Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepuluh


"Kalau kita nikah nanti, kamu mau konsepnya kayak gimana?"

Mahesa bertanya kepada Drea saat mereka duduk bersama dalam sebuah momen santai di belakang rumah Drea. Mereka menggelar piknik Minggu pagi, berdua saja dengan makanan dan minuman seadanya. Yang terpenting, mereka bisa menghabiskan waktu berdua sebelum kembali tenggelam pada aktivitas pekerjaan masing-masing keesokan hari. Ia membelai lembut rambut Drea, mereka saling berbagi senyum dan tawa, membicarakan masa depan yang akan mereka lalui bersama sebagai pasangan sehidup semati.

"Outdoor dong, Sayang. Aku pengen semuanya serba natural. Aku mau disain sendiri baju kebaya aku. Trus aku juga mau warna-warna yang dipakai dominan putih sama peach. And i want roses everywhere." Drea yang sedang berbaring di atas paha Mahesa, berhenti sejenak untuk berpikir-pikir, kurang apalagi. "Oh, iya, Sayang. That old beetle buat wedding car kita. I always love classic car."

"Kenapa bukan Audi aja, hmm?" Mahesa tersenyum. Keinginan Drea terkadang sulit ia prediksi. Soal mobil, ia malah berpikir Drea menginginkan Rolls Royce dan semacamnya.

"Ini gara-gara Natra, tau nggak? Dia kan baru abis beli Beetle sama Caddilac. Iseng aja aku bilang kalo aku pengen Beetle tapi warna peach. Abis lucu sih, Sayang. Warnanya hijau, tapi katanya bisa dicat ulang jadi peach. Aku pikir dia boong, eh ternyata beneran. Aku pikir, kenapa nggak kita pake buat acara kita?"

"Hmm. Caddie juga boleh. Klasik juga kan?"

"Nggak ah. Katanya pemilik sebelumnya yang Caddie udah meninggal. Udah berkali-kali cerai juga. Itu aja yang jualin anaknya buat tukar tambah mobil baru. For that reason, aku nggak mau. Takut kenapa-napa aja. Yang punya Caddie udah sepuh juga sih, tapi kata Natra, usia pernikahannya udah 50 tahun. Aku pengen pernikahan kita juga selanggeng itu."

Mahesa tersenyum. "Amiin. Trus kenapa mobilnya dijualin?"

"Mereka butuh biaya pengobatan buat si kakek yang lagi sakit." Drea merenung sejenak. "Mm, Sayang. Kamu memang udah pernah liat mobilnya di bengkel Natra?"

"Pernah sih, tapi aku nggak terlalu merhatiin. Aku malah lebih ingat yang Cadillac cokelat."

"Mm, kamu lebih suka yang Caddie?" tanya Drea.

"Iya. Tapi kayaknya aneh kalo dicat peach. Atau putih. Klasiknya bisa ilang."

***

Drea menyeruput sekali lagi teh putih oleh-oleh dari China yang diseduhkan tante Naira untuk sarapan bersama pagi itu. Ia dan Natra semalam menginap di rumah keluarga Natra dan kini mereka menghabiskan Minggu pagi itu di halaman belakang. Mau tidak mau, ia merasakan kilas balik memori bersama Mahesa. Rasanya bertahun-tahun lalu itu tidak pernah terasa terlalu lama. Ia masih mengingat belaian lembut Mahesa, kata-katanya, tatapan mata yang lembut dan semuanya. Memori indah memang bukan hal yang mudah terlupa meski pergiliran waktu semakin jauh. Karena memori itu tidak pernah pergi bersama waktu. Ia tetap tinggal di dalam pikiran dan perasaan.

"Sayang, roll cake green tea-nya dicobain juga," tawar tante Naira. Di atas sebuah piring saji panjang yang terlihat artsy berwarna hitam, bermotif abstrak dan bertekstur kasar, potongan roll cake hijau mirip warna bolu pandan tertata apik. Di piring saji lain yang berwarna putih, tersaji pula potongan nougat cake. Drea sempat mencicipi satu cake nougatnya. Yang roll cake green teanya belum.

"Aku cobain ya, Ma?

"Ini dua-duanya Mama beli di langganan Mama yang masih pake sistem preorder. Aduh, antriannya itu bisa sampai sebulan. Tapi rasanya memang enak banget."

"Iya, Ma. Nougat cakenya juara banget." Drea tersenyum. "Tapi aku pengen juga sih bika ambon pandan. Udah lama nggak makan itu."

"Mama kira kamu udah nggak pengen makan itu lagi." Tante Naira tersenyum tipis.

"Itu kan kue kesukaan Mahesa, Ma. Sesekali sih masih aku beli di toko yang biasa."

Raut wajah tante Naira yang semula tersenyum, tergantikan muram.

"Mama tau kamu akan selalu sayang sama Mahesa, sama seperti kami semua akan selalu sayang dan merindukan dia."

Drea mengangguk pelan.

"Kamu masih sering mimpiin dia?" tanya tante Naira.

"Udah nggak sih, Ma. Mungkin Mahesa udah nggak enak gangguin aku terus." Drea mencoba tersenyum.

"Iya, Sayang. Mahesa udah tenang di sana. Mama, Papa, sama Natra selalu ngirim doa untuk Mahesa. Semua udah Mama ikhlasin. Meskipun kalo ingat Mahesa lagi, Mama selalu aja sedih. Kok orang baik selalu cepat pergi ya?"

Drea kembali mengangguk. Mereka nampaknya sama-sama berjuang menahan untuk tidak menangis. Namun memang sulit.

"Lagi ngomongin apa nih cewek-cewek?" Natra yang baru saja datang dari arah dalam rumah, langsung menyapa mereka dan duduk di dekat Drea. "Lagi acara apa pake nangis gini?" Natra terlihat bingung.

"Biasalah. Kamu kayak nggak tau aja, apa yang biasanya bisa bikin nangis Mama sama Drea kalo lagi ngobrol berdua."

Natra menatap ke arahnya, dan menyodorkan tissue. Drea mengambilnya dan menyeka airmata yang mengalir di kedua pipinya. Natra lalu beralih melihat mama dan juga mengambilkan tissue.

"Kalo kangen, kita nyekar aja." Natra berbicara kepada mereka berdua.

"Sekarang?"

"Sore nanti."

Drea mengangguk. Ia mendapati tatapan mata Natra yang terarah padanya begitu fokus. Sejak obrolan absurd mereka di kantornya beberapa hari lalu, sikap Natra padanya jadi lebih perhatian, sebaliknya Drea malah berusaha bersikap sedingin mungkin. Natra mungkin saja bisa sesuka hati berbicara apa yang ia mau, tapi ketika menyinggung soal ranjang, ia jadi sangat menyebalkan. Semalam saja, Drea harus memaksa Natra tidur di sofa sementara Natra begitu gigih hendak tidur bersamanya di ranjang.

"Kamu masih kesal soal ranjang-ranjang itu, Dre?" tanya Natra setelah mama beranjak sejenak dari kursi.

"Menurut lo?" Drea balik bertanya dengan tatapan menghunjam. "Pikirin dulu sebelum ngomong. Emang kerja organ vital lo lebih cepat dari otak lo ya?"

Natra balas menatapnya tanpa takut. "Gue udah minta maaf, Dre. Lo sensitif gitu."

"Lo ngomong aja sama tembok." Drea melirik tante Naira yang kembali duduk di kursi.

Natra menurunkan volume suara. "Nggak asyik."

Drea menggeram. "Lo emang ya?"

Tante Naira berdehem, lalu menatap mereka penuh selidik. "Lagi ngomongin apa sih, Nat? Dre?"

"Nggak, Ma. Nggak ada yang diomongin," jawab Drea lebih dulu.

Natra mengiyakan. "Yes."

"Mm, kalo gitu Mama mau ke dalam dulu. Nyiapin makan siang. Kalian di sini aja. Nat, tadi papa ke mana?"

"Oh, ada telepon tadi. Ngobrolnya udah ampir sejam. Ada tuh di teras depan."

"Ooo. Ya udah, Mama ke dalam dulu. Kamu jangan usilin Drea terus. Udah nikah kok kelakuan masih kayak anak kecil?"

Ucapan mama membuat Natra meringis. Ia lalu beralih cepat ke Drea. Dan Drea langsung mengalihkan pandangan.

"Dre."

Drea mengeluarkan ponsel dari dalam tas Longchamp cokelat yang ia bawa. Mencari kesibukan daripada membuang waktu bersama Natra. Ia akan baik dengan sendirinya, asal Natra bisa menjauh dulu sejauh-jauhnya untuk sementara waktu.

"Gue harus ngapain biar lo nggak marah lagi ke gue?" Natra mendesah panjang. "Lagian soal seks juga bukan hal tabu. Gue sama lo bukan anak kecil lagi. Then we married."

Drea membuka aplikasi Instagram. Ia bisa melakukan live Instagram sambil mencekik Natra, kalau saat itu ia benar-benar hilang kesabaran.

"Lo sadar nggak sih, Nat, lo udah nyakitin perasaan gue. Harus berapa kali gue bilang, gue sama lo cuma nikah buat status doang. Jadi jangan lo tawarin aktivitas seksual lo yang overdose sama gue, karena gue nggak tertarik."

Natra tersenyum. "Ya, i know. Dan kasus ditutup."

Drea menambahkan. "Sama satu lagi. Kalau lo butuh pelampiasan, lo boleh jajan di luar."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro