Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"NAMANYA Daran Andromeda Asnan," kata Papa saat melihatku mengenyit menatap foto di tanganku lama-lama.

Ingatanku langsung kembali ke masa lalu saat mendengar nama itu. Iya, aku kenal Daran Asnan. Kami bersekolah di sekolah internasional yang sama. Mungkin sejak TK, tapi aku baru mengenalinya saat aku SMP. Dia dua tingkat di atasku.

Aku rasa, aku adalah cewek ABG paling terlambat yang menyadari sosok Daran yang menjadi pujaan cewek-cewek puber di seantero sekolah. Aku baru tahu dia saat aku terlibat insiden memalukan di lapangan voli saat pelajaran olahraga. Spike keras teman sekelas yang kebetulan jadi tim voli sekolah sukses mengenai jidatku dan membuatku tumbang, rata dengan lantai lapangan. Rasanya sakit, tapi pening yang menyerangku tidak seberapa dibandingkan dengan rasa malu setelah mendengar sorak-sorai penonton yang menertawakanku.

"Pukulan Nola keras banget, sampai kerbau pun bisa tumbang!" kata salah seorang teman sekelasku.

"Yang tumbang itu bukan kerbau sih, tapi gajah!" timpal yang lain tergelak keras.

"Gajah atau kuda nil?"

"Mungkin dua-duanya. Gajah dan kuda nil digabung jadi satu!"

Sepasang tangan kemudian terulur padaku. Akhirnya ada yang berpikir untuk membantuku bangkit. Saat sudah kembali menapak lantai dengan posisi stabil, aku kemudian menatap dewa penolongku untuk pertama kali. Adegannya mungkin mirip dalam anime, ketika seorang cewek culun terpesona pada seorang cowok paling tampan yang pernah dia lihat.

Aku tahu namanya beberapa saat kemudian, saat ada yang berteriak, "Daran, gajahnya nggak usah dibantuin. Dia bisa bangun sendiri kok!"

Kilas balik itu masih terasa menyakitkan hati saat teringat sekarang. Dengan berat hati aku terpaksa mengakui bahwa tujuanku menjadi dokter kulit dan kecantikan adalah untuk meyakinkan bahwa aku tidak akan kembali ke bentukku semula saat masih remaja. Aku akan menjaga indeks massa tubuhku supaya tidak lebih dari 21, bukan di atas 34 seperti waktu itu. Aku tidak akan pernah mengalami jerawat parah yang menutupi seluruh permukaan kulit wajahku, yang membuatku terlihat seperti kepiting rebus berpustula. Gigiku akan selamanya rapi, tidak lagi berantakan seperti dulu.

Iya, alasanku menjadi dokter kulit dan kecantikan adalah trauma yang kualami saat masa remaja. Dengan menjadi dokter, aku akan belajar tentang anatomi dan cara kerja segenap organ dan sistem kelenjar tubuh. Aku akan memahami struktur kulit sehingga bisa menangani semua masalah yang berhubungan dengan kulit. Aku akan menjadi sangat ahli, persis seperti dokter kulit yang berhasil mengobati jerawat menahunku yang menghancurkan kepercayaan diri. Aku akan mengatasi kecanduanku pada makanan sehingga bisa mendapatkan berat badan ideal

"Jadi, kamu mau coba ketemu Daran dulu sebelum Delano dan Eldric?"

Pertanyaan Papa mengembalikanku ke masa kini. Aku masih memegang foto Daran, walaupun pikiranku menjelajah pada masa belasan tahun lalu. Terakhir kali aku melihat Daran adalah saat aku masih SMA.

Daran itu seperti tokoh fiksi yang digambarkan terlalu sempurna sehingga tampaknya too good to be true. Ganteng, pintar, atlet basket, dan tidak banyak tingkah meskipun tahu dirinya menjadi idola hampir semua cewek di sekolah.

Di foto yang aku pegang, Daran terlihat jauh lebih dewasa. Garis rahangnya tampak lebih tegas. Gaya rambutnya juga berubah. Dulu, potongan rambutnya selalu cepak. Sekarang rambutnya lebih panjang, ditata dengan gaya side part. Yang sama persis antara Daran di masa lalu dan yang ada di foto ini auranya yang tenang.

Apakah aku ingin bertemu Daran, satu-satunya orang yang bersedia mengulurkan tangan menolongku saat penampilanku masih mengerikan?

Ide itu tidak buruk. Dulu aku tidak sempat mengucapkan terima kasih atas bantuannya karena terlalu takjub atas kebaikan hatinya membantuku. Setelah itu aku juga tidak pernah punya keberanian untuk mendekatinya karena takut diejek para penggemarnya saat melihatku mencoba berkomunikasi dengan pujaan hati mereka. Aku hanya melihat Daran dari jauh. Aku sadar kalau gajah obesitas penuh jerawat dan gigi berantakan seperti aku tidak ditakdirkan untuk berdekatan dengan orang seperti Daran.

Aku melepaskan foto Daran dan menjajarkannya kembali dengan dua foto lain yang kelihatannya tidak lagi semenarik tadi.

"Dari mana Papa tahu kalau mereka tertarik untuk menikah sama aku?" Dari penampilan ketiga nominator calon suami yang diajukan Papa, aku yakin bagi mereka, mencari calon istri pasti semudah membalikkan telapak tangan. Pilihannya mungkin tidak banyak jika yang mereka targetkan adalah anak atau cucu pengusaha yang masuk dalam daftar orang kaya versi Forbes Asia, tapi aku yakin seleksi Papa sudah mencakup memapanan karena bagi Papa, mapan pasti lebih penting daripada tampan.

"Kenapa mereka nggak tertarik?" Papa balik bertanya seolah pertanyaanku tolol. "Kamu nggak punya celah yang akan bikin mereka nggak suka. Kamu sukses dan cantik."

"Dan aku adalah anak Papa," sambungku dengan nada menyindir.

"Itu juga penting." Papa tidak membantah.

"Apa yang membuat mereka terpilih?" Aku perlu tahu latar belakang para lelaki ini sebelum memutuskan apakah bersedia bertemu mereka atau tidak.

"Mereka semua punya skill mumpuni untuk menjalankan bisnis Papa yang nggak mau kamu ambil alih setelah Papa pensiun. Perusahaan bisa dipegang orang luar yang profesional sesuai pilihan dewan komisaris, tapi Papa lebih suka bisnis kita dipegang oleh keluarga. Dan setelah Teddy membuktikan diri nggak bisa dipercaya, Papa akan lebih tenang kalau orang yang meneruskan usaha Papa adalah suamimu."

Teddy adalah sepupuku yang sebenarnya sudah dikader Papa sebagai calon penerus usaha, tapi dia mengkhianati kepercayaan Papa dengan menggelapkan uang perusahaan.

"Delano adalah anak Pak Sumitro yang punya perusahaan telekomunikasi. Papa kenal dia saat kerja sama pemasangan kabel bawah laut mereka. Eldric adalah cucu Pak Rasman Tanadi yang punya tambang batu bara dan perkebunan seperti kita. Jadi dia udah familier banget dengan manajemen bisnis kita. Merger akan bikin usaha kita makin besar. Papa beberapa kali ketemu dia saat ada konferensi. Anaknya santun banget. Zaman sekarang susah ketemu anak muda sukses yang sangat menghargai orang lain yang bukan orangtua mereka."

"Daran...?" Aku terpaksa menanyakannya karena Papa menghentikan penjelasan setelah memuji Delano dan Eldric. Papa sepertinya lupa kalau masih punya satu kandidat lagi.

"Daran adalah keponakan Pak Rumbun yang punya bisnis sawit yang akan perusahaan Papa akuisisi. Dia berhasil membuat bisnis pamannya yang hampir bangkrut berhasil bangkit lagi. Tapi karena Pak Rumbun berniat pensiun, dia menjual perusahaannya pada Papa. Sekarang proses akuisisinya masih berjalan. Dia lulusan Stanford dan pernah bekerja di Amerika sebelum kembali ke tanah air untuk bergabung di perusahaan pamannya."

Aku kembali menatap ketiga foto di depanku. Sekarang aku tidak bisa menilai secara obyektif lagi karena sudah mengenal salah satu di antara mereka. Aku mengangkat bahu. Bersedia bertemu dengan orang yang disodorkan Papa bukan berarti bersedia dijodohkan, karena pada akhirnya akulah yang akan memutuskan kelanjutan dari pertemuan itu. Lagi pula, jalan jodoh itu tidak ada yang tahu, kan? Bisa saja bantuan Papa sudah menjadi ketentuan takdir untuk menemukan belahan jiwaku.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah tamat. Tengkiuuu....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro