30. Bila Nanti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entah Fhanda tahu artinya atau tidak. Ucapannya sungguh membuat Raiz melemah. Matanya berbinar dengan perasaan yang bimbang.

Antara prinsip dan bayangan masa depan? Hatiku sungguh dibuat resah. Tidak. Aku tidak akan mengecewakan ibu. Akan 'ku buang perasaan ini, pikir Raiz.

Fhanda menyadarkan lamunan Raiz, dan bertanya, "Kenapa kamu terdiam?"

"Lebih baik kamu menjauh!" tegas Raiz, "enyahkan dirimu dari hadapanku. Karena ada keinginan yang lebih besar, yang sedang aku perjuangkan ... dan itu bukan kamu!"

Fhanda menghadap ke arah Raiz. Dia berhasil membuat Raiz menatapnya. Fhanda berkata, "Tetapi aku sungguh menyukaimu!"

Raiz kembali menjauh dari Fhanda. Dia menjawab, "Maaf ukhti. Untuk saat ini aku akan teguh kepada prinsip, agar fokus dalam menghafal. Karena itu adalah jalan menuju keinginanku, dan akan kubuang perasaan ini. Bila nanti ... kita memang ditakdirkan. Aku tidak akan menyuruhmu pergi atau pun menghilang. Aku akan tetap menggenggammu ... tapi bukan sekarang. Melainkan nanti ...  jika memang itu terjadi."

Hati Fhanda terjatuh seketika. Bibirnya keluh dengan mata yang berbinar. Dia hanya menatap lemas ke arah Raiz yang memang tidak memandangnya lagi. Lantas Fhanda berucap, "Kamu telah merubahku Raiz. Jadi aku mohon ... jangan memaksaku untuk menjauh, apalagi mengubur perasaan ini."

"Kamu seharusnya berubah dan berhijrah karena Allah Fhanda. Bukan karena 'ku. Aku telah salah dan berdosa karena memandangmu, sampai aku dibuat tak berdaya karena hadirnya perasaan ini,"

"Tapi aku tetap tidak akan menyerah Raiz. Aku butuh kamu...."

Raiz melangkah untuk pergi meninggalkan Fhanda. Dia berucap, "Aku tegaskan sekali lagi! Menjauhlah dariku Fhanda ... assalamualaikum."

Raiz terus berjalan di saat Fhanda masih berdiri menatapnya. Karena merasa ditinggalkan oleh Raiz. Farid, Ridwan, dan Kholis menyusulnya.

Hanifah, Syaqillah, dan Ifayah mendekat ke arah Fhanda. Hanifah bertanya, "Fhan, apa yang kalian berdua bicarakan?"

Hening. Tidak ada jawaban dari Fhanda. Dia lebih memilih melangkah pergi menuju asrama. Sehingga ketiga kawannya mengikuti dari belakang.

Semua santriwan dan santriwati berucap syukur, dengan langkah keluar dari kelas. Raiz duduk di kursi sedangkan ketiga kawannya masih berdiri.

"Alhamdulillah itu adalah ujian terakhir kita. Dan besok ... hari kenaikan bagi kita!" tegas Farid.

Kholis menyenggol lengan Farid. Dia bertanya, "Kenaikan apa maksudmu Rid?"

Ridwan merangkul ke arah Farid dan Kholis. Dia membalas, "Sudah pasti kenaikan kelas Lis. Anta ini."

Farid dan Kholis saling tatap dan kemudian tertawa bersamaan. Ridwan menatap bingung ke arah keduanya.

Raiz beranjak dan berucap, "Ana akan menyetorkan hafalan dulu."

"Na'am Iz," balas mereka bersamaan.

Fhanda melihat dengan jelas, Raiz melintas di hadapannya. Bibirnya terus saja melebarkan senyum, tetapi sia-sia saja. Raiz terus berjalan tanpa melihatnya lagi.

Raiz menyetorkan hafalan kepada Ustadz Ramdan yang berada di ruangannya. Untunglah hanya beberapa juz yang tersisa, sehingga tidak membuatnya lama.

Saat Raiz ingin kembali ke asrama. Tiba-tiba saja Zaman mendekat dan berucap, "Ada kiriman uang dari ibumu, Raiz."

Raiz menatap ke arah Zaman. Dia berpikir, Ibu benar-benar mengirimkannya.

Tangan Zaman terus diulurkan dengan memegang amplop. Raiz mengambilnya dan membalas, "Shukraan Kak."

Zaman mengangguk. Sehingga Raiz berjalan meninggalkannya.

Di sepanjang langkah menuju asrama, Raiz terus saja memikirkan ibunya. Ketiga kawannya sudah berada di dalam kamar. Raiz duduk dengan wajah yang bimbang.

"Iz, ada apa lagi dengan anta?" tanya Ridwan.

"Anta masih memikirkan Fhanda?" tanya Farid.

Raiz menggelengkan kepala, sehingga membuat kawannya terdiam.

Raiz masih terjaga di saat kegelapan datang. Sedangkan ketiga kawannya sudah terlelap.

Aku harus menemui ibu, pikir Raiz.

Tangannya mengambil beberapa pakaian yang kemudian dimasukkannya. Karena terus membuat kebisingan, Ridwan terbangun karena mendengarnya.

"Iz, anta mau ke mana?" tanya Ridwan.

Tubuh Raiz bergerak kaget. Dia membalas, "Ana akan menemui ibu, Wan."

Ridwan melirik jam dinding. Dia bertanya, "Anta akan ke Buahbatu tengah malam seperti ini, Iz? Istighfar Iz!"

Hati Raiz mendorong untuk  menghentikan tangannya. Matanya melirik jam dinding. Ucapan Ridwan benar.

"Tapi ana khawatir dengan ibu...."

"Besok saja. Setelah kenaikan kelas, anta boleh izin untuk pulang!" tegas Ridwan. Dia kembali membaringkan tubuh. "Lebih baik anta tidur dulu Iz."

Ridwan kembali menutup mata. Tetapi Raiz masih saja terjaga.

Suara sepiker yang terus dicek berkali-kali membuat Farid terbangun. Tangannya mengucek-ucek mata karena masih kabur. Ridwan dan Kholis terbangun bersamaan.

"Awal sekali anta bangun Iz," ucap Kholis.

Tidak ada jawaban dari Raiz. Wajahnya yang pucat dengan lingkaran hitam di mata, membuat Ridwan bertanya, "Anta belum tidur Iz?"

"Bagaimana ana bisa tertidur Wan. Ana cemas dengan ibu...." lirih Raiz.

Farid mendekat dan memegang bahu Raiz. Dia berucap, "Lebih baik kita hadiri dulu kenaikan kelas Iz."

"Setelah itu anta boleh menemui ibumu," sambung Kholis.

Raiz menghela nafas dalam. Dia menggelengkan kepala supaya pusingnya hilang. Tetapi tetap saja, karena memang dirinya tidak terlelap.

Fhanda, Hanifah, Syaqillah, dan Ifayah sudah duduk di kursi santriwati. Fhanda menatap ke sekeliling. Sehingga membuat Ifayah bertanya, "Kamu mencari siapa Fhan?"

"Raiz Fa," balas Fhanda.

Kyai Zaelani bersama Ustadz dan Ustadzah sudah berada di samping panggung. Kyai Zaelani berjalan dan sampai di depan mimbar. Dia berucap, "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab santriwan dan santriwati bersamaan.

"Alhamdulillah untuk kelas sepuluh dan sebelas, hari kemarin kalian sudah melaksanakan ujian kenaikan kelas. Dan untuk kelas dua belas, alhamdulillah kalian sudah lulus dari pesantren. Sebelum memasuki acara perpisahan, Kyai akan memanggil Ustadz Ramdan untuk memberikan beberapa pengumuman,"

Ustadz Ramdan menghampiri Kyai Zaelani, dia langsung berdiri menghadap mimbar setelah Kyai Zaelani memundurkan langkahnya.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucap Ustadz Ramdan.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," balas santriwan dan santriwati bersamaan.

"Alhamdulillah, Ustadz akan mengumumkan santriwan dan santriwati yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Kairo. Tanpa berlama-lama lagi, Ustadz akan panggilkan dari santriwan terlebih dahulu. Kepada Raiz Dzikrullah, Ustadz persilakan,"

Lapangan itu riuh dengan tepukkan tangan.

"Alhamdulillah, Raiz mendapatkan beasiswa itu," ucap Hanifah.

"Na'am Han, alhamdulillah," lanjut Syaqillah.

Di mana kamu Iz? pikir Fhanda.

"Raiz Dzikrullah!" tegas Ustadz Ramdan.

Farid yang mendengar nama Raiz terus dipanggil, mengajak Raiz dengan sangat tergesa-gesa.

"Raiz Dzikrullah!" ulang Ustadz Ramdan.

"Raiz di sini Ustadz," pekik Farid.

"Silakan kemari Raiz. Anta berhasil mendapatkan beasiswa tersebut," lanjut Ustadz Ramdan.

Bibir Fhanda melebarkan senyum mendengar keberadaan Raiz. Matanya memandang ke arah Raiz yang berjalan di antara kursi santriwan dan santriwati.

Langkah Raiz terasa melayang. Penglihatannya mendadak kabur dengan badan yang sudah melemah.

Fhanda yang melihat Raiz jatuh pingsan, langsung berteriak, "RAIZ!"

TAMAT.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro