36 ; Menyelamatkan 'Sahabat'

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

❤️Happy Reading❤️
.
.
.

Angin sepoi-sepoi menggelitik wajah sosok yang tengah berdiri mematung di balkon kamar. Ia sudah berdiri di tempat itu selama lebih dari setengah jam tanpa mengubah posisi. Netranya terpaku ke depan, tetapi tak ada objek pasti yang ia tatap.

Pikirannya tidak berada di tempat yang sama dengan tempat kakinya berpijak. Bagaimana ia bisa tenang? Sementara sang kakak sama sekali belum memberi kabar tentang keberadaan Arsen, dan selama itu pula ia terkurung di kamar dengan penjagaan dua orang pengawal yang menyebalkan.

Dia juga tidak memiliki ponsel untuk menghubungi kontak Allen atau teman sekelas, karena benda itu sudah hancur ketika ia lepas kendali dan melemparkannya ke arah sang ayah. Satu-satunya orang yang menjadi perantara dengan dunia luar hanya Allen, dan sekarang pria itu seakan menghilang ditelan bumi, tak menampakkan diri di hadapan Cleon sejak kemarin.

"Sebenernya niat bantu nggak, sih?" gumamnya kesal.

Tiga hari sudah berlalu, dan itu bukan waktu yang sedikit. Bagi orang yang diculik, banyak kemungkinan telah terjadi. Dan mengingat pelaku dari kejadian itu adalah sang ayah, Cleon benar-benar tidak bisa tenang.

Begitu memandang ke lantai dasar, tanpa sengaja matanya bersirobok dengan dua orang pengawal yang kebetulan berjaga di area taman. Hal itu membuat wajah Cleon berubah kecut. Pasalnya mereka melihat Cleon seolah-olah iba karena menjadi tahanan rumah.

"Apa lihat-lihat?! Gue loncat, nih!" gertaknya asal.

Mendengar ancaman itu, kedua pria di bawah kemudian mengucap maaf dan tak lagi menatap si tuan muda. Mereka sudah terlampau paham dengan tingkah polah dan watak Cleon, mereka tak mau membuat tuan muda itu emosi dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan pekerjaan mereka.

Pemuda itu mengentakkan kakinya kemudian berbalik memasuki kamar. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menghabiskan sebungkus rokok yang selalu ia siapkan di dalam laci meja belajarnya. Kepalanya sampai pening karena dari pagi hingga siang ini, dia sudah menghabiskan enam batang benda bernikotin itu.

Baru saja hendak menyulut rokok ketujuhnya, tetapi bantingan pintu membuat benda itu terjatuh ke lantai dan Cleon terkejut melihat raut tegang yang menghiasi wajah sang kakak. Jantungnya bahkan sudah berdetak dua kaki lebih kencang sebelum Allen mengatakan apa-apa.

"Gimana, Kak? Lo bawa kabar, 'kan? Dari kemarin lo nggak kasih kabar!" serunya dengan suara bergetar. Semangat dan khawatir membuatnya bereaksi berlebihan.

Allen tak menyahut, dia justru mendekati laci meja sang adik dan mengambil sebuah pisau lipat dan menyerahkan benda itu kepada Cleon. Hal itu membuat sosok yang lebih muda heran, tetapi ia enggan untuk bertanya. Sebelum dia sempat memproses apa maksud dari sang kakak, Allen sudah menarik lengannya dan bergegas meninggalkan kamar yang sudah tiga hari menjadi penjara itu.

"Kak! Ini apaan, sih? Lo main tarik-tarik tanpa kasih penjelasan. Gue bingung!" protesnya ketika Allen mendorongnya masuk ke dalam mobil. Mendapat perlakuan seperti ini, Cleon seperti sedang diculik.

Menyadari kebingungan sang adik, Allen akhirnya memberi penjelasan sembari mengemudi.

"Gue udah tahu tempat si Arsen disekap. Papi sendiri yang kirim alamatnya ke gue, dan perjalanan ke tempat itu sekitar setengah jam. Kita harus cepet sampai sana sebelum semua terlambat," terangnya yang kini fokus pada jalan yang mereka lalui.

Cleon sontak menatap Allen. "Seriously?"

"Iya, dan mungkin tujuan Papi kasih tahu gue soal di mana Arsen adalah biar lo ngelihat sendiri apa yang udah beliau lakukan karena lo udah lawan Papi," balas Allen tanpa menatap si lawan bicara.

"Gue cuma mau lo siapin hati aja. Karena mungkin pas kita sampai sana, bukan hal baik yang bakal kita jumpai," imbuhnya lantas mengeluarkan sebatang rokok.

Meski masalah ini tidak berhubungan langsung dengannya, Allen tetap merasakan sensasi ketegangan yang serupa. Dia sudah berulang kali menangani masalah yang dilakukan oleh adiknya. Namun, khusus kali ini memang lebih serius, karena sang ayah sampai turun tangan sendiri.

🌺🌺🌺

Begitu tiba di lokasi yang diberikan, tak ada tanda-tanda adanya Jonathan atau pun bawahan. Mereka hanya menemukan sosok yang dicari tiga hari belakangan, kini telah terbaring lemas di lantai berdebu itu.

"Kak, gimana ini?"

Allen yang sigap menghampiri Arsen dan melontarkan kata-kata penyemangat agar bocah itu bertahan. Namun, usahanya sia-sia, Arsen telah kehilangan kesadarannya begitu Allen memangkunya. Pria itu membaringkan tubuh Arsen secara perlahan, kemudian menghampiri sang adik.

"Hey! Don't cry!" Allen terkejut ketika melihat adiknya menangis dan tampak kacau.

Cleon berujar dengan suara parau, "Darah ... itu semua darah, Kak." Ia menunjuk ke arah kaus putih yang membalut tubuh Arsen. Warna yang seharusnya putih itu kini didominasi oleh darah yang merembes dari tubuh si empunya kaus.

Tanpa diberitahu pun Allen juga telah melihat dengan jelas kondisi bocah itu. Namun, ini bukan waktunya untuk meratap atau terkejut. Keselamatan Arsen jauh lebih penting.

"Serahin pisau yang tadi gue kasih!" pintanya sambil mengulurkan tangan ke depan Cleon.

"Bu–buat apa?" Cleon bergerak mundur dan melindungi saku jaketnya di mana pisau itu ia simpan. Apa yang akan kakaknya lakukan dengan pisau ini?

"Nggak usah banyak tanya, serahin aja pisaunya!" sentak Allen dengan rahang mengeras.

Cleon tak berkutik, ia buru-buru mengeluarkan pisau lipat dari dalam saku jaketnya dan menyerahkan benda itu kepada Allen. Dan tanpa berucap sepatah kata pun, Allen menyayat lengan kiri serta beberapa bagian tubuhnya. Hal itu membuat Cleon terbelalak dan refleks menghentikan kegilaan kakaknya.

"LO APA-APAAN?!" Pemuda itu mencengkeram tangan Allen yang hendak menorehkan luka lain di tubuhnya.

"Gila lo, Kak? Kita harus bawa Arsen ke rumah sakit, bukannya nambah orang sakit!" Ia berusaha untuk merebut pisau dari tangan Allen, tapi gagal karena pria itu jauh lebih kuat darinya.

"Lo yang kelewat bego! Kalau kita bawa dia tanpa ada luka sedikit pun, kita seolah membuka jalan untuk polisi dan yang lain untuk menaruh curiga." Allen menyerahkan kembali pisau di genggamannya kepada sang adik.

"Udah, nanti gue jelasin di jalan. Kita bawa Arsen ke rumah sakit dulu, lukanya parah banget ini. Kalau kita nggak cepet, risikonya fatal," lanjut Allen kemudian kembali mendekati Arsen.

Tak ada lagi percakapan di antara kakak beradik itu. Keduanya fokus pada tujuan utama dan secepat mungkin meninggalkan bangunan terbengkalai tersebut menuju rumah sakit.

Cleon yang duduk di bangku belakang menjadi bantal Arsen tak bisa menghentikan getaran di tubuhnya. Melihat kondisi bocah ini membuat dada Cleon terasa sesak. Dia sudah beberapa kali melihat ayahnya menghajar orang hingga orang itu terluka parah, dan tak ada iba yang ia rasakan meski orang itu kehilangan nyawa. Namun, begitu melihat Arsen dipenuhi terluka, dia malah menangis.

"K–Kak, badan Arsen dingin. Dia ... dia nggak napas! I think ... I think ..." Ia tak bisa melanjutkan ucapannya karena terlalu panik begitu tak mendapati deru napas ketika ia mendekatkan telunjuknya ke depan hidung Arsen.

Allen melirik dari kaca depan dan berujar, "Napasnya emang udah lemah dari tadi. Lo jangan panik. Calm down, okay? Kalau lo panik gue jadi nggak fokus nyetir. Rumah sakit juga udah deket, Cle. Tenang!"

Cleon mendesah frustrasi. Bagaimana ia bisa tenang ketika dia memangku seseorang yang tidak diketahui hidup atau mati? Jantungnya bahkan sudah berdetak tak karuan, seakan-akan bisa melompat keluar dari tubuh kapan saja.

Kini dia paham, seperti apa rasanya melihat seorang sahabat nyaris kehilangan nyawa, sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dulu dia pikir Tuhan tengah menghukum Arsen melalui dirinya. Akan tetapi, Cleon salah besar, justru kini Tuhan telah menghukum dirinya melalui Arsen.

🌺🌺🌺

Pemuda bertindik itu kini terduduk lemas di lantai usai menyaksikan tubuh Arsen dibawa ke sebuah ruang penuh dengan peralatan medis. Di sampingnya berdiri sosok Allen yang sudah kembali dari mengobati lukanya. Pria itu menggulung kemeja hingga sebatas lengan, sehingga perban yang membalut lukanya terlihat sangat jelas.

"Gue udah hubungi orang tua bocah itu, mungkin sebentar lagi mereka datang." Ia mengamati lilitan perban di lengannya.

"Dan satu hal yang perlu lo ingat, kalau nanti lo dimintai keterangan sama polisi, cukup jawab kita buntutin orang yang ada di rekaman CCTV. Gue luka karena diserang dan mereka kabur," pungkas Allen dengan suara rendah.

Cleon mendongak. "Tapi kalau gini caranya, dia nggak akan dapet keadilan, dong?"

Kalimat itu terdengar lucu di telinga Allen hingga ia tak dapat menahan tawa. Dia tidak menyalahkan Cleon jika otaknya berpikir sedikit lambat, tapi dia juga tidak menyangka jika adiknya itu sampai memikirkan keadilan orang lain.

"Keadilan lo bilang? Cle," Allen menepuk puncak kepala sang adik, "nyawa dia masih menyatu sama badan aja udah suatu keajaiban. Apalagi yang lo mau? Papi bahkan sengaja kirim lokasi Arsen ke gue biar kita bisa selamatin itu bocah. Kalau Papi nggak punya hati, dia pasti bakal biarin dia ada di situ sampai ...." Dia tidak perlu mengucapkan kata terakhir, karena Cleon pasti tahu ke mana arah pembicaraannya.

Bocah itu tak lagi melayangkan balasan, dan tidak menyangkal ucapan Allen. Dia seharusnya berterima kasih, karena sang ayah tidak benar-benar berniat untuk membunuh Arsen. Kejadian kali ini merupakan peringatan terakhir yang Jonathan layangkan padanya, dan Cleon tidak lagi bisa membantah jika tidak ingin jatuh korban berikutnya.

"Bagaimana kondisi putra saya?"

Sosok Elan dan Tia muncul bersamaan dengan berakhirnya percakapan antara kakak dan adik itu. Allen menarik lengan Cleon agar bocah itu berdiri di belakangnya, dan ia sendiri langsung memosisikan diri untuk berhadapan dengan Elan.

"Dia lagi ditangani sama dokter, Om. Kita cuma bisa menunggu," sahut Allen dengan raut khawatir. Mulai sekarang, dia juga harus memainkan perannya.

"Astaga, ini kamu kenapa? Kok lengan kamu diperban gini?" Tia memekik pelan ketika melihat balutan perban di lengan Allen. Dia bahkan melupakan sejenak kekhawatiran tentang putranya.

Allen lantas melirik lengannya dan tersenyum kecil. "Ini luka yang saya dapat dari melawan penculik, Tante. Tapi nggak parah, kok, hanya luka ringan. Saya minta maaf karena tidak bisa mencegah mereka kabur," jawabnya.

"Seharusnya saya yang harus minta maaf sama Mas, karena sudah terluka demi menyelamatkan putra kami. Saya sangat berterima kasih karena berkat bantuan Mas, Arsen bisa diselamatkan. Bahkan polisi saja kesulitan untuk menemukan keberadaan Arsen," celetuk Elan yang juga merasa iba dengan luka yang didapat Allen.

Mendengar kebohongan sang kakak, Cleon mencibir dalam hati dan ingin muntah di depan wajah kakaknya. Andaikan mereka tahu kenyataan di balik semua ini, mungkin ibu Arsen tak akan menunjukkan raut khawatir itu. Keluarga ini benar-benar merupakan korban.

"Berhubung keluarga sudah datang, saya sama adik saya mau izin pulang dulu, Om. Soalnya kami juga ada acara keluarga setelah ini. Mohon maaf sekali kalau nggak bisa tunggu sampai Arsen selesai ditangani. Tapi saya siap kapan pun kalau pihak berwajib memintai saya keterangan." Allen kembali melontarkan kebohongan.

"Kak—" Tangan Cleon diremas pelan oleh Allen sehingga ia mengurungkan niat untuk bersuara.

"Oh, silakan. Serahkan sisanya kepada kami, dan doakan yang terbaik untuk Arsen. Sekali lagi saya berterima kasih atas bantuan kalian." Elan mengulurkan tangannya dan terus menggumamkan terima kasih.

Kepergian kakak beradik itu menjadikan suasana kembali hening. Hanya isakan dari Tia yang kini meluncur bebas setelah tadi sekuat tenaga ia tahan agar tidak menangis. Wanita itu duduk di bangku tunggu dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kembali terisak dengan suara tertahan.

Elan menempatkan diri di samping sang istri dan merangkul bahu rapuh itu perlahan. Tak ada kata penenang yang ia ucapkan, melainkan hanya tepukan pelan di lengan kiri Tia dan mengeratkan pelukan. Untuk pertama kalinya Elan benar-benar merasakan kekhawatiran menjadi seorang ayah. Dia dan Arsen tak terhubung darah barang setitik, tetapi kesedihan yang ia rasakan tak jauh berbeda dengan kehilangan salah satu bagian penting dalam hidup.

"Aku nggak becus jadi orang tua, Pa. Arsen sudah berulang kali terluka, dan belum pernah sekali pun aku menyelamatkan dia," gumam Tia di sela tangisnya.

Mendengar kalimat itu, Elan sontak melemas pelukan dan menggenggam tangan Tia. "Hush! Jangan ngomong kayak gitu, Ma! Kamu itu ibu terhebat yang dimiliki Arsen, dan merupakan satu-satunya istri terbaik yang kupunya. Kamu nggak boleh menyalahkan diri kamu, Ma. Ini semua takdir, dan kita nggak bisa menghindari itu. Sekarang tugas kita adalah berdoa agar anak kita baik-baik saja."

"Kalau Mama saja seperti ini, siapa nanti yang mau semangatin Arsen?" imbuhnya menatap lekat netra sang istri.

Tia tak menyahut, wanita itu balas menggenggam tangan Elan dan berusaha menghentikan tangisnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa sekarang ini, tetapi menangis juga tidak akan mengubah keadaan. Benar kata suaminya, jika dia lemah, maka siapa yang akan menguatkan Arsen nantinya?

Pengen peluk Arsen nggak sih? (⁠〒⁠﹏⁠〒⁠)


Sip, enjoy and see you next part~

Kalo nggak sabar, cus ke link di bio. Di KaryaKarsa aku udah update sampai end. Terakhir jangan lupa follow, ya😍

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro