6| MLYT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jeffrey Esa Kurniawan

Semalam adalah malam yang hectic. Karena Akio tidur siangnya terlalu lama, dia nggak bisa langsung diajak tidur malam. Padahal gue dan Gladis sudah lelah dan mata kita rasanya bisa langsung terpejam begitu kepala menyentuh bantal.

"Biar aku jaga Akio. Besok kamu kerja, tidur duluan sana."

Diberi kesempatan begitu, gue pun tidur duluan. Bukan karena gue nggak sayang istri. Tapi, gue memang benar-benar butuh tidur.

Kira-kira pukul dua pagi, ketenangan gue terganggu. Si bocah ndusel-ndusel ke badan gue, kayak anak kucing minta perhatian pemiliknya. Gue buka mata malas-malasan. Di samping gue cuma lihat Akio, nggak ada Gladis. Apakah Akio lepas dari pengawasan ibunya?

"Papa, au ain?" tanya Akio polos, di tangannya terdapat boneka kangguru.

"Ini sudah malam, Akio. Waktunya bobo."

Wajah Akio yang awalnya cerah karena berharap menemukan teman bermain, langsung menjadi murung. Boneka di tangannya pun seperti ikut-ikutan murung di mata gue. Duh, kalau gini kan gue jadi nggak tega.

Gue menyugar rambut sedikit frustasi. Akhirnya gue bangkit. Akio yang melihat hal itu langsung kembali semangat. Mungkin dikiranya gue berubah pikiran dan akhirnya mau main bersama.

"Mama mana?"

"Bobo."

Akio gue gendong ke luar kamar. Mata gue langsung melotot melihat mainan Akio bertebaran di segala penjuru ruang. Di tengah ruangan, koper besar yang seharusnya penuh hanya dengan mainan-mainan Akio, kini telah kosong.

"Akio yang bikin rumah kita jadi gini?"

"Iyah!"

Akio malah mengangguk bangga. Dikiranya bagus apa? Gue berusaha menenangkan diri. Gue harus ingat ucapan Gladis, bahwa pekerjaan anak adalah bermain. Jadi, gue nggak boleh marah-marah.

Gue menurunkan Akio dari gendongan. Dia langsung berlari, mengambil boneka lainnya. Kali ini Akio membawa boneka panda yang ukurannya lebih besar daripada boneka kangguru. Seingat gue, boneka panda ini adalah boneka terfavorit milik Akio.

"Papa, ain!"

"Mama bobo tuh," ucap gue sambil menunjuk Gladis yang rupanya ketiduran di sofa ruang tengah. "Akio juga harus bobo."

"Akio au ain."

"Mainnya lanjut besok pagi ya," bujuk gue. Gue mulai memungut satu per satu mainan Akio dan memasukkannya ke koper. Setidaknya, gue bisa meringankan pekerjaan Gladis.

"Becok?"

Akio merunduk. Tangannya memegang bahu gue yang tengah terduduk di samping koper. Tatapan Akio seperti sedang menginterogasi gue agar bisa menepati janji bermain besok pagi.

"Iya, besok." Gue menunjuk mainan Akio yang berada jauh di pojok. "Tolong bawain Papa itu."

Akio melepaskan boneka panda dari pelukannya. Kini kita berdua bekerja sama membereskan mainan yang tercecer. Semoga dengan Akio melakukan aktivitas fisik seperti ini, dia jadi kecapekan dan mau diajak tidur.

"Shasha." Gue berbisik pelan di telinga Gladis. Gue ganggu tidurnya dengan ciuman di pipi berulang kali. "Bangun. Pindah ke kasur. Nanti badan kamu pegal-pegal tidur di sofa."

"Ngh," Gladis mengulet. Kelopak matanya membuka dengan malas. "Sudah pagi?"

Gue menggeleng. "Pindah tidur di kasur."

Gladis melihat melewati bahu gue. Matanya langsung membulat begitu tahu mainan Akio bertebaran dimana-mana. Akio juga sedang duduk di dalam koper. Bukannya meneruskan beres-beres, dia malah sedang berceloteh sendiri sambil menunjuk-nunjuk gambar di buku cerita anak-anak.

"Biar aku aja yang ngurus Akio. Kamu tidur."

Gladis menggeleng. Ia menggulung rambutnya ke atas. Mata gue tak bisa berpaling dari bekas cupangan yang belum benar-benar hilang di lehernya. Hehe, bagus juga hasil karya gue.

"Aku nggak sengaja ketiduran. Sejak kapan Akio nyebar mainan kayak gitu? Berasa lagi menandai teritori aja."

Gladis mulai memunguti mainan Akio satu per satu. Gue yang dari tadi cuma nyuruh Akio ambil ini-itu, akhirnya kini membantu pekerjaan Gladis. Ketika Akio ancang-ancang akan mengambil mainan lain dari dalam koper yang sudah terisi setengahnya, gue buru-buru melarang.

"Akio pilih satu mainan aja. Nggak usah nambah."

"Papa au ain?"

"Akio pilih satu. Untuk nemenin Akio bobo."

"Au ain."

"Bobo."

"Ain!"

"Nggak baik bentak-bentak Papa, Sayang," Gladis menginterupsi. Ia memberikan boneka panda pada Akio. "Kalau bicara sama orang tua yang pelan ya."

"Akio au ain," ulang Akio dengan nada bicara lembut. Ia memberikan tatapan berharap pada Gladis.

"Akio bobo sama Papa dan Mama. Kita main bareng-bareng lagi besok."

"Ain panda."

Gladis menghela napas panjang. Akhirnya ia mengangguk. "Iya, Akio boleh bawa panda, tapi harus ke kasur sama Papa Mama."

"Iyah," sahut Akio semangat.

Gue tiba di kasur lebih dulu, bersama Akio dan pandanya. Istri gue masih sibuk melakukan ritual sebelum pergi tidur alias sikat gigi, cuci muka, dan pakai skincare. Gladis masuk ke kamar ketika gue sudah mulai ketiduran. Untung saja Gladis segera datang, kalau tidak Akio pasti langsung mengambil kesempatan untuk kabur dari pengawasan.

"Ayo, bobo," ucap Gladis tegas. Ia membenahi posisi Akio di tengah kasur.

"Panda."

"Dipeluk pandanya, ditepuk-tepuk, biar panda bobo."

"Akio." Si bocah menunjuk dirinya sendiri.

"Akio kenapa?" Gladis bertanya sambil menciumi rambut tebal Akio.

"Akio," ucapnya lagi, kali ini sambil meraih tangan Gladis dan meletakkannya di pantat berpopok Akio.

Gladis terkekeh. "Akio mau tepuk-tepuk?"

"Akio puk-puk."

"Iya, sini Mama puk-puk."

Interaksi Gladis dan Akio membuat hati gue menghangat. Sejak kedatangannya, Akio telah membuat gemas banyak orang. Namun, di mata gue, tetap Gladis yang paling menggemaskan. Perhatian-perhatian kecil yang ia tunjukkan pada tiap tingkah Akio, menurut gue sangat atraktif. Jiwa keibuannya keluar.

--

"Jeffrey, bangun. Alarm kamu sudah bunyi."

"Ngh... ngantuk."

"Ini alarm apa? Olahraga ya?"

"He'em."

"Kalau gitu lanjut tidur aja."

Gladis mengecup kening gue dan pergi entah kemana. Kebiasaan. Dia tidak pernah memaksa gue untuk bangun. Alasannya selalu sama, biar gue kelimpungan sendiri nantinya.

Ketika gue masih bujang, gue selalu bisa bangun dengan bantuan alarm. Namun setelah menikah dengan Gladis, rasanya gue ingin membandel dan terus-terusan minta dibangunkan olehnya. Bahkan ketika kita berjauhan pun, gue akan minta tolong dibangunkan olehnya.

Aneh kan? Apa bedanya bangun oleh dering alarm dan oleh dering telepon?

Gue tidak melanjutkan tidur biarpun raga ini rasanya ingin selalu menempel di kasur. Di samping kiri gue Akio masih tidur memeluk si panda. Perutnya yang bulat terbuka. Gue terkekeh melihat gaya tidur Akio. Dasar bocil, Semalam bikin papa dan mamanya nggak bisa tidur, pagi-pagi malah masih molor.

Alarm gue berhasil membuat Gladis terjaga. Dia tidak tidur lagi. Gladis malah tampak sibuk di depan coffee maker.

"Shasha," panggil gue dengan suara serak.

"Hm?" Gladis menoleh. "Katanya ngantuk?"

"Aku harus bangun. Kalau nggak, Om Adam nanti gedor-gedor pintu bikin kerusuhan."

Gladis terkekeh. Ia mengusap punggung bagian bawah gue. Huah, nyaman banget. Gue jadi ingin dipuk-puk Gladis kayak yang Akio minta semalam.

"Minum air putih dulu, Jeffrey. Cuci muka, biar melek."

Gue bergeming di tempat. Sebelah tangan gue nangkring di pinggangnya. Gue memeluk Gladis dari sebelah. Gue ciumi wangi sampo dari rambutnya yang tergelung tinggi.

"Kamu hari ini mau ngapain?" tanya gue mengabaikan usul Gladis.

"Di sini aja. Kasihan Akio. Dia masih jetlag. Dari kemarin kita ajak main di luar ruangan, dia malah tidur. Waktu tidurnya belum sesuai. Sejak sampai sini Akio juga belum buang air besar. Yakin deh aku, Akio ini sembelit."

"Pantes perutnya gede."

"Perutnya kembung, tapi Akio nggak rewel. Aku jadi khawatir."

Gue mengusapkan ujung hidung di sisi wajah Gladis. "Jangan khawatir berlebihan. Nanti malah jadi kamu yang sembelit."

Gladis melancarkan serangan semut rangrang andalannya. Pinggang gue dicubit. Menghindar dari mala petaka, gue melompat ke samping.

"Jeffrey nyebelin!"

"Hehe."

"Haha-hehe-haha-hehe. Buruan olahraga sana."

Gue nyengir melihat Gladis dalam mode galak. "Habis aku olahraga, aku balik lagi ke sini. Kita sarapan bareng kayak kemarin ya?"

Gladis menarik cangkir kopi dan membawanya ke meja makan. Gue juga mengambil segelas air putih lalu menyusulnya duduk di sana.

"Rencana aku, seperti ini," Gladis berdeham dua kali. Ia seperti akan memaparkan hal serius. "Tiap pagi kita bertiga sarapan bareng. Siangnya kegiatan masing-masing. Sore atau malam ketika kamu sudah selesai kerja, jadi family time."

"Hm, okay."

"Mulai sekarang kita harus terbiasa kayak gitu," lanjutnya penuh semangat. "Kita harus terbiasa untuk menjalani hidup saling merepotkan."

"Kok merepotkan?"

"Maksud aku, saling bergantung," Gladis mengoreksi. "Kita kan selama ini lebih terbiasa hidup sendiri-sendiri. Aku nggak mau gitu lagi, setidaknya selama setahun ini."

Gue mengangguk. "Iya, Shashayang."

"Bagus."

"Kamu treat aku kayak anak kecil, hm?"

Sungguh permulaan hari yang menyenangkan. Gue nggak rugi sama sekali memilih bangun ketimbang tidur lagi. Dengan begini, gue bisa menikmati beberapa menit berdua dengan Gladis. Gue melewati waktu untuk sekadar mendengar ceritanya atau membicarakan mimpi-mimpi dan rencana keluarga ke depan.

Suara Akio samar-samar dari arah kamar membuat percakapan kita terhenti. Gue dan Gladis berjalan mengendap-endap ke kamar. Di atas kasur, Akio rupanya sudah berbaring tengkurap. Dia bicara dalam bahasa bayi, sambil memperhatikan pola geometris warna-warni di sprei kasur.

Tok, tok, tok! Gladis mengetuk daun pintu. Bunyinya mengalihkan perhatian Akio.

"Mama boleh masuk?"

Akio tersenyum lebar. Ia melangkah turun dari kasur dan menyapa sang ibu. "Pagi, Mama!"

"Pagi, Akio Sayang," Gladis berjongkok dan menciumi wajah Akio.

Dengan lirikan mata, Gladis memerintah gue untuk mengikuti gerak-geriknya. Gue kikuk. Namun, gue mencoba. Gue berjongkok di samping Gladis dengan kedua tangan terbuka, siap menerima peluk cium sapaan pagi hari dari Akio.

Melihat bahasa tubuh gue, Akio tidak berlama-lama berada di dekapan Gladis. Dia bergeser ke samping, masuk ke dalam pelukan gue. Perlakuan yang gue dapat berbeda dari yang diterima Gladis. Akio nggak cium gue.

"Selamat pagi, Akio," sapa gue memulai sambil mengecup keningnya.

"Pagi, Papa."

"Akio mau sikat gigi sama Mama atau Papa?" tanya Gladis memberi pilihan.

"Mama."

"Okay, ayo."

Akio meloloskan diri dari tangan gue tanpa pikir panjang. Ia melangkah dengan semangat menuju kamar mandi. Ketika Akio menoleh ke belakang, gue tahu, yang dicarinya adalah Gladis bukan gue.

Gue menghormati pilihan Akio. Kalau sudah punya sosok ibu sesempurna Gladis, untuk apa lagi mencari ayah nggak becus macam gue?

--

Jam tangan menunjukkan pukul delapan malam. Gue mendesah kecewa. Gue melewatkan waktu makan malam untuk berkumpul bersama anak dan istri. Salahkan jadwal interview promosi gue yang melewati batas waktu dari yang dijanjikan.

Ketika masuk ke motorhome, telinga gue disambut oleh nyanyian Gladis dan Akio bersahutan. Keduanya tidak sadar bahwa gue sudah pulang, mereka terlalu fokus bernyanyi. Mendengar lagu anak-anak di tempat gue ini untuk pertama kalinya, entah mengapa mampu melunakkan hati gue yang sepanjang perjalanan pulang selalu menggerutu.

"A untuk Apel...."

"A... a... a...."

"B untuk Bola...."

"Beh... beh... beh...."

"C untuk Capung...."

"Ceh... ceh... ceh...."

"Papa pulang!"

Gue menginterupsi lagu ABC yang sedang mereka nyanyikan bersama. Akio dan Gladis langsung diam, hanya alunan musik dari ponsel saja yang masih terus terdengar. Gue melepas sepatu dan kaus kaki, lalu merentangkan tangan ke arah mereka.

"Akio, kalau Papa pulang kerja, diapain?" Gladis memberikan pertanyaan pancingan pada Akio.

"Apah?"

"Dipeluk."

"Peyuk?"

"Iya, dipeluk."

Selama ini konsep menyambut ayah pulang kerja ke rumah tiap hari tidak pernah ada di hidup Akio. Gue terlalu lama berkelana. Tentu Akio belum mengerti apa maksud Gladis.

Gladis pun memberikan contoh. Ia bangkit berdiri dan berjalan cepat ke arah gue. Pelukan gue dibalas olehnya. Gladis bahkan mengatakan sapaan manis yang bisa bikin rasa capek gue menghilang.

Akio mengikuti apa yang dilakukan ibunya. Bocah bermata belo itu menghampiri gue dan mengucapkan kalimat yang sama dengan yang diucapkan Gladis.

"Seyamat datang, Papa. Ma'acih dah kelja kelas."

Cara bicaranya yang cadel dan masih belum jelas, bikin gue gemas. Gue cium dua pipi Akio. Si bocah tertawa kegelian. Kayaknya suasana hati Akio juga sedang baik. Dia tidak buru-buru meronta ingin lepas dari pelukan gue.

"Nah, Papa kan sudah pulang. Akio mandi sekalian sama Papa ya," ucap Gladis. Ia mengedipkan sebelah mata, sebagai kode bahwa ini adalah kesempatan gue melakukan pendekatan intensif dengan Akio.

"Mama ugha."

"Iya, bertiga aja," gue tersenyum jahil.

"Papa!" Wajah Gladis memerah malu. Ia menggeleng tegas. "Nggak. Cuma cowok-cowok aja yang boleh mandi bareng. Sana, buruan bersih-bersih."

Hehe, did you see that? Istri gue menggemaskan. Bikin hati gue meleyot, MLYT.

--

Taraf keimutan di mata Jeffrey: Gladis >>> Akio

Yuk, tekan tombol like dan tinggalkan jejak di kolom komentar 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro