[7] Who's the Queen? Who's the Boss?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Btw, aku nulis ini sambil dengerin lagunya Blackpink yang diatas, hihi.
Anyway, jangan lupa tekan vote serta tinggalkan komentar kalian yaa.
Happy reading, starlight!! :)

.

.

Mematri sebuah senyuman miring di wajahnya, Mika bangkit dari kursi. Mengabaikan minuman lezat yang sejak tadi ia konsumsi karena menemukan sebuah mainan baru yang lebih seru saat ini.

Bunyi hak sepatunya terdengar seiring dengan langkah kaki yang tercipta. Mengikis jarak dengan dagu yang terangkat tinggi dan dua tangan yang tersilang di depan dada. Pun satunya berpindah guna berpegangan pada pagar pembatas dengan tungkai yang membuat pose menyilang.

Masih dengan satu sudut bibirnya yang tertarik. Mika mengulurkan tangannya, "Halo, kamu pasti pacarnya Aksa, ya? Kenalkan, aku Mika."

Gadis tersebut nampak ragu. Melirik sejenak tangan Mika yang terulur, ia menyambut setengah ragu, "Aku ... Sisil."

Selepas jabatan yang teramat singkat―karena Mika terang-terangan langsung cepat melepasnya saat Sisil menyentuh tangannya― gadis tersebut memandang penampilan Sisil dari atas sampai bawah. Membuat pandangan menilai yang sangat jelas terlihat guna melihat bagaimana rupa gadis yang langsung mengambil hati seorang Aksa secepat itu.

Nyatanya, dalam hati terdalam. Memang dasar manusia yang tidak bisa untuk tidak membandingkan dirinya dengan orang lain, bukan?

Manusiawi sekali saat melihat dari dekat. Melihat bagaimana rupa gadis tersebut sangatlah cantik. Dengan wajah mungkil dan bahu ringkihnya. Rambut panjang terurai lurus berwarna hitam, badan proporsional. Ditambil dengan sikapnya yang terlihat luar biasa kalem dan suara lembut madunya.

Bahkan Mika saja yang perempuan bisa langsung terpana untuk beberapa saat. Maka tidak heran untuk pria normal seperti Aksa, yang barangkali butuh sebuah pelampiasan kasih sayang disaat ia benar-benar sedang disibukkan dan dibuat lelah dengan semua permasalahan pekerjaan atau pribadinya.

Hal yang sudah pasti diberikan secara suka rela oleh Sisil. Perlakuan lembut, pengertian, pendengar keluh kesah Aksa. Memberikan bahunya tanpa pikir panjang sebagai tempat Aksa berkeluh kesah. Menyampaikan semua apa perasaannya. Hal yang sudah pasti tidak diberikan Mika dulu padanya.

Jadi, begini akhirnya? Begini kisah cintanya yang mengenaskan itu?

Mika tidak bisa untuk tidak merasa iri. Bahkan, ketika seseorang lain tiba-tiba saja turut bergabung bersama dengan mereka. Datang dengan kekhawatiran yang tercetak jelas di wajahnya. Lekas mengambil tangan Sisil untuk segera digenggamnya sebelum membawa gadis tersebut ke balik punggung pria yang baru saja datang.

"Ah, Aksa," Mika tersenyum. Tampak sekali dibuat-buat. Menutupi semua kekaguman yang ia simpan rapat dalam hati agar tidak ada siapapun yang tahu. Tidak boleh terlihat lemah di saat seperti ini. "Lama banget nggak ketemu kamu. Apa kabar? Masih sibuk? Biasanya jam segini kamu masih asyik di studio. Ngehabisin ice americano sampai beberapa gelas biar nggak ngantuk. And yes, aku masih hafal banget kebiasaan buruk kamu yang satu itu. Jangan terlalu sering. Nggak baik."

"Aku baik. Lebih baik daripada terakhir kali kita ketemu."

Agaknya Mika tidak boleh melupakan fakta yang satu ini. Bahwa dia sama Aksa sama-sama suka sekali menjadi dominan. Seolah enggan sekali salah satunya kalah di antara yang lain.

Lihat saja bagaimana netra sabit itu menatap tajam kepada Mika. Terang-terangan membawa Mika ke malam terakhir mereka bertemu. Malam perpisahan keduanya.

"Tentu saja kamu lebih baik," balas Mika tidak mau kalah, "ketemu daun muda yang masih segar begitu. Nemu dimana? Sadar umur, ya. Kamu sudah tua nggak usah banyak tingkah."

"Urus saja urusanmu sendiri. Nggak perlu repot-repot ngurusin urusanku," balas Aksa dengan nada yang teramat datar.

"Oh, ya. Jelas. Lihat bagaimana orang yang dulunya nggak bisa lepas dari aku. Yang selalu merengek minta bantuanku selama delapan tahun, sekarang sudah minta aku nggak usah ngurusin urusannya dia," maju satu langkah, Mika mengangkat tangannya guna menepuk puncak kepala Aksa dua kali, "Pintar, Nak. Kamu sudah tumbuh dewasa rupanya, hihihi." Mika terkikik. Menertawakan Aksa puas sekali dengan pandangan merendahkan khas Mika. Bahkan, ketika Lintang tiba-tiba saja bergabung bersama mereka, perdebatan sengit itu tidak juga selesai.

Gadis berkerudung itu tidak mau repot-repot ikut campur. Memandang ketiganya sekilas dengan minuman yang ia bawa dari dalam. Mengambil tempat duduk dan memilih menjadi penonton figuran di sana.

"Oh, iya. Sisil, ya?" Mika melihat satu gadis yang bersembunyi di balik punggung Aksa. Mengintip sedikit dari sana sebelum kembali bersembunyi saat tidak sengaja bertatapan dengan Mika.

"Nggak perlu takut begitu. Aksa sudah cerita apa saja sih tentang aku ke kamu? Aku perempuan baik-baik, lho," nadanya setengah meledek. Tertawa singkat sebelum melanjut, "Aksa saja betah tuh sama aku sampai delapan tahun."

"Cukup, Mika!" Aksa berseru kesal, dengan rahang yang mulai mengeras sebelum ia berakhir berucap, "Ayo, Sil. Kita pergi dari sini.Nggak usah dengar dia."

"Hei, Sisil," Mika memanggil. Dengan dua tangannya yang menyilang depan dada. Memandang dua punggung yang tengah mengambil langkah meninggalkannya. Pun yang dipanggil itu berhenti sejenak kendati Aksa sudah berusaha tetap menariknya.

Mika tersenyum miring, "Hati-hati, ya," sahutnya, "karena aku belum bisa move on dari Aksa. Delapan tahun bukan waktu yang singkat," ujarnya terang-terangan.

Senyum di wajah Mika semakin melebar manakala melihat buku-buku jari Sisil yang semakin memutih di genggaman Aksa. Maka dia kembali melanjut tanpa pikir panjang, "Barangkali saja, Aksa juga ngerasain hal yang sama."

***

"Satu vanilla oreo, minum di sini."

Menunggu beberapa saat selagi pelayan tersebut membuatkan minuman untuknya. Mika melirik meja yang terletak di pojokan dan melihat Lintang yang juga sedang menunggu di sana. Bermain dengan ponselnya lantaran sudah sampai lebih dulu dengan minuman yang sudah habis setengah. Pun setelah pesanannya sudah siap, ia berjalan dan menarik kursi di depan sahabatnya.

"Tumben banget ngajak makan siang bareng," sahut Mika. Menusuk minumannya dengan sedotan hitam sebelum menikmati rasa vanila yang mengental bercampur dengan oreo memanjakan lidah dan tenggorkannya.

"Bosan makan malam sama orang kantor. Tiap hari ketemu mereka."

Mika terkekeh geli, "Kamu masih saja kayak dulu, ya. Sering ngerasa bosan kalau sudah terlalu dekat sama orang."

Lintang mengangguk. Menyeruput ice americano yang ia pesan sebelum menimpal, "Sama kamu aja aku sering ngerasa bosan. Apalagi sama mereka."

"Eh, tapi akhir-akhir ini kita sering bareng, lho."

"Iya, memang," ucap Lintang, "jangan lupa juga dua bulan kemarin kita nggak pernah ketemu. Kontakan saja jarang gara-gara sibuk masing-masing. Lagi senggang saja begini."

"Iya juga, sih," Mika mengangguk setuju, "akhir-akhir ini lagi sibuk apa, Tang?"

Berpikir sejenak dengan bibir yang dikatup, Lintang menjawab, "Sudah nggak sibuk banget kayak kemarin, sih. Penyanyi yang baru keluar itu sudah ngeluarin albumnya, dia juga sudah syuting untuk musik videonya. Terus proses editingnya yang mana itu tugasku, juga sudah kelar. Bisa di bilang akhir-akhir ini sedikit lebih santai."

"Ah, ya," Lintang kembali menyahut, "tentang mantanmu itu, si pak produser yang sok keren. Dia juga sudah nggak kayak dulu. Dia kan dulu frustasi banget sampe kelihatan kacau dan berantakan, sekarang sudah lebih segar. Kayaknya itu gara-gara si cewek sok cantik itu yang sering datang antar makan siang."

Mika terkekeh, menertawakan cerita tersebut kendati dalam hati sudah kembali panas. Cemburu. Tidak suka Aksa-nya diambil begitu saja, atau barangkali memang dia yang belum benar-benar melepas pemuda tersebut.

"Biasa saja ngomongnya. Itu mantanku, yang kesel malahan kamu."

"Ya habisnya, sengaja banget tebar pesona ke semua orang. Aku nggak suka, Ka."

"Bukannya aku dulu juga begitu?"

"Ya ... beda," Lintang berucap ragu, setengah membenarkan tapi dia juga tidak mau. Pokoknya Mika itu serba benar di matanya, "Kalau kamu itu memang sudah dekat sama orang kantor. Kalau si Sisil itu kelihatan sekali cari muka. Pokoknya nggak suka."

"Kamu yang nggak suka, atau orang kantor yang nggak suka? Karakternya Sisil itu tipe-tipe karakter yang disukain orang lain. Supel, ramah, kalem, suaranya merdu, cantik. Pasti di kantor banyak yang suka." Mika meledek, sedang Lintang tampak masih tidak setuju.

"Iya, sih," sahutnya ragu, "tapi banyak yang kaget lho awal-awal itu. Soalnya baru dua bulan saja Aksa sudah gandeng pacar baru. Duh, gosip satu kantor. Mba Nina saja heran gara-gara kalian putus. Mas Esa apalagi. Soalnya kabarnya dia dulu pernah nasehatin Aksa biar break sama kamu, malah dia nggak nyangka kalau kalian benar putus."

"Ngomongin aku terus. Kamu sendiri gimana? Sudah berhasil pindah dari Utara?"

Pipi Lintang merah padam. Tampak malu dan seketika langsung menegakkan badan dan memukul meja di hadapannya, "Sudah, dong! Memangnya dia saja satu-satunya cowok di bumi ini? Helo! Masih banyak cowok ganteng yang bisa dijadiin jodoh. Dih, ogah banget lanjut sama dia."

"Masa?" Mika diam-diam tersenyum puas, lantaran rencananya mengganti topik berhasil. Sekaligus menertawakan ekspresi Lintang yang kini sedang ada di hadapannya. Pipi memerah dan bibir bawah yang dimajukan. Menggelikan sekali.

"Iya, sudah nggak usah bahas si Utara," ucapnya.

Selang beberapa detik, Lintang menoleh ragu. Memandang Mika yang masih tampak asyik dengan minuman dinginnya. Blazernya ia sampirkan pada bangku dan tampaklah kemeja putih yang disandingkan dengan rok span selutut berwarna abu.

"Ka," panggilnya.

"Hm?"

"Aku boleh tanya?"

"Pakai izin segala."

"Serius, Ka."

Mika berdecak, "Iya, iya. Tanya apa?"

Lintang menghembuskan napas, "Tentang yang di balkon waktu itu," ucapnya memulai.

"Yang mana?" tanya Mika, bingung.

"Yang kamu bilang ... kalau kamu belum bisa move on dari Aksa. Itu nggak serius, kan?"

Mika menyandarkan punggungnya. Melirik pemandangan di luar cafe dari kaca bening dan transparan itu. Melihat bagaimana orang-orang berlalu lalang dan kendaraan melaju tidak ada habisnya. Memikirkan sejenak jawaban apa yang akan ia berikan. Atau kata apa yang harus ia sampaikan. Karena sesungguhnya, ia ragu dan tidak yakin dengan apa yang dirasakannya.

"Kamu tau kan, Tang, siapa saja orang-orang yang tau apa yang terjadi antara aku dan Aksa yang sebenarnya?"

Lintang ikut diam. Berucap lirih setengah ragu, "Tentang hubungan kalian yang hanya sebatas saling membutuhkan?" tanyanya memastikan.

Mika mengangguk, "Perjanjian atas dasar agar tujuan kita tercapai. Hubungan yang hanya saling memanfaatkan saja."

"Lalu?"

"Siapa saja yang tau hubungan kita, Tang?" Mika bertanya sekali lagi.

Kali ini Lintang yang menghela napasnya berat. Tampak enggan menjawab, "Aku dan ... Utara."

Mika tersenyum penuh arti. Maka ia mengangguk lembut sembari mengelus punggung tangan sahabatnya. Menatap Lintang penuh hangat dan peduli. Serta mencoba menyampaikan pesan tersirat dari sorot matanya. Ekspresi yang hanya Mika tampakkan pada orang-orang terdekat dan terkasihnya, dan Lintang adalah salah satunya.

"Jadi, Tang. Kamu nggak perlu jawaban atas pertanyaan itu. Karena sesungguhnya," Mika menjeda, membuang pandang sejenak untuk membuang napas sebelum kembali menatap Lintang dan melanjut, "Sama seperti Utara yang paling tau bagaimana perasaan Aksa, begitu juga kamu yang paling paham sama kondisi dan perasaanku."

"Jadi," Mika berucap sekali lagi, "aku nggak perlu cerita lebih lanjut, kamu sudah mengerti, kan?"

Detik setelahnya, Lintang tersenyum dengan satu anggukan yang diberikan. Di sana Mika tersenyum senang, tahu bahwa ternyata pesan tersirat yang ia sampaikan diterima baik oleh sahabatnya.



Dont forget to leave vote and comment :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro