[17] It Was Never Been Easy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haloo, sebelum membaca jangan lupa untuk tekan tombol bintang dan tinggalkan komentar sebagai bentuk apresiasi kepada penulis yaa. Terimakasihh dan selamat membaca <3

-Bin

.

Sisil mengunci ponselnya. Sebuah pesan yang dikirimkan Aksa kemarin menjadi hal terakhir yang ia baca. Prianya itu sudah meminta izin, bahwa dia akan pergi melihat orang tuanya dengan Mika. Sempat terlibat perdebatan, tapi pada akhirnya mereka tetap kembali berhubungan baik. Sisil mencoba memaklumi, kendati dalam hati tentu saja cemburu karena Aksa lebih memilih tetap mengajak Mika alih-alih memperkenalkannya.

"Sisil?"

Gadis yang dipanggil tersebut mendongakkan kepalanya, dalam hati ia menggerutu kesal. Kenapa pula ia harus bertemu dengan orang yang kini tengah dikesalinya? Dan juga, apakah Mika tidak punya tempat lain sampai ia harus tetap berkunjung ke kantor agensi Aksa?

"Iya," Sisil menjawab, Mika agaknya tidak perlu di persilahkan untuk duduk di dekatnya. Mereka menunggu di lobi.

"Jangan khawatir, karena kemarin aku sudah sama Aksa, hari ini dia bakalan sama kamu terus," ucap Mika, "aku nunggu Lintang. Kita ada janji."

Sisil mengangguk. Malas menanggapi sekaligus malas melihat Mika. Meskipun―ya, dalam hati kecilnya ia menyalahkan perbuatannya. Bagaimana pun, Mika adalah orang yang lebih berhak bersama Aksa mengingat di sini posisi Sisil adalah orang yang merebut Aksa.

"Kenapa?" Sisil bertanya lirih, Mika yang sedang memainkan ponselnya itu melirik, "kenapa kamu benar-benar tidak bisa buat hidup dan hubungan saya tenang?"

Terlalu tiba-tiba. Mika spontan melepas satu tawa remeh dengan pandangan khas merendahkan miliknya, "Aku nggak salah dengar kan? Kamu? Nanyain itu? Ya ampun, kalau aku perjelas nanti takutnya kamu sakit hati."

Benar. Itu sudah pasti. Namun Sisil tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Apa rasa-rasa cemburu yang sejak kemarin dia bawa itu masih terasa hingga ia meluapkannya pada Mika? Atau, barangkali saja ada sedikit denial yang kerap ia yakinkan dalam hati bahwa Aksa masih pantas menjadi miliknya.

Namun alih-alih merasa kesal, Sisil tidak mendapatkan ekspresi Mika saat ia pernah semarah itu kepadanya. Saat ia tahu bahwa SIsil ada untuk merebut Aksa. Saat ia benar-benar menatap Sisil penuh kebencian. Gadis itu bukan lawan sepadan, setidaknya nyali Sisil sudah lebih dulu menciut. Mika sangat tahu bagaimana cara mengatur ekspresi wajahnya. Ia sangat tenang. Memasukkan sejenak ponsel di dalam tas dengan kaki yang tersilang.

"Maaf," Sisil berucap lirih, namun masih bisa tertangkap indra pendengaran Mika, "maaf sudah merebut apa yang kamu punya."

Mika tersenyum manis. Kendati Sisil tidak mau tahu apa arti di balik senyuman itu karena sudah pasti tidak ada bagus-bagusnya. Ia tahu bahwa di balik patrian tersebut ada sebuah makna tersembunyi atau sebuah amarah yang disimpan baik oleh Mika.

"Maaf nggak akan balikin segalanya, Sisil. Maaf nggak akan bisa kembaliin Aksa ke aku kecuali kalau kamu yang mau mengembalikan apa yang menjadi milikku secara sukarela. Mungkin kita bisa bicarakan baik-baik kesalahan kamu dulu."

"Aksa sudah jadi milik saya."

"Aku percaya," Mika menekankan ucapannya, "bahwa aku dan Aksa masih bisa bersama."

Sisil sedikit terperanjat saat tatapan Mika berubah tajam. Nyalinya menciut. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sisil sama sekali tidak mempunyai kekuatan atau justru pembelaan yang tepat untuk melindungi kedudukannya.

Namun Mika seolah tidak peduli, ia justru tersenyum puas penuh kemenangan saat melihat kegoyahan Sisil yang telah berani menantangnya, "Itu alasan kenapa aku nggak akan pernah rela Aksa dimiliki oleh siapapun."

"Kenapa kamu bisa sepercaya itu?"

"Karena," Mika menatap Sisil lamat dengan satu sudut bibirnya. Dagu yang terangkat pongah. Sengaja. Menyombongkan diri adalah kesukaan Mika saat sedang bersama Sisil, "karena hanya aku satu-satunya orang yang tau siapa Aksa sebenarnya.

"Karena aku satu-satunya orang yang paham luka milik Aksa, yang mana," menjeda sejenak, Mika melanjut, "kamu nggak tau apapun tentang itu."

***

"Lagi ada masalah di agensi?" Mika bertanya heran. Saat ini, ia sedang makan malam bersama Lintang. Sahabatnya tersebut tiba-tiba menelponnya. Meluapkan semua rasa yang gundah gulana dalam hati dengan banyaknya makanan yang kini tersaji di hadapan mereka.

"Iya," Lintang menghela napas berat, "di agensi, di hidupku. Sama-sama aja masalahnya." Lintang menumpukan dahinya di ujung meja. Mika menggelengkan kepala. Menunggu Lintang menceritakan kisahnya.

"Utara tiba-tiba hubungin aku," ucap Lintang.

Ah, jadi ini, batin Mika. Pantas saja sahabatnya itu tampak kacau begitu.

"Hm, terus?" Mika bergumam sembari mendengarkan dengan baik.

Lintang kembali menghela napas berat, "Dia kirimin foto hasil USG istrinya."

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Mika spontan tersedak. Cepat menarik tisu untuk membersihkan kekacauan di wajahnya, "Dia ... apa?"

"Iya!" Lintang berseru kesal, "Istrinya dia udah hamil! Ngeselin kan?"

Mika terkekeh kecil. Sedikit lucu melihat kekesalan temannya. Namun ia tetap menghargai Lintang. Tidak meledakkan tawa dan tetap menahannya dengan baik.

"Kok kesel, sih? Harusnya kamu senang dong. Sahabat kamu kan sudah bahagia di sana."

"Kesel sama diriku sendiri yang goyah lagi." Lintang berucap lirih. Setengah pilu dan Mika sedikit meringis karena itu.

Utara adalah sahabat Aksa. Begitu juga Lintang yang menjadi sahabat Mika. Hubungan yang terjadi antara Aksa dan Mika tentu saja juga berdampak dengan circle pertemanan mereka yang juga ikut-ikutan terlibat. Secara begitu saja, Lintang dekat dengan Aksa dan Utara dekat dengan Mika. Hal yang sama terjadi juga pada Lintang dan Utara.

Awalnya biasa saja sampai Lintang terlibat friendzone dengan Utara. Hal yang hanya tidak diketahui lelaki tersebut. Keinginan Lintang yang meminta Mika dan Aksa tidak bicara apapun. Gadis itu terlalu pengecut, atau justru sudah menyerah duluan saat Utara menggandeng perempuan cantik sebagai pacarnya saat itu, yang mirisnya kini sudah beralih status menjadi istri sekaligus calon ibu.

"Kamu itu cewek paling hebat yang aku kenal, Tang," Mika tersenyum tulus. Meremat tangan Lintang sekaligus menepuk punggung tangannya, "Kamu sudah hebat bisa merelakan Utara sejauh ini. Sekalipun bodoh juga karena nggak lihat ke cowok lain yang tulus untuk dekatin kamu. Tapi Lintang yang aku kenal adalah orang yang luar biasa. Dia mencintai Utara dengan tulus, tanpa mengharapkan imbalan. Dan merelakan Utara untuk kebahagiaan cowok itu.

"Tindakanmu sudah tepat, Tang. Sangat tepat. Kamu melepas Utara. Karena kalau kamu tetap mempertahankannya, kamu akan semakin sakit, semakin jatuh, dan semakin hancur."

Tersenyum miris dengan mata yang berkaca, Lintang melihat jelas perubahan ekspresi Mika dengan tatapan sendunya itu, "Hal sama yang aku rasakan saat aku nggak bisa lepas Aksa begitu saja ... sampai detik ini."

***

Sisil pikir, Aksa sudah bisa menerimanya. Sisil pikir, Aksa sudah mencintainya seutuhnya. Sisil pikir, Aksa sudah mempercayainya. Sisil pikir, Aksa sudah memilihnya. Nyatanya, saat Sisil tanpa sengaja membuka sebuah laci meja kerja Aksa, dan melihat sebuah bingkai foto yang masih tersimpan baik di sana. Bagaimana dua sejoli itu tersenyum lebar ke arah kamera dengan dua lengan Aksa melingkar di leher Mika dan pipi mereka yang saling bersentuhan di sana.

"Aku bisa jelasin."

Sisil menghela. Dua hari ini keadaannya sedikit kacau. Pikirannya tidak tenang. Pertama, tentu akan kenapa dia yang merasa disembunyikan oleh kekasihnya sendiri dari pihak keluarga saat Sisil sudah memperkenalkan Aksa secara baik di depan ibu dan ayahnya. Kedua, setiap ucapan Mika yang semakin membuat sisi lain dari Sisil memberontak.

Bahwa apa yang dia lakukan ini sangat salah dan ia harusnya segera mengakhiri ini semua jika tidak mau terluka semakin dalam.

"Sudah. Aku capek."

Sisil hendak keluar jika Aksa tidak segera menahan lengannya, "Tolong jangan buat ini semua semakin sulit untukku."

"Kamu yang buat ini sulit, Ka." Sisil berkata tidak terima, "Kamu sendiri yang menutup diri dari aku. Kamu sendiri yang captain jarak di antara kita. Masih belum ngerti kamu sejauh ini? Aku pacar kamu. Aku berhak tau permasalahan kamu. Aku nggak mau kamu berjuang sendiri. Kita cari masalahnya sama-sama."

"Kecuali," Sisil tercekat sejenak, "kecuali kalau kamu sudah nggak mau anggap aku pacarmu lagi."

Aksa membola, "Sisil―"

"Setidaknya kamu bisa janjiian aku sesuatu. Sesuatu yang bisa buat aku bertahan sekalipun nanti, kamu nggak bisa nepatin janji itu. Tapi itu nggak masalah buatku karena itu urusan nanti.

"Tapi kamu nggak," Sisil menatap Aksa tak percaya, "bahkan janji pun nggak bisa kamu kasih. Satu alasan untuk aku bertahan di sini pun kamu nggak bisa berikan ke aku. Dan di saat aku mau pergi, kamu baru kelabakan minta aku tetap tinggal."

Mengusap wajahnya kasar. Sementara Sisil masih berada di dekat pintu dengan tangan yang masih setia memegang gagangnya. Keduanya saling enggan bertukar pandang. Sisil masih memunggungi dengan Aksa yang tengah menunduk sesekali melirik punggung ringkih Sisil.

"Oke," ujarnya mengalah, "aku cerita sama kamu sekarang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro