20. Praecursor ☕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-The Pioneer-

~♥Happy-Reading♥~

.

.

.

Pharmacoffea to do list

Tugas kasus Farmakokinetik
(Rama jadi pemateri)

Tugas Pendahuluan
praktikum Fitokimia

Revisi laporan Fitokimia

Revisi laporan Kimia
Analisis

Hasil diskusi praktikum
Tekno

Rancangan formula
Sediaan Gel

Tugas baca Farmakologi

Kuis via classroom

Review jurnal

Due tomorrow 00.00 am

"Buset! Ini list tugas atau jadwal pembunuhan berencana!" Rama menekuk dahi dalam-dalam saat menyelisik catatan yang dituliskan Rean.

Riva yang sedang menerjemahkan beberapa bahasa pemrograman terkekeh dan mengambil tempat di sebelah Rama, "Jangan terlalu diforsir. Kerja sebisanya saja. Selesaikan yang paling penting dulu."

"Kau selalu saja memanjakannya, Riva! Belajar dan mengerjakan tugas itu sudah jadi kewajibannya sebagai mahasiswa!" tegur Arya melihat Riva dan Rama yang terlihat begitu akrab.

Rama memutar pandangannya dan menatap Arya dongkol. Hari ini mereka sepakat berkumpul di rumah Chelia untuk memantau perkembangan masalah Cassy, namun kakaknya itu malah ikut datang tanpa diundang. Ingin berbicara dengan Riva, alasannya. Merusak suasana saja.

"Aku tahu. Tapi santailah sedikit. Kasihan mereka harus bekerja keras begini setiap hari." Riva merangkul pundak Rama. "Pilekmu sudah reda?"

Rama membalas pertanyaan Riva dengan anggukan kecil. Untuk alasan ini lah Rama senang bila bersama Riva. Riva pribadi yang luwes dan pengertian. Tidak seperti Arya yang terlalu normatif. Rama sendiri tidak mengerti apa yang membuat kakaknya itu sedemikian kaku. Olaf si manusia salju saja bisa hangat dan ceria.

"Tunggu, ini aku yang jadi pemateri?"

Edward di sebelah Rama melenggut. "Jangan pura-pura hilang ingatan, deh."

Rama menghentakkan kepala. Bagaimana mungkin dirinya bisa fokus mencerna materi untuk presentasi sementara ada setumpuk tugas yang harus dikerjakan dalam waktu bersamaan? Ini jelas-jelas bentuk perbudakan dan kekerasan mental yang bisa mengancam keselamatan jiwa. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang patut dipidanakan.

"Kamu sudah siap jadi pemateri?" intimidasi Arya membuyarkan lamunan Rama.

"Jelas!"

"Jelas apa dulu ini?"

"Jelas tidak, lah! Bertanya segala!" Rama bersungut. "Di kelas nanti aku pura-pura epilepsi saja, deh."

"Jangan buat aku malu, Rama!"

"Tenang saja Kak, aku akan berakting senatural mungkin."

"Bukan begitu!" Arya mendengus sedang Riva terkikik geli melihatnya frustrasi seperti itu.

"Cobalah belajar dulu, nanti Chelia bantu. Oke?" Riva mengacak rambut Rama.

Lagi-lagi Rama membalas perkataan Riva dengan senyum dan anggukan.

Arya diam-diam merasa kesal. Rama selalu saja bersikap manis dan penurut pada Riva. Berbanding terbalik saat menyikapinya. Arya lalu memutar haluan menghadap Rean yang sibuk menelaah jurnal ilmiah. Sebelumnya mereka berdiskusi tentang pengadaan instrumen analisis sampai ocehan Rama menginterupsi. "Jadi bagaimana, Rean?"

Rean mengalihkan perhatian dari laptopnya. "Kalau masalah bahan, kurasa bisa dicari alternatif lain dengan bahan subtitusi yang lebih murah. Pengadaan instrumen analisis saat ini lebih penting, Kak."

Arya menyangga dagunya dengan sebelah tangan, mempertimbangkan saran Rean.

"Proses praktikum terhambat karena harus menggunakan beberapa instrumen di Fakultas Sains. Penelitian para senior juga terkendala di surat perizinan," sambung Rean lagi.

Arya mengangguk-angguk. Masukan Rean cukup masuk akal. Dalam hati ia mengagumi pandangan Rean yang terbuka.

Rama mendecih. Sejak tadi Arya terus-terus memuji Rean dan Edward bergantian, terutama Rean. Sekarang pun mereka berbincang serius, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.

Rama berdiri, meninggalkan ruang tengah tersebut dengan sedikit menyenggol kaki Arya saat melewatinya.

Edward mengekor di belakang Rama. Namun belum sempurna mereka beranjak, teriakan Erva membuat perhatiannya teralih.

"Rama! Eddy! "

Rama dan Edward spontan mendongak pada Chelia dan Erva yang berlari menuruni tangga.

"Chelia dan Cassy sudah berbaikan!" pekik Erva kegirangan.

"Hah? Secepat itu?" tanya Edward hampir tak percaya. Rean pun ikut bergabung.

Chelia mengangguk semangat. "Berkat bantuan Falak."

"Panggil Fal saja ya, Chelly. Biar lebih keren." Rama meringis.

"Bilang saja kamu takut!" cibir Edward. Blasteran berwajah khas tersebut mengurut dada, bersyukur masalah yang membuat mereka bertiga kemelut semalaman itu berakhir damai dalam waktu singkat.

Setidaknya Edward tidak harus berbaring di rumah sakit sebagai korban tabrak lari Delman yang sedang kritis demi menuruti skenario gila Rama untuk mempertemukan Cassy dan Chelia. Demi Tuhan, Edward berharap hidupnya berakhir dengan damai dan terhormat. Dan lagi, mana ada Delman berkeliaran di tengah kota metropolitan begini?

"Siap-siap duluan saja, Va. Aku beres-beres sebentar." Chelia membuka ponselnya. "Naya bilang akan menyusul nanti."

"Kalian mau ke mana?" Rama, Edward, dan Rean kompak berseru.

Chelia menunjukkan voucer perawatan dari Riva pada ketiganya.

"Kami akan ikut," putus Rean. "Sekarang kasus kejahatan semakin merajalela. Jangan pergi sendiri."

"Kami perginya berempat, Rean," tutur Erva dengan polosnya.

"Maksudku kalian semua perempuan. Bahaya."

"Tidak usah repot-repot. Kami bisa menjaga diri, kok!" Chelia mengibaskan tangannya di udara.

"Kami nggak merasa kerepotan sama sekali, Chelly," tandas Edward.

Chelia mengeluh dalam hati. Harusnya mereka pergi diam-diam saja. Kalau sudah begini, tiga serangkai dari Rama, Rean, dan Edward akan terus menunggui-tepatnya mengawasi mereka. "Tapi kalian tidak mungkin ikut masuk, kan? Klinik ini khusus perempuan."

"Ada gedung olahraga di samping klinik kecantikan itu. Kami bisa menunggu di sana," jawab Rean asal.

Chelia mengerutkan kening, "Bukannya di samping klinik ini toko bahan bangunan?"

Oh, sial! Rean mengumpat pada dirinya sendiri. Berbohong pada Chelia yang memiliki ingatan superior ternyata lebih sulit dibanding menjabarkan persamaan Schrödinger. Sekarang ia sudah kehabisan kata.

"Toko bahan bangunan itu di sebelah mana, Chelly?" Rama mengambil alih pembicaraan.

"Di sebelah kanan."

"Nah! Gedung olahraga yang kami maksud itu tepat di sebelah kirinya."

Chelia pura-pura mengingat lagi. "Ah, aku salah! Toko bahan bangunan itu di sebelah kiri."

Rean dan Edward langsung menghujamkan tatapan maut pada Rama.

"Betul sekali!" Rama menjentikkan jari dan dengan tenangnya membenarkan.

"Tadi kamu bilang gedung olahraga itu di sebelah kanan!" protes Chelia.

"Maksudku sebelah kanan kalau dilihat dari sisi berlawanan, Sweetheart." Rama berdalih, "Berdasarkan hukum Fisika, posisi suatu benda itu bersifat relatif. Tergantung perspektif pengamat. Benar kan, Rean?"

Dengan sangat terpaksa Rean pun mengiyakan.

"Tidak ada orang yang menentukan posisi dengan membelakangi objeknya, Rama," balas Chelia masih sebelum menyerah.

"Ada, Sweetheart. Tiga orang. Aku, Rean, dan Edward."

Chelia menggembungkan pipi. Sebenarnya ia pun hanya mengarang bebas untuk mencegah keikutsertaan Rama, Rean, dan Edward yang kadang terlalu protektif dan bisa membatasi ruang gerak mereka. Namun Rama terlalu sulit dibantah, bahkan dengan ingatan superiornya.

"Ah, aku baru ingat lagi! Di sebelah kiri klinik itu bukan gedung olahraga tapi toko roti. Di sebelahnya lagi jalan raya jadi jangan bilang kalau gedung olahraga itu ada di sebelah toko roti."

Rama tertawa. "Kita tidak akan bilang begitu kok," Rama merendahkan nada bicaranya, "karena sebenarnya toko roti itulah yang sekarang menjadi gedung olahraga," sambungnya setengah berbisik.

"Bagaimana bisa?!"

"Bisa. Sekarang harga tepung terigu semakin naik. Pemilik toko roti itu hampir bangkrut dan kehilangan harapan sehingga banting setir mendirikan gedung olahraga."

Chelia menghela napas panjang pada akhirnya. Berdebat dengan Rama memang bukanlah pilihan yang bijak.

"Ada pesan dari Cassy." Suara Erva menyela, menyita seluruh perhatian.
"Katanya Falak kena diare."

Rama tergelak. Edward di sampingnya langsung memberi sikutan. "Kamu ini tertawa di atas penderitaan orang lain saja!"

"Bukan begitu, Eddy. Coba saja bayangkan bagaimana wajah hantu Valak yang menyeramkan itu memelas karena sakit perut dan harus bolak-balik WC!" Rama kembali tertawa.

"Didatangi nanti malam baru tahu rasa, kamu!"

"Datang saja. Malam ini aku menginap di rumah kak Arya. Dia itu sama seperti Rean, ditakuti hantu."

Rean hanya melirik sekilas kemudian menghampiri Erva. "Kalian tidak jadi pergi?"

"Jadi, kok. Cassy bilang kita naik taksi online saja. Bagaimana Chelly?"

"Mmm ...." Chelia menimbang-nimbang. Manik matanya mengerling pada Riva takut-takut. Karena kerap kali mendapat spam chat dan telepon dari driver yang menyimpan nomor ponselnya, Riva mengeluarkan larangan keras untuk tidak menggunakan jasa transportasi berbasis internet itu lagi.

Chelia hanya bisa menggigit bibir saat Riva balas menatapnya dan menggeleng tegas. Chelia tidak mungkin membantah Riva, namun tidak ingin juga mengecewakan teman-temannya, terutama Cassy--yang baru berbaikan dengannya tidak kurang dari setengah jam yang lalu.

"Butuh tumpangan nona-nona?"

Chelia berbalik pada Rama, Rean, dan Edward yang tersenyum penuh kemenangan. Dengan satu tarikan napas panjang, Chelia akhirnya mengangguk. Sepertinya tidak ada cara lain.

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Hampir pukul sembilan malam saat mobil Arya memasuki perumahan yang dihuninya hampir 5 tahun belakangan.

Rama yang menyetir menurunkan kaca jendela begitu melewati portal yang dijaga beberapa security.

Para satpam yang menjaga menunduk memberi hormat pada Arya yang dibalasnya dengan anggukan. Arya kemudian memberi arahan letak rumahnya pada Rama. Arya sengaja menunjukkan jalan memutar agar tidak melewati pohon beringin yang sangat diwanti-wanti adiknya yang penakut itu.

Rama berhenti di depan sebuah rumah megah dengan pagar tinggi menjulang. Bunyi berderit pintu besi yang digeser menjadi sambutan pertamanya. Begitu gerbang sepenuhnya terbuka, Rama segera mengambil tempat di parkiran kemudian turun dan mengekor di belakang Arya.

Seorang pria paruh payah yang habis menutup gerbang tergopoh-gopoh menghampiri mereka.

"Selamat malam, Tuan," sapanya.

"Selamat malam, Pak Adi."

Pria yang dipanggil pak Adi itu membungkuk hormat, matanya mengerling pada Rama di sebelah Arya. Heran sekaligus takjub. Arya tipe orang yang tertutup dan sangat jarang mengundang orang lain ke rumahnya. Selama ini Pak Adi hanya mengenal Riva dan Vian sebagai teman dekat tuannya tersebut.

"Ini adik saya, Pak. Besok-besok kalau dia datang, langsung izinkan masuk." Arya merangkul Rama dengan harmonis.

"Adik?!" Rahang pak Adi terbuka maksimal mendengar penuturan Arya.

Arya mengangguk tanpa ragu. "Tolong perlakukan dia sebagaimana Bapak memperlakukan saya."

Pak Adi bergeming. Bahkan saat Rama mengulurkan tangannya, pria tersebut masih melongo sampai teguran Arya menyadarkannya.

Pak Adi buru-buru menyambut tangan Rama yang menggantung sedari tadi.

"Ramayana Krissandy. Panggil Rama saja, Pak. Jangan dipangil Sandy, nanti disangka politik praktis."

Pak Adi mengangguk kikuk. "Saya Nurhadi, Tuan."


"Sudah, Pak. Jangan didengar. Pak Adi istirahat saja." Arya menarik Rama sebelum membuat pak Adi yang sudah berumur itu tumbang karena ocehannya.

Rama mengikuti langkah Arya menapaki undakan tangga menuju pintu utama rumahnya. Lensa matanya membulat seketika begitu desain interior ruang tamu perpaduan modern-rustic dan gaya industrial terpampang di hadapannya.

Arya tersenyum bangga. "Bagaimana? Keren, kan?"

Rama mengangguk dengan mulut masih setengah terbuka. Tekadnya untuk tidak tertarik pada rumah kakaknya itu sirna seketika. "Tukaran rumah yuk, Kak!"

"Main tukar rumah seperti tukar uang kecil saja!"

Rama melangkah masuk sambil terus berdecak kagum. Setelah puas berkeliling ia menghempaskan dirinya di sofa sambil meringsut ke arah Arya.

"Kamu mau minum apa?"

"Nggak usah repot-repot, jus Buah Naga saja."

"Ini bukan Cafetaria, Rama!"

"Kalau begitu Kopi Luwak segar."

"Boleh, tapi beternak Luwak dulu, sana!"

Rama tertawa lepas. Arya tanpa sadar ikut terkikik.

"Kak ...," panggil Rama sambil menyandarkan kepalanya di bahu Arya.

"Apa?"

"Kenapa kamu menyembunyikan foto-foto keluargamu?"

"Bagaimana kamu tahu?" Arya terkesiap.

Rama menunjuk jejak-jejak bingkai foto yang membekas di dinding, matanya cukup jeli.

Arya menghela napas kemudian mengelus kepala Rama yang masih bersandar di bahunya. "Bukan keluargaku. Keluarga kita."

"Tidak usah menghiburku. Itu jelas-jelas ayahmu saja." Rama tersenyum kecut.

"Rama ...."

"Hm?"

"Kamu lelah?"

"Kenapa?"

"Aku ingin bicara serius. Tentang keluarga kita."

Rama langsung mengubah posisi menghadap pada Arya.

"Tapi sebelumnya jangan tersinggung."

"Oke."

"Aku sungguh-sungguh tidak ada maksud lain."

"Iya deh, katakan saja!"

Arya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Ini tentang tes DNA-mu waktu itu."

Alis Rama saling bertautan. "Ada apa?"

"Mungkin ini sudah terlambat tapi tidak ada salahnya kalau kita memastikan kembali." Arya bertutur dengan sangat hati-hati. "Bukan berarti hasil kemarin tidak benar, hanya menyakinkan ulang saja." Arya menjeda sesaat. "Ah, tapi jangan salah paham! Aku tidak bermaksud untuk terdengar berharap hasilnya seperti itu!"

"Duh! Kak Arya tolong jangan dibuat rumit." Rama menghentakkan kepalanya. "Aku tahu kamu sebenarnya sangat sayang padaku dan sedang menjaga perasaanku, tapi kalau terlalu berbelit-belit begini lama-lama aku jadi gagal terharu!"

Rama kemudian menarik sehelai rambutnya dan menyerahkannya pada Arya. "Kamu mau aku tes DNA, kan? Apa susahnya bilang, sih. Nih! pake rambut saja, ya. Jangan minta air liur, darah, apalagi tulang dan gigi."

"Kamu tidak masalah?"

"Kenapa harus kupermasalahkan? Chelia pernah bilang manusia memiliki sekitar seratus ribu rambut. Kehilangan sehelai tidak masalah. Kecuali untuk Rumy si botak licin."

Arya mengatupkan sisi bibirnya mendengar ocehan Rama. Rasa bersalahnya kian menjadi.

Sembari menarik napas,  Arya memegang kedua bahu Rama. "Rama, kalau hasilnya nanti masih sama seperti kemarin ...." Arya menutup mata, tak mampu melanjutkan kata-katanya. Suaranya terasa tercekat di tenggorokan.

"Kakak, dua belas tahun lebih kamu meninggalkanku sendiri. Kalau ternyata hasil tes itu masih sama, kalau ternyata kita memang bukan saudara seayah dan kamu mengamuk seperti kingkong lalu membuangku lagi ...," Rama tersenyum pilu, "tidak masalah. Aku sudah terbiasa."

Mata Arya berkaca. Bayangan saat ia mengabaikan Rama yang meminta ditemani bermain, pun saat ia  menghardik sampai membuat adiknya itu menangis ketakutan, kembali terulang di benaknya. Arya tak kuasa menahan air matanya lagi begitu teringat betapa kejam dirinya yang melimpahkan seluruh beban rasa bersalahnya pada Rama dan membiarkannya hidup sendirian bertahun-tahun.

Arya lekas memeluk Rama. "Maaf ... maafkan kakak Rama. Apapun hasilnya nanti, tolong tetap seperti ini."

Rama balas memeluk Arya. "Aku yang lebih-lebih minta maaf, Kak. Maaf sudah hadir dan menghancurkan keluargamu."

Arya memeluk Rama makin erat. Dua bersaudara itu saling mendekap dalam tangis, melepas perasaan satu sama lain yang telah terkungkung sekian lama.

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Riva menghampiri Chelia yang tersenyum-senyum sambil menatap layar ponselnya.

"Itu lagi chat sama siapa, Chelly?" Riva meletakkan susu hangat dan roti bakar di atas meja.

"Chat di grup, Kak Riva."

Riva tersenyum kecil. "Bahas apa? Kok mesem-mesem begitu?"

Chelia terkekeh kemudian menunjukkan foto di ponselnya. Dalam hitungan detik setelahnya Riva ikut terbahak. Foto Arya yang sedang tidur dengan mulut setengah terbuka terpampang di sana. Pipinya dipenuhi guntingan sticky notes membentuk kumis kucing. Sudah pasti kerjaan Rama lagi.

"Rama bilang kalau kak Arya tidak mau mengubah kurikulum, foto ini akan dikirim ke Notix untuk diviralkan."

Riva makin tergelak, membayangkan bagaimana reaksi Arya nanti. Riva sejujurnya sangat iri melihat percekcokan antara Arya dan Rama. Bukan tidak bersyukur memiliki Chelia sangat penurut dan tidak pernah membantah, Riva hanya senang melihat tingkah jahil Rama.

Berbeda dengan Arya yang begitu membanggakan Rean, Riva lebih kagum pada Rama. Meski gemar membuat huru-hara, di mata Riva, Rama adalah sosok yang sangat peduli dan rendah hati. Saat Chelia sakit, Rama satu-satunya yang menjaga adiknya itu tiap hari disaat yang teman-temannya lain mengambil izin bergantian. Rama juga bersedia meluangkan waktunya untuk menemani Chelia bila Riva sibuk bekerja, sekalipun harus menonton serial film Disney kesukaan Chelia berulang kali.

Tidak hanya itu, Riva juga sudah beberapa kali mendapati Rama membantu orang-orang yang kurang beruntung. Di kompleks perumahannya saja, tidak ada satu pun satpam dan tukang bentor yang mangkal di depan gerbang yang tidak mengenal Rama.

Rama pernah disangka penyusup karena memainkan sistem keamanan rumahnya dan digiring ke pos keamanan. Riva yang baru pulang sehabis menemani Chelia belanja bulanan saat itu dilanda panik, khawatir Rama dan teman-temannya yang lain diamuk massa. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Rama menghidupkan suasana di pangkalan itu dengan melakukan adu tanding main catur antara Rean melawan para satpam dan tukang bentor di sana. Meski akhirnya Rean menang telak, sebagai ucapan terima kasih Rama tetap memberi derma kepada mereka yang ikut berpartisipasi.

Chelia juga sering bercerita tentang kebiasaan Rama membeli dagangan penjual-penjual kecil di kampus dan membagikannya kepada anak jalanan.

"Ah, tapi sepertinya Notix tidak berani menyebarkan berita-berita negatif tentang Arya." Riva berceletuk sendiri.

Chelia yang tengah menguyah roti bakar buatan Riva menoleh. Raut wajahnya yang semula kebingungan berganti menjadi senyuman maklum. "Karena Kak Riva akan meretas dan menghancurkan akun mereka lebih dulu, kan?"

Riva tertawa ringan kemudian beranjak. "Untuk apa menghancurkan situs yang dibuat sendiri," bisiknya pelan.

Chelia merenung sejenak. Jauh sebelum fakultasnya terbentuk, jurusan farmasi memang berada di bawah naungan Fakultas Sains--fakultas Riva dan Arya dahulu. Notix tak tanggung-tanggung mengkritik dosen dan pejabat fakultas, namun sama sekali tidak pernah mengecam kepemimpinan Arya. Riva yang notabenenya seorang programmer pro juga tampak enteng tiap kali Chelia menceritakan akun hantu tersebut. Apa benar yang didengarnya barusan?

Riva berbalik pada Chelia yang melongo di tempatnya. Ada rasa khawatir bercampur geli melihat adiknya itu dengan susah-payah menelan buntalan roti yang belum sempat dikunyahnya. "Habis ini langsung tidur, Chelly. Jangan begadang. Ingat cuci muka dan berwudhu dulu sebelum tidur."

"Tadi Kak Riva bilang apa?" Chelia ikut bangkit setelah melumasi kerongkongannya dengan seteguk susu.

"Habis ini langsung tidur."

"Bukan yang itu."

"Jangan begadang."

"Bukan itu juga."

"Oh ...." Riva pura-pura mematut. "Ingat cuci muka dan berwudhu."

"Bukan! Kak Riva ini lama-lama jadi mirip Rama!" Chelia geregetan sendiri. Jelas-jelas tadi Riva mengatakan sesuatu tentang Notix.

Riva terkikik kemudian setengah berlari menyusuri tangga. "Selamat malam, Chelly sayang. Tidur yang nyenyak."

"Kak Riva!" Chelia dengan gemas mengejar Riva yang sesekali berbalik untuk memastikan adiknya tersebut tidak tergelincir.

Ya, bila Chelia bukanlah Rama yang sering mengusili Arya, maka ganti Riva yang akan mengusili adiknya itu.

☕☕☕

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro