Wejangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat sedang berpikir mengenai siapa yang memegang pundakku, tiba-tiba kurasakan sebuah tangan melingkar di pinggang. Tidak usah mencari tahu skala pelakunya karena dari aromanya saja sudah tercium, siapa lagi kalau bukan sang suami idaman banyak perempuan. Dia memang sedikit manja sejak bertunangan--kalau setelah menikah, aku tak tahu seberapa besar kadar manjanya karena kami baru hidup sehari saat dia terpaksa pergi bertugas. Mungkin setelah ini kami memiliki waktu untuk berbulan madu--mungkin, bukan hal pasti karena dalam hidupnya aku bukan prioritas.

"Mikirin apa sih dari tadi bengong mulu?" tanyanya setelah mencuri sebuah ciuman di pipi.

"Hhmm ...." Sejenak aku berpikir untuk memberikan jawaban yang paling tepat bagi suamiku itu. Dia memang akan percaya jika kubilang ada yang menepuk pundakku tadi, tapi terlalu dini mengatakan hal yang bisa jadi hanya perasaanku semata saja."

"Ada apa?" desaknya sambil mengeratkan pelukannya seolah di rumah ini hanya ada kami berdua saja. "Jangan kebanyakan mikir, nanti cepet tua!"

Aku membalikkan badan dan menatapnya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. "Lalu kalau aku cepet tua kenapa? Kamu mau cari gadis muda lainnya hah? Ingat ya, Hen, berani kamu lakuin itu, kupastikan hidupmu hancur!"

"Wow, jangan marah dong, Sayang!" bujuknya sambil mencolek ujung daguku tapi kutepus kasar dan kemudian memukul dadanya agar dia melepaskan dekapannya.

"Apaan jangan marah kalau omonganmu kayak gitu? Nikah baru seminggu udah berani bilang gitu, emang kamu tu playboy yang sukanya main-main saja!" Amarahku memuncak karena kata-katanya. Katakan aku terlalu baper, tapi wanita mana yang suka jika mulai membahas usia atau cepat tua? Pasti semua setuju dengan sikapku pada Hendra kali ini.

"Ehm ...." Terdengar sebuah deheman hingga membuat Hendra mau tak mau melepaskan pelukannya. Di ujung meja ayah mulai menarik kursinya dan duduk sambil sesekali tersenyim dan menggeleng--mungkin heran dengan kami yang tiba-tiba bertengkar padahal tadi baik-baik saja. Namun ayah tidak bertanya mengenai penyebab pertengkaran kami, beliau malah memandang bahwa semuanya baik-baik saja dengan meminta mengambilkan makanan kepada pembantu baru rumah.

"Biar saya saja, Mbak," kataku saat dia baru saja akan mengambilkan nasi untuk ayah mertua tersayang. Aku tahu diri dan kewajiban sebagai seorang istri serta menantu, jangan sampai hal kecil dilakukan oleh asisten rumah tangga sedang aku masih mampu untuk melakukan semuanya.

Meski masih ada sedikit rasa kesal dalam hati, aku tetap melayani Hendra sebaik mungkin, bahaya kalau sampai dia mencari perempuan lain. Meski aku yakin dia adalah laki-laki setia dan tidak akan menyakitiku setelah semua yang kami lalui meski waktu pacaran hanya sebentar. Namun, bukankah lama pacaran bukanlah sebuah tolak ukur akan sebuah rasa dan kesetiaan? Masih ingat dengan Wilman? Dia yang lama menjalin kasih saja ternyata tak bisa setia dan mengganti semuanya hanya karena skripsi.

Makan dengan tenang bukanlah kebiasaan kami, ada beberapa pembicaraan ringan yang terjadi selama makan hingga perlahan mampu mengikis rasa kesal yang tadi menyapa. Sesekali Hendra pun mengelus tanganku dengan penuh sayang dan akan kubalas dengan tatapan atau senyuman manis. Terang saja hal itu membuat ayah ikut tersenyum menyaksikan kemesraan kami.

"Teruslah akur seperti ini," kata ayah saat kami telah selesai santap siang, "dalam rumah tangga memang akan selalu ada riak atau bahkan ombak yang menghantam, tapi kalian harus saling menguatkan. Ketika marah, ingatlah semua perjuangan kalian untuk sampai di titik sekarang. Belajarlah untuk tidak egois, saling memaafkan dan berani meminta maaf baik kalian salah atau tidak. Bahtera ini baru kalian jejaki, akan ada banyak halangan di depan."

Setetes air mata jatuh membasahi pipi saat mendengar petuah dari ayah. Beliau memang lelaki yang sangat bijak dan penyayang. Caranya mengingatkan kami begitu halus dan membuat kami tersinggung sama sekali, justru membuat sadar bahwa semuanya baru dimulai, dan harus dijalani dengan penuh keikhlasan, kasih sayang, serta cinta yang tiada akhir.

"Insya Allah, Yah," kataku sambil menghapus bulir-bulir bening yang semakin deras.

"Kamu, Hen," kata ayah sambil menatapa putra semata wayangnya, "jangan sekali-kali mengucap talak meski semarah apa pun. Ingatlah, sekali kamu mengucap kata-kata itu meski dalam keadaan emosi, maka talakmu sudah jatuh kepada Diona, dan Ayah tidak ingin hal itu terjadi, kamu harus menjaga istrimu baik-baik dan jangan pernah meninggalkannya untuk perempuan lain! Di luar sana memang banyak wanita yang mungkin jauh lebih cantik dari Diona, tapi kamu harus ingat bahwa saat kamu ijab qobul, saat itu tanggung jawab atas Diona berada di pundakmu! Bukan hanya soal keperluannya saja, tapi memastikannya tetap bahagia dan tersenyum juga berada di pundakmu!"

"Siap, Yah, aku paham!" kata Hendra sambil menggenggam tanganku erat.

Setelah mendapat beberapa wejangan, aku pun beranjak untuk membereskan semuanya. Sementara ayah dan Hendra memilih untuk melanjutkan mengobrol di taman samping rumah, jangan bertanya apa yang mereka bicarakan karena sungguh aku tak tahu. Ingin bergabung pun belum bisa karena pekerjaan rumah belum selesai. Betul ada asisten rumah tangga, tapi kan sudah kubilang bahwa tidak semuanya harus bergantung kepadanya.

Selesai beres-beres tiba-tiba ponselku bergetar dan menampilkan nama mama di sana. Aku baru ingat belum mengabarinya mengenai apa yang terjadi dan mama pasti khawatir.

"Ada apa, Di?" kata Mama setelah mengucap salam.

Kutrik napas dalam sebelum akhirnya mengembuskan secara perlahan. "Bu Nur meninggal, Ma."

"Bu Nur yang dosen kamu itu? Lalu kenapa jadi kamu di suruh ke rumah mertuamu? Ada apa dengan Hendra atau mertuamu?"

"Mereka baik-baik saja, Ma."

"Lalu kenapa kamu haru ke sana buru-buru?"

"Jenazah Bu Nur dibawa ke sini karena suami dan anaknya tidak mau menerima."

"Kenapa?"

"Sejak Bu Nur ditangkap Polisi, keluarganya memutuskan ikatan kekeluargaan karena menganggap bahwa Bu Nur sudah mencoreng nama baik keluarga. Karena kasihan, makanya Hendra membawa jenazahnya ke sini dan meminta Diona datang."

Mama terdiam, begitu pun denganku. Ada banyak kenangan yang berputar di dalam otak, mulai dari saat kuliah dan menjadi mahasiswa kesayangannya hingga harus melihat sisi terkeji darinya. Sakit memang, tapi tak bisa dipungkuri jika dia adalah orang yang pernah membimbingku untuk mendapatkan gelar sarjana.

"Bukankah setiap manusia pernah salah, Ma? Begitu pun dengan Bu Nur, tapi kita kan tidak boleh melupakan semua kebaikan seseorang yang telah kita terima meski terdapat luka yang begitu besar dalam hati?"

"Betul, Mama hanya merasa kasihan kepadanya."

Ya, siapa yang tidak kasihan melihat nasibnya saat ini. Dulu dia dihormati dan disayang banyak orang, tapi saat ajal menjemput justru sendirian dan jenazahnya tidak diterima pihak keluarga. Betul Tuhan Maha Pengampun, hanya kadang kita manusia yang tidak bisa lapang untuk memaafkan kesalahan sesama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro