15. SEPARUH JIWA VS SELURUH JIWA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part ini adalah ending versi online. Terima kasih kepada teman-teman yang sudah membaca hingga part ini. Yang ingin membaca versi lengkap, silahkan komen. Untuk semua pejuang rahim, tetap semangat!

🏩🏩🏩

Jam masih menunjukan pukul tujuh pagi, namun Rafi sudah berada di bilik Retno. Kemarin Rafi berkata baru bisa tiba hari Sabtu pagi. Ia pun dan akan menemani Retno hingga hari Selasa. Angka merah di kalender membuatnya bisa menambah masa untuk bersama istri tercinta.
Saat Rafi tiba, masing-masing pasien sedang menikmati sarapan mereka.

"Aduh, gerah banget nih, Bu," keluh Ghea tiba-tiba. "Bilangin ke perawat dong, Bu, tutup jendelanya terus nyalain AC. Aku kegerahan," tambahnya dengan volume besar hingga seisi ruangan bisa mendengarnya.

"Iya, nanti ibu bilangin, ya."

Retno hanya menggeleng-geleng kepala. Biasanya, jendela baru ditutup pada pukul sembilan, mempersilahkan udara pagi untuk memenuhi seisi ruangan. Udara baru akan menggantikan kawanannya yang sejak kemarin berputar-putar di setiap sudut ruangan. Hari kemarin pun jendela ditutup di waktu yang sama. Ghea tidak protes dan bertingkah seperti ini.

Setengah jam kemudian, Suster Ririn memasuki ruangan sambil mendorong waskom troli berisi air hangat. Ia hendak membantu memandikan René, karena Ara belum bisa melakukan banyak gerakan, termasuk memandikan René. Selang kateter dan intravena yang masih terpasang, membatasi aktivitas Ara.

"Suster, remote AC mana? Nyalain dong," sambut Ghea ketika Suster Ririn memasuki ruangan.

"Sebentar ya, Bu Ghea. Mandiin bayi Bu Ara dulu."

"Ga bisa sekarang, Sus? Gerah nih," protes Ghea.
"Habis bayinya mandi ya, Bu. Nanti bayinya kedinginan kalau AC nyala pas mandi."

"Masa sih kedinginan? Kan langsung dihandukin," kata Ghea ketus.

Retno melirik Ara yang membisu, sedangkan raut wajah Ahmad menggambarkan amarah yang tertahan. Walau wajah Ahmad mengarah pada René yang tertidur di ranjang, namun sudut matanya melirik tajam ke arah Ghea. Bibirnya mengatup sementara tangan terkepal erat. Ara menggenggam tangan Ahmad, mencoba menenangkan suaminya.

Rafi yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tetap asyik melanjutkan sarapannya. Ia tak terganggu rangkaian peristiwa yang sedang tayang. Suster Ririn terlihat kikuk saat menuju bilik Ara, tapi tetap mengabaikan permintaan Ghea.

"Ghea, sabar sebentar, ya. Mandiin bayi ga lama kok," ujar Citra menasihati, yang dijawab dengan dengkusan.

Setelah mempurnakan tugasnya, Suster Ririn segera menutup jendela dan menyalakan AC, sesuai permintaan Ghea. Suster Ririn terlihat beberapa kali menarik nafas panjang. Retno mengerti dilema perasaan Suster Ririn. Seluruh staff rumah sakit harus menunjukan sikap netral, tidak condong pada salah satu pasien. Sementara kondisi Ara dan Ghea seperti dua kutub berseberangan.

Pukul 9.15, pintu ruangan kembali terbuka. Suster Ririn tampak di ambang pintu. Kali ini ia bergegas melangkah menuju bilik Ghea. Suster Ririn membimbing Ghea menuju ruang tindakan untuk melepas kateter yang ia gunakan. Ruang tindakan terletak di seberang ruang rawat mereka. Tak ingin meninggalkan putrinya sendiri, Citra pun ikut menemani di sisi Ghea.
Beberapa saat kemudian, Suster Kay memasuki ruangan. Dengan langkah besar, setengah berlari, Suster Kay terburu-buru memasuki bilik Ara.

"Bu Zahra, mau pulang hari ini?"

Ara dan Ahmad tampak terkejut. Demikian juga Retno yang tidak sengaja mendengar ucapan Suster Kay.

"Boleh, Sus? Ga harus nunggu ACC Dokter Pasha?"

"Boleh. Special case. Udah diACC sama Dokter Pasha via telepon. Dokter Bagas lagi nyiapin resume dan ijin pulang. Sekaligus obat-obatan untuk ibu."

Ara mengangguk bersemangat. Ia lalu tersenyum pada Ahmad. Ara kemudian menoleh pada Retno yang juga menyimak percakapan. Senyum penuh makna trcipta di antara keduanya.

"Saya sudah mendengar tentang kejadian semalam. Kami minta maaf atas ketidaknyamanan Bu Ara dan keluarga. Mohon dimaklumi." Suster Kay kembali membuka percakapan.

"Iya, Sus. Bu Citra cerita kalau Ghea baru kehilangan bayinya. Keguguran, ya?" Ara menatap Suster Kay yang dijawab dengan gelengan kepala.

"IUFD, intra uterine fetal death. Atau stillbirth. Bayinya meninggal di kandungan," jawab Suster Kay. "Kalau keguguran, janin meninggal sebelum dua puluh minggu. Kalau stillbirth, di atas dua puluh minggu." Suster Kay menjeda sambil termenung. "Ini yang ketiga kalinya."

Nafas Ara tertahan saat mendengar kalimat terakhir dari Suster Kay. Retno pun sama terkejutnya. Ia tidak mampu menahan keinginannya untuk ikut serta ke dalam pembicaraan.

"Maksudnya, ini yang ketiga kalinya stillbirth, Sus?" Retno menyambar, tidak sanggup menyembunyikan rasa penasarannya.
Bola mata Suster Kay menatap Retno lalu bergerak ke kiri atas, berusaha menggali memori yang tersimpan di cerebrumnya.

"Sebenarnya, anak yang pertamanya sempat lahir diusia ... kalau nggak salah 40 minggu. Tapi setengah jam kemudian meninggal." Suster Kay menarik nafas panjang. "Anak kedua dan ketiga, lahir stillbirth. Yang kedua meninggal pas 38 minggu. Yang ketiga ini meninggal usia 37 minggu."

Suster Kay menarik garis bibirnya, tersenyum kecut. Ia lalu berpaling ke arah Ara kemudian Retno.

"Bu Ghea ngerasain yang namanya hamil sampai sembilan bulan, ngalamin rasanya melahirkan, tapi nggak pernah sempat ngurusin bahkan gendong bayinya."

Tenggorokan Retno tercekat saat mendengar cerita Suster Kay. Pantas saja Ghea histeris ketika mendengar tangisan René. Ghea pasti sangat marah pada takdir. Sedih dan cemburu mungkin membakar hatinya ketika melihat ibu lain menimang bayi mereka. Kenikmatan yang tidak pernah Ghea rasakan.

Rafi menyentuh pelan tangan Retno. Dengan isyarat alis, ia bertanya apa yang terjadi. Retno menjawab tanpa suara dengan gerakan bibir membentuk kata 'nanti'. Di sisi lain, Ara dan Ahmad memandang René dengan syukur tak terhingga.

"Kalau bayi meninggal di kandungan, lahirannya gimana, Sus?" tanya Retno penasaran.

"Seperti lahiran biasa. Satu atau dua hari setelah ketahuan meninggal, bayi bisa dilahirin normal. Tapi kalau darurat, biasanya dokter nyuruh untuk caesar."

"Bisa kontraksi, Sus?" kejar Retno. Suster Kay mengangguk.

"Pasien bisa diinduksi, dikasih obat untuk pelebaran leher rahim atau dikasih infus hormon oksitosin untuk merangsang kontraksi."

"Ooh." Retno mengangguk mengerti.

Suster Kay kembali berpaling pada Ara. "Setelah Bu Ghea selesai di ruang tindakan, Bu Zahra langsung lepas kateter dan infus, ya. Sambil nunggu dokumen pulang."

"Ijin dari dokter kardio, Sus?" tanya Ahmad sebelum Suster Kay membalikkan badan sepenuhnya.

"Dokter Bagas sudah konfirmasi dengan bagian kardio. Katanya oke. Kondisi Bu Zahra sudah stabil untuk pasien jantung pasca melahirkan."
Suster Kay lalu berjalan mendekati Ara. "Saat ini, Bu Ghea butuh waktu pemulihan yang lebih lama, terutama untuk masalah psikisnya. Apalagi suaminya masih tugas di luar kota," tutur Suster Kay pelan. "Ini untuk kebaikan Bu Zahra dan bayi juga." Suster Kay melanjutkan kalimatnya. Sesekali matanya melirik ke arah pintu.

"Silahkan siap-siap, ya, Pak." Suster Kay menyunggingkan senyum pada Ahmad. Sebuah kalimat pengusiran dalam bentuk yang sangat halus menjadi penutup pembicaraan mereka. Pihak rumah sakit mengambil keputusan untuk kebaikan Ghea dan juga Ara. Ahmad segera beranjak dari kursinya dan mulai membereskan barang-barang mereka.

🏩🤰🏩🤰🏩🤰🏩🤰🏩

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro