20 ; Trauma

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tidak semua yang berdosa bisa diampuni, dan tidak ada manusia yang berhak menentukan dosa manusia lainnya."

❤️ Happy Reading ❤️
.
.


Ketika fajar menyingsing, api yang semalam gagah menyala, kini hanya menyisakan bara dan abu. Di samping itu, dua orang yang semalam sibuk berdebat kini tengah terpejam dengan punggung menempel pada sebuah batang kayu yang sudah roboh.

Kilau dari teriknya matahari yang menerobos dari sela-sela dedaunan ternyata mengusik lelap salah satu dari mereka. Bocah berjaket hitam yang semula rapat memejamkan matanya kini perlahan berkedip. Terbangun dan berada di tempat asing membuat Arsen nyaris berdiri dan berteriak panik. Akan tetapi, ia urung melakukan begitu tahu ada sosok lain yang mungkin akan terusik ketika dia berisik.

Niat awal, Arsen ingin mengumpulkan beberapa kayu lagi untuk mencegah api padam. Akan tetapi, ia urung melakukan ketika ada sensasi perih menjalar di sekitar punggungnya. Bocah itu merintih tertahan saat rasa sakit menjalar begitu hebat ketika ia berusaha menggerakkan tangan kanannya.

"Astaga, kenapa baru kerasa sekarang?" gumamnya ngeri.

Pasalnya, ada sebuah luka seperti tertusuk di bahu bocah itu. Bukan luka dangkal, tapi seperti sebuah benda lancip yang pernah tertancap dari depan hingga menembus daging di atas tulang selangka Arsen. Jika sedikit saja meleset, mungkin leher bocah itu sudah berlubang.

Mengabaikan rasa sakit yang sudah nyaris kebas, Arsen mengedarkan pandangan dan mencoba untuk mengingat-ingat. Benda macam apa yang membuatnya terluka seperti ini?

Setelah beberapa kali menelisik, akhirnya netra kelam itu tertuju pada satu titik. Sebuah batang kayu setinggi sepuluh sentimeter yang ternoda oleh bercak darah yang mulai berubah warna. Kayu itu lancip, terlihat seperti pohon yang gagal tumbuh kemudian mati. Menyentuh luka di bahunya, diam-diam Arsen bergidik ngeri. Bagaimana bisa semalam dia tidak merasa kesakitan, padahal benda mengerikan itu menembus bahunya?

"Ssshh ... sekarang baru kerasa sakit banget, anjir!" gerutunya pelan.

Di hutan seperti ini, sangat sulit untuk menemukan air bersih jika mereka tidak menjelajah kesana-kemari demi menemukan sebuah sungai. Sementara Cleon masih pulas dalam buaian mimpi, Arsen tidak tega untuk sekedar mengganggu kenyamanan remaja itu.

Berusaha menghiraukan rasa nyeri di bahunya, Arsen memutuskan untuk pergi mengumpulkan kayu baru. Dia tidak boleh membiarkan api yang sudah Cleon buat dengan sepenuh hati, padam begitu saja. Asap dari api itu juga bisa menjadi sinyal tanda permintaan tolong, jika saja orang-orang mulai menyadari bahwa mereka menghilang.

Ah, lagi-lagi Arsen merasa bangga dengan kecerdasannya. Tanpa sadar, bocah itu tertawa dan tersenyum sendiri dengan apa yang tengah ia pikirkan.

"Ngapain ketawa-tawa sendiri?"

"Astaga!" Kayu yang susah payah Arsen kumpulan kini jatuh berhamburan bersamaan dengan rasa terkejut yang menyerang bocah itu.

Dengan tubuh yang tinggi dan tegap, Cleon kini berdiri tepat di belakang Arsen dan melemparkan tatapan penuh tanya. Masih dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya, remaja bermata tajam itu merasa heran melihat satu-satunya manusia di dekatnya kini beralih dari sudut ke sudut dan membawa setumpuk kayu.

Rasa perih menjalar dengan cepat dan membuat Arsen nyaris merintih keras. Beruntung dia cepat tanggap bahwa ada Cleon di dekatnya.

"Gue cari kayu buat api unggunnya. Lagian lo ngapain sih tiba-tiba berdiri di belakang gue? Bikin kaget aja," tukas bocah itu ketika sudah bisa mengendalikan rasa terkejutnya.

Mengabaikan wajah memelas orang di depannya, Cleon menepuk tanah yang menempel di jaket dan celananya. Ia menatap sekeliling lantas mendesah kesal.

"Nggak usah ditambah, lebih baik kita cepet gerak buat temuin jalan keluarnya. Gue nggak mau malam ini tidur di hutan lagi. Kotor, banyak nyamuk. So disgusting!" kesalnya disertai entakan kaki yang cukup keras.

Menyaksikan tingkah Cleon yang mendadak manja, Arsen tak bisa menahan tawanya. Bagaimana tidak? Tuan muda yang biasanya mendapat apa yang dia inginkan hanya dengan menjentikkan jari, kini tersesat di hutan bersama dengan orang yang dibenci dan diganggu oleh binatang kecil seperti nyamuk. Pasti ini adalah kesialan beruntun bagi Cleon.

"Malah ketawa, waras nggak, sih?" sergah Cleon yang masih berwajah masam.

"Oke, oke. Maaf. Ya udah, ayo jalan. Ini udah mau tengah hari, takutnya kita nggak bisa keluar dari hutan sebelum malem." Arsen lebih dulu melangkah di depan Cleon.

"Katanya nggak mau digigit nyamuk. Hahaha," lanjutnya ketika sudah berada lebih jauh dari lawan bicara.

Mendengar ejekan yang tertuju padanya, Cleon ingin sekali melempar batu ke kepala bocah kurang ajar itu. Namun, ia urungkan karena hanya orang ini yang saat ini bisa diajak berbicara dengan bahasa manusia.

🌺🌺🌺

Dua jam sudah berlalu sejak pertama kali mereka melangkahkan kaki. Akan tetapi, sejauh ini hanya penat yang didapat. Arsen mengusap peluh yang bercucuran dan menghampiri pohon terdekat kemudian jatuh terduduk.

'Sakit banget,' rintihnya dalam hati. Luka di bahu yang sedari tadi ia sembunyikan kini terasa semakin menyiksa.

Andai jaket yang ia kenakan tidak berwarna hitam, mungkin sekarang noda darah sudah memenuhi punggungnya. Diam-diam Arsen bersyukur, karena berkat warna jaket itu, Cleon jadi tidak menyadari bahwa Arsen terluka.

"Sumpah, seharusnya tadi belok kanan. Pasti kita udah nemu jalan pulang. Gara-gara lo, nih, malah makin masuk ke hutan." Cleon mengutarakan protes karena mereka tak kunjung menemukan jalan yang benar.

"Tapi kalo ke kanan kemungkinan besar kita balik ke tempat tadi. Lo mau muter-muter?"

"Sok tau banget! Sejak kapan lo hafal denah hutan ini?" sarkas Cleon tak terima dengan pendapat si lawan bicara.

"Ngikut feeling aja, sih."

Sampai di sini, perdebatan berakhir. Arsen memilih untuk diam dan meredam rasa sakit sedangkan Cleon membuang muka karena terlampau kesal. Keduanya sama-sama tak mau berbicara lagi.

Dari apa yang Cleon amati, hutan ini sebenarnya tidak terlalu seram. Hanya seperti hutan-hutan pada film dokumenter yang pernah ia lihat. Hanya saja, ketika masuk lebih dalam, tanah menjadi sedikit lebih terjal atau bisa dibilang ini seperti area perbukitan kecil.

Memberanikan diri untuk masuk ke sebuah gua kecil, Cleon seakan menemukan sebuah keajaiban. Lubang yang cukup besar dan mampu digunakan untuk setidaknya berteduh. Dipandanginya langit yang mulai menghitam, bocah itu memperkirakan bahwa hujan akan segera turun. Membayangkan tubuhnya basah karena air hujan membuat ia enggan untuk melanjutkan langkah.

"Oi, bocah! Sini lo!" teriaknya ogah-ogahan sembari mengambil tempat duduk di atas sebuah batu kecil.

Hei, lihatlah. Berada di dalam gua setinggi rumah dan terdapat batu layaknya singgasana, bukankah ini seperti istana dalam negeri dongeng? Astaga, Cleon merasa bangga dengan apa yang ada di pikirannya.

"Weh, gila. Ini mah kayak di drama-drama kolosal yang mama gue tonton. Ada gua terus bisa buat berlindung dan tidur. Mantap, keren." Arsen berceloteh begitu tiba di hadapan Cleon.

Manik kelam remaja itu tak henti-hentinya mengabsen isi gua dan berdecak kagum. Membuat sosok Cleon yang awalnya larut dalam imajinasi menjadi raja, kini mendengkus tak suka. Remaja itu menarik lengan Arsen dan mendorong bocah itu keluar dari gua.

"Karena tempat ini yang nemuin gue, jadi sekarang tugas lo adalah cari kayu dan ranting buat bikin api unggun. Kalo bisa sih bikin apinya sekalian." Seperti seorang raja, Cleon memberi titah pada bocah yang lebih muda.

"Hah?" Arsen ternganga mendengar perintah sepihak dari Cleon. Bukankah ini namanya memperbudak?

"Tinggal mau apa enggak? Kalo nggak mau ya lo cari aja gua lain, atau tidur aja sama hujan. Simpel, 'kan?" Cleon mengibaskan ujung lengan jaketnya yang kotor.

"Bukannya nggak mau, tapi ...." Arsen meremas lengan kanannya. Rasa sakit itu sangat menyiksanya, belum lagi langit mendung membuat hatinya tak tenang.

"Tapi apa lagi, sih? Buruan, bentar lagi hujan." Menarik napas panjang dan menghembuskan dengan kasar, Cleon lanjut berujar, "Bi*ch, Why do I have to be here with a fool like you? It just makes me age earlier. F*ck, this is annoying me. I hope in the next life, I was born as a bird. So I never meet human like you ...."

"Iya, iya! Gue cari kayunya, stop ngoceh pake bahasa Inggris. Badan ini udah remuk, jangan bikin gue mikir lagi buat terjemahan apa yang lo bilang." Arsen memotong ucapan Cleon sebelum bocah itu selesai berbicara.

Dengan langkah kaki yang dihentak-hentakkan, Arsen keluar dari gua. Menyebalkan sekali, apa orang kaya selalu menggunakan bahasa asing ketika marah?

"Tinggal marah aja pake bahasa Inggris segala. Sombong amat, mentang-mentang kaya dan punya temen bule. Dih, dikira gue nggak paham? Cuma bahasa Inggris mah sambil merem juga bisa."

Arsen mengambil sebuah ranting di bawah kakinya. "Lagian tadi gue udah kumpulin banyak kayu di tempat itu. Malah disuruh buang. Terus sekarang? Gue juga yang harus cari kayu lagi!"

Bibirnya tak berhenti mengumpat dan berceloteh tentang kekesalan, tetapi tangan dan kaki jenjang Arsen tetap bergerak cekatan mengumpulkan kayu serta ranting di sekitarnya.

Kondisi pepohonan yang rimbun dan tanah yang sedikit basah membuat remaja itu kesulitan menemukan kayu yang benar-benar kering. Dia harus berjalan lebih jauh demi beberapa lembar daun kering. Berat kayu yang Arsen bawa membuat bahunya berkedut dan sakit luar biasa. Arsen meletakkan kayu yang dibawanya lantas meraba bahu.

"Shhh ... sakit banget, Ya Tuhan."

Warna merah pekat dari darah langsung membasahi telapak tangan Arsen. Sakit yang begitu menyiksa, membuat remaja jangkung itu ingin menangis saat ini juga. Berapa lama waktu yang tersisa hingga ia tak mampu lagi bertahan?

Enggan berlama-lama meratapi nasib, Arsen kembali memungut kayu yang semula teronggok di hadapannya. Awan hitam semakin menggumpal, ia harus mengumpulkan kayu yang cukup sebelum hujan tiba.

Kondisi yang cukup sunyi membuatnya betah berlama-lama mengitari hutan meski tak berani jauh dari gua. Hei, kapan lagi ia bisa berbaur dengan alam terbuka sepenuhnya?

🌺🌺🌺


Setelah lebih dari tiga kali Arsen bolak-balik mengumpulkan kayu. Akhirnya benda itu sudah menumpuk banyak, cukup untuk membuat api unggun bertahan semalaman.

Ketika di perjalanan mencari kayu, Arsen juga menemukan pohon pisang yang tengah berbuah. Ia membawa beberapa potong pisang yang sudah matang guna mengisi perut. Buah itu juga dia bagi dengan Cleon, sebagai persembahan agar sang raja tidak banyak tingkah.

"Yakin nggak beracun?"

"Kalau lebih takut mati keracunan karena pisang, ya nggak usah makan. Tapi nih, ya. Ujung-ujungnya lo tetap bakal mati karena kelaparan." Usai berkata demikian Arsen melahap pisang yang tadi sudah ia kupas, tanpa ragu mengunyah lantas menelan dengan penuh semangat.

Sial, Cleon benci kenyataan bahwa mereka sekarang berada di alam terbuka. Tak ada restoran apalagi hotel bintang lima di sini. Bisa mendapatkan makan berupa buah pisang lagi matang merupakan suatu keajaiban. Dengan kesal ia menyambar sebatang pisang dari alas daun yang Arsen ciptakan. Mengupas kulit secara perlahan kemudian dengan sedikit ragu mulai melahap buah berbentuk lonjong itu.

Perlahan tapi pasti, satu buah pisang habis dilahap oleh Cleon. Hal itu membuat netra Arsen berbinar senang.

"Ngapain sih, lihat-lihat kayak nggak pernah tahu manusia makan aja!" Cleon berseru kesal. Ia risih sedari tadi Arsen menatapnya ketika sedang melahap pisang.

Arsen terkekeh, dia hanya mengibaskan tangannya ke depan wajah tanpa berkata sepatah katapun. Menurutnya ini lucu, karena tingkah dan perkataan Cleon sangat bertolak belakang. Mulutnya berucap seolah-olah pisang itu makanan berbahaya, sedangkan gigi dan lidahnya yang bekerja menandakan jika makanan itu enak.

"Hujan ...." Cleon melempar kayu ke dalam api tanpa menoleh dan bergegas ke tepi gua.

Rintik air yang semula hanya butiran kecil kini menjadi sebesar jagung dan berubah ganas. Sungguh, jika saja tadi dia tidak menemukan gua ini, mungkin di luar sana mereka sudah mati kedinginan. Usai puas melihat kondisi di luar gua, Cleon kembali duduk ke tempat semula. Sebuah batu yang lebih tinggi dari batu-batu lain, sebut saja itu singgasana.

"Feeling gue bener lagi, hujan lebat di luar. Untung ada gua ini. Kalo nggak, nama kita ada di portal berita. Judulnya, 'Dua Siswa Ditemukan Menghilang Usai Memasuki Hutan Terlarang'. Dih, kalau itu lo doang mah nggak apa-apa. Gue ogah," tukas Cleon tanpa beban. Tangannya terulur mendekati api agar mendapat kehangatan darinya.

Sekian menit berlalu, tak ada jawaban dari sosok yang tengah duduk diam memandang ke arah api. Aneh, Cleon pikir jika ia cerewet seperti itu maka Arsen akan membalas dua kali lipat. Mulut bocah itu sudah seperti burung beo, tak berhenti mengoceh meski dipaksa diam. Lalu apa ini? Kenapa dia terlihat lebih kalem usai berceramah soal pisang?

Cleon melempar sebuah batu kerikil ke kaki Arsen. "Kenapa?" tanyanya berbasa-basi.

Mereka duduk bersampingan, seharusnya Cleon bahagia ketika orang yang ia benci suaranya diam. Namun, entah mengapa kali ini dia merasa aneh dan ada sesuatu yang kurang.

Cahaya yang dihasilkan oleh api cukup membuat seisi gua terang benderang. Cleon dapat dengan jelas melihat wajah lawan bicaranya. Hei, mengapa bocah ini terlihat pucat dan tatapan matanya kosong?

"Heh, bocah! Denger nggak gue ngomong apa? Jangan ngelamun, ntar kesurupan. Gue nggak bisa ngobatin, Njir!" Oh, demi apa pun. Cleon tidak percaya hal-hal gaib seperti ini. Dia lebih suka dikejar singa daripada percaya dengan manusia yang kesurupan.

Awalnya Arsen tak memberi respons dan tetap terdiam sembari menatap nyala api. Merasa dirinya tak dihargai, tentu Cleon merasa tersinggung. Pemuda itu lantas mendekat da mengguncang bahu Arsen cukup keras. Hingga akhirnya, sosok yang masih di posisi duduk itu menoleh ke arahnya.

"G–gue nggak suka hujan," sahut Arsen sedikit tergagap. Bahkan tanpa disadari, segelintir air sudah menggenang di pelupuk matanya.

Wajah pucat dan bibir bergetar. Cleon langsung tanggap dengan maksud bocah ini dari cara ia berbicara. Ini seperti bukan Arsen yang biasa dia lihat. Sebodoh apapun Cleon dalam memahami perasaan orang, dia tidak bisa memungkiri bahwa sekarang dirinya tahu bahwa sosok di hadapannya ini sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Lagi-lagi sebuah kesialan! Cleon tidak tahu harus berbuat apa. Atau lebih tepatnya, dia tahu tetapi enggan untuk bertindak.

Bukankah ini yang ia mau? Melihat orang yang dibenci menderita tanpa perlu mengotori tangan. Seharusnya Cleon bahagia, dia tidak perlu repot-repot menyusun rencana untuk memberi pelajaran pada Arsen hingga bocah itu memohon ampun. Lantas mengapa sekarang ada perasaan aneh yang muncul?

Cleon menggeleng cepat, tidak mungkin jika dia merasa iba, 'kan?

"G-gue nggak mau kelihatan lemah. Hiks ... tapi gue takut. Saat-saat itu selalu datang bareng hujan. Gue nggak suka ... hiks—" Arsen menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangannya. Dapat dengan jelas Cleon dengar, bocah tersebut meredam tangisan di balik lipatan tangannya.

"Hey, what's wrong with you? Kenapa sampe setakut itu? Ini cuman hujan."

Tangan pemuda itu nyaris menyentuh bahu Arsen, tetapi urung dilakukan ketika dia teringat akan rasa bencinya. Tidak, dia tidak boleh merasa kasihan pada orang yang sudah membuat adiknya pergi.

Alhasil, Cleon hanya kembali duduk di tempatnya. Tak berani mendekat, tidak juga bertanya. Hanya mengamati apa yang akan terjadi pada bocah di sampingnya.

Suara guntur yang bersahutan menambah runyam suasana. Arsen yang awalnya terisak kecil, kini mulai histeris. Bocah itu sibuk menutupi telinganya dengan telapak tangan dan bergumam memanggil nama sosok yang dicintai.

"Mama ... tolong aku ...." Bocah itu berteriak meminta pertolongan pada sosok yang nyatanya tak ada di sini.

Kejadian seperti ini baru pertama kali Cleon saksikan. Meski dulu dia punya Gavin yang mentalnya tidak stabil, tapi adiknya masih bisa mengendalikan diri. Sedangkan Arsen? Sebenarnya apa yang sudah anak ini alami sampai-sampai ketakutannya pada hujan sangat tidak wajar?

Tangan Cleon tergerak untuk mengusap bahu Arsen. Mencoba untuk menyalurkan kenyamanan meski bibirnya bungkam. Ia tidak tahu harus mengatakan apa, jadi diam adalah pilihan terbaiknya.

Tampak terkejut dengan tindakan spontan dari Cleon, Arsen menepis kasar tangan yang berada di bahunya. Bocah itu menganggap jika sentuhan Cleon adalah sebuah ancaman. Ia memundurkan tubuhnya hingga menyentuh dinding gua.

"Aku minta maaf ... aku gagal ... aku gagal hiks–" Ia menangis histeris saat hujan semakin deras dan guntur saling bersahut-sahutan.

Niat hati ingin membantu, Cleon malah semakin kalang kabut saat kebaikannya justru dibalas dengan penolakan dan ketakutan.

"Gue harus apa, bangsat? Mana ini hujan sialan nggak reda-reda! Sial banget nasib gue," tukasnya frustrasi.

Pada akhirnya pemuda bertindik itu hanya bisa kembali duduk sembari mengawasi apa yang Arsen lakukan. Menambah jumlah kayu pada api unggun dan menunggu hujan selesai turun.

"Gue datang buat menghukum kejahatan lo. Tapi kayaknya Tuhan udah lebih dulu bertindak. Kalau begini, gue harus apa?"

Miris.

Cleon tak menyangka, jika bocah seperti Arsen yang tahan pukulan dan tidak merintih ketika kulitnya terbakar bara rokok, kini meringkuk ketakutan hanya karena hujan. Hal ini sekaligus membuat Cleon penasaran, sebenarnya seperti apa sosok Arsen tanpa topeng?

Seperti biasa, bab baca duluan ada di KaryaKarsa yang link-nya ada di bio yaa.

Dan juga aku mau promosi cerita baru. Siapa tau tertarik. Nih, mampir yaa 😗


Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro