[19] This Love is Real

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo, sebelum baca jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya lho. Untuk mengahargai aku nulis cerita ini. Tekan tombol bintang dulu jangan lupaaa :D

2000++ words, so happy readingg <3

.


"Sa," Mika memanggil sekali lagi. Aksa tampak berat untuk sekadar berbalik dan melihat Mika. Sedang gadis itu tampak tidak kunjung menyerah sekalipun hanya menatap punggung lebar milik sang mantan terkasih.

Aksa menghela napas berat, "Apa Mika?"

Itu adalah sebuah pertanyaan retorik. Mika berdecih kesal dengan melepas satu tarikan napas guna tertawa remeh. Entah menertawakan apa. Apakah dia yang terlalu menyedihkan atau justru Aksa yang mencoba terus denial dan enggan membahas perkara hubungan mereka dahulu.

Baru saja Mika hendak menegaskan―untuk yang kesekian kali―dengan pertanyaan serta pernyataan yang sama. Perihal kenapa dulu Aksa berselingkuh, kenapa lelakinya menyembunyikan rahasia dari Mika, kenapa dia tidak mau membahas ini, dan yang paling utama adalah bagaimana perasaan Aksa sesungguhnya pada Mika. Aksa masih abu-abu dan seberapa kerasnya Mika mencoba menyombongkan diri di depan Sisil perihal dia yang mengenal Aksa dengan baik, jauh dalam dirinya sendiri, Mika merutuk diri tentang betapa tampak konyolnya dia karena dirinya sendiri bahkan tidak tahu apa-apa. Dan―ya, jika berbicara apa yang terjadi sampai ucapan Mika yang belum sempat terucap itu terpaksa harus ditunda, adalah bunyi telepon dari Aksa dan sebuah nama yang tak asing lagi membuat Mika mengerang kesal diam-diam.

"Iya, Sil? Aku masih di kantor ... oke, sudah pulang? Nggak ada masalah, kan? ... oke, aku jemput ... sebentar lagi aku pulang ... oke, bye."

Aksa memutus panggilan dan berbalik sejenak untuk menatap Mika. Bermaksud pamit. Namun, kegiatannya tersebut terhenti saat sepasang lengan tiba-tiba saja melingkar di pinggangnya. Mika merengkuh Aksa dari belakang. Pipi gadis tersebut menempel di punggung Aksa. Dan sebuah ucapan lirih namun masih terdengar jelas itu membuat Aksa kembali merasa berat hati. Entah berat karena apa. Sesuatu yang ia sendiri tidak tahu dan tidak paham dan sangat mengganggunya akhir-akhir ini.

"Jangan pergi," ucap Mika, "aku cemburu," lanjutnya.

"Mika―"

"Aku nggak suka lihat kamu sama Sisil. Aku nggak suka lihat kamu jalan bareng dia. Aku nggak suka lihat kamu belain dia. Aku nggak suka lihat kamu peduli dan sayang sama dia. Dan aku nggak suka ..." menjeda sejenak rajukan protes yang panjang lebar itu, Mika menelan ludah gugup. Sekaligus merasa berat hati untuk melanjutkan manakala hal-hal lalu yang ia ingat dan pernah melihatnya secara langsung itu membuat hatinya merasa sesak secara tiba-tiba.

"Dan aku nggak suka ... lihat bagaimana cara kamu memperlakukan dia ... sama persis kayak kamu perlakukan aku dulu."

Aksa menunduk, menyentuh tangan Mika yang melingkar di pinggangnya dan memanggil gadis tersebut dengan suara lembutnya, "Mika―"

"Aku nggak suka," Mika tidak membiarkan Aksa menjeda ucapannya. Dia tahu. Dia tahu saat Aksa berbicara, itu adalah saat di mana Aksa akan memperjelas semuanya. Tentang mereka yang tidak bisa bersama. Tentang dia yang harus menjemput Sisil. Tentang Mika yang harus melepaskan Aksa. Serta tentang posisi Mika yang sudah teramat jelas digantikan di sini.

"Aku minta maaf," cicit Mika. Aksa membola. Jantungnya mendadak berdesir mendengar sebuah bisikan lirih itu. Dirasakannya dahi Mika menempel dan Aksa sudah bisa menebak gadis tersebut menunduk. Pelukannya semakin mengerat dan kedua tangannya terjalin sempurna.

Selanjutnya, sebuah isakan terdengar jelas di rungu Aksa, "Aku minta maaf karena ... selama ini kecewain kamu. Selama ini selalu menuntut banyak dari kamu. Selama ini selalu minta kamu nurutin kemauan aku sementara aku nggak pernah bisa nurutin satu saja mau kamu. Aku minta maaf."

Mika menangis tersedu. Beruntung kemeja hitam Aksa tidak benar-benar mencetak air mata gadis tersebut. Aksa masih diam entah harus berbuat apa. Sedang Mika sudah benar-benar memikirkan apa yang harus ia lakukan. Menyingkirkan semua ego dan harga diri yang selama ini dia pegang teguh. Selagi mendengarkan nasihat sahabatnya, Lintang, saat ia baru saja putus.

"Kalian sama-sama keras kepala. Ya sudah. Begitu saja terus. Nggak bakalan nyatu kalau nggak ada satu yang nyerah. Satu yang ngalah. Dan satu yang nyoba untuk memahami yang lain lebih dulu. Ngalah duluan nggak berarti kamu pengecut. Lagipula, kalau dilihat dari sisi Aksa, kamu juga sedikit keterlaluan, Ka. Terus nuntut dia di saat kamu sendiri tau kalau dia lagi dalam kondisi yang nggak sebaik itu. Aksa sudah berusaha semaksimal mungkin sementara kamu selalu ngerasa nggak puas."

Mika menyerah. Mika mengalah. Begitu akhirnya yang dia lakukan. Memilih untuk tetap mempertahankan Aksa. Tetap berjuang untuk Aksa seperti dulu saat lelaki itu mengerti kondisinya dan mencoba membuat hubungan keduanya baik-baik saja. Sedikit-banyaknya, tetap saja ini salah Mika karena telah melepas Aksa. Tidak menyadari betapa penting lelaki tersebut untuknya.

Membiarkan Mika menangis selama beberapa menit sampai dirasa perempuan tersebut sudah lebih tenang, pada akhirnya Aksa memilih untuk bertanya.

"Kamu ingat apa yang sudah kita bilang dulu? Sebelum kita sepakat untuk punya hubungan ini." Aksa menegaskan.

Mika mengangguk, masih dengan pelukan eratnya, "Tidak melibatkan cinta," ucapnya miris.

"Lantas kenapa masih begini? Masih menangis dan bawa-bawa alasan cinta di sini."

"Kalau begitu ayo kita mulai ini dari awal. Bangun semuanya dari nol. Tanpa ada unsur apapun, Aksa. Tanpa ada hubungan saling menguntungkan dan menuntut kesempurnaan di mata orang. Hanya ada aku, kamu, dan kita yang saling cinta. Hubungan yang sederhana. Hubungan yang normal seperti kebanyakan orang." Mika memohon.

"Kita sudah sepakat, Mika. Dulu, kita sudah―"

"Aku nggak pernah setuju masalah itu," potong Mika cepat, "aku nggak pernah meng-iyakan maumu yang bilang tidak boleh melibatkan cinta di hubungan kita."

Aksa mengernyit heran. Lantas melepas cepat pelukan Mika yang sudah mengendur dan langsung berbalik menatap gadis tersebut heran, "Apa katamu?"

Masih dengan sisa tangis dan sesenggukannya, Mika melanjut, "Hari itu. Saat kamu menawarkan hubungan kita, Papaku jemput. Aku belum sempat jawab. Dan besoknya, kamu tiba-tiba samperin aku dan bilang itu adalah hari pertama hubungan kita. Kamu nggak bisa mengelak karena aku benar-benar ingat jelas kejadian itu."

Iya, dan begitu pula Aksa yang tidak akan melupakan itu. Sial sekali, dia merasa terjebak di sini.

"Tapi kamu sendiri sudah bilang dan setuju hubungan kita. Kamu bertindak seolah-olah kamu nggak masalah tanpa libatin cinta. Dan apa yang kita lalui selama ini juga bukan atas dasar cinta. Kamu harus ingat itu." Aksa berucap geram sekaligus membela diri.

"Ya tapi aku juga nggak pernah menegaskan itu. Keputusan itu, hanya secara sepihak. Aku nggak pernah menyetujuinya secara langsung."

Aksa melepas satu tarikan napas kasar. Tertawa remeh dengan telapat tangan yang mulai memijat pelipisnya. Pusing serta kesal saat seluruh masalah tiba-tiba menghampirinya bertubi-tubi.

"Lalu maumu apa? Aku putus dari Sisil? Mika, kamu nggak bisa seenaknya begitu. Kami bahkan―"

"Kamu nggak masalah waktu Sisil membuka jalan untuk hubungan kalian, yang secara nggak langsung kamu membiarkan Sisil nyakitin aku. Aksa, mengesampingkan kamu dan aku pernah pacaran, aku juga teman kamu. Sahabat kamu. Setelah sekian lama hal-hal baik yang kita lewatin, kamu tega biarin perempuan itu nyakitin sahabat dan teman kamu sendiri?" Mika maju satu langkah, menuntut tanggung jawab serta menyuarakan sakit hati yang selama ini dia pendam sendiri, "Kamu merasa yang aku lakukan ini salah. Kamu merasa dengan begini aku bisa nyakitin Sisil dan kamu khawatir sama perempuan itu. Tapi kamu nggak masalah perihal perempuan itu nyakitin aku. Aksa, aku hanya berusaha merebut apa yang seharusnya jadi milikku. Apa yang dulu dia rebut seenaknya dari aku."

Seolah berat sekali membahas perkara itu, Aksa kembali membelokkan topik karena sebuah penasaran yang tiba-tiba menyapanya, "Sejak kapan?"

"Maksudmu?"

"Sejak kapan kamu jatuh cinta sama aku?"

Mika melepas tawa remehnya. Mengusap kasar air matanya selagi gadis tersebut menatap Aksa lamat-lamat, "Delapan tahun, setelah semua yang kita lalu. Bahkan setelah lepas dari akua tau setidaknya waktu kamu lagi bareng-bareng aku dulu. Kamu nggak pernah ngerasain apa-apa, Aksa? Bahkan hanya sebersit perasaan yang singgah. Delapan tahun dengan kedekatan kita, itu bukan waktu yang singkat, Aksa. Bukan hal yang mengejutkan kalau aku tiba-tiba jatuh cinta."

Aksa diam. Tidak tahu harus menjawab apa. Serta perasaan aneh yang ia rasakan membuat lelaki tersebut entah kenapa menunda apa yang seharusnya ia sampaikan untuk melepas Mika.

Dia yang selama ini hanya memanfaatkan koneksi keluarga Mika untuk meraih mimpinya. Dia yang selama ini hanya mengandalkan Mika dan memanfaatkan gadis itu untuk sama-sama meraih impian mereka. Dia yang mencintai Sisil. Dia yang ingin tetap di samping Sisil.

Dan dia yang tidak cinta dengan Mika.

Tapi kenapa? Kenapa di saat seperti ini pun untuk sekadar mengucapkan itu semua sulit sekali. Untuk menegaskan bahwa dia tidak benar-benar mencintai Mika, dia tidak bisa. Belum lagi di tambah wajah sembab dan pipi memerah, serta tatapan sendu dan sorot putus asa yang jelas-jelas diperlihatkan oleh Mika.

Tidak ada ekspresi sombong dengan dagu terangkat tinggi seperti biasa. Kepercayaan diri yang teramat tinggi dan menjatuhkan lawan. Ego yang tidak mau kalah. Semua itu seolah raib dan sosok yang dilihat oleh Aksa ini jelas berbeda dari Mika yang biasa ia temui.

Sebuah rengkuhan bisa dirasakan Mika. Sekejap gadis tersebut merasa sedikit tenang karena pelukan lama yang ia rindukan itu kini bisa kembali ia rasakan. Tangan besar Aksa yang kini mulai beralih membelai rambut sebahu miliknya. Hal yang selalu ia lakukan setiap kali menenangkan Mika. Seperti dulu. Kebiasaan yang membuat gadis tersebut tersenyum tipis dan membalas rengkuhan Aksa di detik setelahnya.

Namun, alih-alih merasa lega. Alih-alih merasa senang karena dipikirannya Aksa sudah melunak dan kembali padanya. Gadis tersebut harus menelan fakta pahit tentang apa yang diucapkan Aksa setelahnya.

"Maaf, Ka. Kita nggak bisa kayak dulu lagi."

Selang beberapa detik digunakan Mika untuk mencerna apa yang Aksa ucapkan. Gadis tersebut seketika melepas pelukan Aksa dan mendorong pelan lelaki tersebut. Menatap Aksa tak percaya setelahnya.

"Iya, kita nggak perlu kayak dulu. Kan sudah aku bilang, hubungan saling menguntungkan itu sudah nggak perlu lagi," kata Mika masih keras kepala dan tetap berpikir positif akan ucapan Aksa.

"Bukan begitu maksudku, Mika. Kamu nggak perlu menyangkal karena aku tahu kalau kamu juga mengerti."

Mika menggeleng. Tidak terima, lantas ia meraih pergelangan tangan Aksa untuk digenggamnya erat. Matanya kembali berkaca-kaca dan tidak membutuhkan waktu lama untuk air mata itu membentuk sungai kecil di pipinya, "Kita hanya lelah. Kita hanya terlalu lelah sama hubungan delapan tahun. Sudah cukup lama kita berpisah. Sudah cukup lama kita istirahat. Sudah cukup lama kita saling memberi jeda. Kita bisa kembali mulai ini dari awal dengan perasaan yang sudah membaik. Hm? Kamu mau kan?" pinta Mika terus memohon.

Aksa menggeleng lemah. Dua tangannya berada di pundak Mika sedikit memberi rematan di sana, "Mika, aku nggak bisa asal pergi begitu saja. Aku nggak bisa ninggalin Sisil setelah apa yang selama ini aku lakuin sama dia. Aku―"

"TINGGALIN SAJA PEREMPUAN ITU!" seru Mika. Kesal setengah mati dengan amarah yang mulai memenuhi dirinya. Perlahan menguras kewarasannya dan kelogisannya. Meningkatkan keegoisan yang selama ini dia tahan untuk tetap membuat Aksa tetap menjadi miliknya. Tanpa memikirkan perasaan Sisil. Lagipula, untuk apa memikirkan perasaan perempuan itu saat dia saja tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Mika mengetahui lelakinya diambil.

"Tinggalkan dia, Aksa," Mika menangis sesenggukan dan mengulang sekali lagi, "tinggalin dia dan kembali ke aku."

Menunduk seraya meremas ujung kemeja milik Aksa, Mika terus memohon untuk terakhir kalinya. Terus mengetuk pintu hati Aksa agar ia kembali diizinkan masuk ke dalam sana.

Namun seperti halnya Aksa yang juga keras kepala. Kendati dalam hati ada sedikit rasa ingin merengkuh Mika sekuat tenaga. Enggan membiarkan gadis tersebut pergi dari sisinya. Mengembalikan apa yang dulu pernah menjadi miliknya saat kesempatan sudah terbuka di depan mata. Namun, mengingat kembali permasalahan yang akhir-akhir ini mengganggunya. Aksa sadar bahwa ia tidak bisa terus mengedepankan egonya, ia tidak bisa bertindak seenaknya seperti dulu tanpa pikir panjang. Tidak seperti dulu, ia tidak boleh bermain-main perihal hati. Bisa saja ia menyetujui apa ingin Mika, namun mengingat bagaimana kondisi Sisil di tempat lain, agaknya pria tersebut enggan menambah masalah hidupnya.

Maka, mengabaikan dan menyingkirkan seluruh perasaan aneh yang perlahan mulai ia mengerti perasaan apa itu. Pun yang mengganggunya akhir-akhir ini selepas tekanan dari Lintang tempo lalu yang juga sama seperti apa yang Mika ucapkan―delapan tahun menjalin hubungan dan mustahil tidak ada apapun yang terjadi. Aksa mencoba untuk tetap pada pendiriannya.

Jadi, melepas cengkraman erat Mika di tangannya sekalipun gadis tersebut menggeleng keras dan tetap mengeratkan cengkramannya. Tenaga Aksa lebih kuat. Setelah lepas sempurna kedua tautan tangan tersebut. Aksa menghela napas panjang, berat sekali. Lantas ia kembali menekankan ucapannya tadi.

"Maaf, kita berdua ... benar-benar nggak bisa kembali."

Mika masih sesenggukan. Semakin merasakan perih di dadanya saat Aksa kembali memberikan sebuah keputusan mutlak dan kejelasan atas apa yang akan terjadi kepada mereka ke depannya. Menegaskan sekali lagi bahwa mereka sudah benar-benar tidak mempunyai kesempatan dan bahwa seluruh usaha Mika selama ini sia-sia.

Namun, seolah kembali mengumpulkan seluruh kewarasan dan kelogisan yang selama ini dipegang teguh oleh Mika. Pun mengingat betapa tinggi ego gadis tersebut. Sakit hatinya karena ditolak setelah usaha panjang yang ia lalui, Mika tidak mau dijatuhkan harga dirinya begitu saja.

Lantas, saat sudah mengetahui dan bisa mencerna ucapan Aksa dengan baik. Gadis itu lekas mengubah bagaimana caranya menatap Aksa dalam sekejap. Sekalipun masih dengan sesenggukan dan sisa-sisa tangis, ia menatap Aksa tajam dengan rahang mengeras dan kedua tangan yang terkepal erat.

Di detik selanjutnya, tanpa menunggu waktu lama. Mika mengucapkan dua kata. Sebuah kata yang teramat sulit dan sakit ia ucapkan mengingat tidak sesuai dengan apa yang ia rasakan dalam hatinya. Namun, seperti halnya Aksa yang tidak mau mengalah, maka Mika tidak mau dikalahkan.

Melepas satu tawa sinis tidak peduli dengan raut wajah dan kondisinya yang kacau. Mika berucap penuh keyakinan yang ia pupuk cepat-cepat dalam dirinya. Membuat Aksa merasa kembali merasa bersalah dan menyesal telah menyakiti gadis yang telah sangat baik padanya selama delapan tahun ini.

Detik itu, Mika berkata dengan lantangnya.

"Aku membencimu."

.

Sebelum pergi, jangan lupa vote sama komentarnya ditinggalin duluuu T_T

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro