27. Kalah Atau Teguh Kepada Prinsip?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raiz menundukkan wajah dalam, karena mendengar pertanyaan Ustadz Ramdan.

Apa yang akan aku katakan kepada Ustadz Ramdan? Apa aku jujur saja? pikir Raiz.

"Apa yang sedang anta pikirkan, Raiz?" tanya Ustadz Ramdan. Dia memegang bahu Raiz. "Ceritakan semuanya, insya Allah Ustadz akan membantu."

Lebih baik aku jujur saja, pikir Raiz.

"Ada masalah apa dengan anta Raiz?" ulang Ustadz Ramdan.

Raiz mengangkat kepala dan menghela nafas dalam. Matanya nampak berbinar menatap ke arah Ustadz Ramdan.

"Ana telah kalah Ustadz...." lirih Raiz.

Hati Ustadz Ramdan tidak bisa dibohongi, dia benar-benar tahu bahwa ada seseorang yang mengusik pikiran Raiz. Sehingga dia bertanya, "Kalah dari ukhti maksud anta, Raiz?"

"Na'am Ustadz. Ana terus berusaha keras untuk bisa fokus, tetapi hati dan pikiran ini selalu menentang. Dia terus saja kukuh untuk memikirkannya. Sampai-sampai ... ana sudah tidak bisa memendamnya lagi Ustadz,"

"Siapa nama ukhti itu Raiz?"

Raiz kembali menunduk, dia membalas, "F-Fhanda Ustadz."

"Astagfirullah Raiz. Pantas saja Ustadz melihat perubahan drastis yang terjadi kepadamu. Akhir-akhir ini anta selalu terlambat menyetorkan hafalan. Ustadz lihat yang lain bersemangat, tetapi anta selalu melalaikannya. Ustadz juga melihat anta selalu melamunkan sesuatu dan kemudian tersenyum malu,"

"Maafkan ana Ustadz. Ana telah dikalahkan oleh perasaan yang memang memaksa hati,"

Ustadz Ramdan beranjak dan sedikit berjalan. Tangannya mengambil kitab yang kemudian dibukanya. Dia berujar, "Itu adalah godaan Raiz. Anta sedang diuji dan dicoba. Keinginan anta yang jauh lebih besar, tidak akan berjalan mulus begitu saja. Pasti selalu ada rintangan dan halangan. Anta telah dibayang-bayangi masa depan Raiz. Anta telah masuk ke dalam perangkap yang akan terus menjerumuskanmu, ke dalam hal-hal yang tidak sepantasnya anta dapatkan,"

Raiz menghadap ke arah Ustadz Ramdan. Dia bertanya, "Tapi kenapa ana selalu memikirkannya Ustadz?"

"Itu semua karena sikap dia, yang terus mengusik anta Raiz. Ingat Raiz, memandang yang bukan mahrom itu haram. Mencintai dia melebihi kecintaan kita kepada Allah, itu juga tidak boleh Raiz,"

Satu butir air mata berhasil meloloskan diri. Raiz terdiam dan mengusap kasar wajahnya. Hatinya kembali bergetar hebat.

"Ustadz memberikan petuah untuk membantumu agar terbangun, dan tersadar dari bayangan masa depan, Raiz. Dia bukan milikmu. Hapuslah ingatan dan bayangan itu dalam benakmu. Cobalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, perbanyak istighfar atas kekhilafanmu. In sya Allah, anta akan terlepas dari usikkannya,"

Raiz membisu, hanya hatinya yang terus bergemuruh. Perkataan demi perkataan Ustadz Ramdan membuat Raiz tersadar. Seolah-olah Raiz sedang tertidur dalam bayangan masa depan.

"Ustadz yakin, anta pasti bisa menghilangkan perasaan itu Raiz. Teruslah gapai keinginanmu. Dan enyahkan dia dari benakmu!" tegas Ustadz Ramdan.

Ucapan Ustadz Ramdan benar. Aku menyadari perubahan yang ada dalam diri. Tidak. Aku tidak boleh lemah hanya karena ukhti, yang sama sekali belum menjadi mahrom dan milikku. Aku akan terus menggapai mimpi itu, pikir Raiz.

"Berubahlah, sebelum dia merasuki pikiran dan hatimu lebih dalam lagi, Raiz!"

"Na'am Ustadz, shukraan. Ana akan berusaha memperbaikinya. Kalau begitu ana pamit Ustadz, assalamualaikum,"

"Wa'alaikumsalam,"

Seakan-akan jiwa yang telah hilang kembali masuk ke dalam diri Raiz. Ucapan Ustadz Ramdan menyadarkan Raiz. Dia berjalan menuju asrama santriwan tanpa melamunkan Fhanda lagi. Pikirannya yang dulu direnggut, kini telah kembali. Hatinya sudah tidak bisa digoyahkan lagi.

Raiz masuk ke dalam kamar yang sudah terdapat ketiga kawannya. Ridwan mendekat dan berkata, "Iz, anta akan memilih yang mana?"

Raiz dibuat kaget akan pertanyaan Ridwan. Farid justru langsung menggaruk tengkuk, dengan menunjukkan baris giginya.

"Kalah atau tetap teguh kepada prinsip, Iz?" tanya Kholis.

"Dari mana antuma tahu?" tanya Raiz.

"Ana yang menceritakan semuanya Iz. Kita di sini sudah seperti keluarga, jadi jangan ada yang anta tutupi dari kita," balas Farid.

Ridwan mengajak Raiz untuk duduk dan menceritakan semuanya. Kholis yang sudah mengetahui lebih dulu dari sikap Raiz, tidak terlalu banyak berkata-kata.

"Ana akan tetap teguh memegang prinsip itu!" tegas Raiz.

"Ana yakin, anta pasti bisa melalui godaan ini Iz," ucap Ridwan.

"Bismillah Wan. Ana akan terus mengingat Allah, supaya ana bisa menghapus bayangannya,"

Kholis dan Farid bersamaan menepuk bahu Raiz.

Fhanda dan Hanifah sudah kembali seperti biasa. Walaupun tanpa Hanifah ketahui, Fhanda terus saja mengharapkan Raiz.

"Fhan, apakah anti sudah menghafal pelajaran untuk ujian besok?" tanya Ifayah.

"Jangan kamu tanya Fa, mana pernah aku menghafal," balas Fhanda.

Syaqillah yang sedang membaca, mendadak berhenti karena mendengar ucapan Fhanda. Dia bertanya, "Tadi anti bilang, 'aku' Fhan?"

Fhanda sedikit gelagapan, dia membalas, "Y-ya g-gak apa-apa dong."

"Ya sudah lebih baik gini aja. Kita manggilnya aku kamu aja, gimana?" tanya Hanifah.

"Nah setuju. Daripada harus pakai anti, ana," balas Fhanda.

"Na'am, kita pakai itu aja!" perintah Ifayah.

Semua santriwan dan santriwati terus berbincang. Dan yang terdengar, mereka membicarakan soal ujian tadi. Syaqillah membuka suara di tengah-tengah keheningan ketiga kawannya. Dia berujar, "Semua santriwan dan santriwati juga sama-sama membicarakannya. Memang soal tadi lumayan sulit."

"Nah na'am Sya. Ana saja sampai lupa jawabannya," ucap Ifayah.

"Aku Fa!" tegur Fhanda dan Hanifah bersamaan.

Ifayah tertawa dan membalas, "Iya-iya, aku."

"Gitu dong," pungkas Fhanda.

Tawa mereka begitu lepas, sampai-sampai mencuri perhatian Raiz. Disela-sela tawanya, Fhanda memandang ke arah Raiz. Dia melebarkan senyum yang begitu manis. Tapi Raiz tidak akan membalasnya, meskipun dengan senyuman ataupun pandangan lagi. Secepat kilat Raiz langsung mengalihkan untuk berbincang-bincang dengan ketiga kawannya.

Fhanda terdiam di saat yang lainnya tertawa. Dia berpikir, Apa yang membuat Raiz seperti itu? Tidak biasanya dia mengalihkan pandangan. Dia selalu membalas senyumku. Tapi sekarang, apa yang merubah Raiz menjadi seperti itu?

"Fhan, kamu sedang melihat siapa?" tanya Ifayah.

"Tidak kok Fa, tidak ada siapa-siapa," balas Fhanda singkat.

"Serius Fhan?" goda Syaqillah.

Hati Raiz terus berbisik untuk memandang ke arah Fhanda. Dia tidak bisa langsung melupakan Fhanda begitu saja, meskipun terus mencoba menghilangkan bayangannya. Dengan berat hati, Raiz memandang ke arah belakang. Dia mendapati Fhanda yang kembali berbincang dengan kawannya.

Maafkan aku Fhanda. Aku harus terus bersikap seperti ini, agar kamu menjauh dan tidak mengusikku, ada keinginan yang jauh lebih besar, daripada terus memikirkanmu, pikir Raiz.

Farid yang mengetahui Raiz memandang ke belakang, langsung menyadarkannya dengan menyenggol lengan Raiz. Dia berkata, "Dia tidak ada artinya bagimu, Iz."

"Kita akan selalu mengingatkanmu untuk tidak memandangnya!" tegas Kholis.

~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro