[2] Damn Party

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat membaca 😊

Suara musik terdengar jelas ketika sepasang kekasih itu mulai memasuki wilayah pesta.  Agaknya si tuan rumah enggan untuk membuat pesta sederhana kendati judulnya tetap saja "private party" yang sesungguhnya tidak terlihat privat sama sekali

Atau mungkin ini masih cenderung besar untuk sebuah pesta yang hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat saja.

Aksa agaknya sudah tidak sekaget dulu. Sudah teramat biasa manakala gadis cantik di sampingnya ini membawa dia. Menggandeng dengan lengan yang bergelayut manja dan mengenalkannya kepada semua rekan-rekan yang berada di dalam sana. Tambahan yang baik adalah kali ini Aksa sudah mempunyai cukup banyak uang. Tidak akan kesulitan untuk mencari pakaian yang dinilai "cocok" di mata Mika seperti dulu-dulu,  yang mana sialnya Mikalah yang sering membelikan baju untuknya.

Bersanding dengan Mika. Dua tangan yang saling tergandeng dengan pakaian serasi sesuai selera Mika. Sesekali mereka saling beradu pandang. Tersenyum malu-malu saat ada satu-dua orang yang memuji keduanya. Bahkan bagaimana cara Aksa memperlakukan Mika dengan sangat manis itu benar-benar membuat banyak pasang mata iri karenanya.

Dua pasang jemari itu saling bertautan. Aksa sesekali mengusap punggung tangan Mika dengan ibu jarinya. Berucap lirih manakala Mika tampak lelah karena terus mengobrol dan berdiri. Bahkan menuntun gadis itu untuk menuju sebuah kursi agar mereka bisa duduk sejenak di sana.

"Sudah kubilang pakai wedges saja kalau tidak kuat. Setidaknya itu lebih baik dari pada kamu pakai heels begitu, Bey."

Ah, Mika bahkan diam-diam tersenyum puas saat mendengar beberapa perempuan di belakangnya mencebik iri. Lantaran melihat pasangan yang begitu sempurna itu tersuguh di hadapan mereka.

Wajah Aksa yang bukan main sinting tampannya. Kulit putih pucatnya dengan netra sabit yang menampilkan aura lelaki dingin sulit di dekati, tapi nampak hangat hanya di hadapan Mika seorang. Plus aura-aura bad boy  yang terlihat jelas, tapi justru memperlakukan Mika dengan sangat baik bahkan kelewat manis.

Benar-benar tipikal lelaki yang menggoda untuk diajak kencan bahkan sekalipun itu hanya sekali.

"Aku ambil minum dulu. Kamu tunggu di sini."

Mika menurut. Membiarkan Aksa untuk pergi mengambilkan minum dan makan untuk keduanya. Setelah tadi sempat beberapa kali bertegur sapa dengan rekan kerja atau teman-temannya—yang juga dikenal oleh Aksa—keduanya memutuskan untuk mengambil tempat di sudut ruangan.

Lebih memilih untuk duduk di sana sembari menikmati rangkaian pesta. Dalam hati juga bersyukur karena acara puncak, yang mana itu memotong kue, tiup lilin, dan segala tetek bengeknya sudah terlaksana dengan baik tanpa ada kendala. Jadi, setelah menikmati makan sepertinya mereka berdua akan langsung pulang saja.

"Mika?"

Sebuah panggilan tertuju padanya. Mika yang awalnya asyik bermain ponsel sontak melepas pandang. Melihat aneh dengan satu alis terangkat dengan presensi lelaki yang kini tengah menunjuknya.

"Benar, Mika!" ia berseru keras dengan satu tepukan tangan. Seolah puas sekali tebakannya benar bahkan sebelum terjawab. Sedang Mika masih menatap heran, "Saya Langit. Kamu pasti lupa, ya. Kita ketemu di rumah sakit waktu Mamamu berobat."

Tidak juga mendapat respon dari Mika. Lelaki yang bernama Langit tersebut mengambil tempat duduk di sampingnya. Kembali berbicara, "Saya yang waktu itu kamu komentari warna bajunya. Kamu bilang baju yang saya pakai kelewat cerah."

Menyusun kembali ingatan-ingatan menjadi satu. Saat sudah mendapatkan apa yang ia butuhkan. Pun Mika sontak berseru. Sampai menepuk tangannya sembari berucap maaf karena sudah melupakan sosok di hadapannya, "Oh! Iya dokter Langit, ya? Maaf banget ya, Dok. Saya lupa. Habisnya itu sudah lama sekali, sih. Dokter bisa-bisanya masih ingat."

"Langit saja," ia mengibaskan tangan, "kebetulan saja kali, ya? Saya juga jarang bisa ngenalin pasien yang banyak gitu," ujarnya setengah menggoda.

Namun Mika seolah tidak memperpanjang itu. Ia hanya terkekeh menanggapi, "Temannya Vania juga?"

"Iya," Langit mengangguk, "sudah teman lama sejak SMA, kamu pasti teman kantornya."

Mika mengangguk, "Iya, saya—"

"Bey."

Atensi keduanya langsung berganti. Bersamaan dengan ucapan Mika yang terpotong di tengah jalan. Presensi Aksa yang datang dengan dua piring di tangannya seolah lebih menarik perhatian. Terutama dengan warna pakaiannya yang senada dengan gaun yang digunakan Mika.

Setelah meletakkan dua piring tersebut. Aksa menyempatkan diri untuk menyentuh lengan atas Mika guna memberikan usapan lembut di sana, "Maaf lama kembali. Tadi habis antri. Aku ambilkan minum dulu, ya."

Usai berkata begitu. Tidak butuh waktu lama untuk Aksa kembali dengan dua gelas berisi minuman berwarna kuning keorenan di dalamnya. Teramat cepat bahkan belum sempat meredakan kekagetan Langit dan belum sempat lelaki itu mengudarakan tanya.

"Orange juice. Your favorite, right?" tersenyum hangat pada Mika dengan matanya yang semakin menyipit.

Mika tersenyum puas dengan kepala yang mengangguk dan membalas tak kalah manis, "Right. Thank you."

Namun, sadar akan presensi lain yang tengah duduk tidak jauh dari mereka.  Pada akhirnya, memilih menghormati sekalipun terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya karena kedekatan dua orang itu. Aksa pada akhirnya berdeham dengan satu tangannya yang terkepal tersimpan di depan bibir. Ia bertanya pada Mika, "Temanmu, Bey?"

"Baru saja kenalan. Pernah ketemu waktu antar Mama berobat dulu. Dua bulan yang lalu kalau nggak salah."

"Oh, waktu aku nggak bisa temanin kamu antar Mama dulu, ya?"

Mika mengangguk. Kendati Aksa nampaknya benar-benar puas melihat bagaimana ekspresi Langit yang langsung berubah karenanya. Pria tersebut lantas menjaga jarak dari yang awal ia lakukan. Terutama jika tanpa sengaja bersitatap dengan Aksa yang mulai menghujani Langit dengan netra sabit tajamnya.

Aksa mengulurkan tangan, "Saya Aksa. Pacarnya Mika."

Langit mengangguk. Membalas uluran tangan Aksa, "Langit."

Atensi Langit tertuju pada Mika yang tengah menyantap makanannya, "Baik, Mika. Nikmati makan malamnya.  Senang bertemu kamu lagi di sini. Sa, saya pergi dulu." Membungkuk singkat dan berpamitan. Pada akhirnya setelah benar-benar pergi. Aksa bisa tersenyum puas.

"Suka banget digodain cowok malam ini. Senang kamu? Bangga karena kelihatannya laku?" desis Aksa. Masih bisa terdengar Mika.

"Kamu juga nggak mau kalah, kan?" Mika menyandarkan tubuhnya, menarik satu sudut bibir, "Senang, ya? Bisa caper-caper sama banyak cewek. Kamu senang kan dianggap jadi cowom baik-baik dan berlagak soft boy begitu? Cih," Mika mendecih, "mereka nggak tau aja kamu aslinya gimana."

"Memang aslinya aku gimana?"

"Cowok yang nggak akan berlaku baik  kalau dirasa nggak dapat profit yang setimpal. Am i right?"

"Totally," Aksa tersenyum puas. Menarik pinggang Mika untuk menguguhkan satu kecupan di pipi si gadis. Satu tangannya terangkat untuk mengelus puncak kepalanya, "You know me so well,"

Barangkali, Mika bisa lega lantaran dirinya tidak benar-benar dipojokkan oleh Aksa kali ini. Atau memang pada dasarnya, Aksa tidak pernah benar-benar bisa memojokkan Mika lantaran gadis itu punya saja alasan untuk dilempar balik karena Aksa juga melakukan hal yang sama.

Jadi, malam itu setidaknya ia bisa sedikit lega lantaran Aksa yang tidak menuntut banyak darinya. Bahkan melanjutkan makanan tanpa membahas topik yang menyulut emosi.

Aksa bahkan melakukan tugas sebisanya. Membuat banyak pasang mata iri lantaran perlakuan manisnya pada Mika. Mengeluarkan ikat rambut dari kantung jas miliknya, ia membalikkan badan Mika dengan lembut guna mengikat rambut kekasihnya itu dengan cukup rapi. Tak hanya sampai sana, pria tersebut juga sesekali membersihkan sudut bibir Mika.

Semua itu semata-mata hanya untuk menghindari perdebatan tidak manusiaswi yang akhir-akhir ini terjadi di antara keduanya. Bahkan ketika melihat Mika yang menurut dan berlaku tak kalah manis. Tidak membentak ataupun berbicara kasar. Aksa tidak bisa untuk tidak tersenyum dan bernapas lega.

Namun manakala sebuah dering ponsel milik Aksa berbunyi. Dan sialnya, Mika melihat dengan jelas nama yang tertera di layar itu. Aksa merutuk dalam hati lantaran suasana damai yang diciptakannya sejak tadi itu barangkali akan rusak dalam sekejap.

"Malam ini kamu milikku," Mika berucap santai sekalipun tampak sedikit mengerikan di balik nada kelewat tenangnya itu, "Matikan telefon itu atau aku benar-benar marah, Sa"[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro