7. Senam Jantung

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesampainya di rumah, Nada melepas sepatu dan meletakkannya di tempat biasa. Tubuh gadis itu terasa remuk setelah melewati semua rentetan acara MOS. Mungkin jika menuruti kalimat yang penuh perhatian dan kasih sayang dari bunda, ia tak akan merasakan semua ini. Namun, mengingat misinya, ia rela melakukan apa saja.

“Bunda, aku pulang,” ucap Nada pelan dengan sisa tenaga.

Ia menghempaskan tubuh ke atas sofa, lalu memejamkan mata. Berharap jika terbuka, ia akan melupakan semua hal konyol yang terjadi tadi.

“Maaf, Non. Ini barang-barangnya mau ditaruh di mana?”

Nada hanya mengibaskan tangan kepada Mbak Sri, pengasuhnya, agar membuangnya. Ia tak ingin lagi melihat barang-barang yang akan membuatnya mengingat acara menyebalkan tersebut.

Mbak Sri berlalu setelah sebelumnya meletakkan segelas air putih untuk Nada di meja.

Suara langkah mendekat tak mengubah posisi Nada, gadis itu masih menikmati lembutnya sofa yang memanjakan tubuhnya.

“Ya ampun, Nada. Ngapain kamu malah rebahan di sofa kayak gitu? Jadi banyak kuman, kan. Mending langsung mandi, habis itu baru istirahat,” omel Nevi.

“Capek banget, Bunda. Bentaran aja, kok.” Gadis berambut pirang itu mengambil bantal sofa dan memeluknya.

“Oke, Bunda panggilin Mang Memed dulu buat gendong kamu ke kamar.”

“Nggak ....” Nada langsung duduk mendengar nama orang yang paling ia takuti sejak kecil sembari memanyunkan bibir. “Nada bisa ke kamar sendiri,” ucapnya kemudian.

“Nah, gitu, kek dari tadi. Buang-buang emosi Bunda aja.” Nevi mengurungkan langkah yang akan memanggil tukang kebun rumahnya. Ia duduk untuk membaca majalah setelah melirik wajah kesal Nada yang menggemaskan. “Besok sekolah libur, kan? Jadi, waktunya perawatan kulit kamu, kusam banget habis ikut MOS.”

Nada tak perlu menjawab, ia segera melangkahkan kakinya ke kamar di lantai atas. Bayangan wajah Rama yang sudah sangat lama tak ia lihat masih membayangi pikiran. Padahal hanya mendengar namanya sekali dari Ajeng.

Sesampainya di dalam kamar, kaki yang masih terbungkus kain itu menuju kursi meja belajar. Mengambil sebuah buku bersampul ungu muda, membukanya cepat untuk menemukan sesuatu yang belum bisa ia buang begitu saja.

Kertas foto berukuran 4×6 di genggaman gadis itu kembali membuat hatinya bergemuruh. Harusnya sejak awal ia memilih sekolah lain, tetapi menentang keputusan bundanya hanya akan membuang tenaga sia-sia. Apalagi tanpa alasan yang kuat.

Foto tersebut Nada ambil dari buku data siswa secara diam-diam. Entah apa yang di pikirannya saat itu sampai berani menyobek kertas kecil dengan wajah mengerikan tersebut. Namun percayalah, selama dua tahun ini nama Rama masih setia menemani harinya.

“Gue belum siap ketemu Kak Rama lagi,” gerutunya di balik lipatan tangan di atas meja.

****

Angkot berwarna hijau yang dinaiki Nada berhenti di depan halte, para siswa berseragam sama dengan gadis berambut pirang yang dikepang bergegas turun setelah membayar kepada sang kernet.

Nada yang saat itu melapisi baju seragam dengan kardigan ungu muda menghela napas tatkala melihat nama SMA Nusa Bangsa. Berharap ia tidak akan bertemu siapa pun yang mengenalnya, terlebih Fikri. Cowok yang sangat menyebalkan.

Tungkainya bergerak lambat sembari melirik keadaan sekitar. Punggungnya tegak lurus meski hati dipenuhi ketakutan yang luar biasa. Senyum anggota OSIS menyambut siapa saja yang baru saja melewati gerbang. Senyum mengerikan, lebih tepatnya.

“Pagi, Nada.” Sapaan yang terdengar baru saja sukses membuat napas Nada tertahan. Namun, untungnya bukan suara cowok.

“Pagi juga, Kak.” Enggan berlama-lama di sana, setelah menjawab sapaan kakak kelas yang masih ia lupa namanya, Nada bergegas menjauhi gerbang setelah menangkap keberadaan dua cowok yang mungkin akan membahayakan jantungnya, lagi.

“Heh, Nad. Ada yang nungguin, nih!” Fikri berseru tanpa bisa menyembunyikan tawanya.

Ajeng juga ikut tersenyum, meskipun ingin sekali bergabung dengan Fikri. Ia tahu pasti bagaimana perasaan cowok itu sejak insiden yang mungkin membuatnya tidak bisa melihat Nada selamanya.

Sedangkan, Rama sendiri bergerak meninggalkan anak-anak OSIS yang sedang bertugas mengecek kelengkapan dan kelayakan seragam siswa Subang. Biasanya ia akan menunggu bel masuk di parkiran atau di halte dengan teman sekelasnya, tetapi entah kenapa hari ini ia ingin menemani Ajeng dan Fikri.

“Cie ... yang mau nyamperin Nada, kangen, nih, pasti," ucap Fikri tentu saja disertai kekehan usil.

"Gue mau ke kelas," balas Rama.

"Gue ikut."

"Eh, mau ke mana lo? Enak aja, tugas belum selesai main kabur aja." Fikri masih mengambil satu langkah untuk menyusul Rama, ketika tangan Ajeng bergerak cepat menarik kerah belakang seragamnya.

Rama menghela napas dan melanjutkan langkahnya sesuai dengan yang Fikri katakan.

Nada terus mempercepat langkahnya agar segera sampai di tujuan. Menurut pesan singkat semalam, ia berada di kelas XA. Namun, masalahnya sekarang, ia tidak tahu di mana ruangan itu berada.

"Aduh." Bersamaan dengan itu, pantat Nada mendarat sempurna di atas lantai marmer.

"Ya ... jatuh, deh. Lari-larian, sih. Ayo bangun." Manik hitamnya tertuju pada Nada yang tengah membersihkan tangan dari debu.

Nada menatap tangan yang terulur ke arahnya dan wajah cowok di hadapannya secara bergantian. "Gue bisa sendiri," ucapnya, lalu berdiri sendiri dan membersihkan bagian belakang tubuhnya.

Cowok malang tersebut menatap tangannya sendu. Untuk pertama kalinya ia diacuhkan. Kerutan di dahinya pun menguatkan bahwa saat ini ia tengah berpikir, apakah kadar ketampanannya menurun?

"Maaf, tadi udah nabrak. Gue permisi dulu." Nada berpamitan.

Kelopak mata cowok yang ditinggal Nada terpejam saat tubuh gadis itu melintasinya. Aroma parfum yang menguar dari tubuh Nada kian menumbuhkan rasa penasaran yang tak seharusnya.

"Tunggu, tunggu." Secepat kilat, cowok itu melompat ke depan tubuh Nada. "Kenapa kita nggak ke kelas bareng? Kita itu udah diciptakan untuk bersama, jadi nggak ada gunanya lagi menghindar." Angga mengedipkan matanya, lalu melirik sekilas penampilan Nada.

Seragam, masih sama dengan yang lain, hanya saja rok model flare milik gadis itu sedikit panjang, hampir sampai ke lutut. Merek tas dan sepatu juga tak luput dari pengamatannya.

Nada menyilangkan tangan di depan dada. "Ngapain ngelihatin gue kayak gitu? Jauh-jauh lo dari gue!" ucapnya, lalu berlari karena takut dengan tatapan Randi.

Nada berhenti di depan anak tangga, ia masih mengatur napas sebelum melanjutkan pencarian kelasnya. "Kayaknya gue beneran harus minta pindah, penduduknya serem-serem."

Jemarinya mengambil ponsel yang bergetar dari saku seragam. Ia segera menggeser ikon hijau setelah melihat nama siapa yang tertera di sana.

"Halo, Bundaku Sayang," sapanya.

"Halo! Kamu di mana sekarang? Bukannya ke sekolah, malah kabur." Suara dari seberang sedikit memekakkan telinga Nada.

"Siapa juga yang kabur? Nada udah di sekolah, Bunda." Gadis itu menjawab dengan begitu pelan.

"Di sekolah? Beneran? Kenapa tadi nggak pamitan? Terus tadi naik apa?"

Nada membuang napas pelan. "Iya, Bunda. Tadi Nada naik angkot. Udahan, ya, Bunda. Nada masih sibuk nyari kelas."

"Angkot??? HE—"

Ibu jari Nada segera menekan ikon merah sebelum kalimat yang diucapkan Nevi selesai. Ia sempat berpikir untuk tinggal di asrama demi meninggalkan rumah. Nada ingin hidup mandiri.

"Ada yang bisa aku bantu?"

Suara itu? Punggung cewek itu seketika menegang. Kepalanya bergerak begitu pelan sebelum akhirnya berhadapan dengan cowok yang mengusik hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro