11. Status Rama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berada di tengah keramaian tak membuat Nada berhenti memikirkan Rama. Sosok itu yang berubah dingin lagi setelah kemarin sempat bersikap manis padanya. Sosok yang belum bisa beranjak dari hatinya.

"Nad, itu minuman lo kasihan cuma diaduk-aduk aja." Mita menegur Nada yang hanya memainkan sedotan dalam gelasnya tanpa meminumnya sedikit pun.

Gadis berambut kecokelatan itu melirik ke arah minumannya, lalu menyodorkan ke Mita. "Gue masih kenyang. Lo mau?"

"Gue juga udah kenyang. Tuh!" Mita menunjuk piring kosong sisa nasi goreng dan gelas yang tadi berisi es jeruk juga telah tandas.

Tatapan tak terkejut Nada layangkan kepada Mita. Apa pun dan di mana pun gadis itu makan, pasti tidak akan menyisakan makanan, sedikit pun.

"Balik ke kelas, yuk," ajak Nada yang mulai bosan dengan suasana riuh kantin.

Mita menyuruh menunggu sebentar agar semua makanannya sampai ke perut. Nada pun menurut meski dengan malas. Pandangannya bergerak ke arah gerombolan siswi yang mengundang kehebohan. Dengan penampilan mencolok, kelima siswi tersebut tengah berjalan menuju kantin.

"Mit, lo tahu mereka siapa? Gayanya kayak pada sombong, gitu." Nada bertanya pada Mita seraya menunjuk dengan dagu anak-anak yang dimaksud ada di belakang tubuh Mita.

"Jangan liatin mereka," kata Mita setelah menengok sekilas. Ia menatap serius ke arah Nada. "Mereka Geng Rempong. Selalu tampil modis dan nggak punya istilah takut sama siapa pun. Bukan sombong, sih, cuma lebih ke berkuasa gitu."

Gadis berambut sebahu itu mulai memperkenalkan anggota Geng Rempong. Pertama ada Anita, anak dari pengusaha jagal sapi. Kedua adalah Risa, anak dari juragan tanah. Ketiga ada Tari, putri dari toko sepatu terbesar nomor tiga di Malang. Terakhir, ada Ambar yang merupakan anak dari salah satu Staf Ahli Bid. SDM, Sosial, dan Kemasyarakatan, Kabupaten Malang. Keempat siswi tersebut sama-sama kelas sebelas.

Nada mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda bahwa ia paham akan penjelasan sahabatnya. Ia sendiri menghela napas, kenapa harus bangga dengan kekayaan yang dimiliki orang tua? Gadis itu masih ragu untuk menggunakan apa pun yang diberikan mereka.

Mita akhirnya mengajak Nada meninggalkan kantin. Ada rasa tak nyaman saat Geng Rempong selalu mencari perhatian sekitar. Padahal anak dari pemilik sekolah saja tidak berperilaku seperti itu.

Perjalanan dari kantin yang berada di bangunan bagian timur ke kelas kedua siswi itu cukup memakan banyak waktu. Selain kantin, ruang kepala sekolah dan staf, lantai satu terdiri atas perpustakaan, aula, UKS, koperasi siswa, laboratorium komputer dan multi media.

Di sisi bangunan bagian utara yang memiliki tiga lantai sendirian. Lantai dasar hanya berisi ruangan kelas dua belas. Tak berbeda dengan lantai kedua, yang terdiri lima ruang kelas sepuluh dan dua lainnya adalah kelas sebelas.

Kedua netra cokelatnya menangkap presensi siswa yang sejak pagi sukses membuatnya tak bisa fokus pada pelajaran. Wait! Dia tidak sendiri. Di sampingnya ada seorang gadis dengan tawa menghiasi keduanya. Sepertinya mereka tengah membicarakan hal yang seru.

Isi kepala gadis itu mencoba melempar energi positif ke hatinya. Rama bukan siapa-siapa baginya dan jika cowok itu memiliki kekasih bukan urusannya. Rama dan Ajeng semakin mendekat ke arahnya. Satu pemandangan lagi yang memukul hatinya telak. Kedua tangan mereka saling bertaut.

"Hai, Nad, Mit. Kalian dari mana?" Ajeng menghentikan langkahnya di depan Nada dan Mita. Cowok di sampingnya otomatis juga ikut berdiri di sana seperti bodyguard.

"Kita habis dari kantin, Kak. Ini mau balik ke kelas. Kakak mau ke mana? Romantis banget sampai gandengan tangan?" Itu Mita yang menjawab, Nada tak bisa berucap. Cukup diwakili oleh senyuman palsu.

Ajeng tertawa renyah. "Rama takut gue jatuh, makanya dipegangin terus. Eh, kita mau ke perpustakaan dulu, kalian mau ikut?"

"Makasih, Kak. Kita mau naik aja." Nada menjawab. Ia tidak ingin Mita menyetujui ajakan Ajeng.

Ajeng mengangguk, setuju. "Oke, deh. Kita duluan, takut kehabisan waktu istirahat."

Kita pun berpisah di bawah tangga. Nada bergegas menapaki anak tangga, tetapi seperti berjalan di atas awan.

"Eh, tungguin!"

Rama dan Ajeng pacaran. Baik, Nada harus tetap tenang. Dia tidak perlu memastikan hal itu untuk mengetahui kebenaran. Semua sudah jelas.

"Lo ngapain nangis?" Mita, gadis itu sudah berdiri di depan Nada dengan kerutan bingung di dahi. Jemari Nada mengusap air yang menetes di pipinya. "Nangisin apa, sih?"

"Ha? Gue nggak nangis, kok." Gadis itu melewati Mita dan terus berjalan sampai tiba di kelas.

Mita yang masih penasaran dan khawatir dengan sahabatnya pun mengikuti sampai ke kelas. Benar saja, sesampainya di ruangan tempat belajar itu, Nada menundukkan kepala di atas lipatan tangan. Ia mendekat dan duduk di sampingnya.

"Udahlah, Nad. Masih banyak cowok lain, nanti gue bantu cari. Mungkin Kak Rama emang bukan jodoh lo. Jangan nangis dong," ucap Mita dengan usapan di lengan Nada.

"Gue nggak nangis!" jawab gadis bersurai cokelat dari balik lipatan tangan dengan suara serak.

"Buat mengobati sakit hatinya lo, gimana kalau kita bolos dan pergi jalan-jalan. Lo pasti setuju, 'kan?" Nada langsung menggeleng mendengar ide menarik tersebut.

Nada tak ingin menangis, apalagi sebentar lagi masuk jam pelajaran. Namun, ia juga tidak bisa menghentikan air yang terus mengalir deras. Hatinya masih belum bisa menerima kenyataan tentang status Rama.

"Udah, dong, Nad. Lo nggak malu diliatin temen sekelas? Gue juga harus balik ke kelas, nih," bisik Mita.

Pemilik surai kecokelatan itu pun mengangkat kepala dan menghadap Mita. "Gue nggak apa-apa, kok," ucapnya dengan terisak.

Mita mendengkus. "Iya, lo emang cewek kuat, jadi nggak mungkin nangis. Ayo gue antar ke toilet dulu."

Nada diam saja saat Mita menarik tangannya yang dingin keluar kelas. Bahkan menjawab pertanyaan kenapa dan ada apa dari beberapa teman sekelasnya saja juga dilakukan Mita.

"Lo nangis kenapa? Kalau ada yang jahat sama lo, bilang sama gue. Gue nggak suka kalau ada yang berani ganggu teman sekelas gue, apalagi itu lo, bidadari gue." Kecuali satu ini, Angga menghadang langkah Mita untuk mendapat jawaban pasti.

"Nada lagi ada masalah di rumah. Biarin dia tenang dulu, deh. Nanti aja kalau mau hibur dia." Mita mendorong tubuh Angga agar menyingkir dari jalan.

Ia mengerti betul bagaimana perasaan Nada saat ini. Tiga tahun memendam perasaan suka kepada orang lain bukan hal yang mudah. Mita sudah beberapa kali memberi saran untuk menyukai cowok lain, tetapi Nada hanya ingin nama Rama yang mengisi kekosongan hatinya.

"Jangan lama-lama, ya," pesan Mita sebelum Nada masuk ke kamar mandi.

Lihatlah sekarang, satu-satunya cowok yang sahabatnya sukai sudah memiliki pasangan. Ia merasakan iba yang harus disembunyikan dari Nada.

"Gue mau bolos ke ruang musik, nanti jemput gue pas pulang sekolah sekalian bawain tas gue, ya."

"Nggak perlu gue temenin?" Nada menggeleng. "Tapi lo jangan sampai punya pikiran buat bunuh diri! Awas aja."

"Otak gue masih normal, ya!" balas Nada. Lalu, menyuruh Mita kembali ke kelasnya karena ia akan bersembunyi di tempat menenangkan, ruang musik.

Nada ngapain nangisin doi, deh?
Padahal mati satu tumbuh seribu. Uhuy

Jangan lupa tinggalin jejak, anggap aja nggak sengaja 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro