2. Gumilar Rama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nada menelan saliva saat melihat tangga di depannya. Bisakah kelasnya pindah ke bawah? Hari ini Nada memutuskan pergi sekolah setelah tiga hari mendekam di rumah. Meskipun mendapat larangan dari bunda, ia tetap memaksa sekolah karena merasa jenuh.

Tangan kanan yang basah oleh keringat mencekal besi dengan kuat agar bisa menopang tubuhnya. Menarik napas dan mengeluarkan perlahan. Sesuai permintaan, Nada berangkat pagi saat sekolahan belum begitu ramai. Hanya ada sebagian murid kelas sembilan yang ada jam tambahan. Ayahnya mengantar sampai ke halaman sekolah, tawaran untuk mengantar sampai kelas ditolak Nada, karena ayahnya akan kesiangan jika melakukan hal tersebut.

"Lo pasti bisa, Nada." Nada menyemangati dirinya sendiri agar tidak menjadi anak yang lemah, menyeret kakinya untuk menginjak anak tangga pertama.

"Oke, Nada. Masih 29 lagi, huh!" lirih Nada.

"Gue bantu." Tangan Nada terlepas dari besi diganti sebuah lengan yang memeluk pinggangnya dari belakang. Nada menengok untuk melihat dewa penolong di pagi hari. Napasnya tercekat saat melihat paras cowok berjarak sangat dekat tersebut.

"Eh, aku bisa sendiri, Kak." Nada menolak, tetapi tidak bisa meronta.

"Mulai besok gue yang akan antar jemput lo dari rumah sampai ke kelas, sampai lo sembuh. Ayo, keburu ramai!"

Nada tidak bisa berkata hingga Rama berhasil memapahnya sampai tangga ke tiga puluh. Gadis itu bisa menghirup aroma maskulin dari kakak kelas kesayangannya ini. Ia menahan untuk tidak mengeluh, meski nyeri masih sangat terasa di kakinya.

"Lo duduk di mana?" tanya Rama saat berada di kelas 7A.

"Di sana, Kak, bangku nomor dua dari depan." Dengan hati-hati Rama membantu Nada duduk di bangku. Setidaknya, Rama bisa sedikit membalas tingkah konyol Nada kemarin.

"Makasih, Kak. Tapi Kak Rama nggak perlu kayak gini, aku bisa sendiri kok."

"Harusnya gue yang bilang makasih, karena lo udah nolongin gue. Dan maaf, lo jadi kayak ini karena gue. Gue akan terus merasa bersalah kalo lo gak terima bantuan dari gue," jelas Rama yang membuat Nada semakin gelisah.

Ia harus bertemu Rama setiap hari? Astaga ... rasanya seperti mimpi.

"Ya udah, gue turun. Lo hati-hati ya. Sekali lagi gue minta maaf dan makasih." Rama pun pergi. Membuat Nada bisa menghela napas, lega.

"Sepertinya pemanasan hari ini cukup. Bunda ...." Nada ingin berteriak, tapi ia masih ingat tempat.

Tak berapa lama, teman sekelas Nada berdatangan dan menanyakan kondisinya. Ada yang menyemangati ada juga yang memarahinya karena sudah masuk sekolah. Apalagi tangan kirinya harus digendong, kurang lebih satu bulan. Lalu, selama itukah dia harus bersama Rama?

****

"Ayo, Nad, gue bantu sampai depan. Lo dijemput, 'kan? Atau sekalian gue aja sampai rumah?" tanya Mita yang sudah berdiri di samping Nada. Dia teman sebangkunya selama hampir satu tahun di kelas tujuh.

Bel pulang sudah berdering beberapa menit lalu, Nada masih diam di kelas untuk menghindari keramaian di tangga. Ia bingung harus bicara apa pada Mita.

Apakah orang tadi pagi beneran menepati janjinya?

"Udah ayo gue anter, paling bokap lo masih sibuk jam segini." Mita menarik lengan kanan Nada yang terbebas dari luka, hanya sedikit lecet di bagian jari. Nada menghela napas seraya menarik kakinya meskipun ia sedikit kecewa.

"Mending lo pikir-pikir lagi buat masuk sekolah, deh. Gue nggak yakin kalau lo kuat tiap hari naik turun tangga," omel Mita sambil memapah Nada keluar kelas.

"Lo bukannya semangatin malah bikin gue down aja, sih. Gue nggak mau ketinggalan pelajaran apalagi bentar lagi udah UKK, Mit. Ntar kalo gue nggak naik kelas gimana?"

"Lo nggak usah belajar juga bisa kali, Nad. Lah, gue?"

"Itu emang lo aja yang males belajar."

"Gue belajar kok, sotoy lo."

"Belajar koleksi cowok?" Nada tertawa melihat Mita hanya manyun.

"Udahlah, nanti lo juga gue kasih ilmunya, tenang aja."

"Ogah. Gue kan cewek baik-baik, nggak kayak lo," cibir Nada atas sifat playgirl Mita.

"Iya, gue percaya. Mungkin, tapi," jawab Mita ragu, lalu terkekeh.

"Rese lo," balas Nada, "bentar, Mit, berhenti dulu." Mita tertawa melihat ekspresi Nada yang melihat tangga bagaikan melihat hantu.

"Ih, lo mah, seneng banget liat temen susah. Nggak bisa ya kelas kita pindah di bawah?"

"Bisa kalo kita udah kelas sembilan. Udah ayo, pelan-pelan aja."

"Biar sama gue, lo boleh duluan." Nada dan Mita menatap ke sumber suara yang masih mencoba mengatur napas karena menaiki tangga dengan berlari.

"Kak Rama, 'kan?" Mita memastikan kalau di depannya sekarang adalah orang yang selalu dikagumi oleh sahabatnya, Nada.

"Iya, lo pulang aja. Biar Nada sama gue."

"Oke, Nada, gue duluan ya. Baik-baik lo." Mita berlari menuruni tangga setelah melambai bahagia kepada Nada. Nada ingin sekali mengejarnya jika ia masih ingat nyawa keduanya.

"Udah?" tanya Rama yang dibalas anggukan oleh Nada.

Lagi-lagi jantung Nada harus memompa lebih keras lagi saat lengan Rama merangkulnya. Memang harus dirangkul, ya?

Ternyata menuruni tangga lebih menyiksa di bandingkan menaikinya pagi tadi. Nada menutup matanya saat menginjakan kaki di anak tangga kedua.

"Bisa, 'kan?" Rama cemas, karena tiba-tiba tangan Nada melingkar erat di pinggangnya.

"Bisa, Kak," jawab Nada dengan suara serak. Ia menahan air matanya agar tidak mengalir karena rasa sakit yang menyiksa. Namun, keringat dingin dahinya tidak bisa membohongi Rama.

"Kalau nggak kuat, gue gendong."

"Nggak usah, Kak," tukas Nada cepat, "istirahat dulu aja."

"Oke."

Nada menghela napas saat tubuh mereka terlepas.

"Eh, eh, lo kenapa?" Rama terkejut saat melihat tubuh Nada luruh ke lantai, ia kembali memegang bahu Nada.

"Istirahat bentar, Kak. Kalau Kak Rama buru-buru, duluan aja," balas Nada santai sambil meluruskan kaki.

"Nggak, santai aja kalau sama gue." Rama juga ikut duduk di samping Nada, mereka diam dalam pikiran masing-masing.

"Gue boleh main ke rumah lo nggak?" Pertanyaan Rama membuyarkan suasana sunyi antara keduanya.

"Eh? Main? Ma-maksudnya gimana, ya, Kak?" Nada terpaksa menatap wajah yang hampir setiap malam gadis itu pikirkan.

"Gue pingin ketemu keluarga lo, Nad. Gue mau minta maaf karena udah buat lo kayak gini."

"Nggah usah, Kak. Aku udah nggak apa-apa. Kak Rama fokus belajar aja, nggak usah mikirin masalah kemarin." Gadis itu menelan ludah mendengar ucapan Rama. Seolah tak ada beban.

"Tapi, Nad ...."

"Udahlah, Kak, jangan dibahas terus. Aku nggak mau ketemu lagi kalo Kak Rama bahas ini." Nada mencoba berdiri sendiri dengan susah. "Aku bisa sendiri, Kak," sergah Nada saat Rama ingin membantunya.

"Kalau lo nolak bantuan gue, gue bakalan datang ke rumah lo." Akhirnya Nada memilih bungkam dan membiarkan Rama membantunya hingga tangga terakhir.

"Lo tunggu di sini, gue ambil motor dulu. Ingat, jangan ke mana-mana, kalau nggak mau gue ada di rumah lo." Rama pergi setelah memberi ancaman maut untuk Nada.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro