6. Sang Pangeran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa yang kamu lakukan?"

Liv tersentak ketika mendengar seseorang berbicara di belakang. Gadis itu menoleh. Seorang lelaki dengan mantel panjang berdiri menatapnya dari tepian danau. Rambutnya berwarna putih agak abu dan iris mata abu-abu gelap.

Liv teringat akan rupa mendiang raja sebelumnya, yang lukisannya terpajang di ruangan lobi rumah sebagai bentuk penghormatan. Seketika itu juga, Liv mengetahui siapa lelaki tersebut.

"Ah, Ya-yang Mulia Pangeran! A-aku ... Ah!"

Kedua kaki Liv yang sudah terendam air sampai di bawah lutut tiba-tiba oleng. Gadis itu hampir saja terjatuh ke dasar, kalau saja tangannya tidak ditarik oleh Haldir. Tudung mantel Liv sampai terlepas, menyingkap wajah gadis itu. Bermandikan cahaya purnama, kulit Liv begitu putih bersih dan rambut putih gadingnya bersinar.

Rupa gadis itu tertangkap mata oleh Haldir. Liv sendiri pun terkejut saat memandang paras tampan sang pangeran. Seperti lukisan Raja Aelfric sewaktu muda. Cukup mengherankan ketika orang-orang masih mempertanyakan keabsahan Haldir sebagai putra mahkota, padahal wajahnya sangat mirip dengan mendiang raja sebelumnya.

Haldir menarik tangan Liv hingga ke tepian. Gadis itu tak mampu mengelak. Meskipun Haldir belum berbicara satu patah kata pun, Liv tahu bahwa lelaki itu akan menasihati kalau tindakannya itu salah.

"Apa pun alasanmu untuk melakukan hal yang barusan itu, tidak bisa dibenarkan! Mengakhiri nyawamu sendiri bukanlah jalan keluar yang tepat!" hardik sang pangeran.

Liv tertegun dibentak sekeras itu oleh lelaki di hadapannya. Akan tetapi, perasaan kesal pada ayahnya, terutama pada takdirnya sendiri membuat Liv membalas perkataan tersebut.

"Anda bisa bicara begitu karena Anda tidak berada di posisi saya!" seru Liv. Dia tidak lagi melihat bahwa status Haldir lebih tinggi, hingga berani membantah ucapan sang pangeran.

"Anda hidup nyaman, berlimpah kekayaan. Terutama, Anda adalah putra mahkota, kekuatan sihir Anda pasti jauh lebih besar dibandingkan semua orang!"

Keturunan langsung Legolas yang menjabat menjadi raja memang secara tak langsung menunjukkan bahwa dia pula pemilik kekuatan sihir terbesar di negeri.

Masa percobaan calon raja bukan hanya mengetes soal kepintaran strategi penyelesaian masalah dan kebijaksanaan menghadapi para rakyat, tetapi juga untuk mengukur kekuatan sihir dalam berperang. Skor tertinggi dari ketiga parameter tersebut menentukan siapa yang akan menjadi raja berikutnya.

Tiba-tiba, Haldir mencengkeram kerah baju Liv dan berteriak, "Kau pikir, aku tidak berniat untuk mengakhiri hidupku, hah!"

"Berkali-kali, aku ingin melenyapkan nyawaku sendiri sejak aku tiba di ibu kota ini! Semua orang berbicara buruk di belakangku. Banyak yang mengincar nyawaku hanya karena asal usul ibuku. Aku bahkan tidak sempat mengenal ayahku sama sekali, tapi tiba-tiba aku dibawa kemari untuk menggantikan posisinya. Kau pikir, bagaimana perasaanku!

Tetapi, negeri ini masih butuh aku untuk memimpin! Aku terlahir dan besar di desa, aku mengerti perasaan mereka, para rakyat miskin. Aku tahu, hanya aku yang bisa menggantikan ayahku, ketimbang anak-anak para Elvenar yang hidupnya selalu bergelimang harta."

Perlahan, Haldir melepaskan cengkeramannya pada kerah pakaian Liv. Haldir lupa, bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang perempuan.

"Maaf, aku sudah melampaui batas," ucap Haldir pelan, tidak lagi emosi seperti tadi. Liv terkesiap dengan semua yang diucapkan oleh sang pangeran. Rupanya apa yang dibicarakan para pelayan soal latar belakang Pangeran itu benar, ucap Liv dalam hati.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi setidaknya tetaplah bersyukur. Meski kau pikir hidupmu menyedihkan, pakaianmu masih jauh lebih bagus dibandingkan milik sepupuku di desa." Haldir memperingatkan Liv dengan lembut.

Liv mengalihkan pandangan pada gaun yang dia kenakan di balik mantel tudung. Gaun itu memang berbahan kain mahal. Namun, selama ini Liv berpikir kalau gaunnya itu jelek karena warnanya telah memudar. Rupanya, masih ada orang-orang di luar sana yang berpakaian tidak sebagus dirinya.

"Maafkan aku ... ." ucap Liv. Gadis itu menunduk dan merapatkan mantelnya karena malu. Haldir menghela napas. Kemudian, dengan satu jentikan jari, Haldir menyihir celananya serta gaun Liv yang basah menjadi kering seketika.

"Duduklah." Haldir mempersilakan Liv untuk duduk di sebelahnya, di rerumputan tepian danau. Liv menurut.

"Siapa namamu?" tanya lelaki itu.

"Namaku adalah ... ." Liv berhenti saat ingin memperkenalkan dirinya. Liv berpikir, apabila pangeran mengetahui namanya, pasti suatu hari nanti akan terungkap bahwa Liv adalah gadis hitam terkutuk yang terkenal di ibukota ini. Liv tidak ingin menampilkan kecacatan pada lelaki itu. Terlebih lagi, yang ditemui sang pangeran saat ini adalah versi normal dirinya karena telah terkena sinar purnama.

"Siapa?" tanya Haldir lagi.

" ... Melian. Namaku adalah Melian, Yang Mulia." Liv telah berbohong. Nama kakaknya muncul ke permukaan. Liv dan Melian memang memiliki tampang serupa, kalau saja warna kulit gelap dan kutukan kabut hitam itu bukanlah yang menjadi pembeda mereka berdua.

"Panggil saja Haldir. Jangan terlalu formal. Terlalu sering rakyat memanggilku dengan Pangeran atau Yang Mulia, aku sendiri hampir lupa nama asliku."

Suara tawa muncul dari mulut Liv. Haldir tertegun melihat wajah gadis itu. Sedetik kemudian, mereka tertawa bersama.

"Mereka memang menyebutmu sebagai 'calon raja', sih," ucap Liv.

"Ah, calon raja, ya. Padahal, andai Ayah punya anak kandung selain aku, pasti bukan aku satu-satunya calon raja saat ini. Sayang sekali, tradisi Legolas tidak mengizinkan anak-anak dari saudara Ayah untuk mencalonkan diri, padahal Paman Leis memiliki putra dan putri yang memenuhi persyaratan."

"Apa kau benar-benar tidak ingin menjadi raja? Semua orang ingin menjadi raja, bukan?" tanya Liv. Haldir menggeleng dan berkata, "Aku tidak ingin menjadi raja penuh skandal seperti ini."

Haldir menatap jauh ke pegunungan yang ada di seberang danau. Matanya menerawang. "Paman Leis bercerita, bahwa ayahku, Raja Aelfric, menjalin kasih dengan ibuku yang seorang gadis desa. Bahkan mereka sampai menikah diam-diam. Keluarga Ayah tidak menyetujui, dia pun terpaksa meninggalkan Ibu. Saat itu, Ayah tidak tahu kalau Ibu sedang mengandung diriku. Setelah aku lahir pun, Ibu merahasiakan keberadaanku.

Beberapa tahun kemudian, Ayah menjadi raja. Saat menjadi raja itulah, beliau mengetahui kalau memiliki anak, ketika rombongan pasukannya melewati desa tempatku tinggal. Tapi waktu itu, Ayah sudah bersama Ratu, berlandaskan pernikahan politik. Ayah diam-diam selalu mendukung kehidupanku. Aku tidak pernah tahu semua hal itu. Ibu tiba-tiba menyekolahkanku di tempat yang bagus, tanpa aku mencari tahu dari mana uangnya berasal.

Sampai akhirnya, Paman Leis datang menjemputku sekitar setahun lalu. Kemudian, inilah posisiku sekarang." Haldir bercerita panjang lebar. Liv mendengarkannya saksama.

Sang Pangeran menoleh ke arah Liv. "Terima kasih."

"Eh? Untuk apa?" Liv terkejut.

Haldir tersenyum padanya. "Untuk bersedia mendengar ceritaku. Akhirnya, ada seseorang yang bisa kuajak bicara, setelah sekian lama."

"Kau tidak punya teman bercerita? Bagaimana dengan pamanmu itu?" tanya Liv.

Haldir menggeleng, lalu mengembus napas panjang. "Aku tidak ingin membebani dia dengan keluhanku. Apalagi, selama ini Paman Leis yang berjasa mengantarkan semua bantuan Ayah pada Ibu di desa. Aku harus bisa terlihat tegar di hadapannya."

Mereka berdua terdiam sejenak. Tak lama, Liv menghela napas dan berkata, "Ummm, mungkin aneh bila mendengar ini dariku, tapi ... kamu boleh merasa lemah. Maksudku, sesekali saja, kalau memang sudah lelah, beristirahatlah. Bahkan, menangislah kalau memang harus."

Haldir mendengarkan kata-kata gadis itu. Memang sudah lama, dia tidak pernah menangis lagi. Setelah dia terpaksa berpisah dari ibunya, Haldir tidak lagi meneteskan air mata. Kini, rasanya ada setitik air di ujung pelupuk mata.

"Kau benar. Kau benar sekali ... ," ucap Haldir. Dia menutupi wajah dengan tangan kiri, tidak ingin terlihat menangis di hadapan gadis yang baru saja dia temui. Namun, tanpa Liv melihat pun, gadis itu tahu, ketika punggung sang pangeran sedikit bergetar.

Liv diam saja, menunggu sang pangeran selesai mendamaikan perasaannya. Tak lama, Haldir berjalan mendekat ke arah air danau. Dia membasahi kedua tepak tangan, lalu mengusap wajah hingga basah. Kemudian, dia tersenyum pada Liv.

"Sudah segar sekarang!"

"Syukurlah!" balas Liv tersenyum.

Mereka terus bercengkerama di bawah sinar rembulan. Kebanyakan obrolan mereka adalah kenangan-kenangan ketika Haldir tinggal di desa. Beberapa saat kemudian, menara jam berpendulum di taman kota berbunyi. Suaranya terdengar sampai dua belas kali, menunjukkan sudah pukul dua belas malam. Liv terkesiap. Dia tidak menyangka waktu berlalu begitu cepat hingga tengah malam.

"Ah, aku harus pulang!" ucap Liv, lalu beranjak dari duduknya. Niatnya untuk mengakhiri hidup tidak jadi terlaksana. Dia malah mendapat teman baru sebagai gantinya.

Haldir ikut berdiri. "Apa kita bisa bertemu lagi?" tanyanya.

"Iya," jawab Liv. Dia merapikan gaun yang sempat berantakan karena duduk terlalu lama.

"Besok malam?"

"Jangan!" sahut Liv cepat. Karena besok malam itu bukan purnama lagi, ucap Liv dalam hati, tidak berani dia ungkapkan.

"Lalu?" Haldir menunggu kepastian.

"Saat bulan purnama tiba! Sudah dulu, ya!" Liv melambaikan tangan, sebelum akhirnya menghilang di kegelapan malam.

Kini, Liv jadi punya kegiatan baru. Saat purnama tiba, Liv akan pergi ke danau untuk bertemu dengan teman barunya itu, sang pangeran yang kesepian, seperti dirinya. Dua orang kesepian ternyata bisa saling mengisi dan menguatkan.

Meskipun kehidupan Liv tidak banyak berubah, tetapi purnama menjadi waktu yang selalu ditunggu-tunggu oleh Liv. Dirinya tidak pernah memilki teman. Selama ini dia selalu hanya bersama kakaknya. Liv baru mengetahui, punya teman berbagi ternyata bisa menyenangkan seperti ini.

***

Baca lebih cepat di lynk.id/author_ryby di sana sudah sampai bab 8! Baca gratis, tanpa perlu apk, kecuali untuk like dan subscribe!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro