17. De Memoria☕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy-Reading

-Unremembered-

.

.

.

Proses mengantuk, jatuh tidur, sampai terjaga kembali diatur oleh jam biologis tubuh yang disebut ritme sirkadian. Osilasi ini dimobilisasi oleh suatu sirkuit di hipotalamus yang bertugas merespon cahaya dan sinyal gelap. Hipotalamus juga memegang kendali atas suhu tubuh.

Intensitas penerangan berikut kenaikan suhu tubuh di sepanjang hari membuat seseorang terus dalam keadaan terjaga, sementara berkurangnya persentase cahaya dan penurunan temperatur ketika malam hari memudahkan proses terlelap.

Sederhanya seperti itu, namun tidak sesederhana itu--terutama untuk mahasiswa farmasi yang mengalami distorsi siklus tidur akibat terlalu sering begadang menyalahi aturan jam biologis tubuh.

Rama masih betah membenamkan diri di balik selimut. Meski alam raya beserta isinya di pagi itu telah bekerja sama memodulasi otaknya untuk bangkit dari mode istirahat, rasa kantuk membuatnya enggan membuka mata.

Hari ini adalah hari libur yang tidak dirindukan. Bagaimana tidak, waktu prei tersebut diantarai oleh satu hari kerja sebelum akhir pekan. Terlalu menjanggal rasanya. Rama sebenarnya sudah mengajukan proposal permohonan cuti bersama pada Arya untuk esok hari demi menyambung liburnya, namun kakaknya itu tetap bersikeras tidak akan meliburkan fakultas.

"Rama, bangun! Sudah siang! Nanti rejekimu dipatok ayam!" Edward membuka pintu kamar Rama dan menyibak tirai.

Rama melenguh malas, menarik selimut untuk melindungi matanya yang silau akibat terpaan sinar matahari. Ia lantas mengubah posisi tidurnya membelakangi Edward.

"Ngghh ... biar saja. Sekali-kali berbagilah pada ayam. Mereka juga makhluk ciptaan Tuhan, berbuat baik padanya dihitung pahala."

Edward menghela napas kemudian kembali mengguncang bahu Rama keras-keras. "Ayolah Rama, aku sama Rean kelaparan."

Rama menggeliat sebentar lalu bangkit. "Eddy, kita tidak hidup di zaman prasejarah yang kalau mau makan mesti berburu dan bercocok tanam dulu. Ini sudah tahun ke 20 abad 21. Apa susahnya pesan makanan lewat driver online? Pintar-pintar lah memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi!"

"Masalahnya kami sudah sangat lapar. Masaklah sesuatu, apa saja." Edward duduk disebelah Rama.

"Kalau begitu aku akan masak air."

"Rama, serius. Tega kamu membiarkan kami kelaparan begini." Edward memelas, membuat Rama akhirnya luluh juga.

"Iya, iya! Ini yang tuan rumah aku atau kalian, sih. Aku merasa terjajah di tanah air sendiri." Rama beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas membasuh wajah.

Edward hanya tertawa ringan. Di antara mereka bertiga, Rama lah yang memiliki kemampuan memasak paling mumpuni. Edward sangat anti terhadap minyak panas, oleh karena itu satu-satunya masakan yang berhasil dibuatnya dengan selamat tanpa harus menggunakan fasilitas keselamatan--jaket dan helm saat menggoreng--adalah telur dadar. Adapun Rean yang terlalu menggemari kimia hanya bisa menyajikan sepiring karbon hitam dari reaksi Maillard yang berlebihan. Istilah lainnya, gosong.

Rama melenggang santai menuju dapur. Setelah mempertimbangkan bahan yang tersedia, ia memutuskan untuk membuat nasi goreng seafood. Sekilas Rama mengedarkan pandangannya ke segenap penjuru ruangan tersebut. Fokusnya jatuh pada deretan toples bahan-bahan dapur di kitchen set. Rean memberi keterangan terhadap bahan-bahan tersebut lengkap dengan nama kimianya.

Garam dapur--Natrium klorida

Gula pasir--Sukrosa(Glukosa+Fruktosa)

Micin--Monosodium Glutamate

Cuka--Asam Asetat

Dan masih banyak lagi.

Rama merutuk dalam hati. Rean betul-betul kejam. Maniak kimia itu tidak membiarkan otaknya beristirahat dengan tenang, bahkan di dapur sekalipun.

Selang beberapa menit, makanan telah tersaji di meja. Rama baru saja akan mencicipi nasi goreng buatannya saat Edward menginterupsi gerakan tangannya.

"Baca doa dulu! Kamu mau makan bareng setan, hah?"

"Aku makan bareng kamu," Rama pura-pura berpikir, "berarti ...,"

"Aku setannya, begitu?!"

"Kamu yang bilang sendiri, ya."

Edward mendelik, ingin menyanggah. Sayang cita rasa masakan Rama yang berbaur di lidahnya begitu lezat untuk tidak dinikmati.

"Brother, kamu kenapa?" Rama menyenggol lengan Rean di sebelahnya yang sedari tadi diam dan menatap lurus ke depan.

Rean menggeleng. Ia menghela napas berat kemudian ikut menyendok nasinya.

"Ada sesuatu yang membuatmu kepikiran?" tanya Rama lagi. Rama sangat mengenal Rean dan cukup yakin ada sesuatu yang membebani pikiran sohibnya itu.

Rean menyelesaikan satu suapannya terlebih dahulu baru kemudian mengangguk. "Masalah Dementor kemarin, kurasa itu benar ada.

Rama dan Edward terlonjak kaget.

"Kamu serius?" Edward meneguk segelas air, membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering. Edward sebelumnya tidak tertarik dengan cerita Rama perihal tokoh fiksi tersebut, apalagi Rama mulai menganalogikan mereka berlima kemarin dengan tokoh-tokoh di serial Harry Potter dan dengan percaya diri menyebut dirinya setampan Cedric Diggory.

"Serius. Dalam arti lain."

Rama dan Edward sama-sama mengernyitkan kening.

"Kemarin aku memeriksa bagian bawah pot-pot itu dan menemukan banyak serangga kecil yang mati," terang Rean.

Rama mengetuk-ngetuk pelipisnya. "Maksudmu kumbang-kumbang jahat yang sering menghalangi Hachi untuk bertemu ibunya itu?"

"Kamu melihatnya juga?"

Rama melenggut, sewaktu berjongkok menghalangi Chelia yang mengorek-ngorek tanah, Rama sempat mendapati beberapa kumbang tanduk yang mati tergeletak.

"Hachi siapa?"

"Kamu tidak tahu Hachi?"

Edward menggeleng.

Rama pun mulai bersenandung, "Hachi anak yang sebatang kara, pergi mencari ibunya .... Di malam yang sangat dingin, teringat mama ...."

Edward mendesis, tidak paham sama sekali. Bahkan Edward curiga lagu yang dinyanyikan Rama tersebut adalah hasil gubahannya sendiri.

"Ya ampun, Eddy! Kamu serius tidak tahu? Itu film kartun paling menyedihkan sepanjang sejarah!" Rama mengusap wajahnya frustrasi. "Tapi ngomong-ngomong ending-nya Hachi bagaimana, ya? Dia sudah ketemu ibunya atau belum? Kamu tahu, Rean?"

"Tidak."

Rama menerawang. "Semoga sekarang Hachi sudah besar dan jadi jurangan madu."

"Tunggu! Jadi apa hubungannya si Hachi itu dengan Dementor? Kalian jangan membuatku pusing!" Edward menatap Rama dan Rean bergantian.

"Bukan Dementor seperti yang kalian pikirkan." Rean menyodorkan ponselnya kepada Rama dan Edward. Setelah kesemua temannya pulang kemarin, Rean menemui juru kunci fakultas dan kembali ke koridor tersebut seorang diri lalu mengambil beberapa foto.

Rama dan Edward mengamati potret koridor beserta foto beberapa serangga yang mati di beberapa sudutnya yang diambil Rean.

"Intinya di koridor depan gudang itu memang tidak ada kehidupan sama sekali. Bukan hanya tanaman-tanaman di sana yang layu, bahkan serangga-serangga pun ikut mati. Aku yakin ada 'Dementor' yang menjadi penyebab dari semua ini. Entah bagaimana wujudnya," lanjut Rean.

Edward mendengus. "Aku rasa kita terlalu serius untuk masalah ini. Maksudku, ini hanya masalah tanaman hias yang layu itu, kan? Dan tentang serangga itu, bukankah mereka memang memiliki garis tangan untuk berumur pendek?"

"Serangga itu tidak punya tangan, Brother. Mereka itu hexapoda dengan 6 kaki." Rama menyengir pada Edward yang meliriknya kesal. "Tapi Rean ada benarnya juga. Coba lihat! Serangga-serangga ini mati bersamaan. Kamu tidak berpikir mereka semua janjian untuk sehidup semati dulu, kan?"

Kali ini Edward yang bungkam.

"Tapi kenapa ya serangga kalau mati posisinya selalu terbalik menjadi telentang begini? Kecuali yang mati terinjak, sih." Rama bergumam sendiri sambil melihat foto-foto yang diambil Rean dengan ponselnya.

Rean yang kembali menguyah makanannya tersedak tiba-tiba.

"Brother! Kamu nggak apa-apa?" Rama menyodorkan segelas air dan memijat tengkuk Rean.

Rean melenggut, berusaha mengakhiri sumbatan di jalan napasnya itu. Sesuatu yang dikatakan Rama barusan membuatnya sadar akan wujud "Dementor" yang sesungguhnya.

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Riva menekan beberapa tombol di central lock, menutup sekaligus pengunci beberapa tingkap jendela, kemudian menyalakan pendingin ruangan dan menghidupan humifier ruang tengah. Hari mulai gelap, angin malam tidak bagus untuk kesehatan, udara kering dari AC juga bisa membuat beberapa masalah kulit dan pernapasan--terutama untuk Chelia.

Riva mengeluarkan beberapa lembar voucher skin care dari sakunya kemudian menghampiri Chelia yang sedang membaca sambil bersandar di sofa. Riva sempat mendengar kegaduhan dari para staf wanita yang memperebutkan voucher perawatan dari salah satu klinik kecantikan ternama--mitra perusahaanya.

Riva menyadari akhir-akhir ini terlalu sibuk dan tidak memperhatikan Chelia sehingga berinisiatif memberinya kejutan kecil. Riva berpikir Chelia akan berteriak histeris seperti staf-staf wanita di kantornya saat mendapat undian, namun adiknya itu malah menatap voucher di tangannya dengan alis saling bertaut.

"Voucher perawatan?" Chelia membulatkan matanya. "Kak Riva, apa aku kelihatan ... jelek?"

Riva terkekeh, ia menangkupkan kedua tangannya di wajah Chelia kemudian mengamatinya lekat-lekat . "Bukan begitu, adik kakak tersayang. Di lihat dari sisi manapun kamu tetap cantik."

"Lalu ini untuk apa?"

Seulas senyum merekah di bibir Riva. Sejujurnya biaya perawatan kulit dan wajah itu tidak seberapa baginya. Voucher tersebut hanya untuk menarik hati Chelia agar tergerak untuk keluar refreshing bersama teman-temannya. Mumpung sedang libur.

Selepas menjalani isolasi dahulu, psikiater yang menangani Chelia memang berpesan untuk mencarikan Chelia kegiatan baru dan membuatnya sibuk hingga pikirannya tidak terpengaruh hal-hal buruk dan bisa terbebas sepenuhnya dari emosi-emosi negatif di masa lalu. Untuk itu Riva mendaftarkan Chelia di jurusan farmasi, namun melihat adiknya itu terus-terusan belajar membuat Riva tidak tega juga.

"Itu hadiah dari klinik yang bekerja sama dengan perusahaan kakak. Pakailah. Ajak Cassy, Erva, dan Naya juga."

Chelia hanya mengangguk kecil lalu memeluk Riva. "Terima kasih, Kak Riva. Teman-temanku pasti senang, apalagi Cassy," tuturnya.

Riva membalas pelukan Chelia.

"Ayah tidak pulang, Kak?" tanya Chelia begitu rengkuhan Riva melonggar.

Riva terhenyak beberapa saat. "Ayah ... periode ini tidak sempat pulang."

"Kenapa?"

"Masih ada urusan katanya."

Chelia merebahkan kepalanya di pangkuan Riva. "Apa sih, yang ayah cari? Aku selalu merasa hidup kita sudah lebih dari cukup."

Riva menyisir rambut Chelia dengan jarinya. "Ayah pasti punya alasan sendiri. Sabar ya, Sayang."

Chelia hanya mengangguk kecil. Sebentar kemudian matanya mulai memejam dengan kepala yang sesekali tersengguk ke depan. Riva membenarkan posisi tidur Chelia kemudian menepuk-nepuk pundaknya, membiarkan adiknya itu terlelap dalam pangkuannya.

Riva mengusap wajah Chelia yang kini tertidur pulas dengan penuh kasih. Ada kepingan memori yang ditarik keluar secara paksa dari ingatan superior adiknya tersebut.

Sesuatu yang menjerumuskan sekaligus menyelamatkan Chelia dari kelamnya ruang isolasi. Sesuatu yang membuat Riva merasakan sedih dan senang di waktu bersamaan. Sesuatu yang membuat Chelia percaya akan cerita-cerita fiktif yang dibuat Riva untuk menutupi kisah kelam keluarganya di masa lalu.

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Memang sudah menjadi hukum alam bagi para organisme untuk hidup berkoloni berdasarkan jenisnya.

Begitu pula dalam dunia farmasi di fakultas Gio.

Mahasiswa di jurusan yang identik dengan obat dan segala tetek bengeknya itu terbagi menjadi beberapa kelompok, mulai dari kelompok penguasa materi pelajaran--bibit unggul fakuktas dengan IPK di atas normal, kelompok penggerak roda perekonomian angkatan--putra-putri bangsawan dan konglomerat, kelompok disipliner organisatoris--penganut idealisme bermodalkan retorika, kelompok sensasional--para tukang gosip kelas sosialita, kelompok pemberontak--mereka yang hobi merepotkan dosen dan staf akademik, sampai kelompok rakyat jelata--golongan mahasiswa missquen dan para penerima beasiswa bidikmisi.

Mungkin Gio adalah sebagian kecil dari mahasiswa yang hidup soliter tanpa koloni yang jelas. Meski sekilas tampak memiliki banyak teman dan pandai bergaul, Gio tidak memiliki teman akrab. Gio hanya menjalankan tugasnya sebagai informan sehingga sebisa mungkin menyelinap ke dalam tiap kelompok agar bisa memperoleh informasi.

Hanya ada satu kelompok yang pantang Gio usik. Satu-satunya kelompok heterogen yang terdiri atas campuran mahasiswa dari berbagai jenis koloni. Kelompok Rama dan kawan-kawannya. Gio selalu dibuat penasaran apa yang menyatukan berbagai kepribadian itu hingga tampak sesolid ikatan logam.

"Maaf Gio, tapi ini sudah kesepakatan kita semua! Kamu dikeluarkan dari kelompok!"

Gio tersentak begitu mendengar teguran dua orang perempuan di hadapannya. Mereka adalah salah satu golongan terpelajar yang begitu kaku bila menyangkut masalah pelajaran. Namun sialnya, Gio terdampar di kelompok yang sama dengan mereka kali ini.

"Kamu tidak berpartisipasi sama sekali dalam kerja kelompok kemarin. Harusnya kamu tahu diri!" tandas satu orang yang satu lagi.

Sial! Gio memaki dalam hati. Begini dampak buruknya bila satu kelompok dengan orang pintar. Kemarin Notix mengadakan pertemuan rahasia yang tidak mungkin Gio lewatkan sehingga tidak dapat hadir saat kerja kelompok. Gio menatap kesal kedua teman kelompoknya yang kini berkacak pinggang dengan angkuh.

Huh! padahal mereka tidak ada apa-apanya dibanding Rean dan Chelia!

Tunggu, kenapa malah membawa-bawa nama mereka?! Gio memarahi dirinya sendiri.

"Bukankah Cindy tidak ikut juga kemarin?" Gio melirik Cindy si sosialita tukang gosip yang sibuk memoles kukunya.

"Cindy berpartisipasi, kok. Dia yang memesan makanan untuk kerja kelompok kita kemarin," jawab salah seorang diantara mereka dengan suara yang sengaja dibesarkan. Cindy yang mendengar namanya disebut memandang rendah pada Gio sambil tersenyum sarkastik.

The power of money. Mengenaskan!

Gio berbalik dan mengambil langkah tanpa berkata apa-apa lagi. Gio tidak akan serius menanggapi masalah kelompoknya ini bila tugas tersebut bukan salah satu syarat final nanti. Gio mengaku salah, namun haruskah mereka setega itu padanya? Kemarin Gio sempat mengirim pesan di grup kelompok namun tidak ada satupun yang menanggapi, dan sekarang mereka melancarkan ultimatum untuk mendepaknya tepat beberapa menit sebelum tugas dikumpulkan. Sungguh tidak manusiawi!

"Gio!"

Gio yang mulai kehilangan harapan berbalik, mendapati Chelia yang tengah membawa kertas tugas kelompoknya.

"Oh, hai Chelia." Gio menyapa dengan canggung.

"Nggak masuk? Dosen lagi rapat, ya?" Chelia menunjuk pintu prodi yang tertutup rapat.

Gio menggeleng. "Entahlah. Mau kulihatkan?" Gio yang lebih tinggi mengintip dengan mudah pada partisi kaca di sisi atas daun pintu tanpa menunggu jawaban Chelia.

"Masuk saja. Dosen-dosen di dalam kelihatannya nggak ada kerjaan."

Chelia mengaangguk, namun sebelum tangannya memutar kenop pintu sepenuhnya, ia berbalik kembali. "Kamu mau bergabung di kelompok kami?" tawarnya pada Gio.

Gio spontan terbeliak.

"Maaf, tapi aku dengar pembicaraan kalian barusan. Ini syarat untuk final nanti. Tidak masalah kalau kamu mau bergabung."

Gio memandang ujung sepatunya yang dipenuhi debu. "Aku tidak berparsipasi sama sekali pada kelompok kalian. Aku cukup tahu diri untuk itu."

"Kamu bisa berpartisipasi, kok!" Chelia menyerahkan kertas tugas kelompoknya.

Gio mengernyit. Apa yang bisa dilakukannya di saat-saat terakhir begini? Gio yakin tugas kelompok Chelia telah selesai.

"Aku ... bisa apa?" Gio tertawa hambar.

Chelia tersenyum. "Masuk dan kumpulkan tugas ini di dalam."

"Hanya itu?!"

"Kenapa? Itu penting, kok. Tugas ini tidak ada artinya bila tidak dikumpulkan, bukan?"

Gio tidak membantah saat Chelia berjongkok untuk menulis namanya di bagian sampul kemudian menyerahkan lembaran tersebut dan membuka pintu prodi.

Dengan berdebar-debar Gio masuk menemui dosen pengampuhnya. Hatinya luar biasa lega saat namanya dalam daftar absensi ditandai sebagai salah satu mahasiswa yang berhak mengikuti final.

Gio sudah tidak menemukan Chelia bgitu keluar dari ruang prodi. Ada sedikit rasa bersalah di hatinya karena tidak sempat mengucapkan terima kasih. Ia terlalu terkejut sekaligus senang.

Saat melewati online area menuju kelasnya, percakapan antara Cindy dan kedua teman kelompoknya tadi membuat Gio menahan langkahnya. Insting informannya aktif seketika. Ia merapatkan dirinya di dinding dan diam-diam menguping.

"Ini bisa jadi berita heboh!"

"Kapan sebaiknya kita sebarkan? Apa kita perlu menandai Notix biar lebih viral?"

Gio memfokuskan pendengarannya saat Cindy bersuara. "Lebih cepat, lebih baik. Aku tidak sabar melihat bagaimana reaksi Cassy kalau satu fakultas tahu ibunya yang cantik itu telah melakukan operasi plastik. Aku yakin wajahnya juga bisa cantik begitu karena mengikuti jejak ibunya. Dasar penipu!"

Gio tersentak. Ibu Cassy yang cantik dan terkenal itu operasi plastik?

Gio teringat kecaman yang diberikan ketua Notix padanya saat rapat kemarin karena kurang aktif memberikan informasi akhir-akhir ini. Berita tentang ibu Cassy itu pasti akan menuai banyak komentar.

Tepat di saat yang sama Gio menangkap sosok Chelia yang berjalan beriringan bersama Cassy, Erva, dan Naya. Cassy mengandeng lengan Chelia. Mereka terlihat begitu harmonis. Di belakang mereka Rama, Rean, dan Edward mengikuti seperti biasa.

Hati Gio mendadak didera perasaan bersalah. Kata-kata Erva, Rean, dan Chelia kembali terulang di benaknya.

"Tapi Gio, itu bahaya! Berhenti saja!"

"Kalau ikut perkumpulan sesat itu kamu bisa masuk neraka!"

"Yang aku tahu kamu sendirian, kesepian, dan butuh teman."

"Itu penting, kok. Tugas ini tidak ada artinya bila tidak dikumpulkan, bukan?"

Gio memejam erat. Edward pernah menolongnya sewaktu ban motornya kempes di tengah jalan. Rama kemarin memberinya makan siang gratis tanpa ia minta. Naya sekalipun terkesan tidak peduli bahkan rela mengerjakan bagiannya sebagai panitia Dies Natalis yang deadlinenya jatuh pada hari ini.

Gio tersenyum begitu menyaksikan Rama mendorong Edward sampai menubruk Cassy kemudian merecokinya dengan siulan.

Gio mungkin tergolong mahasiswa yang pas-pasan sampai menerima tawaran menjadi admin Notix yang penuh resiko. Tapi Gio paham, hutang budi akan di bawa sampai mati.

Gio mematikan voice recoder di ponselnya.

Ini saatnya untuk membalas kebaikan mereka.

☕☕☕

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro