28. Antitheta☕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-Oposisi-

Satu-satunya jalan bagi oposisi untuk memimpin adalah bergabung dengan sistem yang berkuasa dan merusaknya dari dalam.

-Rivandra Arzachel-
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa periode III Pimpinan Dewan Perencanaan Strategis Organisasi Tertutup dan Rahasia
Notix

~♥Happy-Reading♥~

.

.

.

Personal Chat

RamayanaKrissandy~
Kak, kamu di mana?

RamayanaKrissandy~
Kak Arya

RamayanaKrissandy~
Kakak

RamayanaKrissandy~
Goddy

RamayanaKrissandy~
Abaikan saja aku!

AryatamaKrishna~
Aku ada pertemuan, Rama. Kenapa?

RamayanaKrissandy~
Aku sakit parah

AryatakaKrishna~
Sakit apa?!

RamayanaKrissandy~
Jari kelingking kakiku tersandung di sudut meja

AryatamaKrishna~
Aku pikir apa! Tahanlah dulu, sebentar juga sakitnya hilang

RamayanaKrissandy~
Tapi aku mau kamu datang

AryatamaKrishna~
Setelah ini aku langsung ke sana

RamayanaKrissandy~
Jangan lama-lama, ya

AryatamaKrishna~
Oke

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Ada beberapa bagian tubuh yang bila terbentur akan mengalami nyeri hebat. Selain siku, jari kelingking kaki adalah salah-satunya. Merupakan suatu bentuk alarm keamanan tubuh.

Tuhan menempatkan saraf yang sangat padat dilengkapi dengan nociceptor—sensor yang sangat peka dalam mendeteksi kerusakan jaringan pada ujung jari kaki. Detektor ini akan mengambil jalur sumsum tulang belakang sebagai rute tercepat untuk mengirim sinyal bahaya ke otak. Otak yang sudah disetel sedemikian cerdas pun mengirimkan umpan balik secepat kilat dengan memancarkan rasa sakit yang luar biasa agar si pemilik tubuh yang ceroboh melakukan gerak refleks untuk mengamankan kakinya.

Arya paham betapa ngilu rasanya kelingking yang terantuk pinggiran meja, namun rasa sakitnya hanya sesaat. Setidaknya bukan penyakit parah yang membutuh penanganan gawat darurat seperti yang dikatakan Rama.

Bahu Arya sedikit berguncang kala dirinya berusaha menahan tawa saat Rama terus menerornya dengan puluhan spam stiker absurd. Mulai dari stiker crying Peter Parker sampai berbagai pose Spongebob yang sedang menangis.

Arya buru-buru membuka ponselnya kembali saat ada pesan baru yang masuk. Dari Rama lagi.

RamayanaKrissandy~
Di mana kamu, Kak? Kenapa lama sekali?

Anak manja! Baru lewat 10 menit juga! Apaan-apaan pula stiker ini! Arya mendengus kesal, namun ada senyum kecil yang terbit wajahnya.

Kegaduhan dari orang-orang berkumpul tidak membuat fokus Arya terganggu. Sejujurnya ia memang tidak menaruh minat pada pertemuan yang tidak membawa faedah ini. Rapat telah selesai sejak satu jam yang lalu, namun dirinya malah tertahan di antara kerumunan para tetua kampus yang penuh ambisi dengan obrolan seputar politik.

Arya sudah seringkali menghadapi masalah yang serupa. Walau kebanyakan dari mereka secara hirarki berada di jabatan yang lebih rendah, senioritas dan kewajiban untuk menghormati orang tua membuat Arya harus merendahkan hati. Terlebih bila pembicaraan menyimpang dari topik dan pejabat-pejabat kampus itu mulai mempromosikan putri-putri mereka untuk bersanding dengannya.

Dokter, dosen, polwan, pengacara, dan banyak lagi. Sayang Arya tidak tertarik. Arya tidak butuh wanita hebat untuk mengimbangi karirnya. Justru, ia mencari pasangan yang sederhana. Wanita yang senang tinggal di rumah, yang akan menyambutnya dengan senyum tulus, pelukan hangat, dan makanan enak saat ia penat sepulang kerja.

Arya bangkit dan bergegas, setidaknya spam chat dari Rama membuatnya memiliki alasan untuk mengambil langkah dari perkumpulan memuakkan itu.

Sesaat setelah Arya melangkah keluar, ponselnya berdering lagi. Senyum Arya yang merekah seketika sirna melihat nama berikut pesan yang terpampang di layar.

Mendadak kepala Arya terasa berkedut. Satu hal penting yang dilupakan olehnya adalah janjinya untuk bertemu sang ayah setelah urusannya di kampus hari ini selesai.

Arya menghela napas berat. Jika ditinjau dari sudut pandangnya, Arya tidak bisa mengingkari bahwa ia begitu menyayangi ayahnya. Setelah orang tuanya berpisah, segela sesuatundiurus seorang diri oleh sang ayah. Ayahnya berperan besar dalam membiayai pendidikan dan mendukung karirnya. Bahkan tak tanggung-tanggung mengambil jalur hukum dan tindakan tegas untuk memberinya pembelaan dan menjaga nama baiknya.

Arya mungkin beberapa kali menolak panggilan telepon ayahnya, namun tidak untuk pertemuan kali ini sebab ayahnya hanya kembali ke tanah air sekali dalam beberapa bulan.

Tapi, bagaimana pula dengan janjinya pada Rama?

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Bila ada manusia yang tujuan diciptakannya adalah untuk menguji kesabaran manusia lain, Edward yakin Rama adalah salah-satunya.

Edward tidak habis pikir dan terus menatap kagum pada Arya yang begitu sabar menghadapi segala tingkah Rama.

"Sakit! Sakit!" Rama merintih saat Arya menekan jari kakinya.

"Sabar! Ini kukumu patah, harus dicabut dulu." Arya kembali menarik kaki Rama ke pangkuannya.

Edward dan Rean saling menukar pandangan. Mereka merasa tidak enak pada Arya yang datang jauh-jauh hanya untuk melakukan pekerjaan remeh-temeh yang mereka berdua bisa selesaikan sendiri—andai Rama mengizinkan.

Dengan bermodalkan gunting kuku dan pinset, Arya pun berusaha mengangkat serpihan kuku yang menyelip tersebut. Sayangnya Rama terlalu banyak gerak hingga gunting kuku menancap terlalu dalam dan Arya terlanjur menekan tuasnya kuat-kuat.

"Aaaa ...!" Rama merintih kesakitan sambil memeluk kedua lututnya erat-erat. Arya yang tak kalah terkejut pun langsung bangkit. Matanya melebar begitu melihat darah mengalir dari sudut bantalan kuku Rama yang terkelupas.

Rean bersegera mengambil kotak kesehatan, bersamaan dengan Chelia, Erva, dan Cassy yang berlarian masuk.

"Kalian sudah tiba? Kenapa tidak bilang! Pagar di depan itu macet, pasti susah dibuka," sambut Edward.

Cassy menggeleng. "Nggak, kok. Tadi dibantu Falak dan kak Riva. Karena mendengar teriakan Rama, kami langsung masuk saja."

Chelia bersegera menghampiri Rama dan berlutut di hadapannya. "Ya, ampun! Kenapa bisa berdarah begini, Rama?"

Rama melirik Arya kesal. "Gara-gara Godzilla yang satu ini, nih! Sakit banget, tahu!" tudingnya pada Arya.

"Salah sendiri banyak gerak." Arya membela diri.

"Kau di sini juga, Arya? Tumben, biasanya jadwalmu sangat padat."

Arya menoleh pada Riva yang melenggang masuk sambil memainkan kunci mobilnya.

"Kau sendiri?"

"Aku mengantar Chelly. Mumpung tidak ada kerjaan aku mampir dulu. Lama rasanya tidak main ke sini."

"Kau sering datang ke sini?!"

Riva yang melihat gelagat cemburu dari Arya berusaha menahan tawa. "Ya, aku sering main ps dan nonton bareng mereka," katanya bangga lalu berjalan menuju Rama.

"Kak Riva!" Rama berseru senang saat Riva ikut menghampirinya.

Arya mendecih. Sekarang Rama mengabaikan keberadaannya, padahal ia sudah merelakan waktunya untuk mengerjakan tugas dan menunda pertemuannya dengan sang ayah sampai jam makan malam nanti.

Rean yang sudah kembali dengan menenteng kotak swab alkohol hanya tersenyum samar melihat teman-temannya yang telah datang. Sore ini mereka memang berniat untuk belajar bersama.

"Sini kubantu, Rean." Chelia lekas mengambil kapas alkohol di tangan Rean dan membersihkan kaki Rama.

"Jangan, Sweetheart! Biar aku saja!" cegah Rama.

Chelia hanya mendongak sebentar lalu kembali membaur kelingking Rama. "Tidak apa-apa Rama, jangan bergerak dulu," tuturnya lembut.

Rean memandangi momen tersebut sambil menahan napas. Selalu ada perasaan yang sulit dijelaskan dalam hatinya tiap kali melihat Rama dan Chelia dekat seperti itu.

Chelia memang baik pada semua orang. Lagi pula itu Rama. Kenapa aku harus gelisah begini! tegurnya pada diri sendiri dalam hati.

"Brother, kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Rama pada Rean. "Ah, kamu terlalu mengkhawatirkanku, ya?"

"Anggap saja begitu."

"Kuanggap begitu dengan senang hati." Rama menyengir dan berbalik pada Arya yang berdiri. "Kak, kamu mau ke mana?"

"Pulang," balas Arya singkat.

"Kenapa cepat sekali? Jangan lari dari tanggungjawab kamu!"

"Tanggungjawab apa? Kamu yang mengabaikanku dari tadi."

Rama menunjuk jari kelingking kakinya. "Tanggungjawab telah melukai kakiku dan membuatku kehilangan banyak darah."

"Cuma beberapa setetes juga!" umpat Arya namun kembali ceria dan duduk di sebelah Rama.

Rama menatap Arya kesal dan mencebik. "Kak Arya sayang, dengar ya, setetes darah itu sangat berharga. Kamu tidak pernah baca poster yang ditempel di depan kantor PMI itu? Apalagi untuk golongan darah langka sepertiku."

Riva yang mendengarnya terkekeh dan mengacak rambut Rama, "Memang golongan darahmu apa?"

"O rhesus negatif. Hanya bisa didonorkan oleh sesama O rhehus negatif. Benar kan, Chelly?"

Chelia mengangguk. "Karena itu berhati-hatilah, Rama."

"Iya, iya, Sweetheart." Rama bergumam dengan sedikit tersipu.

"O rhesus negatif?" seru Arya yang kemudian merutuki diri karena frekuensi suaranya yang impulsif meninggi.

"Iya! Langka, kan? Aku ini memang patut dilestarikan seperti Harimau Sumatra."

Arya terpaku. Itu seperti golongan darah ayah!

"Kenapa, Kak?" Rama menarik-narik lengan Arya yang membisu tiba-tiba.

"Tidak apa-apa." Arya spontan menggeleng. "Ngomong-ngomong, berkas pendaftaranmu sudah lengkap, Rean?" tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan.

Rean terkesiap. Belum menjawab, ia justru diserbu dengan pertanyaan dan raut wajah bingung dari Chelia, Cassy, dan Erva.

"Pendaftaran apa?" tanya Chelia memandangi Rean lekat-lekat.

Rean mengelus belakang lehernya. "Pendaftaran ketua BEM."

"Kamu mendaftar sebagai ketua BEM?!" Cassy terbeliak.

Chelia menatap Rean, Rama, dan Edwards sambil cemberut. Rean pernah terlibat perkelahian dengan Dandy sewaktu memperebutkan posisi ketua HMJ. Oleh karena itu Chelia, Cassy, Erva, dan Naya sangat mewanti-wanti ketiga teman laki-lakinya itu agar tidak mengambil peranan besar dalam dunia politik kampus lagi—terkecuali untuk Edward yang memiliki misi khusus.

"Kenapa kalian tidak bilang apa-apa? Katanya harus terbuka!" Chelia memainkan ujung roknya dengan jari.

"Kalau kita yang menyembunyikan sesuatu, pasti kalian akan marah." Erva menambahkan.

Rama menatap Arya dongkol. Ini semua karena pertanyaan kakaknya itu. "Bukan begitu, Chelly. Kami tidak ingin membuat kalian khawatir. Apalagi sudah dekat mid semester."

Riva yang melihat perselisihan itu akhirnya turun tangan. "Apa salahnya bila Rean mendaftarkan diri jadi ketua BEM, Chelly? Rean memiliki potensi besar. Selama lima tahun posisi ketua BEM dipegang oleh jurusan farmasi, bukan? Beban berat bagi Edward bila tidak berhasil mempromosikan calon yang bisa mempertahankan posisi itu."

Edward hanya mengangguk kikuk, membenarkan Riva.

"Tapi ini tingkat fakultas, Kak Riva. Aku pernah dengar kalau persaingan antar jurusan ini sangat mengerikan."

Riva melirik Arya yang menghela napas. "Kak Riva lebih tahu itu, Sayang. Tidak akan ada yang terjadi. Jangan khawatir."

Serempak Edward, Rama, dan Rean mengiyakan.

"Aku berjanji tidak akan terlibat perkelahian dalam bentuk apapun lagi." Rean berikrar.

"Benar. Kami akan baik-baik saja," tegas Edward pula.

"Janji?" Chelia mengangkat kelingkingnya diikuti Cassy dan Erva.

Rean, Rama, dan Edward segera melakukan hal yang sama. "Janji."

Chelia, Cassy, dan Erva akhirnya tenang dan bisa menerima keputusan tersebut sedang Riva dan Arya hanya tersenyum penuh arti, teringat masa-masa kuliah mereka dahulu.

"Yah ... Naya tidak ikut belajar hari ini." Cassy berujar lesu sambil memperlihatkan sebuah pesan dari Naya di layar ponselnya.

Erva mencondongkan tubuhnya pada Cassy. "Naya membalas pesanmu, Cassy? Pesanku dari tadi tidak dibalas."

"Mmm ... ini Naya yang beri kabar sendiri, sih. Aku baru saja mau tanya, tahu-tahu pesannya sudah masuk duluan."

"Oh, begitu. Baguslah kalau Naya sudah ada kabar. Aku pikir dia sakit perut karena makan rujak level 10 waktu istirahat tadi. Mungkin chatku tenggelam jadi tidak dibaca," kata Erva tanpa prasangka sama sekali.

Dengan haru Chelia tersenyum membenarkan Erva. Sejujurnya ia begitu khawatir pada Naya yang seolah menghindar sejak kemarin. Namun menyalahkan Erva juga bukan hal yang tepat untuk dilakukan. Chelia bahkan tidak yakin kalau Erva mengetahui perasaan Gio padanya.

Chelia menghela napas panjang. Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggungjawab?

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Oposisi sering didefinisikan sebagai kelompok penentang golongan yang berkuasa. Meski konotasinya cenderung mengarah pada hal negatif, Rean yang pernah berada di posisi tersebut mampu menjabarkannya dari sudut pandang lain.

Bagi Rean, tidak semua oposisi itu buruk. Tidak semua minoritas itu menyimpang. Kebaikan tidak bergantung pada banyaknya suara, bukan?

Beberapa bulan yang telah lewat, Rean pernah berkonfrontasi melawan Dandy saat memperebutkan posisi calon ketua HMJ. Dandy menuding Rean tidak loyal pada keputusan rapat HMJ untuk mengadakan demonstrasi dan arak-arakan di jalan dengan mempengaruhi teman-temannya untuk tidak berpartisipasi.

Rean mengaku melarang Chelia, Cassy, Naya, Erva, dan beberapa teman seangkatannya yang lain terutama para perempuan dan yang memiliki penyakit khusus untuk ikut karena kegiatan tersebut tergolong berbahaya. Rean sudah cukup trauma kehilangan orang yang dicintainya karena aksi di jalan, namun ia sama sekali tidak berniat melakukan sabotase. Sayang kabar tersebut sudah terlanjur tersebar sampai ke jurusan tetangga sehingga Rean digugurkan sebagai kandidat.

Beruntung Rean dan Edward berguru pada Riva, sang organisator ulung. Bahkan Arya sendiri mengakui kepiawaian Riva perihal kepemimpinan.

Rean masih ingat Riva hanya tertawa mendengar keluhannya saat itu. Riva kemudian memberinya pencerahan dengan sebuah taktik yang dianalogikan serupa teknik invasi virus.

Virus adalah makhluk lemah yang bahkan tidak punya kemampuan untuk hidup dengan kekuatannya sendiri. Tapi infeksi virus pada kenyataannya jauh lebih sulit untuk ditangani.

Kamuflase alias penyamaran identitas adalah kuncinya. Virus diam-diam masuk ke dalam sel, bergabung dengan inti, mengambil alih proses metabolisme, merakit dan memperbanyak diri, kemudian menghancurkan sel dari dalam.

Maka belajar dari siklus hidup virus itulah Rean mengirimkan Edward--yang semula akan dijadikan wakilnya--menjadi pasangan Dandy di pencalonan. Edward memiliki reputasi yang baik, sikapnya yang ramah dan wajahnya yang khas membuatnya dikenali dengan mudah oleh dosen dan senior. Dandy yang memang hanya mengincar kedudukan pun menelan mentah-mentah umpannya dan menerima Edward dengan bangga hati.

Setelah terpilih dan hampir 2 bulan menjabat, rumah tangga HMJ Farmasi benar-benar kacau. Dandy sering kali bersikap otoriter dan tidak berpikir panjang. Bahkan melakukan negosiasi dengan jurusan Keperawatan dan berjanji tidak akan mengirimkan delegasi dari jurusannya sebagai calon ketua BEM dengan diiming-imingi uang. Edward yang mengetahui rencana itu pun tidak tinggal diam dan memutuskan akan membuka semua kedok Dandy saat musyawarah himpunanan, yang bertepatan dengan hari di mana pacar Dandy ditemukan tewas bunuh diri.

Rean membuang napas kasar. Sekarang mereka tidak lagi berada pada posisi inferior. Kepemimpinan HMJ diambil alih Edward selaku wakil Dandy. Aksesnya untuk dipromosikan menjadi calon ketua BEM pun semakin mudah. Lagipula, ada banyak hal yang harus ia lanjutkan dari kepemimpinan seniornya di lembaga eksekutif itu. Sekarang masalahnya adalah golongan-golongan oposisi dari jurusan lain yang ingin menggulingkan dominasi kepemimpinan farmasi.

"Rean, kamu masih di situ?" Edward menepuk pundak Rean dari belakang dan ikut memandang lapangan fakultas dari balkon depan ruang HMJ. Edward mengikuti arah pandang Rean yang berakhir pada kerumanan orang-orang di pojok lapangan. Perkumpulan beranggotakan masing-masing anggota himpunan dari jurusan Keperawatan dan Kesehatan Masyarakat. Mereka membentuk kelompok golongan oposisi untuk mengambil alih kepemimpinan jurusan Farmasi di pemilihan nanti.

"Jangan ragu, kamu ingat kata kak Riva?" Edward berdeham kecil. "Kerikil padat akan lebih berarti dibanding bongkahan bebatuan berongga."

Rean mengangguk kecil kemudian mengulangi kata-kata Riva dalam hati.

Para oposisi yang membentuk koalisi itu ibarat batu berongga, tampak menyatu, namun rapuh. Mereka saling memendam rasa curiga satu-sama lain.

Detik ini mereka mungkin mengusung satu jurusan yang akan didukung bersama, siapa yang tahu bila waktu pemilihan mereka membalik keadaan?

Ingatlah bahwa virus itu bekerja opornutis. Hakikatnya mereka bekerja untuk hidup. Menumbangkan sel inang hanya dampak dari misinya itu. Oposisi tidak akan tunduk pada satu golongan, mereka hanya mencari kesempatan untuk memenangkan persaingan.

Bila ini untuk kebaikan, majulah, jangan ragu. Aku, Arya, dan Vian mendukungmu. Lanjutkan apa yang telah kami mulai dahulu.

Dengan satu tarikan napas, Rean menegakkan badan. "Eddy, kamu dipihakku, kan?"

"Sampai akhir." Edward menyambut telapak tangan Rean dan menjabatnya erat. "Mari berjuang bersama."

Rean mengembangkan senyum. Tekadnya sudah bulat.

Aku akan menjadi ketua BEM dan membawa kesejahteraan bagi fakultas ini!

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Kabar tentang rencana pendaftaran Rean sebagai calon ketua BEM menyebar luas satu fakultas. Gio telah mempublikasikannya berdasarkan keterangan dari Edward selaku wakil ketua HMJ yang menjabat saat ini.

Gio bisa merasakan atmosfer penuh persaingan dari jurusan-jurusan lain yang gagal melakukan kudeta terselubung dengan menyuap Dandy. Gio sebenarnya tidak ingin mengurusi persoalan politik kampus. Namun kali ini rasanya sedikit beda. Rean dan Edward terlibat. Aneh memang, tapi entah mengapa Gio merasa harus membantu mereka.

"Sial! Bisa kalah kita kalau begini!"

Gio yang baru akan berbelok sehabis menaiki tangga lekas bersembunyi di balik dinding begitu matanya menangkap empat orang yang dikenalinya sebagai anggota himpunan jurusan keperawatan duduk melantai di koridor, tampak saling berembuk.

"Rean itu saingan yang sangat berat. Nilai akademiknya bagus, jago bela diri, terkenal di kalangan dosen."

"Ditambah lagi dia adalah sepupu dokter Vian yang manis dan baik hati itu." Seorang perempuan centil berceletuk. "Dan dia juga ganteng. Sayang sangat dingin! DMku tidak pernah dibalas!" tambahnya.

"Dasar! Jangan salah fokus dulu! Bagaimana pun kita harus memenangkan pemilihan! Aku sudah kehilangan banyak uang untuk ini!"

Gio makin merapatkan posisinya hingga mirip bunglon yang menempel di tembok saat sebuah suara berat terdengar melerai pertikaian kecil yang terjadi.

"Jangan khawatir. Kita punya senjata rahasia."

Senjata rahasia? Gio makin penasaran.

"Devide et impera. Politik pecah belah. Kunci utama kesuksesan VOC menjajah Indonesia. Kita tidak akan menang bila harus menyaingi Rean. Maka kita buatkan untuknya saingan yang sepadan."

Gio masih berusaha memahami kata-kata tersebut saat seseorang mengejutkannya dari belakang.

"Oi, batu Giok! Kamu ngapaian menempel di dinding seperti itu! Bosan jadi manusia, ya?"

Gio mengurut dada begitu menghadap pada Rama dan Chelia, hampir saja ia jatuh terjungkal saking kagetnya.

"Rama, lewat jalan lain saja," pinta Chelia dengan kepala menengok ke arah koridor.

"Kenapa, Sweetheart? Kejauhan kalau kita putar lagi."

"Ini daerah anak keperawatan."

"Kata siapa ini daerah anak keperawatan? Kita sama-sama banyar SPP, kan. Ayo, jangan takut begitu." Rama beralih pada Gio. "Jangan-jangan kamu juga takut lewat di sini ya, Gio! Makanya kamu stres dan mencoba jadi cicak kayak tadi."

Gio belum menemukan kata-kata untuk diutarakan saat Rama mendorongnya untuk berjalan duluan. Mau tidak mau Gio pun meneruskan langkah. Apalagi keberadaan mereka sudah diketahui.

Gio menelah ludah. Ia melirik Rama yang melenggang tenang dengan Chelia dalam rangkulannya.

Tiba-tiba seorang anak keperawatan dari kerumunan tadi menghadang jalan mereka. "Wah! Enteng benar! Kalian pikir ini jalan punya nenek moyang kalian, apa?!"

Gio tercekat. Ia mundur beberapa langkah. Chelia pun menyembunyikan wajahnya, merapat pada Rama.

"Duh, siang-siang begini diberi pertanyaan sejarah!" Rama menghentakkan kepala. " Santai saja Bro, kami enggak berpikir begitu, kok. Nenek moyang kita kan pelaut, bukan tuan tanah yang seenaknya mematok jalan."

Chelia membulatkan mata dan mendongak pada Rama yang menjawab dengan santai.

"Kamu tahu persis kalau ini wilayah anak keperawatan!" tandas seorang lagi.

"Jadi sekarang hukum wilayah itu berlaku, ya? Kalau begitu aku yakin kalian semua jago parkour, atau paling tidak bisa terjun bebas." Rama mengubah sorot matanya. "Kalian pikir laboratorium di lantai dua itu milik siapa? Dari ujung ke ujung itu punya laborarotium farmasi. Kalau kami menerapkan hal yang sama, kalian mau pulang lewat mana? Kalian sendiri kan, yang repot kalau harus bawa-bawa parasut setiap hari."

Keempat orang yang kini berdiri menghadang tersebut bungkam. Tidak ada yang bersuara sampai salah seorang maju dan mengulurkan tangan.

Gio mengerutkan dahi. Firasatnya tidak enak. Orang yang kini tersenyum itu adalah yang berbicara perihal politik pecah belah tadi.

"Maafkan teman-temanku yang terlalu sensitif ini, Rama."

Chelia menyipitkan mata mendengar perkataan lelaki tinggi kurus yang berbicara sok akrab itu.

"Aku Mahesa, calon ketua BEM dari jurusan keperawatan."

Rama menaikkan sebelah alisnya saat Mahesa mengulurkan tangan padanya. "Bergabunglah bersamaku sebagai calon wakil ketua BEM."

Mahesa tersenyum ramah. "Pak Arya dulunya organisator besar juga, kan? Dia pasti bangga bila kamu mengikuti jejaknya. Pekerjaannya juga akan jauh lebih mudah dengan bantuanmu, bukan begitu?"

Rama terdiam. Arya memang sangat antusias meminta Rean memimpin mahasiswa di lembaga eksekutif fakuktasnya itu. Riva juga begitu mendukung dan memberi semangat pada Rean.

Gio terbeliak. Jadi ini maksud politik pecah belah tadi? Gio merasa jantungnya berhenti berdetak saat Rama tersenyum dan menyambut uluran tangan itu.

"Menarik. Terima kasih atas tawaranmu."

☕☕☕

TBC

Kira-kira Rama akan menerima tawaran menjadi calon wakil ketua BEM atau tidak ?
🤔🤔🤔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro