1. Mantan Idola

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Buat kalian."

Dua gadis yang sama-sama sedang fokus pada laptop di depannya itu serempak mendongak. Menatap wanita berambut sebahu yang biasa mereka panggil Mbak Dewi, lalu beralih pada dua kertas yang tadi diletakkan di atas meja.

"Ini ...." Kalimat tanya yang belum tuntas itu urung terucap saat sebuah tendangan mendarat di betis Anna. Gadis itu mengaduh sembari mendesis sebal pada pelaku yang malah menunjukkan cengiran.

"Ini voucher makan gratis, nggak bisa baca apa lo?" ujar Sinta tanpa memedulikan gerakan tangan Anna yang sedang mengelus betisnya. Gadis berambut ikal itu malah memilih untuk membaca voucher makan gratis yang tadi ia terima. Bertanya pada Dewi, seniornya yang terkenal sangat amat pendiam itu juga percuma. Apalagi jika wanita itu sudah membuka laptop di depannya, satu tanda jika dia tidak boleh diganggu kecuali untuk urusan pekerjaan.

"Ini kayaknya rumah makan depan, deh, Na," lanjutnya sembari memperlihatkan alamat yang tercantum di sana.

Yang diajak bicara pun membaca nama rumah makan yang tertulis, lalu melongok ke bawah melalui jendela kaca kantornya yang membentang lebar. Karena rumah makan yang Sinta maksud memang berada di depan kantor notaris tempat mereka bekerja kini. Letak kantor yang berada di lantai dua, membuatnya langsung bisa membaca nama rumah makan yang jelas terlihat dari tempat Anna kini duduk. 

"Rumah dahar," gumam Anna membaca plang yang tertempel besar di atas pintu rumah makan tersebut.

"Bener, kan?" tanya Sinta yang dijawab anggukan oleh sahabat sekaligus teman kantornya itu.

"Mbak Dewi lagi kenapa, deh. Ngasih voucher makan gratis buat kita," bisik Sinta yang dihadiahi toyoran oleh Anna. Secara yang dibicarakan sekarang sedang duduk tidak jauh dari mereka. Suasana kantor yang hening, tidak menutup kemungkinan jika Dewi bisa mendengar ghibahan mereka. Yah, walaupun pada akhirnya tidak akan ada yang terjadi, karena Dewi memang bukan tipe orang yang akan membuka suara kecuali itu mengenai pekerjaan.

"Makasih ya Mbak Dewi!" teriak Anna yang hanya diacungi jempol oleh wanita itu. Sementara Sinta memilih kembali melanjutkan pekerjaannya agar bisa segera makan gratis. Ah, kantongnya aman hari ini. Setidaknya dia hanya perlu memikirkan untuk makan malam ibunya sepulang dari kantor nanti.

*

"Ini masih berlaku kan, ya?" gumam Anna saat keduanya sudah berdiri di depan rumah makan. Sinta yang sudah hapal tabiat sahabatnya itu hanya berdecak. Anna memang sering meragukan banyak hal. Dari yang paling sepele, apalagi sesuatu yang besar. Tipe gadis ribet menurut Sinta.

Sinta yang malas berdebat memilih merebut voucher yang Anna pegang, lalu segera melangkah masuk. Anna yang terkejut masih berdiri di tempatnya. Tadinya berniat menyusul, tapi urung saat Sinta terlihat menghampiri salah satu pelayan rumah makan. Seperti sedang menanyakan sesuatu, sebelum kembali menoleh ke arahnya dengan wajah semringah.

"Beneran gratis woi!" Anna meringis malu mendengar teriakan itu. Meski sudah sering menghadapi tingkah Sinta yang seringnya memang tidak tahu malu, tapi tetap saja ada rasa tidak enak saat mata beberapa pengunjung kini melihat ke arah mereka. Anna sudah siap putar badan untuk kabur kalau saja tangan Sinta tidak menariknya paksa untuk masuk ke dalam. Kecepatan langkah sahabatnya itu memang sering tidak terduga. Apalagi jika sudah berurusan dengan gratisan makanan.

Keduanya memilih duduk di bangku dekat dengan jendela. Ada taman kecil yang menjadi pemandangan indah saat mereka menatap keluar.

"Mbak ini vouchernya beneran bisa dipakai, kan?" tanya Sinta saat pelayan datang. Anna yang mendengar itu nyaris menenggelamkan kepalanya pada buku menu.

Untung saja pelayan yang datang adalah wanita. Dan lebih beruntungnya lagi pelayan itu tersenyum ramah dan menjawab iya. "Itu memang sengaja dibagi untuk karyawan kantor sekitaran sini kok, Mbak. Buat promosi," imbuh sang pelayan yang hanya ditanggapi oh panjang oleh Sinta.

"Sekali-kali nggak malu-maluin kenapa si, Sin?" protes Anna setelah pelayan pergi untuk menyiapkan pesanan mereka. Sinta seperti biasa, memasang wajah masa bodo tidak terpengaruh oleh protesan Anna.

"Kan biar elu percaya, Anna. Lagian kan tadi gue nanya bener, malu-maluin di segi mananya?"

Anna memilih tidak menjawab. Karena tidak akan pernah ada kata menang jika sudah berdebat dengan Sinta.

"Eh, Na. Katanya owner-nya ganteng loh." Kalimat itu mau tidak mau menarik perhatian Anna yang sedang mengamati interior rumah makan yang bernuansa jawa ini. Ada beberapa patung wayang kulit yang tertempel di dinding. Juga beberapa barang antik yang sengaja dijadikan pajangan. Anna jadi merasa seperti berada di Jogja. Ditambah dengan musik gamelan yang mengalun lirih. Suasana tempat yang sudah nyaman ini makin terasa tenang.

"Orang ganteng nggak bikin kenyang, Sin," jawab Anna datar menanggapi ocehan Sinta. Dia memang paling enggan membicarakan hal-hal semacam itu.

Sinta hanya bisa mencibir setiap kali Anna sudah pada mode menyebalkan seperti ini. "Pantesan aja jomlo terus."

Anna bukan tidak mendengar guamaman itu, hanya saja memiliih untuk tidak membahasnya dan lebih baik mengalihkan topik.

"Raldi gimana?" tanya Anna saat mengingat apa yang Sinta ceritakan kemarin. Tentang niat sahabatnya itu untuk membawa kekasihnya ke rumah. Dan memperkenalkan pada sang ibu.

"Nggak tahu gue, Na. Masih ragu buat bawa dia ke rumah. Gue takut." Sinta yang seringnya tampil percaya diri, akan terlihat menciut jika sudah membahas hal seperti ini.

"Kalau dia beneran cinta sama lo. Dia harus mau dong terima lo apa adanya," ujar Anna mencoba menambah kepercayaan diri Sinta. Dan menurutnya, pria sejati itu memang harus berani menerima kekurangan pasangan. Kekurangan dalam hal apapun.

Sinta tidak merespon, karena apa yang dikatakan Anna memang benar. Tapi dia belum siap jika harus kehilangan Raldi untuk saat ini. Karena bukan sekali dua kali pria yang dekat dengannya kabur, saat melihat kondisi hidup yang ia jalani.

"Sebelum semuanya berjalan lebih jauh lagi, Sin. Sebelum ...."

"Bisa nggak si, Na, kita ngomongin ini entar. Napsu makan gue bisa ilang. Kan sayang makanannya, Na."

Anna hanya bisa tertawa geli mendengar kalimat itu. Tapi tetap mengangguk. Mereka bersahabat sudah sangat lama, sedari kecil. Atau malah bisa dibilang semasa dari dalam perut, karena kedua orangtua mereka bersahabat dari saat masih SMA. Lawakan yang baru Sinta lontarkan hanyalah isyarat, jika sahabatnya itu sedang tidak ingin membahas hal itu. Dan sebagai sahabat yang baik, Anna hanya bisa menuruti. Dan dia siap mendengarkan apapun cerita yang akan Sinta bagi.

Keduanya menghentikan sejenak obrolan saat pelayan datang membawakan pesanan mereka.

"Mbak, katanya yang punya resto ganteng, ya?" Anna mendesis kesal pada Sinta yang lagi-lagi berulah.

"Apa si, Na." Sinta seperti biasa, tidak pernah merasa jika apa yang ia bicarakan itu seringnya memalukan.
"Mbaknya juga nggak masalah ditanyain," lanjutnya sembari menoleh ke arah pelayan wanita yang hanya tersenyum geli.

"Mbak nilai sendiri, deh. Itu yang punya, nanti juga bakal ke sini, kok. Saya permisi."

Keduanya pun sontak menoleh ke arah pelayan tadi menunjuk, dan menemukan seorang pria tengah berdiri sembari mengobrol ramah dengan beberapa pengunjung.

"Ih, beneran ganteng, Na."

Anna yang mendengar ucapan itu langsung menoleh dengan kening berlipat. "Baru keliatan punggungnya doang, Sin. Ganteng dari mananya?" Gadis itu menggelengkan kepala dan memilih mulai menyantap makanan yang terhidang.

"Orang ganteng mah, diliat dari punggungnya juga udah keliatan auranya, Na."

Anna memilih untuk tidak menanggapi karena seperti yang ia bilang, dia tidak terlalu suka membahas yang berhubungan dengan pria tampan. Bukan berarti dia memiliki orientasi yang memyimpang. Anna normal, anya saja, dia bukam tipe gadis yang akan terang-terangan memperlihatkan rasa sukanya.

"Dia ke sini, Na," pekik Sinta dengan salah tingkah. Dan langsung pura-pura menyantap makanan. Sementara Anna masih bersikap masa bodoh, sampai ....

"Selamat siang." Suara berat itu menyapa keduanya dan menciptakan dua ekspresi. Sinta dengan senyuman manis yang dibuat-buat, melupakan sejenak kenyataan jika dia sudah memiliki nama Raldi sebagai kekasih. Dan Anna, gadis itu mematung untuk sejenak. Sebelum akhirnya melempar pandang ke arah lain, saat senyuman dengan dua lesung pipi itu tertuju ke arahnya.

"Bagaimana pelayanan kami?" Anna masih memilih melempar pandang ke arah lain. Bukan karena tidak sopan, tapi dia sedang mencoba menyembunyikan rona merah yang pasti tercetak jelas di pipinya. Belum lagi jantungnya yang mulai berulah di dalam sana. Berdetak begitu cepat hingga membuat sekujur tubuhnya nyaris bergetar. Kalau saja bisa, ia akan memilih kabur. Tapi Anna yakin itu akan memalukan, karena dia tidak yakin bisa berjalan dengan benar.

Anna memilih diam dan membiarkan Sinta memberi jawaban dari pertanyaan basa basi yang pria itu lontarkan.

"Dih, yang terpesona," goda Sinta sembari berdecih saat sosok pria pemilik rumah makan ini sudah pergi setelah selesai berbasa basi. "Nggak sopan banget si, Na. Orang ramah gitu dicuekin."

Anna mengembus napas pelan, mencoba menetralkan detak jantungnya yang masih menyisakan debaran hebat. Mengipas-ngipas pipinya yang masih memanas. Bahkan dia baru sadar jika sedari tadi tengah menahan napas semenjak melihat sosok pria yang memperkenalkan diri bernama Rahadi Andrean itu.

"Lo kenapa, deh, Na?" Sinta terkikik geli melihat tingkah aneh sahabatnya ini.

"Lo beneran nggak ngenalin dia, Sin?"

Sinta mengerutkan kening sembari menggeleng. "Emang kita kenal?"

"Rahadi Andrean. Andrean, Sin!"

Kening Sinta kembali mengerut, mencoba mengingat nama itu. Rasanya memang tidak asing. Lalu saat ingatan itu melintas, matanya melebar. "Andre yang itu?"

Anna mengangguk.

"Andre kakak kelas kita dulu?"

Anna kembali mengangguk. Bibirnya membentuk lengkungan tipis, saat mengingat senyuman tadi sempat ditujukan ke arahnya.

"Cie Anna, ciee!" Sinta tergelak dan terpaksa Anna bungkam mulut gadis itu dengan tangannya. Tapi Sinta segera menepisnya.

"Jangan malu-maluin deh, Sin!" desis Anna kesal.

Sinta malah tergelak. "Ketemu mantan idola, ciee ciee."

Anna hanya bisa berdecak sebal sembari mengedar pandang, berharap sosok Andre sudah menghilang dan tidak mendengarkan godaan Sinta yang membuatnya ingin kabur dari tempat ini saat ini juga.

💚💚💚

Yang suka boleh tinggalkan jejak biar cerita ini lancar updatenya. Makasih .... 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro