20. Setajam Pedang yang Menusuk Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hanifah terus saja berdiri menatap benda persegi panjang yang selalu membuat wanita bertanya, siapa yang paling cantik di dunia ini? Dan tidak biasanya bibirnya menyala dengan polesan lip tint  meskipun sedikit. Tangannya terus saja membenarkan kerudung sampai menemukan posisi yang sempurna.

Fhanda yang sedang memainkan jemari, justru tidak terlalu memperhatikan Hanifah. Berbeda halnya dengan Ifayah, sehingga dia langsung bertanya, "Han, anti mau ke mana?"

Hanifah mendekat ke arah Ifayah, sehingga membuat Syaqillah yang sedang fokus membaca buku, mendadak berhenti. Sehingga dia bersama Fhanda menatap penasaran.

Hanifah membalas, "Ana ... ana akan bertemu dengan Raiz."

Plak ... hati Fhanda terasa ditampar. Detakkannya melemah bersama dengan tubuh yang membeku.

"Na'am, ana akan bertemu dengan Raiz malam ini!" tegas Hanifah. Dia menunjuk ke arah mereka. "Dan kalian harus menjadi saksi antara ana dengan Raiz."

"Tapi Han, memangnya malam ini tidak ada yang mengawasi santri?" tanya Ifayah.

Hanifah menghela nafas, dan kemudian duduk di samping Ifayah. Dia berucap, "Bukan sekarang pukul sembilan Fa. Tetapi pukul sepuluh."

Setelah lelah bergerak ke segala arah, Farid akhirnya duduk di atas ranjang. Dan terdengar suara hentakkan kaki yang bersentuhan dengan tanah.

"Antum lihat asrama santriwati apakah ada yang melanggar atau tidak?" tanya Zaman.

"Na'am Zam," balas kedua santriwan.

Kedua santriwan itu berjalan perlahan-lahan. Zaman melangkahkan kaki ke setiap kamar santriwan. Dia mengintip meskipun dari balik jendela.

"Anta sudah tidak gelisah lagi Rid?" tanya Ridwan.

"Tetap saja Wan," balas Farid.

"Satu jam lagi Rid! Satu jam lagi! Anta harus tenang," ucap Kholis.

Raiz yang sedang membaca buku langsung berkata, "Ana takut kalau ada yang mengetahuinya Rid."

"Tidak akan Iz," balas Farid.

Zaman telah sampai di pintu kamar Raiz. Telinganya sedikit mendengar percakapan dari mereka. Karena penasaran, dia mengetuk pintu dengan keras dan bertanya, "Apakah kalian semua mengobrol?"

Raiz bersama ketiga kawannya saling bertatapan, karena takut ketahuan bahwa mereka melanggar aturan.

Pintu itu terus saja diketuk Zaman.

"Bagaimana ini?" tanya Kholis.

"Kita harus pura-pura tertidur," balas Farid.

Akhirnya Raiz dan kedua kawannya menuruti ucapan Farid. Tidak ada jawaban dari dalam, Zaman melirik ke arah gorden yang sedikit terbuka, sehingga membuatnya mendekat dengan mata yang melihat-lihat ke dalam.

Dia hanya menganggukkan kepala, setelah didapati mereka semua telah tertidur.

Kedua santriwan yang bertugas mengawasi asrama santriwati, terus saja melihat dari satu kamar ke kamar yang lainnya.

"Yang lainnya sudah tertidur. Hanya tinggal kamar ini," ucap Alan.

"Mari kita lihat Lan," balas Adhi.

Hanifah yang mendengar ucapan mereka langsung menyuruh Fhanda, Syaqillah, dan Ifayah menutup mulut.

Setelah Alan dan Adhi sampai di depan pintu. Dia memantau dari arah gorden. Hanifah bersama yang lainnya berhasil membuat kedua santriwan itu menjauh.

Zaman yang berada di depan pintu kamar Raiz langsung mendekat ke arah Alan dan Adhi. Dia bertanya, "Bagaimana? Apa semuanya sudah tertidur?"

"Semuanya sudah Zam," jawab Alan dan Adhi serempak.

"Na'am," ucap Zaman.

Tapi aku merasa seperti ada yang masih terjaga, pikir Zaman.

Setelah semuanya nampak sunyi, Farid mengangkat tubuhnya perlahan. Dia berucap, "Sekarang saatnya, antum mengantarkan ana."

Raiz bangkit dan berkata, "Masih beberapa menit lagi Rid. Ana takut kalau nanti kita akan ketahuan."

Ridwan dan Kholis yang sudah terbangun menjawab secara bersamaan, "Na'am Rid."

"Hanya sebentar," pinta Farid, "ana janji."

Raiz bersama kedua kawannya mengangguk meng-iya-kan karena tidak tega melihat Farid.

Hanifah berjalan untuk mengintip luar asrama dari balik gorden.

"Di luar tidak ada siapa-siapa. Kalian harus mengantarkan ana," pinta Hanifah.

Apa yang akan Hanifah bicarakan dengan dia? pikir Fhanda.

"Tapi anti tidak boleh lama Han," pinta Ifayah.

"Na'am, hanya sebentar,"

Fhanda, Syaqillah, dan Ifayah terpaksa menuruti kemauan Hanifah. Mereka keluar secara diam-diam.

Belakang dinding asrama begitu gelap gulita. Hanya temaram dari purnama yang menyelimuti mereka. Farid sudah berada lebih dulu daripada Hanifah.

Farid terus berdiri dengan tatapan mata yang mencari-cari sosok bidadari syurgawinya. Saat Hanifah bersama yang lainnya tiba. Wajah Farid nampak bersinar di bawah cahaya purnama.

"B-bidadari syurgawi ana," ucap Farid.

Ridwan dan Kholis yang tengah duduk, mendadak berdiri secara bersamaan.

"Rid. Hanifah!" ucap Kholis.

"Ana curiga Lis, dengan sikap aneh Hanifah," balas Ridwan.

Penglihatan Raiz tertuju kepada Fhanda yang sama-sama menatapnya. Fhanda sudah berubah, Raiz bisa melihatnya dari cara dia berpakaian.

Hanifah tersenyum begitu manis sehingga membuat Farid terkesima. Tetapi Farid salah mengartikan senyuman itu untuknya.

Aku akan mengungkapkan perasaanku kepadamu Raiz, pikir Hanifah.

Farid yang masih saja mematung karena tersihir senyuman asrama, mendadak membalikkan badan saat Hanifah berjalan ke arah Raiz.

Semua mata menatap penuh tanya, termasuk Raiz. Dia tidak mengerti dengan Hanifah yang tiba-tiba saja mendekat kepadanya.

Tangan Hanifah begitu berani, menggenggam lengan Raiz di hadapan Fhanda. Lagi-lagi hati Fhanda ditampar, seakan-akan dia tidak sanggup untuk menyaksikan mereka.

Apa yang akan lo lakuin Han? pikir Fhanda.

"Sya, Hanifah mau apa?" tanya Ifayah pelan.

"Hanifah!" geram Syaqillah, "kalau sampai ada yang tahu anti menggenggam tangan Raiz. Kita semua bisa dihukum!"

"Tuh temen kalian mau ngapain sih?" tanya Fhanda dengan nada kesal.

Ridwan yang sudah mencurigai Hanifah bahwa semua itu bagaikan udang dibalik batu, langsung mendengus jijik. Dia berucap, "Lihat Rid, ucapan ana tidak salah."

Kholis langsung simpatik melihat Farid yang berdiri dengan sangat lemas. Dia berucap, "Anta yang sabar Rid."

"Seharusnya ana yang Hanifah genggam Wan, Lis...." lirih Farid.

Kenapa harus lagi dan lagi gue merasa bahwa ada sebuah pedang tajam yang menusuk hati. Gue gak bisa membiarkan Hanifah merebut dia. Akan gue buat lo jatuh cinta sama gue, pikir Fhanda.

Raiz langsung menepis tangan Hanifah yang sedikit berhasil menggenggamnya. Dia bertanya, "Apa yang anti lakukan ukhti?"

Tetapi Hanifah tidak mengerti dengan penolakkan Raiz seperti itu. Justru dia membesarkan suara dengan berucap, "Biar mereka menjadi saksi Iz."

"Saksi apa maksud anti?"

"Sa—"

Farid yang tidak terima dengan kebohongan Hanifah langsung mendekatinya. Dia bertanya, "Han, katamu ingin membicarakan sesuatu dengan ana. Lantas sekarang kenapa anti mendekati Raiz?"

Hanifah mendengus kesal karena ucapannya dipotong oleh Farid, sehingga dia membalas, "Ana hanya berpura-pura ingin bertemu dengan anta, agar anta mengajak Raiz."

"Han, ana ingin anti menjadi makmum 'ku,"

"Tapi ana tidak akan pernah menjadikan anta sebagai imam ana, Farid!"

Hanifah langsung menatap Raiz dengan cepat. Dia berkata, "Ana uhibuka ... Raiz."

~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro