Mama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mama masih saja bungkam, dan matanya terus menatapku penuh kekhawatiran. Ada apa? Hanya tanya itu yang mucul di dalam otak. Aku tahu betul bagaimana Mama, dia tidak akan tiba-tiba pergi menemuiku tanpa alasan yang tepat, meski rindu juga sangat tepat dan sempat membuatku menarik napas santai tadi. Namun, kenyataannya sekarang justru sebaliknya. Wajah dan mata Mama sudah mengatakan semuanya meski aku tetap menginginkan kata-kata agar semua lebih pasti.

"Ada apa, Ma?" tanya Hendra dengan suara lembut. Dia memang seorang polisi yang selalu tegas--aku pernah merasakan ketegasannya--tapi bukan berarti tak bisa berkata lembut.

Bukannya jawaban yang kami dapatkan tapi sebuah tangis yang membuatku semakin khawatir. Lagi dan lagi, aku cukup mengenal Mama, dia bukanlah perempuan cengeng, apalagi akan menumpahkan air mata di hadapan anaknya. Mama adalah perempuan kuat yang akan selalu menjadi penyemangat bagi kami semua, tapi kali ini seolah melihat sosok lain dari Mama. Ya, aku tahu, dia tetap perempuan biasa yang bisa sedih, rapuh, dan tentu saja sedikit cengeng.

Aku bersimpuh di hadapan Mama dan menggenggam tangannya erat. Ingin menghapus bulir-bulir bening itu dan meminta Mama tidak lagi menangis, tapi bukankah bisa jadi dengan menangis akan membuat perasaan menjadi lebih baik? Kadang tangis itu diperlukan saat diri terasa begitu terhimpit beban yang sangat berat.

"Ma, cerita sama Diona, ada apa?" tanyaku saat tangis Mama sudah mulai mereda.

"Kamu benar baik-baik saja, kan?" Bukan jawaban yang kudapatkan, melainkan sebuah pertanyaan lain yang menunjukkan betapa khawatirnya Mama akan keadaanku.

"Seperti yang Mama lihat, Diona dan Hendra baik-baik saja," kataku sambil menatap manik yang masih sembab, "ada apa, Ma?"

Sedikit mendesak, ya itulah yang kulakukan. Jangan berbicara soal sopan santun, karena sudah jelas jawabannya sangat tidak sopan seorang anak mendesak orang tuanya, apalagi seorang ibu. Namun, apa yang bisa aku lakukan selain mendesak? Tidak ada. Membiarkan Mama sesuai alurnya hanya akan membuat kekhawatiran itu semakin besar dan bisa jadi menyelimuti pemikiran Mama yang akan berakhir tidak baik.

"Ma, Hendra kan sudah janji sama Papa akan menjaga Diona dengan baik, dan sebisa mungkin hal itu yang Hendra lakukan," kata suami tersayangku sambil menggenggam tanganku yang masih menggenggam tangan Mama.

Kapan Hendra berjanji seperti itu sama Papa? Bukankah sehari setelah menikah dia langsung pergi bertugas? Datang-datang langsung mengurus pemakaman Bu Nur. Lalu kapan berjanji seperti itu kepada Papa? tanyaku dalam hati yang memang tidak mengetahui moment di mana lelaki bertubuh tegap itu berjanji kepada cinta pertamaku. Ya, Papa adalah cinta pertamaku, bukan Wilman.

"Aku berjanji saat pamit untuk mengajakmu ke sini," kata Hendra yang seolah menyadari apa yang ada dalam pikiranku.

Sejak kapan suamiku jadi cenayang? Ada yang tahu? Mungkin pertanyaan yang ada dalam hatiku terpampang nyata dan jelas di wajah hingga dia bisa mengetahui semuanya. Jangan lupakan jika Hendra adalah seorang Polisi yang pasti sudah belajar mengenai hal-hal seperti itu.

Mama menatap kami silih berganti, begitu banyak kekhawatiran yang aku lihat di manik yang biasanya tenang dan meneduhkan. Namun sayang, aku tak bisa mengetahui apa yang membuatnya khawatir sampai melakukan perjalanan tanpa Papa dan adik. Betul aku memiliki kelebihan untuk mengetahuo rahasia orang, tapi hal itu tidak bisa kugunakan kepada keluarga, terutama Mama. Manusia itu selalu membutuhkan orang lain bukan? Mungkin ketidak mampuanku membaca keluarga agar kami bisa sama-sama saling mengungkapkan apa yang perlu diungkapkan dan menjaga apa yang tak perlu orang tahu.

"Ma," kataku sedikit memelas.

"Bunga itu, dari mana kamu mendapat bunga itu, Di?" tanya Mama yang sepertinya baru menyadari kehadiran buket bunga yang masih teronggok di atas meja makan. Aku dan Hendra memang belum membuang bunga yang menjadi 'pembahasan' rahasia dalam pertemuan tadi bersama rekan-rekan Hendra. Rencananya, besok akan langsung di buang ke tempat sampah yang cukup jauh saat Hendra berangkat kerja, alasannya tentu saja agar kami tak melihatnya.

"Bunga itu ... hhmm ... itu ...," kataku sedikit terbata karena bingung harus menjawab apa kepada Mama.

Berkata jujur memang baik, tapi yakinlah itu bukan penyelesaian masalah untuk saat ini, yang ada malah menambah masalah baru. Kondisi Mama jauh dari kata baik-baik saja lalu harus ditambah dengan kebenaran bahwa itu adalah buket bunga misterius yang bahkan aku pun tidak tahu siapa pengirimnya. Mau berbohong juga tidak mungkin karena tahu jika bohong itu dosa, apalagi melakukannya kepada Mama, wanita yang telah melahirkanku.

"Ada apa, Di?" tanya Mama sambil memegang kedua belah pipi dan menatap ke dalam manik cokelatku. "Ada masalag serius dengan bunga itu?"

"Itu bunga dari rekan saya, Ma, kebetulan tadi mereka datang untuk berkenalan dengan Diona, dan ya bunga itu sebagai ucapan selamat datang," kata Hendra yang kupahami dia hanya ingin menghilangkan kekhawatiran Mama akan semuanya.

"Syukurlah," ucap Mama yang terlihat begitu lega saat mendengar penjelasan Hendra. Andai Mama tahu keberannya, mungkin aku akan langsung diajak pulang dan bisa jadi dikurung di rumah agar semuanya tetap aman dan terkendali. Jangan lupakan kalau aku masih tetap Diona yang sama saat masih KKN dulu, nekat, keras kepala, dan penasaran. Pernikahan bukan penghalang untuk semua sifatku. Ingat, karakter dibentuk dari saat kita masih kecil, bukan ketika dewasa.

"Ada apa, Mama sepertinya sangat khawatir saat melihat bunga itu?" tanya Hendra.

Oh suamiku tersayang, tidak bisakah jiwa intelnya muncul kapan-kapan saja jangan saat ini? Kenapa pula jadi Mama yang menjadi sasaran introgasinya bagai penjahat yang telah melakukan kesalahan. Eh, bukannya saksi juga diperiksa dan diintrogasi ya? Namun wajah Hendra sungguh membuatku gemas dan ingin rasanya menjewer atau mencubit perut kerasnya.

"Mama ... Mama ...," kata Mama yang sedikit terbata dan hal itu membuatku semakin khawatir dengan semuanya, ada hal yang tidak beres dan Mama enggan untuk mengatakan semuanya.

"Ada apa, Ma? Bicaralah!" kata Hendra yang meski lembut, tapi terasa mengintimaidasi, terbukti dengan sikap Mama yang langsung mengusap wajah gusar. Melihat hal itu, aku langsung memeluk Mama erat dan mencoba untuk menenangkannya. "Maaf, Ma, saya sudah sangat keterlaluan."

"Tidak, kamu tidak keterlaluan," kata Mama setelah melepaskan pelukanku, "Mama hanya tidak tahu harus memulai semuanya dari mana."

Tidak tahu cara memulai semuanya? Ada apa dengan Mama? Apakah ada hal yang disembunyikan dariku? Namun sejak kapan Mama main rahasia-rahasiaan dariku, biasanya selalu terbuka mengenai apa pun juga, tapi sekarang? Kenapa Mama menyembunyikannya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro