11. Kecurigaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bang Edo!" Pria yang sedang serius memilah berkas itu hanya bergumam saat mendengar panggilan Sinta.

"Lo kemarin Sabtu jadi ke kantor?" tanya Sinta hati-hati. Sementara Anna yang sedang sibuk mengetik, hanya diam mendengarkan.

"Jadi lah,  orang handpone gue ketinggalan," jawab pria itu acuh. 

"Bang Edo minta kunci ke siapa?" Anna yang sedari tadi diam ikut berbicara, karena yang ditugasan memegang kunci memanglah dirinya. Dan Edo tidak ada usaha untuk menghubunginya kemarin.

Edo tampak menoleh dengan senyuman kecut. "Gue ke rumah lo, tapi lonya lagi kencan," ujar pria itu dengan nada kesal yang sengaja tidak disembunyikan.

Anna hanya memutar bola matanya malas, lalu menoleh ke arah Sinta.

"Ya kan dia nanya, Na. Masak gue nggak jawab." Sinta mencoba membela diri. Edo memang datang beberapa waktu setelah Anna pergi dan sebelum ia berangkat ke kafe untuk bekerja.

"Terus cara lo masuk gimana?" tanya Anna masih penasaran.

"Gue hubungin Mbak Dewi. Untungnya dia lagi di kantor," jawab Edo dengan nada malas.

Anna dan Sinta pun saling berpandangan. Kali ini tidak hanya ada satu tersangka, tapi dua tersangka sekaligus. Tapi, untuk apa Dewi atau pun Edo melakukan teror?

*

"Kalau Bang Edo si motifnya jelas, Na," ujar Sinta saat keduanya sedang duduk santai di teras rumah Sinta. Malam sudah menjelang, hingga menyisakan sepi. Hanya sesekali kendaraam melintas.

"Dia kan naksir lo. Kemarin aja keliatan kesel banget pas gue bilang lo lagi kencan sama Mas Andre."

Anna berdecak malas. "Lo itu kalau ngomong pakai kosa kata yang bener dikit kenapa si, Sin?"

"Salah gue di mana lagi si, Na?" Sinta memang merasa tidak ada yang salah dari kalimat yang ia ucapkan.

"Gue sama Mas Andre itu cuman jalan bareng, bukan kencan," ralat Anna dengan tatapan gemas. Tapi seperti biasa, Sinta seolah tidak perduli.

"Sama aja, Na."

"Ya beda lah Sin, gue sama Mas Andre kan nggak ada hubungan apa-apa."

"Bukannya nggak ada apa-apa. Tapi belum Anna sayaaaang." Anna hanya berdecak malas, sementara Sinta tergelak.

"Eh kita kan lagi ngomongin soal kertas itu dan kecurigaannya kan, ya. Jadi, menurut lo Bang Edo apa Mbak Dewi?" ujar Sinta saat sadar obrolan mereka telah menyimpang jauh dari topik.

Anna menggedikan bahu. Dia tidak mau menuduh siapapun.

"Bang Edo jelas punya motif," ujar Sinta mengulangi dugaannya tadi. "Dia kan naksir berat sama lo."

Anna menggelengkan kepalanya, namun tidak merespon ucapan Sinta.

"Mungkin dia jeles, terus neror Mas Andre supaya ngejauh dari lo." Sinta menoleh ke arah Anna sembari menjentikkan jari. "Pasti begitu. Memangnya, Mas Andre dapet pesan yang katanya menganggu itu, bunyi pesannya kayak apa?"

Anna menggeleng karena memang tidak tahu.

"Dalam bentuk ancaman buat ngejauh dari lo, atau gimana?"

"Gue nggak tahu Sinta!"

"Eh buset! Jadi lu nggak tahu?"

Anna menggeleng polos. 

"Gue jadi penasaran apa isi pesannya."

"Nggak usah yang aneh-aneh. Itu urusan Mas Andre bukan urusan kita," ujar Anna seraya berdiri.

"Tapi kan, secara nggak langsung lo salah Anna." Anna tidak merespon, ia memilih meninggalkan Sinta.

"Na! belum selesai ngomongnya!"

"Ngomong aja sama nyamuk, males gue!"

Sinta hanya berdecih, lalu menoleh ke arah pagar saat seseorang masuk. Anna pun ikut menghentikan langkah, dan memperhatikan sosok Bima yang sedang berjalan ke arahnya.

"Na! Ini buku lo?"

Anna mengerutkan kening, lalu menerima buku yang Bima sorongkan.

"Gue nggak inget kalau jatuhin buku," ujar gadis itu dengan tatapan curiga.

"Gue nemuin di halaman rumah lo."

Anna hanya menggedikkan bahu, lalu meneruskan langkah.

"Sabar Bang! Sabar! Nunggu Anna peka sama perasaan lo itu butuh waktu dan perjuangan. Apalagi saingan lo itu nggak cuman satu."

Bima tersenyum miris ke arah Sinta sembari mengacak rambutnya. "Lo nggak bisa bantuin gue apa, Sin?"

"Gue angkat tangan kalau soal itu. Soalnya hati dia bukan untuk lo, Bang!"

Bima terlihat mengembus napas kasar.

"Carilah cewek lain. Di tempat kerja Abang pasti banyak yang cakep, kan."

"Tapi nggak ada yang kayak Anna," bisik pria itu.

"Ya iyalah, beda orang." Sinta sudah berniat masuk, tapi urung sat satu pesan masuk ke ponselmya.

"Ni bocah ngapain ngirim wa segala," gerutunya saat nama Anna muncul di layar. Namun mata itu melebar lalu menoleh ke arah Bima dengan tatapan curiga saat deretan kalimat itu terbaca.

Sin, ada nomor Mas Andre di buku yang baru aja Bima kasih.

*

"Ada tiga tersangka, Mas." Andre yang cukup terkejut saat mendapat nomor asing menghubunginya mengerutkan kening. Apalagi saat tahu jika sang penelpon adalah Sinta, teman Anna. 

"Kamu, dapat nomor saya dari mana?" tanya Andre hati-hati, sebelum menanyakan maksud dari perkataan tanpa basa basi yang Sinta katakan tadi.

"Liat di hape Anna," jawab gadis itu dengan nada tenang. Seolah mengambil nomor orang dari ponsel Anna bukan perkara yang salah. 

"Mau denger lagi nggak hasil penyelidikan kita?"

Andre mengangguk, lalu segera mengatakan 'ya' saat sadar Sinta tidak akan melihat gerakan kepalanya. 

"Yang pertama Bang Edo,  kedua Mbak Dewi,  ketiga Bima."

Oke, Dewi dan Edo, Andre pernah mendengar nama itu.  Karena keduanya adalah rekan kerja Anna dan juga Sinta. Tapi bukan itu masalahnya. Kenapa mereka bisa jadi tersangka?  Dan satu lagi,  Bima itu siapa?

"Ini,  maksud kamu,  tersangka yang meneror saya lewat hape bukan?" tanya Andre untuk memastikan sahabat Anna ini tidak salah sasaran. 

"Iya lah, Mas! Yang mana lagi? Memangnya Mas Andre dapet berapa teror?"

"Enggak,  saya hanya sedang memastikan. Takutnya kamu salah orang."

Terdengar kikikan geli dari seberang. Membuat Andre bingung karena ia merasa tidak ada yang lucu. Tapi Andre mencoba mengabaikan tingkah aneh Sinta itu. "Jadi, kenapa harus mereka yang jadi tersangka?"

"Bang Edo itu suka sama Anna!" Andre tidak terkejut karena itu sesuai tebakannya. 

"Kok nggak kaget?"

Andre menampilkan senyum tipis. "Saya sudah tahu. Bisa kamu lanjutkan?"

Sinta berdeham sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dia itu udah ngejar-ngejar Anna dari lama. Dan selama ini Anna selalu cuek. Pura-pura nggak peka, padahal dia tahu banget kalau Edo suka sama dia." Entah mengapa Andre ingin tertawa saat mendengar hal itu.

"Lalu?" Entah Sinta menyadari nada geli dalam suara Andre atau tidak.

"Motifnya jelas dong, Mas. Dia pasti nggak mau Mas deket-deket sama Anna."

"Oke, kalau Dewi, apa yang membuat kamu mencurigai dia?"

"Emm, karena kemungkinan yang mengambil kertas bertuliskan nomor Mas Andre bisa jadi dia."

Andre yang bingung mendengar penjelasan sinta hanya bisa mengacak rambutnya. Mau memutus hubungan secara sepihak tidak enak. Jadi dia hanya mendengarkan saja tanpa memasukkan omongan gadis itu dalam pikirannya.

"Tapi, dua orang itu langsung tercoret dari daftar orang-orang yang kita curigai." Kali ini Andre menaikkan sebelah alisnya. Makin bingung dengan kalimat Sinta yang seperti berputar-putar.

"Jadi?"

"Bima, tersangka terakhir."

"Bima ini siapa?" tanya Andre yang mulai gemas karena Sinta seperti berbelit-belit.

"Tetangga kita. Rumahnya depan Anna persis. Dia suka Anna, tapi Anna enggak." Satu fakta yang akhirnya Andre sadari, jika saingannya tidak hanya satu. Ada dua, mungkin bahkan lebih dari itu. Informasi ini malah membuat Andre merangkai rencana apa yang harus ia buat agar bisa menjatuhkan hati Anna agar bisa memilihnya.

"Dan ternyata Anna baru inget, kalau kertas yang ada nomornya Mas Andre itu nggak dia buang ke tempat sampah." Kalimat itu membuyarkan segala rencana yang tiba-tiba tersusun di kepala Andre.  Ia kembali mendengarkan penjelasan Sinta.

"Kertasnya Anna selipin di buku. Dan nggak tahu gimana ceritanya, buku itu bisa ada di tangan Bima. Katanya si jatuh,  dan Bima yang nemuin. Tapi,  Anna nggak yakin kalau ceritanya seperti itu."

Alis Andre tampak bertaut saat satu pemikiran melintas. "Bima ini orangnya seperti apa?" tanya pria itu penasaran. "Ciri-ciri fisiknya?" lanjut Andre saat menyadari kebingungan Sinta, karena gadis itu tidak langsung menjawab pertanyaannya.

"Rambutnya gondrong sebahu, wajahnya agak cantik si kalau menurut aku. Terus ...." Andre tidak lagi mendengarkan kalimat yang Sinta ucapkan saat mendengar rambut gondrong. Ingatannya kembali pada sosok pria misterius yang seperti sengaja membuntutinya dan juga Anna waktu itu.  Apakah pria itu adalah pria yang Sinta maksud? 

"Jadi tersangka utamanya adalah Bima, Mas! Yang lain udah enggak lagi!" Andre kembali mendengarkan kalimat Sinta. Kepalanya mendadak pening saat semua kecurigaan ini menguar. Tidak ada satu titik temu yang membuat Andre yakin jika Bima adalah pelaku teror.

"Kamu sudah lama kenal sama Bima?" 

Sinta yang masih mengocehpun akhirnya terdiam, saat mendengar pertanyaan itu. "Lumayan, udah dari kecil."

"Apa, dia pernah ngalamin kecelakaan?" Jika Sinta menjawab iya, maka kemungkinan itu bisa saja benar. Karena pelaku teror yang selama ini menganggu hidupnya sudah pasti adalah salah satu korban kecelakaan naas itu.

"Sinta!" ujar pria itu saat tidak ada jawaban.

"Kenapa, Mas Andre malah nanyain itu?"

Pria itu menghela napas panjang. "Cukup kamu jawab iya atau tidak. Maaf, saya tidak bisa menjelaskannya secara rinci."

"Aku boleh nanya dulu nggak,  sebelum jawab?"

"Hemm."

"Apa, aku boleh tahu isi teror itu?"

Andre yang bingung harus menjelaskan dari mana memilih diam.

"Apa, menyuruh Mas Andre buat jauhin Anna? Atau bukan?"

"Bukan," jawab Andre lirih setelah hening beberapa saat. Itu kenapa ia tidak tertarik saat mendengar penjelasan Sinta tentang Edo. Tentu saja motif orang yang menerornya bukanlah karena tidak suka melihat hubungannya dengan Anna.  Tapi karena tragedi kecelakaan yang terjadi tujuh tahun yang lalu. Dan karena teror itu muncul semenjak ia memberikan nomor ponselnya pada Anna. Maka yang kini patut ia curigai adalah orang-orang terdekat Anna.

"Lalu?"

"Maaf Sinta, saya tidak bisa menjelaskannya." Andre tidak akan membeberkan apa yang sudah terjadi dalam hidupnya begitu saja.

"Terima kasih untuk bantuannya, Sinta. Saya menghargai informasi dari kamu." Andre segera menutup sambungan telepon sebelum Sinta mengorek informasi darinya lebih jauh lagi.  Soal Bima, biar nanti dia cari tahu sendiri apakah pria tersebut adalah salah satu korban dari tragedi tujuh tahun lalu.

Andre merenung sejenak saat ia rasa bukan hanya Bima yang patut dicurigai. Entah mengapa ia malah merasa aneh dengan sikap Sinta yang tiba-tiba saja peduli dengan teror yang menimpanya. Bahkan bisa sampai memiliki nomornya. Walaupun gadis itu mengambilnya dari ponsel Anna. Tapi bukankah itu bisa menjadi sebuah alibi? Bisa saja Sinta sedang berusaha untuk tidak dijadikan tersangka.

©©©

Karena di WP nggak ada peminatnya, aku pindah cerita ini ke dreame/innovel. Di sana bakalan update tiap hari. Masih bisa dibaca gratis.

Yang belum punya aplikasinya bisa install dulu di playstore.

Cari aja 'Innovel', kalau sudah cari akun aku (Aya Arini). Di sana ada cerita lain juga yang bisa kalian nikmati. 

***Innovel itu versi lain dari aplikasi Dreame. Jadi khusus untuk pembaca dari Indonesia.

Oh ya, aku juga mau kasih info. Kalau kalian mau baca ceritaku yang udah terkunci di Dreame/ Innovel nggak harus beli koin kok untuk baca. Jadi di Dreame itu setiap harinya kalian bisa mendapatkan koin gratis. 

1. Saat cek in

2. Kalau kalian udah baca 15 menit di dreame

3. Kalau kalian udah baca 45 menit.

Caranya log in aja di aplikasi Innovel/Dreame. Lalu tekan profil. Nanti ada pilihan dapatkan hadiah. Kalian klik itu, dan akan langsung tertera koin gratis yang kalian dapat hari itu.

Memang harus sabar, tapi bisa jadi alternatif kalau kalian mau yang gratisan. Thanks.

Love and kiss, Aya.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro