Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

HARI pernikahan dan malam pertamaku terasa seperti perjalanan menuju langit ke tujuh yang menakjubkan. Aku berhasil sampai ke puncak langit, tetapi kemudian tergelincir dan akhirnya terjatuh kembali ke bumi. Aku terempas dengan sangat keras. Menyakitkan.

Aku tidak tahu siapa yang menelepon Daran, tapi dari kata-kata dan nada suara Daran saat menerima telepon itu, aku yakin mereka punya hubungan dekat. Pasti bukan urusan kantor, karena tidak mungkin ada orang kantor yang berani menghubungi bosnya lewat tengah malam setelah resepsi pernikahannya.

Aku ingin berbaik sangka dengan membujuk otakku untuk percaya bahwa orang yang menelepon itu adalah anggota keluarganya, tapi logikaku segera menolak dugaan itu mentah-mentah. Masa iya anggota keluarga harus menghubungi Daran di nomor lain? Apa urgensinya Daran memisahkan nomor yang biasa dia pakai dengan nomor lain untuk keluarganya? Tidak masuk akal.

Yang menyebalkan, kepalaku yakin bahwa si penelepon itu adalah seorang perempuan yang punya hubungan istimewa dengan Daran. Dia pastilah sangat penting bagi Daran sehingga diberi nomor khusus yang aku sebagai istri Daran tidak tahu. Hanya orang spesial yang bisa menghubungi seorang laki-laki kapan pun, tanpa peduli waktu, dan status laki-laki itu.

Tentu saja aku bisa menanyakan tentang telepon itu secara blak-blakan pada Daran, tapi aku memilih tidak mengambil opsi itu. Aku tidak siap mendengar jawaban jujur dari Daran seandainya dia mengakui jika orang yang menelepon itu adalah pacarnya. Aku baru saja selesai bercinta dengannya. Aku tidak mau harga diri dan egoku terbanting sampai ke inti bumi. Aku akan terlihat sangat menyedihkan karena tidak mungkin meminta cerai setelah tahu jika aku bukanlah pilihan pertama Daran. Dia hanya menikahiku demi menjadi penerus Papa, tetapi tidak pernah berniat memasukkanku ke dalam hatinya karena tempat sakral itu sudah diisi perempuan lain.

Kenapa aku tidak bisa minta cerai? Tentu saja karena orangtuaku. Pernikahan ini adalah ide mereka, meskipun mereka tidak spesifik memintaku menikah dengan Daran. Perasaan Papa dan Mama pasti hancur saat mengetahui jika anak tunggal kesayangan mereka sudah masuk neraka pernikahan tidak sampai 24 jam setelah menandatangani akta nikah.

Tidak, aku tidak bisa membuat orangtuaku menyalahkan diri mereka atas keputusan yang kuambil sendiri secara sadar saat memilih Daran sebagai suami. Seumur hidup, aku sudah bergantung pada orangtuaku. Aku belum pernah melakukan apa pun untuk mereka. Semua pencapaianku, baik secara akademik semasa kuliah, sampai saat kerja, lebih untuk kepentingan memuaskan egoku sendiri, bukan untuk orangtua.

Konsekuensi dari keputusan bungkamku adalah merasa melayang-layang saat akhirnya bangkit dari tempat tidur di pagi hari. Aku baru merasakan akibat dari kelelahan setelah hari yang panjang kemarin. Aku juga tidak tidur semalaman.

"Kamu kelihatan cape banget," kata Daran saat aku keluar dari kamar mandi. Matanya menyipit menatapku. Aku pasti terlihat berantakan. "Kita nggak harus ke restoran kalau kamu beneran cape. Kita bisa pesan makanan dan sarapan di sini aja."

Aku balas menatapnya. Dia yang membuatku menjadi zombie seperti ini. Kalau dia memang punya pacar, seharusnya dia tidak mengajakku bercinta. Aku benci membayangkan diriku digilir dan dijadikan pengganti orang lain. Aku benci karena Daran sudah menempatkanku dalam posisi serba salah seperti sekarang. Aku benci diriku sendiri karena sudah menilai Daran menggunakan masa lalu sebagai indikator dalam menilai kepribadiannya sehingga penilaianku bias. Yang utama, aku benci diriku karena sudah jatuh cinta padanya!

Kenyataan yang menimpaku sungguh tragis. Aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Begitu jatuh cinta, aku lantas menikah dengan orang tersebut, dan berakhir merana karena kepalaku penuh dengan berbagai prasangka yang mustahil tuntas tanpa bertanya pada Daran tentang telepon yang diterimanya semalam.

"Kamu nggak enak badan?" Daran bertanya setelah gagal mendapatkan responsku dengan kalimatnya terdahulu.

Bukan badanku yang sakit, tapi hatiku. Aku menarik napas panjang lalu mengangguk. "Capenya kemarin baru terasa hari ini. Aku juga belum lapar. Kamu nggak apa-apa sarapan sendiri di restoran, kan? Aku mau tiduran dulu."

Daran bangkit dari sofa tempatnya duduk dan menghampiriku. "Kalau kamu perlu obat, tulis resepnya aja biar aku tebus di apotek."

Aku tidak butuh obat. Aku hanya perlu ruang untuk sendiri. Aku menghindar saat tangan Daran terulur hendak menyentuh dahiku. Aku pura-pura tidak mengerti gesturnya dan berjalan menuju ranjang. Sayangnya aku tidak bisa bergelung dalam selimut untuk menciptakan kesan tidak mau diganggu supaya bisa istirahat dan ditinggalkan sendiri, karena penutup tubuh sialan itu menjadi alas kami bercinta semalam. Bercak darah yang menempel di situ memang hanya sedikit, tapi tidak nyaman untuk dipakai lagi karena warna selimut yang putih bersih membuat noda merah itu tampak mencolok. Aku sudah menyingkirkannya dari ranjang begitu Daran terjaga dan pergi ke kamar mandi. Aku tidak segera meminta ganti karena berpikir bahwa house keeping akan segera datang untuk membereskan kamar ini sekaligus mengganti seprai dan selimut.

"Aku nggak perlu obat," tolakku. "Setelah tidur pasti udah baikan." Aku berbaring menyamping supaya tidak perlu menatap Daran yang statusnya berubah dari dewa penolong menjadi musuh dalam selimut. "Makan aja duluan ya." Sekali lagi aku mengusirnya secara halus.

"Aku pesan makanan aja, nggak usah ke restoran." Daran duduk di sisi ranjang yang kubelakangi. Aku bisa merasakan dari gerakan kasur. "Kamu mau sarapan apa, biar aku pesanin sekalian?"

"Nggak usah. Aku bisa makan buah di kulkas kalau udah bangun."

"Makan buah aja nggak cukup untuk mengganti energi kamu yang terkuras. Kemarin kamu hanya makan sekadarnya aja saat disuapin mama kamu."

Kalau ponsel Daran semalam tidak berdering, aku akan menganggap kalimat itu sebagai penyataan perhatian dan kepedulian. Aku mungkin saja berpikir kalau dia juga mulai punya perasaan padaku. Sekarang, aku sulit percaya dengan ketulusan yang terdengar dalam nada suaranya.

Ternyata perasaan dan emosi dapat berubah dengan cepat. Hanya butuh waktu sekejap untuk beralih dari mode bahagia menjadi sedih. Percaya begitu gampang menjadi ragu. Sayangnya teori itu tidak berlaku untuk cinta, karena mengubah cinta menjadi benci tidak semudah membalik telapak tangan. Cinta memberikan perih yang mendalam secara instan ketika kita disakiti, tapi tidak serta merta membuat kita lantas bisa membenci detik itu juga.

Butuh usaha, tapi akhirnya aku jatuh tertidur. Pikiran-pikiran yang berseliweran di dalam kepalaku mengangkat bendera putih dan menyerah pada kebutuhan tubuhku untuk istirahat. Ketika akhirnya membuka mata, aku melihat gorden yang menutup dinding kaca masih terpasang untuk memblok sinar matahari. Daran pasti sengaja tidak menyingkap gorden supaya tidurku tidak terganggu oleh cahaya matahari yang menyilaukan. Sayangnya, niat baiknya sudah tidak bisa membuatku tersentuh.

Saat membalikkan tubuh, aku melihat Daran sedang duduk di sofa, menekuri MacBook yang dipangkunya. Entah mengapa dia harus menyusahkan diri seperti itu. Dia bisa kerja dengan santai dan tenang di luar kamar. Presidential suiteini memiliki fasilitas lengkap, mulai dari ruang tamu superluas untuk menerima banyak orang, meja makan yang bisa menampung belasan tamu, pantri yang lapang dengan peralatan lengkap, sampai ruang kerja. Seharusnya Daran berada di ruang kerja, bukan di dalam kamar. Kecuali kalau dia memang berniat menampilkan imej sebagai suami penuh perhatian pada istri yang baru diperawaninya semalam. Toh tidak sulit berpura-pura baik dengan imbalan menjadi calon penerus salah satu grup perusahaan terbesar di tanah air.

"Sudah bangun?" Daran rupanya menyadari gerakanku. Dia menutup MacBook-nya dan bergerak menuju ranjang. "Makanan yang diantar untuk sarapan udah dingin. Kamu mau makan siang di sini, atau kita ke restoran?"

Aku butuh keluar dari kamar ini. "Di restoran aja." Aku bergerak bangkit dari ranjang saat Daran baru duduk di tepi tempat tidur. "Aku mandi dulu."

Aku merasa lega ketika akhirnya berada di restoran. Aku terbebas dari keharusan tinggal berdua di dalam kamar bersama Daran. Memang tidak akan lama, tapi aku bisa berpikir lebih jernih saat tidak berada di atas tempat tidur yang kami pakai bercinta untuk pertama kali.

Aku tidak akan segundah ini seandainya belum bercinta dengan Daran. Bercinta berarti melewati batas hubungan kasual kami sebelumnya. Kegiatan itu semacam pengesahan atas kepemilikan kami atas tubuh masing-masing. Aku kalah skor dari Daran karena aku menyerahkan hati dan tubuhku padanya, sedangkan dia hanya memberiku tubuhnya.

"Kamu beneran nggak mau pesan appetizer dan dessert?" tanya Daran saat aku hanya memesan vongole linguine. "Porsinya nggak terlalu besar, padahal kamu udah nggak makan sejak semalam."

Aku menggeleng. "Aku belum terlalu lapar. Kalau nanti beneran lapar, aku bisa pesan makan kok."

"Aku nggak mau terkesan mengajari karena kamu dokter yang paham banget gimana cara kerja tubuh manusia. Aku hanya khawatir karena merasa asupan kamu sejak kemarin nggak sesuai dengan kebutuhan energi harian kamu aja." Daran lantas mengalihkan percakapan, "Kamu udah nyusun itinerary perjalanan kita?"

Astaga, bulan madu! Aku nyaris menepuk jidat. Aku sempat melupakan hal itu karena sibuk dengan berbagai praduga dalam kepalaku. Jujur, aku sudah kehilangan antusiasme dengan rencana perjalanan itu. Terus berdua bersama Daran dengan pikiran yang kusut seperti sekarang tidak akan menyenangkan. Namun membatalkannya sepihak berarti aku harus memberi alasan dan penjelasan mendetail, tidak hanya kepada Daran, tetapi juga pada orangtuaku, terutama Mama yang menghadiahkan paket liburan bulan madu ini.

Mama pasti akan bertanya-tanya kalau aku tidak jadi pergi berbulan madu. Dia pasti khawatir dan curiga jika hubunganku dengan Daran tidak berjalan sesuai harapan segera setelah menikah.

"Aku nggak punya itinerary khusus. Kita bisa menyesuaikan dengan keadaan aja. Toh kita nggak pakai guide." Aku memilih menggunakan akal sehat, jadi harus tetap mengikuti rencana yang sudah disusun sejak awal. Ini konsekuensi dari kepengecutanku karena tidak berani mengkonfrontasi Daran tentang telepon yang diterimanya semalam.

Satu hal yang aku tahu dengan pasti, sejak semalam, aku sidah kehilangan kepercayaan pada Daran. Tak peduli apa pun yang dilakukannya dan bagaimanapun jujurnya dia, aku akan selalu curiga padanya. Keadaan akan terus seperti itu sampai aku punya keberanian untuk bicara blak-blakan padanya. Tidak dalam waktu dekat karena implikasi percakapan itu bisa mengakibatkan berakhirnya pernikahan kami. Dan itu berarti aku sudah siap melihat Papa dan Mama menyalahkan diri karena membuatku bertemu dengan Daran.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa. Di sana udah tamat plus Extra Part. Tengkiuuu...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro