24. Ini Bukan Aku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raiz mengambil Al-Qur'an untuk dibacanya. Tapi lagi-lagi dia tersenyum karena teringat bayangan Fhanda. Ridwan yang melihat senyuman itu langsung bertanya, "Iz, kenapa anta tersenyum?"

"Ana hanya teringat sesuatu saja Wan,"

"Oh iya Iz, sudah berapa juz yang anta setorkan?" tanya Kholis.

"Alhamdulillah sudah sepuluh, Lis,"

Farid yang duduk di ranjangnya langsung menepuk Raiz dengan tangannya. Dia berucap, "Hebat anta Iz."

"Shukraan Rid,"

Ketiga kawannya kembali menjalani kesibukannya masing-masing.

Apa aku balas saja surat itu. Kasian Fhanda, kalau sampai dia terus menunggu. Akan aku balas malam ini, pikir Raiz.

Fhanda dan Hanifah terus saja saling membuang muka. Saat kejadian itu, Fhanda tidak mau lagi bertegur sapa dengan Hanifah, begitu pun sebaliknya.

Ifayah memperhatikan Hanifah yang terus saja membuka lembar buku tanpa dibacanya. Sedangkan Fhanda, dia justru menggerakkan pena di atas kertas sekenanya.

"Fa, kenapa kamar ini mendadak sepi?" sindir Syaqillah.

"Na'am Sya. Mungkin hanya kita berdua saja yang berada di sini," balas Ifayah.

Fhanda dan Hanifah justru saling mendelik bersamaan. Ifayah tidak bisa membiarkan mereka terus saja seperti itu, sehingga Ifayah berdiri untuk menarik tangan Hanifah dan Fhanda.

"Fa, mau apa anti?" tanya Hanifah.

Fhanda menepis tangan Ifayah dan bertanya, "Lo mau ngapain sih Fa?"

Ifayah kembali urungkan niatnya, dia tidak lagi menarik tangan mereka. Ifayah kembali duduk di samping Syaqillah dan berucap, "Ana tidak tahan, melihat kelakuan antuma seperti ini."

"Antuma bertengkar hanya karena seorang akhi, na'am?" tanya Syaqillah dengan nada tinggi.

"Tapi ana yang lebih dulu menyukai Raiz," ucap Hanifah. Tangannya menunjuk ke arah Fhanda. "Jadi dia tidak berhak menyukai Raiz!"

Fhanda menepis telunjuk Hanifah. Dia berucap, "Gue juga berhak buat deketin dia!"

"Kalian tidak akan bisa memiliki Raiz. Karena Raiz masih milik Allah dan ibunya," ucap Ifayah.

"Tapi kita berhak mencintainya!" ucap Fhanda dan Hanifah bersamaan.

Ifayah dan Syaqillah justru terdiam melihat mereka.

"Dih, ngapain lo ngikutin ucapan gue?" tanya Fhanda.

"Siapa juga, yang mengikuti ucapan anti," delik Hanifah.

Fhanda menarik selimut dan menutupkannya ke seluruh tubuh. Begitu pun dengan Hanifah yang langsung membaringkan tubuh.

Syaqillah dan Ifayah menepuk jidat. Mereka sama-sama melemparkan tubuh karena malam telah tiba.

Raiz pura-pura tertidur di saat ketiga kawannya sudah terlelap. Dia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas. Tangannya mencoba menahan tubuh untuk disandarkan ke dinding. Dia mengambil kertas dan pena dari laci dengan perlahan-lahan.

'Assalamualaikum ukhti. Mungkin kamu sudah mengetahui namaku. Maaf, kalau aku hanya membaca surat-surat darimu tanpa membalasnya. Alhamdulillah kamu sudah berubah. Tapi hanya saja ucapanmu yang masih ke kota-kotaan. Kalau kamu mau menerima nasehat dariku, ubahlah cara bicaramu. Jika tidak bisa menggunakan bahasa arab, maka gunakanlah bahasa yang sopan.' Tulis Raiz.

Raiz berjalan untuk memberikan surat itu kepada Fhanda. Fhanda membuka selimutnya perlahan-lahan, dia melihat ke arah ketiga kawannya. Fhanda bangun dan beranjak untuk membuka jendela sedikit. Tanpa Fhanda ketahui, Raiz sedang berjalan ke arahnya.

Alhamdulillah jendelanya terbuka, jadi ana bisa melemparkannya tepat kepada Fhanda, pikir Raiz.

Raiz kembali setelah surat itu mendarat. Fhanda mendapati surat itu yang menyentuh lantai. Dia mengambil dan membacanya. Tidak henti-hentinya Fhanda terus saja tersenyum.

Mentari bersinar dengan ceria. Angin-angin berembus membawa semerbak bunga sampai mengelilingi pesantren. Senyuman Fhanda sudah sama seperti mentari. Fhanda, Ifayah, dan Syaqillah berjalan menuju kelas tanpa Hanifah.

Hanifah yang berjalan paling belakang, membuat Ustadzah Nurul mendekatinya.

"Assalamualaikum Hanifah," ucap Ustadzah Nurul.

"Wa'alaikumsalam Ustadzah," balas Hanifah.

"Ustadzah mau minta tolong, Hanifah tolong bantu Ustadzah bawakan kitab ke kelas ya!"

"Na'am Ustadzah. Kitab-kitabnya di ruangan Ustadzah 'kan?"

"Na'am Han. Mari,"

"Mari Ustadzah,"

Setelah tiba, Fhanda duduk di kursi dan menghadap ke arah papan tulis. Ifayah dan Syaqillah berjalan ke arah mejanya.

Bahasa yang sopan ... oke, gue akan rubah cara bicara gue. Meskipun gue agak geli, tapi gak apa. Asalkan demi lo, gue siap kok, harus rubah apa aja. Asalkan lo bisa jatuh cinta sama gue, dan gue akan tetap deketin lo, sampai lo takluk Raiz, pikir Fhanda.

"Hayo lagi mikirin apa?" tanya Ifayah.

Fhanda melirik ke segala arah. Tanpa disadari bukan hanya dia yang berada di kelas, tetapi kawan-kawan yang lainnya juga.

"Kenapa Fa?" tanya Fhanda. Dia merapikan wajah dengan tangannya. "Gue gak lagi mikirin apa-apa kok."

"Serius?"

"Iya Fa!"

Ifayah merasa seperti ada yang kurang di antara mereka. Hanifah. Ya, Hanifah tidak bersama mereka.

"Sya, bukannya Hanifah tadi bersama anti?" tanya Ifayah.

"Tidak Fa," balas Syaqillah.

"Assalamualaikum. Shobahal khoir," ucap Ustadzah Nurul di ambang pintu.

"Wa'alaikumsalam. Shobahaanur Ustadzah," balas santriwati bersamaan.

Fhanda melirik ke arah Ustadzah Nurul. Hanifah berjalan di belakang dengan membawa beberapa kitab. Belum saja Fhanda melirik ke arah matanya, Hanifah sudah mendelik jijik.

Ifayah yang mengetahui itu langsung berucap, "Astagfirullah, kelakuan anti Han."

Syaqillah yang mendengarnya, menepuk ke arah bahu Fhanda. Dia berujar, "Sudah Fhan, anti jangan memperpanjangnya lagi. Itu hanya akan merusak tali silaturahmi di antara kita."

Fhanda melirik ke arah tangan Syaqillah yang masih berada di bahunya. Dia berpikir, Gue akan terus berusaha deketin Raiz.

Sama halnya dengan Fhanda. Wajah Raiz justru lebih bersinar dari mentari pagi. Bibirnya terus saja melebarkan senyum, berikut juga hatinya yang tidak bisa berhenti bergemuruh, karena pikirannya yang selalu dibayang-bayangi Fhanda.

Ada apa dengan aku ini? Aku selalu teringat dengan wajahnya. Sampai-sampai, pikiranku saja dipenuhi senyumannya, pikir Raiz.

Satu persatu santriwan yang sudah menyetorkan hafalan, kembali ke kursi masing-masing.

Ustadz Ramdan melihat nama-nama santriwan dan menunjuknya. Telunjuknya berhenti tepat kepada nama Raiz. Dia bertanya, "Tidak biasanya Raiz melambat-lambatkan hafalan. Dia selalu saja menjadi yang pertama. Tapi kenapa sekarang dia melalaikannya?"

Tapi aku tidak bisa membohongi hatiku. Dia merasa nyaman dan sangat peduli terhadap Fhanda. Aku senang kalau bisa menasehatinya, pikir Raiz.

Ustadz Ramdan melirik ke arah Raiz. Dia berpikir, Apa yang membuat Raiz tersenyum bahagia seperti itu?

"Raiz," panggil Ustadz Ramdan.

Ah, ada apa dengan aku ini. Rasanya ini bukan aku, kenapa aku selalu saja memikirkannya? Bagaimana bayang dan senyummu bisa masuk ke dalam pikiranku? pikir Raiz.

"Raiz!" ulang Ustadz Ramdan.

Farid, Ridwan, dan Kholis saling pandang. Mereka kemudian beralih menatap Raiz secara bersamaan.

"Iz, Ustadz Ramdan memanggilmu," ucap Ridwan.

Raiz tersadar dan menghentikan senyumnya. Dia bertanya, "Limada Ustadz?"

~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro