Bab 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana di dalam ruang rawat Dafa berubah sangat mengerikan. Hanya ada ketegangan yang terasa di antara ke tiga orang itu, mereka duduk di sofa untuk membicarakan hal yang sebelumnya.

"Jadi, apa yang kamu mau bicarakan?"

"Hmm, sebelumnya aku ingin meminta maaf," ucap Rani dengan pelan hingga bahkan nyaris tak terdengar.

"Maaf? untuk apa?" potong Vera. Wanita itu merasa bingung terhadap sahabatnya yang tengah meminta maaf padanya.

Rani memberanikan diri untuk menatap ke arah sahabatnya tersebut, wanita itu sebelumnya tidak berani menatap mata Vera mungkin karena merasa bersalah.

"Untuk semuanya. Maaf, aku sudah bekerja untuk Sam dengan memberi semua informasimu padanya."

"Maksudmu?"

"Iya, Sam tau semua tentangmu dariku."

"Tapi, untuk apa?"

"Tentu untuk uang," jawab Sam dengan santai. Pria itu sebelumnya tidak mengatakan apapun, dan hanya memperhatikan kedua sahabat itu tengah berdebat.

"Jangan asal ngomong, Sam. Rani tidak mungkin seperti itu," bela Vera. Tentu, wanita itu tidak percaya pada ucapan mantan pacarnya.

"Kalau tak percaya, silahkan tanya pada sahabatmu," ucap Sam dengan nada mengejek.

Vera menatap ke arah Rani yang kembali menundukkan kepalanya, wanita itu mengangkat kepala sahabatnya agar dapat menatap wajah Rani. Tanpa disangka, wanita itu sekarang tengah menangis dalam diam. Hal itu membuat Vera ikut sedih dan menarik sahabatnya tersebut untuk masuk ke dalam pelukannya.

"It's okay, Ran. Kalau pun ucapan Sam benar, aku tidak akan marah." Vera mengelus pelan punggung wanita itu yang kini tengah bergetar karena tangisan.

Jujur, Vera bingung harus seperti apa. Dia tak mungkin marah. Tapi, jika sahabatnya itu butuh uang. Kenapa harus menghubungi Sam?.

"Tapi, Ver ... ."

"Sudahlah, semua sudah terlanjur. Aku enggak papa kok."

Saat Vera dan Rani tengah berpelukan, Sam yang memperhatikan kedua orang itu hanya mampu menatap heran sembari sesekali memainkan ponselnya.

Tak lama kemudian, pelukan itu terlepas. Vera mengusap air mata Rani yang masih tersisa dipipinya.

"Aku enggak papa kok. Sekarang kamu enggak usah berhubungan lagi dengan dia," ucap Vera sembari menatap tajam ke arah Sam.

"Tidak bisa begitu, Rani masih bekerja denganku. Kamu tidak bisa seenaknya mengambil dia. Lagi pula sudah banyak uang yang ku beri padanya," oceh Sam tak terima akan ucapan Vera.

"Memangnya berapa uang yang sudah kamu beri?" tanya Vera menantang Sam.

Pria itu lantas mengulas senyum jahat diwajah tampannya. "Bisa kamu tanyakan sendiri pada sahabatmu. Berapa uang yang sudah ku beri."

"Jadi, apa yang kamu mau?"

"Yang aku mau?" tanya Sam sembari sedikit berpikir, "tentu, aku mau kamu."

"Jangan gila deh, Sam. Aku sudah memiliki kekasih."

"Bocah itu?" ucap Sam dengan angkuh, pria itu meremehkan Rehan yang jelas-jelas lebih baik darinya.

"Namanya Rehan," jelas Vera.

"Aku tidak perduli namanya."

"Baiklah, apa yang kamu inginkan? Uang? Berapa?"

"Tidak, aku tidak butuh uang. Uangku sudah sangat banyak."

"Terus?"

"Aku ingin Rani tetap bekerja denganku."

"Nggak, Rani tidak boleh bekerja denganmu lagi."

"Kenapa?"

"Aku tau kamu, Sam. Aku tidak pernah percaya padamu bahkan jika harus memberi sahabatku padamu."

"Tapi dia sudah menjual dirimu padaku?"

Vera menatap kembali ke arah Rani, wanita itu menatapnya sendu walau sudah tak menangis seperti sebelumnya.

"Untuk apa kamu ingin Rani bekerja denganmu?"

Sam terdiam, pria itu lantas berpikir jawaban tepat agar Rani tetap bersamanya.

Jujur, pria itu tidak pernah menyangka akan dapat dekat dengan Rani. Wanita itu jelas sangat berbeda dengan Vera. Dia sangat sederhana. Namun, mempunyai pegangan kuat untuk bertahan.

Wanita itu berhasil membuat pikiran Sam beralih padanya, perhatian serta wajah polos Rani terus terbayang dipikiran Sam belakangan ini. Maka dari itu, Sam sangat jarang bertemu dengan Vera lagi dan lebih sering bersama Rani.

"Jawab. Apa yang kamu mau dari sahabatku?" tanya Vera lagi dengan suara yang cukup keras. Namun, untungnya hal itu tidak mengganggu tidur Daffa.

"Dapat dikatakan, bahwa aku menyukai Rani," jawaban santai dari Sam berhasil membuat Vera membulatkan matanya.

Wanita itu tak menyangka Sam akan berkata seperti itu. Sebuah hal yang tentu tak dapat Vera percayai.

"Suka? Kamu nggak lagi mabuk kan?"

"Kenapa? Kamu cemburu?"

"Tidak. Tapi, aku tidak percaya dengan omonganmu."

"Terserah. Kamu mau percaya atau tidak. Tapi, aku berkata jujur dan aku tentu tidak akan melepaskan Rani."

***

Sudah nyaris 2 jam Vera berada di ruang rawat Daffa. Kini dia sangat terkejut saat melihat interaksi anak sahabatnya itu dengan mantan kekasihnya.

Bagaimana bisa pria keras seperti Sam, dapat menjadi lunak saat bermain dengan Daffa.

" Hei, kok bisa Sam seperti itu?" tanya Vera dengan nada berbisik. Kedua wanita itu tengah memperhatikan Sam dan juga Daffa dari sofa tempat mereka duduk sebelumnya.

Anak laki-laki itu sudah terbangun dan Sam langsung mendekat ke arah tempat tidurnya. Tidak ada kecanggungan antara mereka berdua. Hal itu tentu membuat Vera bingung.

Rani melirik ke arah Vera yang masih fokus pada pemandangan dihadapannya.

"Kamu sudah tidak marah?" tanya Rani dengan nada pelan. Jujur, wanita itu sangat takut sahabatnya itu membencinya

Vera mengalihkan pandangannya ke arah Rani, "Tidak, aku tidak pernah marah padamu, Ran. Di sini, aku hanya memilikimu. Bagaimana bisa aku membencimu? Kamu pun memiliki alasan jelas mengenai hal itu."

Rani kembali ingin menangis setelah mendengar ucapan sahabatnya itu.

"Hei, jangan menangis."

Vera menarik tubuh Rani untuk masuk ke dalam pelukannya. Entah kenapa wanita itu terlihat sangat rapuh kali ini.

"Sudahlah, biar semua berlalu."

Sebuah anggukan Rani lakukan sebagai jawaban disela pelukan mereka.

"Jadi, bagaimana perasaanmu pada Sam?" tanya Vera yang berhasil membuat tingkah Rani terlihat aneh.

Wanita itu terlihat membisu dengan wajah yang nampak memerah.

"Kamu suka padanya?"

"Enggak kok."

"Jujurlah, jika suka bilang suka. Aku malah senang, kamu sudah kembali ingin memulai hubungan."

"Tapi, Ver... ."

"Sudahlah, jauhkan pikiran burukmu sekarang," potong Vera. Wanita itu mendorong wajah sahabatnya untuk menatap ke arah Sam yang tengah menggendong Daffa. "Pria itu sangat baik, Ran. Hanya saja, dia tidak cocok denganku. Kami sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah."

Vera kembali menangkup wajah Rani dengan kedua telapak tangannya, kemudian wanita itu mengulas senyumnya. "Aku yakin kalian akan cocok, aku bisa lihat bagaimana kamu menyukainya dan begitu juga dia."

Rani memotong pandangannya pada Vera, seakan wanita itu tengah ragu.

"Ayolah, mana sahabatku yang dulu. Yang selalu penuh dengan ambisi? Kamu pasti bisa kok. Buka sedikit cela dihatimu. Daffa dan Farah masih butuh sosok ayah, Sam mungkin adalah orang yang tepat."

***

Lagi-lagi Vera kembali ke rumahnya dengan kepala yang terasa berat. Wanita itu jelas bingung karena ada banyak masalah yang dia hadapi beberapa hari ini. Masalah yang kemudian berdampak pada kesehatannya.

Sekarang sudah nyaris pukul 2 siang dan wanita itu memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya. Namun, sepertinya Tuhan belum mengizinkannya untuk beristirahat karena sekarang ponsel Vera kembali berbunyi.

Titt, Titt.

Dengan malas Vera mengangkat panggilan tersebut tanpa melihat siapa yang menelponnya.

"Halo," sapa Vera dengan mata nyaris terpejam, dia sangat mengantuk sekarang ini. 

"Halo, Mbak," jawab seseorang yang jelas Vera tau siapa. Mata wanita itu langsung terbuka dengan lebar dan dia pun melihat nama yang tertera di ponselnya hanya untuk memastikan siapa yang tengah menelponnya.

"Rehan!" pekik Vera dengan semangat.

"Iya, Mbak. Ini saya."

"Kok kamu bisa nelpon? bukannya di sana enggak ada jaringan?" tanya Vera dengan wajah bingung.

"Ini saya sudah keluar dari hutan, Mbak. Jadinya saya bisa nelpon, Mbak."

"Ohh gitu, terus ini kamu langsung balik atau gimana?"

"Langsung balik, Mbak."

"Mau saya jemput?"

"Hmm, boleh kalau enggak ngerepotin."

"Enggak kok, enggak ngerepotin. Saya jemput jam berapa?"

"Jam lima ya, Mbak."

"Oke, jam lima ya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro