3 ; Sosok dari Masa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Seseorang mencoba melupakan masa lalu. Bukan karena dia tidak peduli, hanya saja itu terlalu menakutkan untuk diingat."
.
.

❤️️ Happy Reading ❤️

Dengan semangat empat lima, mula-mula Arsen mendatangi kelas Selvi. Dia harus memastikan kekasihnya sudah berada di kelas saat jam pelajaran berlangsung.

"Arsen, kenapa kamu datang ke sini? Sebentar lagi Bu Irene dateng, astaga," protes gadis berlesung pipi itu ketika tahu sang kekasih mendadak duduk di kursi depannya.

Arsen menggeleng sembari memainkan buku di meja gadis itu. "Cuma mau memastikan kalau bungaku udah sampai kelas dengan selamat," jawabnya dengan senyum lebar.

Arsen tidak peduli dengan teman sekelas Selvi yang sudah duduk di bangku masing-masing. Toh, mereka sudah tidak kaget dengan tingkah ajaib Arsen yang memang sudah tersohor di penjuru sekolah.

"Akang gombal beraksi." Selvi mencubit pinggang Arsen hingga bocah itu merintih pelan.

"Iya, ini aku udah sampai, tadi bareng sama Reva karena sopirku lagi nggak enak badan. Oh, iya. Maaf semalam kamu sampai pulang larut gara-gara antar aku. Nggak apa-apa, 'kan? Nggak dimarahi, 'kan?" Gadis itu berujar cemas, akhir-akhir ini ia sering kali memergoki Arsen bercerita pada kawannya bahwa sang ayah sedikit mengekangnya. Tidak seperti dahulu ketika dirinya hanya hidup dengan sosok ibu.

Mengusap rambut sang gadis dengan gemas lantas Arsen berucap, "Ih, gemes banget, sih. Perhatiannya pacarku ini. Tenang, Arsen Mahendra terpantau aman, kok. Jangan khawatir."

Dilihat dari keseriusannya dalam berucap, Selvi akhirnya bisa bernapas lega. "Ya udah, sekarang balik ke kelas sana. Sebelum telingamu melar, loh."

Arsen sontak mengusap telinganya dan mengeluarkan cengiran. "Hehe, iya. Aku ke kelas dulu kalau gitu. Dan jangan lupa nanti makan siang sama aku, ya?" pintanya manja, yang membuat teman sebangku Selvi mual.

"Iya, nanti makan siang bareng."

Mungkin beberapa temannya menganggap Arsen terlalu berlebihan, tapi Selvi sendiri menganggap itu kelebihan, karena Arsen tidak munafik. Ia selalu terbuka dengan perasaannya, dan hak itulah yang membuat Selvi jatuh cinta.

Arsen dengan segala keunikannya memang selalu membuat orang-orang takjub.

🌺🌺🌺

Ketika sampai di depan pintu kelas, Arsen tidak mendengar kerusuhan di dalam kelasnya. Itu berarti sudah ada guru pengajar di dalamnya. Hal seperti ini sudah biasa bagi Arsen, ia hanya mengetuk pintu dan tanpa peduli dengan kecaman guru, bocah itu langsung duduk di kursinya yaitu di samping Daniel. Semenjak mereka berkelompok, maka tempat duduk pun saling berdekatan. Arsen bersama Daniel menyusul Sony dan Brian berada di belakang mereka. Padahal mejanya tunggal, tetapi mereka tetap menempel satu sama lain.

"Ke mana aja, sih, cumi? Lo dicariin Vina, tuh. Disuruh bayar kas, udah dua bulan nunggak. Gila ya, Sen. Lu kalau jajan bisa di tempat mahal, masa bayar kas saja nggak mampu. Gue sebagai temen lo merasa malu tau nggak?" cemooh Sony begitu pantat Arsen menempel di kursi, bocah itu bahkan belum sempat bernapas tapi kawannya sudah membuat kesal.

Dengan jengkel Arsen berbisik, "Bacot banget, sih. Nanti juga bakal gue lunasin, satu tahun sekalian. Bener 'kan, Niel?"

Daniel yang semula menyimak penjelasan guru lantas menoleh dan menatap bingung.

"Apanya?"

"Pinjemin gue duit buat bayar kas," tukasnya yang membuat Daniel ternganga.

Keributan kecil yang terjadi membuat Pak Siswo berdeham, guru mata pelajaran matematika itu mulai terusik dengan keributan yang ditimbulkan oleh siswa bernama Arsen.

"Kalau memang tidak tertarik dengan kelas saya, Arsen boleh keluar. Tunggu saja di teras sampai jam pelajaran saya selesai, jangan mengganggu teman lain. Paham?"

Beliau memang sosok penyabar, tidak pernah memarahi siswanya meski spesies itu seperti Arsen. Pria dengan rambut yang nyaris dipenuhi uban itu hanya akan menyuruh diam atau paling parah meminta siswa tersebut keluar dari kelas, seperti yang baru saja ia katakan pada Arsen tadi.

"Ah, maaf, Pak. Tas saya jatuh, terus diinjak sama Sony, Pak. Maaf, saya nggak akan ribut lagi," kilahnya yang membuat Sony mengumpat dalam diam. Anak ini memang suka mengorbankan kawan jika dalam posisi terpojok.

Pak Siswo tersenyum khidmat lantas melanjutkan kegiatan mengajarnya. Beberapa menit berlangsung dalam kondisi yang lumayan hening karena Arsen sudah berhenti mengoceh dan ikut fokus pada materi pelajaran meski tidak ada yang ia mengerti.

Hingga bunyi bel pergantian jam pelajaran berbunyi dan pintu kelas di ketuk, suasana perlahan riuh. Penghuni kelas sudah jenuh dengan matematika dan buru-buru mengemas bukunya untuk bersiap menyambut pelajaran lainnya. Pak Siswo paham dengan tabiat para remaja di hadapannya dan dia tidak ambil pusing. Usai mengucap salam, beliau meninggalkan kelas dan memberi kesempatan guru lain untuk mengajar.

"Pak, nggak ke lapangan, ya? Ini mau bahas materi apa olahraga?" Salah satu siswi bertanya ketika guru olahraga yang seharusnya menunggu di lapangan justru memasuki kelas.

"Olahraga ajalah, Pak. Saya capek mikir terus," celetuk Arsen yang kali ini disetujui oleh teman sekelasnya. Sebenarnya itu hanya alasan Arsen agar ia bisa membolos di kantin selama dua jam, lumayan jika waktu sebanyak itu ia pakai untuk tidur.

Pak Seto mengetuk papan tulis agar siswanya tenang. "Iya, nanti pelajaran di lapangan. Sekarang tenang dulu, Bapak mau mengenalkan seseorang. Dia akan menjadi salah satu teman sekelas kalian, pindahan dari salah satu SMA di Bandung. Ayo masuk, Nak," panggilnya pada sosok yang berdiri di luar kelas.

Kericuhan yang semula nyaris tak terbendung mendadak senyap ketika sosok yang dipanggil memasuki ruang kelas. Perawakannya tinggi dan tegap, rambut hitam serta mata tajam membuat ia terlihat memukau dan tak ayal membuat beberapa siswi memekik.

"OMG! Gila! Ganteng banget," puji Sinta, salah satu siswi kelas XI IPS 4.

Memang benar, siswa baru yang disebutkan oleh guru itu memiliki postur tubuh tinggi dan rupa menawan. Seperti tokoh dari dalam buku komik, terlihat tidak nyata tapi dia berdiri di depan.

"Nah, kamu perkenalkan diri kamu dulu. Baru setelah ini jam pelajaran bisa di mulai."

Bocah itu mengangguk dan mulai memperkenalkan diri.

"Halo, teman-teman. Perkenalkan saya Cleon Lexander, aku awalnya juga tinggal di ibu kota dan pindah ke Bandung karena bisnis Papa. Dan sekarang kembali lagi ke sini karena bisnis di Bandung sudah selesai. Salam kenal semuanya."

Suaranya mantap dan tegas. Membuat seisi kelas bertepuk tangan dan bersiul riang usai anak itu memperkenalkan diri.

"Oke, Cleon. Kamu bisa duduk di meja kosong di dekat jendela itu. Dan setelah ini kalian bisa mengganti seragam, saya tunggu di lapangan, ya. Saya kasih waktu lima belas menit, di mulai dari sekarang," perintah Pak Seto sebelum meninggalkan ruangan.

Cleon Lexander, nama itu seperti tidak asing bagi Arsen. Bocah itu berpikir keras, di mana ia pernah mendengar nama itu sebelumnya? Sementara itu siswa baru itu duduk di meja yang bersebrangan dengan tempat Arsen duduk. Hanya berjarak satu meter jadi dengan posisi kepala bertumpu pada meja, Arsen bisa melihat dengan jelas wajah anak itu.

Arsen berusaha sangat keras untuk mengingat siapa dan di mana ia pernah mendengar nama Cleon, hingga mengabaikan ajakan ketiga temannya untuk mengganti seragam olahraga.

"Udah tinggalin aja. Paling dia ngantuk, kita ganti seragam dulu," ajak Sony berinisiatif karena Arsen mengabaikan panggilan. Ya, sepertinya bocah tiang ini tertidur sampai tidak mendengar ajakan mereka.

Di dalam ruangan hanya tersisa Arsen dan siswa bernama Cleon itu. Dengan kepala bertumpu pada meja, bocah itu mengamati sosok yang duduk di seberang dengan tatapan penuh tanya. Mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya.

Sedangkan sosok Cleon yang menyadari jika dirinyalah terus menerus ditatap, akhirnya merasa risih.

"Jangan bilang kalau lo lupa siapa gue, Arsen Mahendra," cetus bocah itu menatap tepat ke manik kelam Arsen.

Baru saja anak baru itu menyebut nama lengkapnya? Tapi Arsen bahkan belum memperkenalkan diri, ini aneh. Ia bersikeras untuk mengingat dan mengabsen adakah orang yang ia kenal bernama Cleon? Sungguh sulit, ia seperti tahu nama itu tapi dia juga ragu, apakan itu hanya perasaannya saja?

Sebuah tepukan di bahu membuat Arsen tersentak dan refleks berdiri tegak. Hal itu membuat si pelaku terkekeh puas.

"Lo mungkin lupa siapa gue." Cleon mendekatkan bibirnya ke telinga Arsen dan berbisik, "Gimana kalau Gavin Lexander? Gue yakin kalau dia pasti sangat familiar. Benar, 'kan?"

Bagai disambar petir, tubuh Arsen lemas begitu mendengar nama yang Cleon sebutkan. Nama yang sudah lama Arsen pendam dan lupakan semampu otaknya bekerja. Namun kini siswa baru itu datang lantas dengan gamblang menyebut nama itu.

"Lo ... lo siapa? Kenapa ... kenapa bisa tahu Gavin?"

Dengan tubuh bergetar, Arsen memberanikan diri untuk bertanya. Beruntung kelas kosong, jika tidak maka sekarang teman-temannya akan melihat seorang Arsen yang bengal tengah mengendalikan ketakutannya.

Bocah tiga sentimeter lebih pendek dari Arsen itu tak bisa menahan tawanya ketika melihat wajah pucat Arsen. Cleon tidak menyangka jika hanya dengan menyebut nama saja bisa membuat si lawan bicara gemetar.

"Coba ingat-ingat, siapa Cleon Lexander dan apa hubungan antara dia dan Gavin. Gue rasa lo nggak sebodoh itu untuk ingat siapa gue."

Usai mengatakan hal itu, Cleon hengkang dari kelas. Meninggalkan Arsen yang setengah linglung dan berusaha mengingat siapa Cleon. Kejadian di masa lalunya terputar dengan cepat di otaknya, hingga tiba pada memori tentang ia yang pernah mengenal Cleon. Detik itu juga, Arsen benar-benar kehilangan semua kemampuan menopang tubuh. Sosok tinggi itu luruh ke lantai dengan hati yang sudah tidak bisa dikatakan baik.

"Kenapa yang seharusnya terkubur harus kembali ke permukaan?" gumamnya dengan wajah tanpa rona dan ia mendadak merasa mual.


Buat yang nggak sabar nunggu update, bisa banget mampir ke KaryaKarsa. Aku bakal update tiap hari di sana, ya. Link KaryaKarsa ada di bio.

Salam

Vha
(13-07-2022)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro