34. Repression☕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-Frozen Memory-

Mnemosyne-Μνημοσύνη

The goddes of memory in Greek mythology. "Mnemosyne" is derived from the same source as the word mnemonic, that being the Greek word mnēmē, which means "remembrance, memory"

Happy-Reading

.

.

.

Kosekuensi logis dari makhluk yang memiliki ingatan adalah lupa. Meski sedikit mengjengkelkan, nyatanya ketidakmampuan untuk memanggil informasi yang sebelumnya telah tersimpan dalam memori itu adalah cara terbaik tubuh untuk mempertahankan diri secara psikis. Lupa membantu otak menyediakan ruang untuk impuls-impuls baru, mencegah rasa takut berlebihan, dan menghindarkan diri dari trauma.

Sayangnya, proses tersebut tidak berlaku penderita sindrom langka hipertimesia seperti Chelia. Dengan daya tampung memori yang tak terbatas dan kemampuan melakukan pemanggilan terhadap kesemua memorinya secara rinci, lupa menjadi hal yang tabu baginya. Chelia bisa mengingat jelas segala hal yang dialaminya sejak berusia kurang lebih 3 tahun. Bahkan mampu mengingat kesemua mimpi-mimpi yang dialaminya.

Meski tampak hebat, dampak dari ingatan yang sempurna itu adalah tekanan psikologis yang luar biasa. Chelia sangat kesulitan untuk lepas dari kenangan dan emosi negatif di masa lalu. Ia pun kerap kali dihantui mimpi buruk, rasa bersalah, dan memiliki banyak fobia serta trauma yang berimbas pada kesehatan fisiknya. Lebih mengenaskan lagi, tak jarang dirinya terjebak dalam memori berintensitas tinggi sampai suatu impuls membuatnya tersadar.

Puncak prahara tersebut adalah ketika terjadi peristiwa kecelakaan yang menewaskan ibunya 12 tahun silam. Mobil yang dikendarai sang ibu untuk membawanya pergi saat itu hilang kendali, terperosok ke dalam jurang, dan tenggelam hingga di dasar danau.

Chelia yang berhasil selamat mengalami guncangan jiwa yang luar biasa. Memori tentang ibunya yang kuat membuatnya seringkali tertarik kembali ke masa-masa di mana ibunya masih hidup dulu, membuatnya lebih merasakan kehidupan di dalam angan-angannya.

Recall yang terlalu spesifik pun membuatnya sulit membedakan alam mimpi dengan dunia nyata. Bila tersadar akan ibunya yang telah tiada, Chelia akan menyakinkan dirinya bahwa yang dialaminya hanyalah sebuah mimpi dan berusaha untuk bangun dengan jalan menyakiti dirinya sendiri.

Riva menunduk seraya mengusap tengkuknya dengan resah. Bagian yang akan diceritakannya ini sedikit tidak menyenangkan baginya.

Hari itu seminggu setelah kepergian ibunya. Riva yang baru pulang dari sekolah dibuat heran dengan Chelia yang menyambutnya dengan ceria. Padahal kemarin-kemarin adiknya itu terus murung dan menangis habis-habisan.

"Kak Riva, bagaimana sekolahnya? Besok aku sudah boleh ke sekolah, kan? Aku sudah sehat!"

Riva meraih Chelia kecil yang langsung melingkarkan lengan di lehernya. "Chelly benar sudah sehat?"

Chelia mengangguk semangat.

"Baiklah. Kalau ayah mengizinkan, Chelly boleh masuk sekolah lagi besok."

Chelia tersenyum manis dan memeluk Riva erat-erat. Riva balas memeluk, mengusap rambut Chelia dan mengecup puncak kepalanya dengan penuh kasih.

"Kak Riva, aku mimpi buruk." Chelia dalam pelulan Riva berujar lirih.

"Mimpi apa, sayang?" tanya Riva was-was.

"Aku bermimpi ibu meninggal. Aku melihat ibu dikuburkan. Aku sedih sekali. Tapi mimpi itu hanya bunga tidur, kan Kak?"

Riva tergemap dan diam seribu bahasa.

"Ibu ke mana, ya? Kenapa belum pulang?" Chelia bergumam sendiri sambil terus menatap ke arah pintu. "Tadi aku menelepon ibu dengan telepon rumah, tapi ibu tidak menjawab."

Riva menarik napas dalam-dalam lalu mendudukkan Chelia di sofa. Ia menatap Chelia dengan mata berkaca. Luka di hatinya makin terbuka menyaksikan sorot mata polos penuh tanda tanya dari adiknya itu.

"Chelly sayang Kak Riva, kan?"

"Iya! Chelly sayang sekali!"

"Kalau begitu Chelly mau berjanji akan mendengar Kak Riva?"

"Janji!"

Riva menarik napas panjang dan membelai pipi Chelia. "Apa yang Chelly lihat itu bukan mimpi. Ibu memang sudah tidak bersama kita lagi. Sekarang ibu sudah bahagia di surga. Tapi Chelly masih punya ayah dan Kak Riva di sini. Jadi Chelly jangan bersedih, oke?"

Chelia terpegun. Terlintas kembali rangkaian kejadian saat ia dan ibunya berada di ujung maut. Saat mobil mereka terguncang dan menerjang pepohonan di lereng jurang.

"Tidak! Itu tidak mungkin! Semua itu hanya mimpi! Ibu masih hidup!" Chelia menggeleng sambil menangis.

"Chelly ...." Air mata Riva mulai mengalir.

"Lepas! Kak Riva jahat! Kak Riva bohong!" Chelia turun dari sofa dan berbalik pada Riva dengan tatapan nanar.

Riva mengusap air matanya dan berusaha mengjangkau Chelia lagi. "Chelly sayang sabar, yah ...."

Chelia tetap tidak terima dan menangis sejadi-jadinya.

"Aku pasti bermimpi." Chelia menatap Riva. "Ya, ini pasti hanya mimpi! Ibu bilang, kalau aku mimpi buruk aku harus bangun! Aku harus memaksa diriku untuk bangun!"

Selepas berkata demikian Chelia berlari menuju tepian tangga.

Riva berusaha mencegat Chelia yang mengambil ancang-ancang untuk melompat. Tanpa berhasil dicegah, Chelia langsung menjatuhkan dirinya. Ia mengalami geger otak parah dan memar di beberapa bagian tubuh.

Sejak saat itu emosi Chelia seringkali tidak stabil. Chelia menjatuhkan dirinya di tangga bukan hanya sekali, tak jarang pula ia melukai dirinya dengan benda-benda tajam hanya untuk membuat sadar dari mimpi buruk yang sebetulnya adalah kenyataan yang sebenarnya.

Satu-satunya cara untuk membuat Chelia pulih adalah dengan menghapus ingatannya melalu represi. Suatu metode bersifat koersif yang melibatkan tekanan dan paksaan. Untuk alasan itulah Chelia harus mendekam di ruang isolasi rumah sakit khusus selama dua tahun.

Ingatan Chelia tentang ibunya ditarik keluar dengan paksa. Riva masih ingat bagaimana penderitaan Chelia yang setiap hari harus melalui hari-harinya dengan ancaman dan rasa takut, hanya untuk membuat otaknya benar-benar trauma hingga membuang sendiri kenangan pahitnya.

Riva tak kuasa lagi bercerita. Ia mengerjap beberapa kali menahan perih di permukaan matanya. "Maaf ... tapi sampai di sini saja," ujarnya sedikit serak pada teman-teman Chelia yang kali ini hadir tanpa Rean, juga pada Arya yang entah mengapa turut serta mengantar adiknya pulang.

Chelia sendiri sudah sempat siuman di kampus tadi. Suatu keberuntungan besar baginya sebab Vian tetap berjaga di poliklinik meskipun unit kesehatan itu tidak beroperasi di akhir pekan. Saat demamnya mereda setelah mendapat suntikan antipiuretik, Chelia sadar dan melupakan peristiwa yang membuatnya jatuh pingsan. Ingatannya hanya sebatas Cassy dan Edward yang berseteru. Karena masih terlalu letih, sekarang ia sedang beristirahat ditemani Vian.

"Chelly ... hiks!" Cassy tersedu, tidak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan. Cassy tidak menyangka Chelia memiliki masa lalu yang kelam. Pantas saja Riva begitu protektif padanya.

Erva merangkul Cassy, ia pun terkejut dengan kenyataan ini. Chelia yang dikenalinya sebagai orang paling cerdas ternyata pernah menjadi seorang pasien rumah sakit jiwa.

"Tapi bagaimana Chelly tidak ingat kejadian tadi?" Naya menutup mulut menyadari dirinya yang tidak sengaja berceletuk. "Maksudku ... ingatan Chelly yang ditutup itu tidak akan diingat lagi, kan?"

"Semoga begitu." Riva mengatur napas sejenak. "Kalian tahu sistem deep freeze? Kira-kira seperti itulah memori Chelia diatur."

Semua perhatian kembali terpusat pada Riva.

"Deep freeze?"

"Ya. Sistem yang memulihkan komputer kembali ke pengaturan awal setiap kali komputer dimatikan. Seperti itu analoginya." Riva menarik napas sejenak. "Dalam kasus yang dialami Chelly, memorinya dibekukan untuk kenangannya dengan ibuku. Sehingga bila ingatan itu masuk, saat terbangun, ia akan terlupa lagi. Kecuali ...."

"Kecuali?"

"Kecuali bila kekuatan memori itu cukup besar." Riva menatap Cassy, Erva, Naya, Rama, dan Edward bergantian. "Karena itu bila suatu saat Chelly kembali terjebak dalam ingatannya lagi, tolong bantu dia untuk keluar. Sadarkan dirinya."

Naya terhenyak. "Seperti yang dilakukan Rama tadi?"

Rama yang semula diam terkesiap. Kini semua tatapan mengarah padanya.

"Kamu sudah tahu masalah ini sebelumnya, ya?" tanya Naya lagi mengingat bagaimana Rama menegaskan keberadaan mereka pada Chelia di kampus tadi.

Rama mengangguk pelan. "Sewaktu menjaga Chelly saat sakit di hari itu, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan Kak Riva dan Kak Vian. Aku tidak mengatakannya pada kalian karena aku tidak punyak hak untuk itu." Rama menoleh pada Riva. "Maaf Kak, aku tidak bermaksud menguping sama sekali."

Riva tersenyum haru. "Terima kasih. Kamu memang selalu bisa diandalkan," katanya mengacak rambut Rama.

Helaan napas Rama mendadak terasa makin berat. Riva masih bersikap hangat padanya karena belum tahu permasalahan yang terjadi. Ia melirik sesaat pada Arya di sebelahnya. Saat Vian menangani Chelia di poliklinik, ia mendatangi kakaknya itu dan meminta bantuan darinya untuk menjelaskan masalah mereka pada Riva. Meski sempat dilanda perasaan gentar, Rama tidak menyangka Arya langsung percaya pada penuturannya dan bersedia ikut mengantar Chelia pulang.

"Kita harus bicara, Riva."

Riva beralih pada Arya.

"Ini tentang masalah pencalonan Rean."

Kedua alis Riva bertautan."Ada apa?"

"Kita bicara di ruang kerjamu saja. Edward, sebaiknya kamu juga ikut untuk memberi keterangan."

"Eh-oh, baik!" Edward berdiri. Sekilas sudut matanya mengarah pada Cassy yang masih merajuk padanya.

Arya mempersilahkan Riva dan Edward berjalan lebih. Ia lalu menepuk punggung Rama yang masih terlihat gelisah.

"Jangan khawatir. Aku akan meyakinkan Riva."

Rama mengulum senyum samar. "Kenapa kamu percaya begitu saja padaku, Kak?"

"Bukankah sudah jelas?"

"Apa?"

"Dimana-mana itu, kakak yang bertanggungjawab atas adiknya." Arya mengusap kepala Rama sekilas kemudian menyusul Riva dan Edward.

Rama tersenyum simpul, perasaannya menjadi jauh lebih lega. Dipandanginya punggung Arya yang selalu tegap tanpa terlihat ragu.

Ah, dasar Godzilla sok keren.

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Hari menjelang petang saat Chelia terbangun dari tidurnya. Sinar matahari senja yang merambat menembus ventilasi menampakkan bayangan dari debu-debu halus yang mengisi ruang kosong di udara. Perpaduan efek tyndall dan gerak brown yang sempurna.

Chelia membuka perlahan kelopak matanya yang masih terasa berat. Dalam hati ia merutuki memori sempurna yang membuatnya sangat mudah tertekan dan letih.

"Chelly, kamu sudah bangun?" Naya yang tengah melihat-lihat koleksi ensiklopedia terkejut saat mendapati Chelia dalam posisi duduk di tempat tidurnya.

Cassy yang sibuk menonton drama Korea bersama Erva pun berbalik.

"Chelly, bagaimana perasaanmu? Kamu baik-baik saja, kan?"

Chelia tersenyum kecil. "Ya. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir, kata kak Vian aku hanya kelelahan saja."

Cassy, Naya, dan Erva diam-diam melirik satu sama lain lalu mengangguk maklum.

"Edward dan Rama sudah pulang?"

"Edward sedang bicara dengan Kak Riva dan Pak Arya," terang Naya melihat Cassy yang masih enggan bahkan hanya untuk membicarakan Edward saja.

"Ada Kak Arya, juga?"

"Ya, Rama sudah menjelaskan semua padanya."

Chelia terdiam sesaat. "Lalu Rama di mana?"

"Tadi aku lihat Rama duduk di taman belakang, Chelly," jawab Erva setelah mengerling pada Cassy dan Naya.

Tanpa menunggu lagi, Chelia pun bergegas menuju taman belakang setelah meyakinkan keadaanya. Awalnya Cassy dan Erva ingin ikut, namun Naya mencegah untuk memberi ruang bagi Chelia dan Rama.

"Rama ...," panggil Chelia begitu mendapati Rama duduk sendirian di taman dengan kedua tangan bertumpu di atas lutut, menyangga pelipisnya.

Rama berbalik spontan.

"Chelly? Kamu sudah baikan? Jangan keluar dulu, istirahat saja!"

"Aku baik-baik saja, Rama." Chelia mengambil tempat di sebelah Rama. "Kamu sedang apa di sini?"

Rama memandang langit yang mulai gelap, mempertegas bintang-bintang yang bertaburan di atas sana.

"Sedang melihat bintang, siapa tahu ada yang jatuh."

Chelia tersenyum sedih dan menunduk. "Kamu ingin buat permintaan?"

"Bukan, Sweetheart. Kenapa memohon pada bintang bila kita punya Tuhan pencipta alam semesta." Rama mengangkat kepala. "Aku ingin mencari bintang jatuh untuk kuberikan pada seseorang agar dia tidak sedih lagi."

"Siapa?"

"Yang barusan bertanya."

Chelia memalingkan wajah menahan air mata, antara sedih dan haru mendengarnya.

"Sweetheart," panggil Rama lembut.

"Ya, Rama?"

"Aku sudah membuat keputusan."

"Keputusan apa?"

Rama menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Biarkan saja foto itu tersebar."

Mata Chelia membulat.

"Aku akan mengakuinya."

"Maksud kamu apa?" tanya Chelia dengan suara bergetar. Matanya mulai berkaca.

"Begini Chelly, kita tidak mungkin membuat Rean mundur dari pencalonan. Kita menurut sekalipun, foto itu pasti akan tetap dijadikan senjata oleh orang-orang licik itu untuk ancaman lain." Rama menatap Chelia lekat-lekat. "Tapi aku juga tidak ingin kamu dikeluarkan dari kampus. Kamu mahasiswi yang berprestasi. Jadi biar aku saja yang menanggung semuanya."

Chelia bergeming, masih berusaha mencerna maksud dibalik perkataan Rama.

"Aku akan mengaku memaksamu melakukan hal itu agar kamu bebas dari tuduhan dan bisa lanjut kuliah."

"Rama ...." Chelia menatap Rama tidak percaya, air matanya mengalir deras.

"Katakanlah bahwa sebenarnya kamu merasa tertekan selama berteman denganku. Katakan bahwa aku selalu berbuat tidak sopan dan sering menyakitimu. Dengan begitu orang-orang akan percaya-"

"Cukup!" Chelia memotong ucapan Rama. Terlalu menyakitkan baginya mendengar itu. "Bagaimana mungkin?! Bagaimana mungkin aku mengatakan kebalikan dari semua yang kamu lakukan?!" ujarnya dengan terisak.

"Tapi, Sweetheart ...."

"Jangan egois Rama!" Chelia memukul-mukul pundak Rama. "Jangan ... hiks! Jangan menangggung semua sendiri!"

Rama spontan meraih Chelia ke dalam dekapannya. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, Chelly. Bila pun Kak Arya mempertahankan kita, dia pasti dituding melakukan nepotisme."

"Tidak perlu. Kita tidak perlu pembelaan siapa-siapa." Chelia menjeda dengan tarikan napas pendek dan mendongak pada Rama. "Kita keluar sama-sama saja."

"Chelly, kamu tahu bagaimana kosekuensi untuk mahasiswa drop out, kan? Itu akan sangat merugikanmu."

Chelia menegakkan kembali duduknya. "Aku tidak peduli itu. Sekalipun kita tidak akan diterima di kampus negeri, atau bahkan tidak diterima di mana pun lagi, tidak masalah. Aku lebih memilih itu. Aku tidak ingin lanjut kuliah tanpa kamu."

"Sweetheart ...." Rama merasakan sesak di dadanya. Ia membuang muka dan menyeka air matanya diam-diam.

"Aku juga tidak ingin lanjut kuliah tanpa kalian berdua!" Cassy menghampiri keduanya sambil menghentakkan kaki. Matanya sudah sembab. "Kalau kalian dikeluarkan, aku juga akan keluar!"

Erva mengikut di belakang Cassy, "Benar! Akan kupecahkan semua alat dan instrumen di laboratorium agar dikeluarkan juga!"

Rama terkekeh, matanya kembali berair. "Kamu ini ingin dikeluarkan dari kampus atau mau masuk penjara, Va?"

Erva tidak menjawab dan mengikuti Cassy merangkul keduanya.

Naya dan Edward yang masih berdiri di tepi teras hanya mampu menahan napas sampai suara Arya menyentakkan mereka.

"Tidak akan ada yang dikeluarkan dari kampus."

Arya berjalan menuju bangku taman berbarengan dengan Riva. Naya dan Edward pun mengekor.

Edward memperhatikan Riva yang tampak santai. Di luar ekspektasi, Riva malah tertawa saat melihat foto yang ditunjukkannya. Mata seorang ahli digital forensik memang tidak bisa dikelabuhi. Dalam beberapa detik pertama saja Riva sudah tahu foto tersebut hanyalah rekayasa.

"Tidak akan ada yang dikeluarkan dari kampus. Tidak yang berprestasi, tidak yang nilainya sepanjang rantai karbon," Arya menepuk pundak Chelia dan Rama bergantian lalu mengarahkan pandangan pada Erva, "tidak yang ingin memecahkan alat dan intsrumen juga."

Erva terkesiap dan langsung bersembunyi di balik punggung Cassy. Tingkahnya disambut kikikan Riva dan tawa teman-temannya yang lain.

"Kak Riva ...?" panggil Chelia takut-takut. "Kak Riva sudah tahu semuanya?"

"Bahwa itu semua hanya rekayasa?" Riva membelai rambut Chelia. "Jangan khawatir, Sayang. Teknik murahan seperti itu bukan apa-apa. Itu hanya ilusi optik. Kamu tidak meragukan kemampuan Kak Riva, kan?"

Chelia menggeleng dan memeluk Riva. "Aku hanya takut Kak Riva marah."

"Itu tidak akan terjadi." Riva menoleh pada Rama. "Tentang Rean, biar Kak Riva yang bicara. Rean adalah orang yang rasional, butuh bukti rasional juga untuk menyakinkannya."

"Jadi foto itu bagaimana?" tanya Cassy masih khawatir.

"Kak Riva akan menemukan pengirim misterius itu." Edward memberanikan diri menjawab Cassy.

Cassy pura-pura bersikap cuek dan berbalik pada Riva.

"Kak Riva bisa menemukannya?"

"Ya. Identitas, riwayat hidup, sampai sidik jarinya sekalipun."

"Ukuran boxernya sekalian, Kak!" pinta Rama dengan suara parau, yang kemudian mendapat jitakan dari Arya.

Chelia tertawa ringan. "Bisa begitu, Kak Riva?"

"Bisa! Hebat, kan? Kakaknya siapa dulu, dong!"

"Calon kakak iparnya siapa dulu, dong!" celetuk Rama yang kembali mendapat hadiah jitakan dari Arya.

Riva hanya terkekeh kemudian mengajak mereka kembali ke dalam rumah. Diam-diam ia mengamati Chelia yang mulai terlihat ceria.

Menemukan profil orang lain itu bukan apa-apa dibanding menghapus identitas, Chelly. Seperti yang pernah kakak lakukan untuk ayah.

☕☕☕

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro