunggu Aldo di depan ruang pemeriksaan. Teralu berlebihan sebenarnya untuk disebut kerumuman, sebab hanya ada Rama, Edward, Chelia, Cassy, Naya, dan dua orang teman Aldo di sana. Menurut informasi yang Gio peroleh, Aldo tidak benar-benar memiliki teman. Sikapnya yang kasar dan pemaksa membuat siapa pun enggan berurusan dengannya.

Gio sesekali berbalik, memastikan Rama dan Edward tidak melihatnya membawa kabur Erva. Gio bersyukur Rean tidak ada di sana. Ia pantang mencari perkara dengan ahli bela diri sekelas Rean.

Gio menyelinap masuk ke ruang tes kesehatan yang sepi. Ada berbagai alat untuk mengecek kesehatan di dalam sana, mulai dari meteran pengukur tinggi badan, timbangan, snellen chart, buku tes buta warna, perangkat berikut reagen untuk tes narkoba, dan banyak lagi instrumen lain. Tugas Gio sekarang adalah memastikan Erva tidak menjangkau alat-alat tersebut. Bisa gawat kalau mereka harus mengganti rugi.

Biasanya Gio sudah akan mengambil posisi di depan laptop dan mengetikkan beberapa lembar laporan untuk dikirim ke admin utama Notix. Informasi yang diperolehnya terkait kecelakaan yang menimpa Aldo sudah cukup. Rekaman CCTV membuktikan bahwa kejadian itu hanyalah kecelakaan tunggal akibat kelalaian semata. Gio sudah berhasil mendapatkan salinan filenya, lagi-lagi dengan menyongok operator fakuktas. Dokter Vian menjelaskan bahwa kondisi badan Aldo memang sedang tidak fit. Aldo yang sudah siuman pun membenarkan.

Berita yang lumayan sederhana, namun Gio cukup piawai dalam hal ini. Poin pentingnya adalah Aldo jatuh dari tangga tepat di hari yang sama dengan keluarnya keputusan tim ad hoc fakultas. Gio akan membentuk opini publik dengan melemparkan pertanyaan jebakan, di mana netizen dengan sendirinya akan tergiring ke dalam sebuah asumsi yang telah diatur Gio dan akan terus menyebarkan opininya. Dengan begitu, Gio akan sukses membuat tulisannya viral sementara dirinya tetap terbebas tuduhan membuat berita hoax.

Tapi itu nanti. Sekarang ada masalah yang jauh lebih penting. Erva.

Gio tidak bisa tenang sejak percakapannya via online dengan Erva tadi malam. Apalagi Erva terkesan menghindarinya seharian ini. Gio khawatir bila Erva tahu jati dirinya.

"Jangan takut, Va. Aku nggak akan macam-macam sama kamu, kok. Aku cuma mau bicara sebentar." Gio berusaha menenangkan Erva yang ketakutan. Matanya terpejam sedang mulutnya terus berkomat-kamit sejak tadi.

"Ka-kamu mau bicara apa?"

Gio menghela napas melihat Erva yang akhirnya berani bersuara. "Kamu tahu sesuatu tentangku, kan?"

Mata Erva membulat. Dirinya tertangkap basah sementara doa keselamatan dunia-akhirat yang dirapalkannya sejak memasuki ruang tes kesehatan itu terus berputar di tiga kata pertama saja.

Erva kemudian menyerah, menggantungkan nasibnya pada keputusan Tuhan. "Tentang Notix?" terkanya ragu-ragu.

Gio merasakan detak jantungnya meningkat. Erva benar-benar tahu siapa dirinya.

"Bagaimana kamu bisa tahu?! Apa yang lain juga tahu tentang ini?!" Gio semakin resah.

"Ti-tidak ada orang lain yang tahu!" Erva terpaksa berbohong demi keselamatan teman-temannya.

Gio mengelus dada mendengarnya. "Kamu tahu dari mana?"

"Itu ... anu ... Kak Imam ...." Erva mengarang sembarang alasan dengan bergumam rendah, berharap Gio tidak bertanya lebih jauh lagi.

Di sisi lain, Gio terjebak praduganya sendiri. Kemarin saat praktikumnya dibubarkan, ia memang sempat berbincang dengan Imam. Gio tidak menyangka Erva mendengar pembicaraan mereka.

Gio meraih tangan Erva. Tidak ada jalan lain selain memohon pada Erva untuk merahasiakan identitasnya. Gio akan menerima kosekuensi yang sangat berat bila admin utama tahu bocornya informasi tentang mereka.

"Aku mohon, Va. Bahaya kalau sampai orang lain tahu. Ini bukan untuk keselamatanku saja, tapi untukmu juga. Tolong rahasiakan masalah ini, ya?" Gio memelas, memohon simpati dari Erva yang terus mengerjap menatapnya.

Erva mengangguk pelan, membuat Gio bernapas lega seketika. Beruntung Erva yang polos ini tidak banyak membantah.

"Tapi Gio, kamu bilang ini bahaya, kan? Kalau begitu berhenti saja." Erva balas menggenggam tangan Gio.

"Tidak bisa, Va. Aku sudah terlibat kontrak. Notix juga banyak membantuku selama ini." Gio memelankan suaranya.

"Tapi kalau ikut perkumpulan sesat begitu kamu bisa masuk neraka."

Gio terkekeh, disebut perkumpulan sesat seharusnya membuatnya tersinggung, namun karena Erva mengatakannya dengan penuh ketulusan, perasaannya justru sebaliknya.

Gio berjalan di belakang Erva menuju ruang pemeriksaan Aldo. Erva sama sekali tidak mengancamnya atau meminta ini-itu, bahkan terus memaksanya untuk bertobat.

"Ah, apa karena itu dia mengirimiku ayat kursi?" Gio mengulum senyum. "Dasar Erva, aku kan bukan setan. Dia benar-benar tidak seperti perempuan kebanyakan."

Gio terus memperhatikan Erva yang kembali berkumpul dengan teman-temannya. Rean pun sudah ada di sana. Untungnya Gio kebetulan bersama Naya saat peristiwa tersebut terjadi sehingga keberadaannya di tengah-tengah mereka tidak terkesan mencurigakan.

Gio meraih ponsel di laci tasnya yang sengaja ditinggalkan dengan voice recorder yang menyala. Ia memasang headset, menikmati alunan pembicaraan yang ada dalam list rekamannya. Informasi terbaru yang berhasil ia dapatkan adalah nasib malang Aldo karena mengalami cedera lutut parah yang mengancam posisinya sebagai striker di tim futsal kampus.

Tunggu!

Gio tersentak begitu di tiga menit terakhir mendengar sebuah percakapan lain. Seperti seseorang yang sedang berbisik. Gio meningkatkan volume ponselnya dan menyimak baik-baik.

Begitu rekamannya selesai, Gio duduk terpaku. Wajahnya pucat. Pandangannya tak lepas dari kerumanan orang di depan ruang pemeriksaan.

Apa maksudnya ini? Jadi kecelakaan yang menimpa kak Aldo itu sudah direncanakan?

☕☕☕

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro