32 ; Diculik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

❤️Happy Reading❤️
.
.
.

“Oh, jadi sekarang lo ada di pihak Papi, Kak?” Rahang Cleon mengeras, sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak berteriak di depan wajah yang lebih tua.

Allen menutup mata sejenang dan menarik napas lelah. Niatnya datang ke apartemen Cleon adalah untuk membujuk anak itu pulang sekaligus menyampaikan pesan dari sang ayah, tetapi dia malah dituduh. Dia harus ekstra sabar untuk menghadapi adik satu-satunya ini.

Listen to me, Cleon. Gue nggak bermaksud membela Papi, justru ini semua demi kebaikan lo dan juga bocah-bocah yang udah terlibat. Inget, Cle, sekali Papi turun tangan, we can’t do anything,” tuturnya lantas menjatuhkan tangan ke bahu sang adik. 

Dengan cepat Cleon menepis tangan Allen dan berjalan menuju balkon. Mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakan pemantik. Entah sejak kapan kebiasaan ini muncul, Cleon selalu menyulut rokok setiap emosinya meluap-luap. Hingga sekarang dia menjadi terbiasa.

“Gue cuma pengin tahu rasanya punya temen, Kak. I mean, temen yang sebenarnya. Di mana lu bisa main, ketawa, ngelawak, usil, dan lain-lain. Selayaknya bocah SMA pada umumnya.” Kepulan asap memyembul dari bibir pemuda itu.

“Papi nggak adil, dulu Gavin bisa bebas pilih sekolah di tempat yang dia suka. Sedangkan gue? Harus sekolah di mana isinya orang-orang bersaing untuk jadi nomor satu. Gila banget sampai gue cuma kenal teman kelas dengan panggilan si peringkat satu, si peringkat dua, dan seterusnya. Tanpa tahu, siapa dan seperti apa mereka sebenarnya,” papar Cleon, masih asyik dengan batang nikotin di bibirnya.

Ini adalah kali pertama Allen mendengar adiknya mengeluh soal masa sekolahnya yang terbilang singkat. Pria berkemeja putih itu tak bisa membalas ucapan Cleon, ia justru merasa iba karena masa sekolah Cleon memang tak seindah bocah seusianya. Dari kecil, dia lebih diprioritaskan untuk menuntut ilmu dan belajar soal seluk beluk bisnis keluarga. Karena dibanding Gavin, dia jauh lebih menjanjikan untuk menjadi penerus perusahaan setelah Allen.

“Arsen dan juga bocah-bocah itu, punya sesuatu yang nggak gue punya. Semakin dilihat, hal sederhana yang mereka miliki bikin gue makin iri. Karena apa yang mereka punya nggak bisa dibeli dengan uang,” lanjut pemuda itu diiringi tawa yang justru terdengar menyedihkan di telinga sang kakak.

“Kita dan mereka beda, Cle. Harusnya sejak awal lo udah sadar akan hal itu,” celetuk Allen tiba-tiba, dia bahkan tidak percaya dengan apa yang meluncur dari bibirnya sendiri.

Cleon tertawa keras mendengar jawaban kakaknya barusan. Batang rokok yang tersisa setengah ia buang ke lantai dan ujung baranya diinjak dengan alas kaki yang ia gunakan. Dengan langkah tenang, Cleon mendekati Allen hingga keduanya saling berhadapan.

I hate being different,” ucapnya tepat di depan wajah sang kakak.

Muak dengan percakapan yang semakin keruh, Cleon meraih kunci mobil di atas meja dan mengenakan jaket jeans berwarna hitam. Dia membuka ponsel dan mengetik sebuah pesan. Setelahnya, tanpa peduli dengan Allen yang masih mematung, Cleon melangkahkan kaki menuju pintu. Namun, belum sempat tangannya meraih kenop, kalimat yang terlontar dari bibir Allen membuat ia terhenti.

“Tolong jangan ngeyel, Papi udah kasih perintah kalau hari ini lo harus pulang. Besok udah tanggal satu, Cle, dan lo tahu maksudnya, ‘kan?” Allen mendekati sang adik dan menepuk pelan bahu pemuda itu.

“Kenekatan lo bisa bikin orang-orang yang lo sebut teman itu celaka,” lanjutnya tanpa ada nada bercanda dalam setiap kata.

Tangan Cleon terkepal erat begitu mendengar penuturan Allen. Namun, ia tak memberi respons apa-apa selain menepis tangan yang bertengger di bahunya. Menatap sejenak wajah Allen sebelumnya akhirnya melanjutkan langkah yang tertunda.

Selepas kepergian Cleon, Allen memukul daun pintu dengan sekuat tenaga hingga buku-buku jarinya memerah. Rasa kesal, marah, sedih, dan khawatir bercampur menjadi satu. Ia sangat lelah dengan dua orang yang berhubungan darah dengannya ini.

🌺🌺🌺

Ketika mendapat ajakan untuk nongkrong dari Arsen, Cleon langsung menyetujuinya tanpa berpikir panjang. Daripada terus berdebat dengan Allen tak kunjung mendapat titik terang, lebih baik ia menghindar sesaat. Namun, nyatanya menghindar bukan pilihan yang bagus juga. Karena sekarang ia malah terjebak di sebuah kafe bersama empat bocah dengan dua buah laptop di atas meja sebagai pelengkap.

“Katanya mau nongkrong, tapi kenapa malah ngerjain tugas, sih?” celetuknya mulai tak tahan ketika melihat Daniel mengeluarkan sebuah buku paket.

“Nongkrong, iya, ngerjain tugas juga iya. Soalnya besok siang jadwal kelompok kita presentasi, dan sampai sekarang kita belum buat materi presentasinya,” sahut Arsen enteng.

“Presentasi?” Cleon terdiam dan berusaha mengingat-ingat.

“Emang kapan dapat tugas buat presentasi?” tanyanya begitu ia tidak mendapat sedikit pun ingatan tentang adanya tugas itu.

Sebelum Arsen buka mulut, Sony lebih dulu duduk di samping Cleon dan menyahut, “Tugasnya dikasih minggu lalu pas lo absen selama tiga atau empat hari itu.”

“Tapi tenang, lo udah masuk ke kelompok kita, kok. Sekarang tinggal kerjain sama-sama aja,” lanjutnya menepuk-nepuk bahu Cleon.

“Lagian lo kenapa bolos selama itu, sih? Mana nggak kasih kabar kita, ‘kan kita juga yang bingung dan mau nggak mau harus nulisin nama lo ke dalam kelompok tanpa persetujuan dari lo,” timpal Brian dari tempat duduknya.

Ah, Cleon sampai lupa akan hal itu.

Memang benar, satu minggu lalu dia memang membolos selama empat hari setelah pertengkarannya dengan Jonathan. Emosinya menjadi sedikit tak terkendali dan nyaris saja menghancurkan isi apartemen jika saja Allen tak datang untuk menenangkannya.

Setelah itu, Cleon menjadi malas untuk bergerak dari apartemennya dan memilih untuk mengambil waktu libur sebentar. Toh, dia datang atau tidak ke sekolah sama sekali tak memberi pengaruh pada nilai. Dia hanya bermain peran, dan pihak sekolah itu hanya mempersiapkan panggung untuknya.

“Oh, kemarin itu gue main ke rumah nenek di luar kota. Keluarga besar pada kumpul, jadi gue ikut aja,” dusta Cleon.

“Lah, gue kira lo tipikal orang yang mengutamakan pendidikan daripada liburan. Ternyata nggak ada bedanya sama anak mama yang di depan kita.” Sony menatap Arsen ketika berkata demikian.

“Lo nyindir gue?” Sosok jangkung yang duduk di samping Daniel lantas menyahut.

Sony kemudian terbahak begitu Arsen menatapnya tajam. “Daripada nyindir, gue lebih baik ngaca, anjir.”

Di sela candaan mereka, Daniel meletakkan selembar kertas berisi coretan tangannya dan membuat empat orang di sana seketika tenang.

“Ini kumpulan materi yang nanti bakal jadi bahan presentasi kita. Gue udah bagi jadi lima, kalian pilih mau ambil yang mana,” tukasnya dengan raut datar seperti biasa.

Arsen menarik kertas di meja dan membacanya lebih dulu. Barulah dia mengutarakan isi pikirannya.

“Ini pelajaran sejarah Indonesia yang mungkin dibenci oleh generasi masa kini seperti kalian. Jadi daripada main pilih, mending kita pakai undian aja. Kita kocok nomer, nanti angka yang didapat berarti ngehafalin materi sesuai yang tertulis, gimana?” usulnya sembari mengibas-ngibaskan kertas yang sedari tadi ia genggam.

“Apanya yang dikocok?” celetuk Sony tiba-tiba.

Wajah Arsen yang semula terlihat cerah dan bersemangat langsung berubah kecut dan menatap tajam pada Sony.

“Timun laut! Ya, undiannya, Son! Lo jangan bikin kesucian hati dan pikiran Daniel terganggu, ya?!”

“Kok, gue?” Daniel yang menyaksikan dua sahabatnya berdebat dan menyebut namanya lantas menatap mereka penuh heran.

Di sisi lain, Brian hanya tertawa melihat kegaduhan kecil yang tersaji, cukup puas dengan keusilan teman sebangkunya. Dan untuk pertama kalinya Cleon ikut tergelak. Entah kenapa, melihat wajah polos Daniel membuat Cleon geli. Dia tidak tahu bahwa sosok yang digadang-gadang sebagai juara kelas ternyata sepolos itu.

Berkumpul dan bercanda seperti ini ternyata menyenangkan. Mungkin ini hanya euforia Cleon semata karena baru pertama kali menikmati rasanya memiliki dan berbaur dengan teman. Namun, ia tak menyesalinya, ini lebih cukup untuk ia jadikan pengalaman.

“Aduh!” Arsen melemparkan buku paket ke bangku kosong di sebelahnya. “Gue mau ke toilet dulu, udah kebelet!” tukasnya kemudian berdiri. 

Baru saja ia akan melangkah, Sony berkata dengan suara sedikit keras, “Mau ngocok, Sen?”

Begitu Sony selesai berucap, beberapa pengunjung kafe sontak menatap ke arah meja mereka. Demi apa pun, Arsen sangat malu, terlebih beberapa dari mereka terdiri dari beberapa orang dewasa yang langsung geleng kepala dengan apa yang mereka dengar.

Cocotmu, Son!” balas Arsen sengit kemudian segera berlari menuju toilet. Dia ingin membalas ucapan Sony lebih banyak, tetapi rasa tak nyaman di bawah membuatnya mengurungkan niat.

“Udah-udah, Son. Kalau lu godain terus bisa ngambek itu bocah.” Brian menepuk pundak Sony, memberi isyarat agar tak lagi mengganggu Arsen.

“Kalau terus bergaul sama kalian bisa-bisa hilang juga urat malu gue.” Cleon terkekeh melihat tingkah Sony.

“Lah, justru itu letak keseruannya.” Sony merapatkan tubuh dan merangkul Cleon tanpa sungkan. “Remaja seusia kita harus banyak bereksplorasi, biar nanti punya banyak pengalaman yang bisa kita bagikan ke anak dan cucu kita,” tukasnya penuh percaya diri.

“Pencemaran otak,” timpal Daniel. Bocah itu meletakkan sejenak bukunya dan menyantap cheesecake yang tadi ia pesan.

“Halah, kalem-kalem gitu juga aslinya lo enjoy, ‘kan?” balas Sony yang membuat Daniel tersenyum miring dan tidak bisa lagi melempar balasan.

Usai bergurau, mereka kembali mengerjakan tugas dan menghafalkan materi. Di lain sisi, Daniel sebagai satu-satunya anggota yang membawa laptop juga beralih fokus pada layar monitornya. Mereka tak lagi membuat kegaduhan, hanya tangan yang memegang ponsel dan bibir yang berkomat-kamit membaca tulisan yang tersaji.

Meski Cleon tak begitu tertarik dengan presentasi besok, tetapi dia harus tetap berusaha memahami dan menghafal materi. Setidaknya dia harus membantu bocah-bocah ini mendapat nilai yang bagus. Bagi mereka, tugas dan nilai pasti sangat penting, apalagi orang seperti Daniel yang terlihat perfeksionis.

Setengah jam berlalu dan mereka sudah jenuh dengan kegiatan menghafal, Daniel pun telah selesai membuat dokumen untuk presentasi.

“Besok kita urutan ke berapa, sih? Kalau di akhir kan masih punya waktu buat mematangkan persiapan,” tanya Sony sembari memeriksa ulang ponselnya.

Brian mengangguk setuju. “Mana sebelum jam sejarah bakal ada ulangan matematika, otak gue beruap,” sambungnya dengan raut frustrasi.

“Kita kelompok tiga, maju setelah kelompoknya Rendy.” Daniel menunjukkan sebuah daftar dari ponselnya.

“Nah!” Sony menjentikkan jari. “Belajarnya sampai di sini aja. Habis ini kita jalan-jalan cari angin, kepala gue udah berasap soalnya,” tuturnya dengan raut semringah.

Lagi-lagi Brian mengangguk setuju dengan ucapan Sony. “Pindah tongkrongan aja, mumpung belum malem banget, ‘kan? Ortu lo pasti juga belum minta buat balik.” Ia menatap Daniel.

Bocah berkacamata itu tidak menyangkal ucapan Brian. Dia sudah meminta izin pada ayahnya dan pria itu tidak keberatan, hanya memberi batasan agar dia kembali sebelum tengah malam. Tentu saja itu sudah lebih dari cukup bagi Daniel yang tak terlalu suka bermain di luar rumah.

“Boleh juga, nanti kalau jajan biar gue yang traktir. Sebagai balasan karena kalian udah mau terima gue di dalam kelompok,” celetuk Cleon ikut menyetujui usul Brian.

Bocah dengan rambut yang diikat sebagian itu semakin bersemangat, ia memungut buku-buku yang berserakan dan berujar, “Ya udah, ayo beres-beres kita–wait! Arsen mana?” Gerakan tangannya terhenti dan menatap bangku di samping Daniel yang masih kosong.

Ketiga remaja yang awalnya bersemangat menata buku lantas mengikuti arah pandang Brian dan ikut terdiam beberapa saat.

“Bukannya ke toilet?” Cleon memastikan, karena tadi jelas-jelas bocah itu berlari ke arah toilet.

“Iya, ke toilet, tapi udah dari awal kita kelar undi nomor, anjir. Udah setengah jam, masa belum balik?” Sony ragu jika Arsen pergi ke toilet begitu lama.

Brian berdiri. “Gue cek dulu, kalian lanjut beres-beres aja,” pungkasnya kemudian berlalu.

Sambil memasukkan buku ke dalam tas, Sony berceloteh, “Dia nggak sakit perut, ‘kan? Masa cuman kencing aja sampai setengah jam nggak balik-balik.”

Berbeda dengan Sony dan Daniel yang masih tenang menata buku dan alat tulis yang tadi di gunakan, Cleon justru memiliki firasat buruk. Namun, dia tak ingin menenggelamkan diri dalam pikiran yang tak pasti dan membantu untuk memasukkan buku ke dalam tas Brian.

“Habis ini enaknya ke mana, ya? Maksud gue, tempat nongkrongnya. Saran gue jangan kafe lagi, enak di angkringan atau—“

Guys!” Brian datang dan memotong ucapan Sony. Ketiganya kompak menatap Brian yang datang dengan napas kembang-kempis dan tampak panik.

“Arsen nggak ada di toilet,” tukasnya masih mencoba mengatur napas.

“Hah?” Ketiganya membeo.

Dengan wajah panik, Brian lanjut berkata, “Gue udah cari ke semua bilik sampai pintu keluar dekat toilet, dia nggak ada. Dan herannya lagi, gue nemuin handphone dia dengan keadaan begini.” Dia menunjukkan sebuah ponsel yang sebagian layarnya pecah.

Shit!” Cleon mengumpat tertahan. Dari kondisi ponsel Arsen, ia sudah mendapat gambaran tentang apa yang terjadi pada bocah itu.

Pengen culik Arsen, tapi udah keduluan 😔

Oke, thanks untuk yang selalu setia menunggu. Jangan lupa jejak vote dan komentarnya. Follow aku juga kalo dirasa suka dengan ceritaku 😗

Terakhir, baca duluan ada di KaryaKarsa. Link di bio yak~

Aku udah update paket, jadi bisa ambil yang murah ini ygy. Sekali lagi terima kasih dan selamat membaca ~

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro