Angan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti bintang yang selalu setia menemani langit gelap, seperti itu juga aku bersabar menunggu angan yang menjadi nyata.

***

Malam kelabu, Rena duduk di atas kursi belajarnya. Menarikan pensil pada buku gambarny. Ia tersenyum kecut melihat gambaran yang tak mampu menyejukkan hatinya. Suara decitan pintu menusuk gendang telinga Rena. Tangannya tergerak cepat menarik salah satu buku pembimbing, membukanya asal.

“Rena.” Suara lembut itu membuat Rena mendongakkan kepalanya. “Iya, Ma,” balasnya menampilkan senyum simpul.

“Mama senang kamu belajar, ketimbang kamu gambar yang gak penting. Buang-buang waktu,” sahut ibunya tersenyum getir seyara meletakan segelas cokelat panas di meja belajar. Rena tersenyum kaku mendengar ucapan ibunya.

Mata ibunya menatap lekat buku gambar yang ada diantara buku penunjang. Ia menarik kasar buku itu. “Buku ini harusnya ada di sini,” ketusnya, yang langusng membuang buku itu di tempat sampah pojok kamar Rena.

Rena diam melihat sikap ibunya. Tenggorokannya terasa kering. Susah payah ia menelan salivanya. “Rena, jangan pernah buang waktumu buat gambar yang gak penting. Mama gak mau nilai kamu jelek kayak semester lalu,” ketus ibunya menatap Rena lekat.

“Iya, Ma,” balas Rena singkat. Ibunya berbalik meninggalkan Rena.

Ia menarik napas panjang, tersenyum kecut mengingat ucapan ibunya. Ponselnya berbunyi. Tangannya terjulur cepat membaca notif email yang baru saja masuk.

Bibir bawahnya ia gigit saat membaca email itu. Ponsel ia tutup asal. Rasa kecewa kembali menjalar dalam tubuhnya.

Tangannya terjulur membuka laci meja, menarik salah satu gambaran yang ia buat beberapa minggu lalu. “Jelek,” ketusnya pelan meremas asal gambarannya.

Ia melipat tangannya, menenggelamkan kepala. Rasa jengah berhasil menyelimuti. Ucapan ibunya mampu mengurung semangatnya. Decit pintu kembali terdengar membuat Rena mendongakkan kepalanya.

“Rena.” Suara berat itu mampu mengukir senyum kaku Rena. Ia berlari kecil memeluk ayahnya yang baru saja memasuki kamarnya.

“Pa, Rena ... emang gak bisa ... buat mama bangga ...,” ucapnya terdengar gemetar. “Rena baru saja ... nerima email ... kalau gambaran Rena ditolak, Pa,” sambungnya di sela sengguknya.

“Rena, jangan pernah menyerah. Ingat, kegagalan akan membuat kamu kembali mencoba untuk menemukan hasil akhir,” ucap ayahnya mengelus pucuk kepala Rena. “Rena buktiin sama mama, kalau gambaran kamu bisa terbit di salah satu komik,” sambungnya pelan. Rena tersenyum getir menghapus kasar air matanya.

“Rena percaya sama diri Rena?” tanyanya pelan. Rena mengangguk mengiakan ucapannya. “Jangan berhenti di tengah. Percuma Rena berjuang kalau Rena mutusin buat berhenti. Rena ngertikan maksud Papa?” sambungnya. Rena mengangguk pelan.

“Rena manis, pinter banget sih nangisnya. Papa jadi ikutan nangis nih,” canda ayahnya mampu membuat tawa Rena pecah.

***

Rena meneguk habis segalas susu yang menjadi sarapannya. Tangannya terjulur mengambil kotak nasi yang tergeletak di atas meja makan. "Ma, Rena berangkat," ucapnya meninggikan sedikit suaranya.

Ibunya yang masih berkutat dengan daging, membalas sekadarnya. "Hati hati, Ren," Rena hanya tersenyum simpul mendengar balasan dari ibunya.

Desiran angin pagi mampu menusuk tulangnya. Tubuh mungil itu terbungkus sweater berwarna biru dongker yang senada dengan tas punggungnya. Rena berjalan gontai menuju halte di persimpangan jalan. Hantapan lagkahnya lamban seakan menikmati suasana pagi kala itu. Bibir mungil itu tertarik menampilkan senyum simpul. Sesekali mengigit bibir bawahnya berusaha menahan senyum yang mampu menguasai dirinya. Mata hazel dengan bulu lentik yang berhasil membingkai berbinar menatap benda pipih yang ada di lekukan jemarinya.

"Sumpah, Min Ho ganteng banget," gumamnya memperhatikan adegan yang tertayang dalam siaran City Hunter. Langkah Rena melambat tepat saat ujung sepatunya menyentuh lantai halte.

Pengunjung yang ramai membuatnya harus berdiri. Suara klakson berhasil membuat Rena mendongakkan kepalanya. Bus berwarna putih susu yang menjadi tumpanganya telah berada di hadapannya. Kakinya terlangkah mengikuti hantapan langkah kaki pengunjung yang lain.

***

SMA Cakrawangsa yang menjadi tempatnya untuk menuntut ilmu. Rena melangkah pelan menyusurui koridor sekolahnya. Matanya masih saja fokus pada siaran yang telah ia tonton berulang-ulang. Ia mematikan layar ponselnya, memasukan benda pipih itu ke dalam saku roknya. Langkahnya gontai menuju mading sekolah. Berniat membaca pengumuman.

"Diumumkan untuk semua siswa ekstara lukis segera menyerahkan gambaran kalian ke panitia paling lambat diakhir pekan. Terima kasih." Suara Rena terdengar jelas, membuat salah satu siswa berjalan mendekati dirinya. "Kalau gue ngirim gambar gue, diterima gak ya?" gumam Rena pelan.

"Kamu bukan anak lukis," suara berat itu berhasil membuat Rena mendongakan kepalanya. Alisnya berhasil tertaut melihat lelaki berambut ikal dengan tinggi 156 cm yang sedang tersenyum kecut dengan sekatik lolipop yang ia mainkan dalam mulutnya. Rena berkacak pinggang geram melihat senyum kecut lelaki itu.

"Apa urusannya sama lo, Pendek?” ketusnya membuat lelaki itu menggigit lolipopnya. Lelaki itu membulatkan matanya, menatap Rena tajam.

"Jangan panggil aku pendek, dasar Kuning langsat," ucapnya meninggikan nada suaranya. Kuning langsat, sebutannya untuk Rena yang memiliki kulit berwarna kuning langsat. Rena berhasil tersenyum kecut melihat lelaki itu menjinjitkan kakinya berusaha menyetarakan tingginya dengan Rena.

"Lo jinjit aja masih tinggian gue," kekehnya, berbalik meninggalkan lelaki itu.

Lelaki itu menggeram kesal. Kakinya melangkah mengikuti langkah Rena. Jarak mereka yang hanya dua langkah semakin memudahkan lelaki itu menggelayungkan tangannya menarik ujung rambut Rena. Rena berteriak kesakitan, memegangi pucuk kepalanya yang  terasa nyeri.

"Yafiii! Ngeselin lo," gerutunya kesal melihat Yafi yang malah melangkah lebih cepat tanpa meninggalkan kata maaf untuknya.

Yafi yang mendengar keluhan Rena terkekeh geli. Tangannya merogoh saku celana, mengambil sekatik lollipop untuk menghiasi bibir tipisnya.

"Yafi sialan. Awas aja itu bocah pendek. Gue colong semua lolipopnya biar mewek sekalian," gerutu Rena kesal membenarkan tatanan rambutnya. Ia berjalan cepat menuju kelasnya. Langkahnya melambat melihat Aca yang telah berdiri menghadang beberapa teman sekelasnya.

"Aduh, Aca malakin, lagi," gumam Rena bertahan pada pijakannya. Ia melihat arloji kulitnya. Masih ada waktu lima belas menit untuk datang ke kelas. Terlintas akal bulus dalam benaknya. Ia melangkahkan kakinya berbalik, hendak meninggalakan tempat itu.

"Mau ke mana, Ren?" Suara nyaring Aca berhasil membuat Rena menghentikan langkahnya. Ia berbalik menggurat senyum simpul yang tak di balas oleh Aca.

"Lo mau kabur, ya?" tuduhnya membuat Rena menggeleng cepat. "Bayar uang kas dulu. Lo udah dua minggu gak bayar," ketus Aca mampu mengukir senyum kecut di sudut bibir Rena. Rena merogoh saku bajunya.

Wajah Aca berhasil memerah melihat Rena yang membentuk ibu jari dan telunjuknya menyerupai huruf 'V'. Rena mengulum senyum melihat wajah Aca yang tampak kesal dengan dirinya.

"Ngapain lo ngasih gue saranghae? Gue perlunya uang. Buru bayar," ketus Aca yang semakin kesal dengan sikap Rena.

"Aca cantik, baru dua minggu. Ntar gue bayar kalau udah satu bulan," balas Rena malas, Aca yang mendengar ucapan Rena menatapnya tajam dengan alis bertaut.

"Awas lo bohong," ketusnya menghentakkan kaki meningalkan Rena.

Rena membuang napas kasar. "Si Aca emang cocok banget jadi rentenir.”

"Apa lo bilang?" ketus Aca yang mampu medengar jelas gumaman Rena. Rena menelan ludah kasar.

"Gue ngomong sama tembok, Ca," bohongnya yang mendapat tatapan tajam dari Aca.

Rena melangkah pelan memasuki kelas. Ia memicingkan mata melihat Yafi yang berada di bawah bangku, duduk bersila, menarikan pensil yang terselip di jemarinya di atas buku gambar berukuran A3.

Itu bocah, aneh banget. Menggambar malah sembunyi. Di bawah meja lagi,
Rena membatin.

Sudut bibirnya tertarik memperlihatkan senyum miringnya. Ia melangkah pelan, berjongkok mengamati Yafi yang masih sibuk dengan gambarnya.

“Lo mesum, ya?" celetuk Rena asal, membuat Yafi terlonjak kaget. "Enak aja kamu ngomong," ketusnya.

Brukk

Suara benturan kepala Yafi beradu dengan meja mampu membuat Rena memejamkan matanya. Ia menggigit bibir bawah, menahan tawa mendengar ringisan Yafi.

Yafi memegangi kepalanya yang terasa sakit, bodohnya ia lupa jika dirinya berada di bawah meja kayu. Perlahan ia mengeluarkan tubuhnya. Menatap kesal ke arah Rena yang kini memunggunginya. Rena mendaratkan bokongnya. Menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, seakan tahu jika Yafi menatapnya kesal.

"Aku gak mesum," ketusnya yang kini berdiri di depan meja Rena. Rena melipat tangannya di atas meja, melemparkan senyum simpul yang berhasil membuat Yafi muak.

"Gue gak peduli, Pendek," balasnya lembut namun terdengar ironis di telinga Yafi. Deru napas Yafi naik turun. Rena yang masih mempertahankan senyumnya semakin membuat Yafi kesal.

"Jangan panggil aku pendek!" gerutunya kesal. Rena yang memperhatikan wajah Yafi berusaha menahan tawanya. Entah kenapa, Yafi terlihat menggemaskan dengan postur tubuhnya yang mungil. Rena tersenyum simpul.

"Gue gak bakal panggil lo pendek, kalau lo mau ngasih gue semua lolipop lo," ucapnya lebih lembut dari sebelumnya. Yafi diam membisu, memutar otaknya mencerna ucapan Rena. Tawaran yang bagus, tapi terlalu sulit untuk Yafi lakukan.

"Jangan coba-coba ambil lolipopku,” geramnya kesal. Yafi mendorong perlahan meja Rena membuat gadis itu berusaha menahan dorongan Yafi.

"Yafi, sempit! Gue kejepit nih."

"Bodo amat," ketus Yafi.

"Aku kasih tahu, di pojok sana ada cewek berambut panjang muka pucet, matanya keluar darah, lagi perhatiin kamu,” ucapnya menampilkan senyum miringnya. "Dia bilang, dia gak suka sama kamu," sambung Yafi dingin menatap ke pojok kelas.

Rena menelan ludah kasar. Isu jika Yafi bisa berkomunikasi dengan mahluk tak kasat mata berhasil membuatnya bergidik mendengar ucapan Yafi. Perlahan, Rena menatap ke pojok kelas yang tak di huni oleh siapapun.

"Lo bohong," ucap Rena berusaha tertawa renyah.

"Dia gak suka sama cewek yang selalu ngindar kalau ditagihin uang kas," ucap Yafi datar masih memandang ke pojok kelas.

Rena diam. Bagaimana Yafi bisa tahu akan hal itu? pikirnya. Ia tersenyum miring, kembali menduduki bangkunya di belakang bangku Rena.

Mama, Rena takut. Ah, gak. Si bocah mesum pasti bohong, Rena membatin, berusaha meyakinkan dirinya.

Rena membuka saku tasnya saat pandanganya tertuju pada Shilla. Tangannya merogoh cepat berusaha menemukan benda panjang. Ia menarik pena hitam, berjalan pelan mendekati bangku Shilla. “Shilla, ini penanya. Makasih, ya," ucapnya pelan.

Shilla hanya mengangguk mengiakan ucapan Rena. Tangan Shilla terjulur mengambil benda itu. Perlahan ia menarikan penanya di atas kertas. Alisnya berhasil tertaut melihat kertasnya masih putih bersih tanpa coretan pena.

Ia membuang napas kasar. "Rena minjem pulpen pas di balikin tintanya udah habis. Ngeselin," gerutunya kesal menarik salah satu novel yang terselip di kolong mejanya.

Suara hantapan langkah sepatu terdengar jelas membuat semua murid dalam kelas itu diam menduduki kursi. Ibu Anjani selaku guru Bahasa Indonesia datang dengan tumpukan kertas yang berhasil terselip di jemarinya.

"Pagi, anak-anak. Maaf, hari ini ibu tidak bisa mengajar. Ibu harus menghadiri rapat, jadi mohon kerjakan soal yang ibu berikan," ucapnya membuat sudut bibir Rena tertarik menampilkan senyum simpulnya.

"Kumpulkan di meja Ibu. Ingat, jangan ribut, jangan mencontek," tegasnya membuat semua siswa kompak mengiakan ucapannya.

Jam kosong sangat Rena sukai. Menyelesaikan tugasnya bukan hal yang sulit. Ia bahkan tak harus memutar otaknya untuk mengerjakan tugas itu. Ia hanya akan menggunakan ponsel canggihnya untuk mencari semua jawaban yang ia butuhkan. Terkadang Rena sempat berpikir, jika zaman semakin canggih dan dengan sendirinya ia bisa menemukan jawaban untuk soal yang sulit, lalu mengapa ibunya masih menyekolahkannya? Bahkan ia jarang sekali membaca buku pelajaran yang membuat matanya mengantuk.

Tak butuh waktu lama untuk mengerjakan dua puluh soal dari Ibu Anjani. Rena telah siap dengan tugasnya. Benar atau salah bukan soal besar untuknya.

Bagi Rena, sekolah bukan untuk mencari seberapa besar angka yang tertera di dalam rapot. Melainkan seberapa banyak pengetahuan yang ia miliki. Rena meregangkan jemarinya. Saat semua temannya masih sibuk mengerjakan tugas, ia malah menyibukan diri menonton serial korea kesukaanya.

Yafi berjalan pelan melewati meja Rena. Tangannya terjulur, sengaja menjatuhkan buku Rena. "Dasar bocah SD," gerutu Rena kesal, masih menatap punggung Yafi.

Mata Rena tertuju pada dua lolipop yang tergeletak di atas meja Yafi. Tanganya terjulur cepat mengambil lolipop itu, lalu ia masukan ke dalam mulutnya. Cepat-cepat Rena menutup mulutnya saat Yafi membalikan tubuhnya.

"Kenapa tuh mulut kamu tutup?" ketusnya membuat Rena menggeleng cepat. Ia kembali menduduki bangkunya. Mata Yafi berhasil membulat melihat lolipopnya tinggal sebiji. Langkahnya cepat, berdiri di depan meja Rena, melucutinya dengan tatapan tajam.

"Balikin lolipop aku," bentak Yafi dengan suara nyaringnya. Rena yang mendengar teriakan Yafi berhasil mengulum senyumnya.

"Satu doang. Lolipopnya enak. Pantes aja lo suka."

"Rena, si Kuning Langsat, cewek yang ngeselin, balikin lolipop aku," ketus Yafi membuat seisi kelas nyaris tertawa mendengar keluhannya.

"Dasar bocah SD," ketus Rena semakin membuat Yafi kesal.

“Jangan panggil aku begituan atau aku keluarin kamu dari kelas." Rena tertawa renyah mendengar ucapan Yafi.

"Coba aja kalau bisa," tantangnya. Tangan Yafi terjulur memegangi kursi Rena. Tenaganya seakan terkumpul siap menarik kursi Rena.

"Yafi, lo mau ngapain?"

"Keluarin kamu dari kelas," ucap Yafi cepat yang kini menarik kursi Rena menuju ambang pintu.

Rena menjerit ketakutan. Tubuhnya yang terseret bersamaan dengan kursi itu mampu menggelitik nyalinya. Yafi menyeret kasar kursi itu keluar dari kelas.

"Yafi, kalau gue jatuh gimana?" tanya Rena yang masih betah menduduki bangkunya.

"Bodo amat," ketus Yafi. "Meskipun tubuh aku pendek, tapi tenaga aku sekuat baja," sambung Yafi memperlihatkan lekukan lengannya.

Rena berhasil menautkan alisnya melihat lekukan lengan Yafi yang tak berisi.

Gak berotot, dasar bocah SD,
Rena membatin memperhatikan lekukan lengan Yafi.

Yafi menghentakan kakinya memasuki ruang kelas. Pintu kelas ia tertutup rapat membuat Rena bangkit dari kursinya.

"Yafi, buka pintunya," ucap Rena keras mengetuk kasar pintu itu. Yafi yang mendengar teriakan Rena menahan tawanya. Rena harus tahu bagaimana pembalasan dari Yafi.

***

Pulang sekolah, Rena menuju salah satu tempat  penerbit komik yang sempat ia datangi beberapa minggu lalu. Rena menarik napas panjang, berharap kejadian semalam tidak terjadi lagi.  Ia melangkah pelan memasuki tempat itu.

"Maaf, bisa bertemu dengan Pak Dika," tanyanya pada salah satu resepsionis yang berjaga saat itu.

"Silakan masuk, Dik," balasnya sopan menunjuk ruangan seleksi. Rena menggurat senyumnya. Melangkah ragu menuju ruangan itu.

"Permisi," ucap Rena sopan membuat pria parubaya itu mengalihkan pandanganya dari komputer. Tanganya terjulur membenarkan letak kaca matanya.

"Rena Riana," balasnya membuat Rena mengangguk. Pria itu membuka laci paling bawah mengambil dua lembar kertas gambar yang terselip di sana.  Ia merapikan beberapa berkas yang sempat ia tarik di antara berkas yang tertumpuk rapi.

Rena memejamkan mata. Berharap tak mendengar pernyataan yang sering ia dengar.

"Rena Riana, pihak penerbit kami tidak menerima gambaran tokoh kartun yang kamu kirim. Masalah pertama, tokoh yang kamu gambar tidak sesuai dengan apa yang kami harapkan. Kedua, mungkin kamu harus lebih melatih tangan kamu untuk belajar menorehkan garis pada setiap lekukan yang ingin kamu bentuk. Terakhir, imajinasi kamu tidak begitu liar. Mungkin di tempat lain karya kamu akan diterima," ucapnya tegas seakan tak peduli dengan perasaan Rena.

Sesak. Mendengar penolakan untuk kesekian kalinya mampu membuat Rena jengah. Ia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan tangis yang terus membasahi pipi. Rena hanya mengangguk. Sesekali tanganya menghapus kasar air matanya.

Gak apa, Ren. Mungkin ini bukan saatnya, Rena membatin, berusaha mengguratkan senyum simpulnya.

Rena tersenyum. "Terima kasih. Saya akan berusaha untuk melatih imajinasi saya. Maaf telah mengganggu waktu Anda. Saya permisi," ucap Rena pelan. Rena mengambil gambarannya keluar meninggalkan tempat itu.

Jangan nangis, Ren. Papa bilang kalau hari ini gagal masih ada hari esok untuk mendapatkan keberhasilan.
Rena membatin, mengusap kasar air matanya yang jatuh begitu saja. Rena menatap langit biru tersenyum simpul berusaha menghilangkan sesaknya.

Tuhan kalau aku kerja keras, Tuhan pasti mau ngabulin apa yang aku mau, 'kan? batinnya.

***

Bagi Rena, hari-harinya tak akan istimewa jika dirinya tidak menorehkan goresan pensil pada kertas gambarnya. Sedari tadi ia membaringkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya. Angin malam mampu menelusup melalui celah jendela yang tak tertutup. Rena menggeram kesal.  Niatnya untuk belajar terkalahkan dengan keinginan untuk melanjutkan gambarannya. Ia melihat ke ambang pintu yang terbuka kecil. Rena bangkit, menutup pintu itu perlahan.

"Males belajar. Mending menggambar aja. Lagi pula gak bakal ketahuan sama mama," gumam Rena pelan merapikan buku yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Baru saja ia mengambil buku gambarnya, senyum yang tercetak jelas hilang begitu saja.

"Buat apa gambar kalau gak pernah diterima ama penerbit komik? Gambaran jelek mana ada yang mau nerima," gerutunya kesal. Ia meremas kasar buku gambarnya. Membuang asal ke sembarang tempat. Rena memandangi banyaknya gambaran tokoh kartun yang pernah ia buat. Ia menggigit bibir bawah, tersenyum kecut mamandangi gambarannya.

"Jelek. Pantes aja gak diterima," gumamnya melempar asal semua gambarannya.

"Gue bodoh banget. Gambar sampe segitu banyaknya, ngirim ke penerbit, tapi semuanya gak ada yang mau nerima. Emang gue gak bisa gambar," gerutunya kesal

"Tapi kenapa gue malah gak bosen ngegambar, ya? Padahal ngegambar gak ngasilin duit. Terus mama marah marah. Gak dapet untung," sambungnya. Rena menopang dagu. Matanya menatap lekat kertas gambar yang tergeletak di sampingnya. Seakan sesuatu mampu menarikanya untuk menyentuh buku itu.

Ia menarikan pensil. "Mungkin gak sekarang. Tapi suatu saat pasti gambaran gue bakal menuhin salah satu buku komik," gumamnya menarikan pensil membentuk coretan abstrak.

"Rena kamu ngegambar lagi?" teriakan nyaring itu mampu membuatnya terlonjak kaget. Rena menelan ludah kasar melihat ibunya yang kini berkacak pinggang, melucutinya dengan tatapan tajammnya.

"Berapa kali mama harus bilang? Jangan buang-buang waktu cuma buat gambaran yang jelek kayak gitu. Apa untungnya?" bentak ibunya kesal merobek kasar gambaran Rena. "Apa kamu bakal dapet uang?" sambungnya.

Rena menunduk. Suaranya bahkan tak terdengar. Menjadi penonton bisu saat ibunya merusak semua gambarannya adalah kebiasaan Rena. "Kamu mau jadi pelukis gadungan? Kalau iya, mulai besok berhenti sekolah. Hidup sendiri dari uang gambarmu itu," suara ibunya semakin meninggi geram melihat Rena yang hanya tertunduk dalam isaknya.

"Punya otak buat belajar, bukan buat gambar begituan," ketus ibunya mendorong kasar kepala Rena. Dada Rena berdetak lebih kencang. Derai air mata tak mampu ia tahan. Rasa sesak mampu menghantam dadanya. Saat ia membutuhkan dukungan, ibunya dengan mudahnya mengatakan Rena buang-buang waktu.

"Rena berharap gambaran Rena bisa terbit di salah satu komik, Ma," balasnya terdengar gemetar.

Ibunya tertawa hambar. "Rena, jangan terjebak dengan sebuah imajinasi semu," balas ibunya cepat.

"Kamu pikir Mama gak tahu? Semua penerbit nolak karya kamu, dan kamu dengan naifnya masih berharap karya kamu bakal ada dalam sebuah kisah komik?" tanyanya meremehkan. Rena diam, menunduk mendengar celoteh ibunya. Ibunya membuang napas kasar mendengar isakannya. Ia mematikan lampu, menghentakan kakinya keluar dari kamar Rena.

Tangis Rena peca. Mendengar perkatan kasar dari ibunya, semakin membuatnya percaya jika karyanya memang tak pantas untuk terbit dalam kisah komik. Dalam kegelapan, Rena menumpahkan tangisnya. Ia menarik selimut menutupi semua tubuhnya. Rena menangis sesenggukan. Punggungnya gemetar mengingat perjuangannya yang selama dua tahun terakhir tak membuahkan hasil.

Lelah.

Jengah.

Kecewa.

Mampu menggambarkan perasaannya untuk perjuanganya.

"Rena," suara lembut itu berhasil mengendap tangisnya. "Rena kenapa nangis? Cerita sama Papa dong. Rena mau buat Papa ikut sedih?" tanya ayahnya yang masih mengenakan jas hitam dengan kemeja yang masih melekat di tubuhnya.

Rena diam, menggenggam selimutnya erat. "Gimana gambarnya? Diterima gak?" sambung ayahnya yang semakin membuat dada Rena sesak.

"Ditolak, Pa. Emang Rena yang terlalu berharap. Harusnya Rena gak pernah berharap setinggi itu, Pa," ketusnya.

"Rena, jangan berhenti berjuang. Tuhan cuma mau liat kerja keras Rena," sambung ayahnya berusaha menenangkan Rena.

"Tapi, apa Tuhan gak bisa ngabulin permintaan Rena? Sekali aja, Pa. Semua yang Rena lakuin gak ada hasilnya. Gambaran Rena ditolak berkali-kali. Rena kecewa, Pa," ucap Rena menumpahkan rasa sesaknya. Ayahnya mengusap pelan pucuk kepalanya.

"Ren, jangan berhenti di tengah. Banyak hal yang udah kamu lakuin untuk mimpi kamu. Ingat, bahkan pelukis terkenal harus berjuang untuk mendapatkan mimpinya.
Masih ada hari esok untuk mencoba," ucap ayahnya. Ia mengelus pucuk kepal Rena, tersenyum simpul berusaha menenangkan putrinya.

***

Mata Rena sembab. Menangis semalaman membuat matanya menyipit. Langkahnya cepat menuju kelas. Suara Yafi yang terdengar nyaring menggodanya, ia hiraukan begitu saja. Yang ia pikirkan hanya satu. Cara untuk mewujudkan mimpinya.

Kuning langsat kenapa, ya? Tumben diem aja tu orang. Yafi membatin melihat Rena yang membaca buku pelajarannya.

Merasa jenuh, Yafi meringkuk di bawah meja, membawa buku gambarnya. Lekukan jarinya lemas gemulai menarikan pensil pada buku gambarnya. Coretan abstrak yang mampu membuat seseorang terkagum dengan gambarnya. Rena yang melihat Yafi tersenyum tipis.

Yafi gambarannya bagus banget, batinnya.

"Yafi," panggil Rena.

"Kenapa?"

"Gambaran lo bagus," balas Rena cepat seraya mengguratkan senyumnya.

"Baru nyadar?” ketusnya membuat Rena kembali mengguratkan senyumnya.

Si Kuning Langsat kenapa? Tumben senyum ke aku, Yafi membatin.

"Mau ajarin gue gambar gak?”

“Males,” ketusnya. Rena membuang napas kasar. Sudut bibirnya berhasil tertarik melihat lolipop yang terselip di bibir Yafi.

"Yafi ganteng, kalau lo mau ajarin gue gambar, gue kasih lolipop yang banyak setiap rabu deh."

"Ok," balas Yafi cepat. Rena menautkan alisnya melihat senyum Yafi.

Dasar bocah SD. Giliran dikasih lolipop langsung mau ngajarin gue gambar. Gue doain biar ompong tu gigi, Rena membatin, berusaha menahan tawa.

Yafi bangkit berdiri, duduk di sebelah Rena. "Kalau gambar itu pake hati. Jangan asal-asalan. Ntar hasilnya jelek, kayak gambaran kamu," ucapnya dengan tawa renyah. Rena diam mendengar ucapan Yafi.

Yafi menggaruk tengkuknya. Niatnya hanya bercanda, tapi sepertinya Rena sedikit tersinggung.

"Aku bercanda."

"Gak apa."

"Gambar yang bagus itu harus sesuai dengan hati kamu. Jangan terburu-buru. Nanti hasilnya  jelek," jelasnya.

“Rena, kalau gambar itu, biarkan tangan kamu bekerja sesuka hatinya. Jangan pernah membatasi apa yang ingin kamu gambar. Jangan pernah menuntut satu keberhasilan dengan sekali usaha yang tak maksimal. Jadi intinya, gambar apa yang ingin kamu gambar."  jelas Yafi. Ia berhasil menautkan alisnya melihat Rena yang hanya diam. Yafi berdehem membuat Rena menampilkan senyum kakunya.

Selama ini gue gambar gak pernah pake hati, asal asalan, yang penting jadi, gak kayak Yafi yang bersabar buat nunggu asil akhir. Rena membatin mengingat dirinya yang hanya mementingkan asil akhir tanpa peduli dengan proses yang harus ia hadapi.

***

Hampir setiap hari Rena dan Yafi menghabiskan waktu istirahat di bawah bangku Yafi. Setiap rabu, Rena memberinya banyak lolipop. Yafi mengajarinya dengan senyum yang tulus. Tak ada lagi pertengkaran di antara mereka. Tak ada lagi kata kesal yang saling mereka lontarkan. Sesekali Yafi memperhatikan lekukan wajah Rena saat Rena fokus menggoreskan pensilnya pada buku gambarnya.

"Yafi, makasih udah ngajarin gue gambar."

"Iya, Ren. Tapi itu mukaknya terlalu kecil. Gak pas sama postur tubuhnya," jelas Yafi membuat Rena membuang napas kasar.

Bagi Rena, Yafi adalah guru mungil yang bisa memperbaikin karyanya. Orang yang terkadang menyebalkan, tapi tulus membantunya untuk bisa menggambar.

Hari ini Rena telah bertekad untuk mengirim gambarnya ke penerbit lagi. Kali ini ia tidak akan berharap. Terlalu menyesakan percaya pada sebuah angan semu.

***

Jam pulang sekolah Rena langsung menuju penerbit, menyerahkan gambarannya yang ia buat setelah berminggu-minggu. Ia lelah mendengarkan ucapan ibunya yang mampu menyayat hati. Rena menarik napas panjang memasuki tempat itu. Perlahan, ia membuka pintu kayu menampilkan seorang wanita paruh baya yang sibuk dengan banyaknya gambar.

"Permisi."

"Silakan masuk."

Rena tersenyum simpul, menyerahkan gambarannya yang langsung di terima dengan hangat. Sesaat harapan untuk diterima mampu mengusik pikiran Rena. Namun, ia berusaha keras menepikan pikirannya. Terlalu menyakitkan jika semua itu hanya semu.

Wanita itu meneliti gambaran Rena. Alisnya berhasil tertaut melihat gambaran itu. Ia mengangkat wajahnya, melihat Rena yang kian menegang.

"Gambaran kamu bagus," ucapnya pelan, Rena tersenyum simpul mendengarnya. "Tapi maaf, karakter yang kamu buat tidak cocok dengan komik kami. Mungkin kamu bisa membuat yang lain," ucapnya pelan. Rena berusaha keras menggurat senyumnya.

Ia kecewa. Terlalu menyakitkan ditolak dengan begitu mudahnya. Seakan perjuangannya selama dua tahun terakhir tidak membuahkan hasil.

"Baiklah. Terima kaih," balas Rena pelan, beranjak keluar tempat itu.

***

Rena berjalan pelan. Langkahnya lunglai, seakan apa yang ibunya katakan benar adanya. Ia hanya gadis bodoh tanpa keahlian apapun. Rasanya sesak, tapi Rena terlalu sering merasakan kecewa seperti tadi. Ia duduk di bangku halte memandangi gambarannya.

"Gambarannya bagus," suara berat itu membuat Rena mengalihkan pandangannya.

"Terima kasih," balasnya pelan.

"Kamu mau tidak jika gambaranmu itu saya jadikan tokoh dalam komik yang akan saya terbitkan? Kebetulan saya sedang mencari tokoh untuk komik saya,” ucapnta mampu membuat Rena menegang.

Tuhan pada akhirnya mengabulkan harapannya. Bahkan Rena ditawarkan untuk menerbitkan gambarannya. Selama ini Rena yang selalu menawarkan gambarannya. Sesaat, dunia seakan berpihak kepadanya.

"Saya mau. Terima kasih, Pak," ucap Rena senang. Ia menyerahkan gambarannya, membuat pria itu tersenyum simpul.

"Cek ini sebagai royalti yang saya berikan. Senang bekerja sama denganmu. Dan ini kartu nama saya," ucapnya. Tangan Rena menerima benda itu. Matanya berhasil membulat melihat nama penerbit Cocano tertera di sana.

Karyanya diterbitkan oleh Penerbit Cocano tidak pernah Rena bayangkan. Penerbit Cocano yang menerbitkan begitu banyak komik yang laris di pasaran. Bahkan buku-buku mereka di pajang di rak paling depan. Tak hanya itu, harga buku yang Penerbit Cocano terbitkan jauh melambung di antara buku lainnya.

Ya ampun Penerbit Cocano. Perjuangan gue gak sia-sia. Makasih, Tuhan, Rena membatin tak mampu menyembunyikan rasa senangnya.

***

R

ena berlari kecil menuju dapur. Suaranya nyaring meneriaki ibunya. "Kenapa Ren?"

"Akhirnya gambaran Rena bakal dijadiin komik, Ma. Liat. Rena dapet cek sebagai royalti dari gambaran Rena," ucap Rena begitu semangat. Ibunya tersenyum kecut, mengeluarkan kue bolu dari oven.

"Mama harus tahu gambaran Rena diterbitin oleh penerbit Cocano di salah satu komiknya," sambungnya begitu antusias.

"Baguslah," balasnya datar. "Tapi mama kasih tahu, pelukis sejati gak akan berakhir dengan nyiptain satu karya yang berhasil. Dan jangan berpikir untuk menjadi pelukis komik," sambung ibunya tegas.

Mama bener. Aku hanya amatir dan belum tentu bisa buat karya yang sebagus sekarang, Rena membatin malas. Melihat kue bolu yang mampu menyeruak menusuk hidungnya.

***

Rena menghentikan langkahnya di alun alun kota. Gemerlap lampu malam terlihat senada dengan suasana kota. Angin malam mampu menusuk kulitnya, tapi Rena terlihat bersahabat dengan kedinginan yang mampu menyelimuti dirinya. Ia duduk di salah satu bangku, menatap lurus jalanan yang ramai.

"Hai Kuning Langsat," suara itu membuat Rena mendongakkan kepalanya melihat Yafi mengisap lolipop.

"Hai bocah SD,” canda Rena yang membuat Yafi kesal.

"Gak deh. Hai cowok ganteng yang mau ngajarin gue gambar," sambung Rena membuat senyum Yafi mengembang.

"Ngapain di sini sendiri?"

"Gue gak sendiri. Lagi sama cowok ganteng nih," balas Rena asal membuat pipi Yafi memerah seketika.

"Yafi, lo tunggu di sini dulu. Jangan ke mana-mana, jangan bernapas, eh ...."

"Mati dong," sambung Yafi cepat, Rena tersenyum geli mendengar ucapannya.

"Oke. Lo tunggu di sini, jangan ke mana-mana, jangan tinggalin gue, boleh bernapas," ucap Rena cepat membuat senyum Yafi mengembang.

"Siap," balas Yafi menaruh jemarinya di pinggir kening kanannya membentuk sikap hormat.

"Lo pertahanin sikap itu sampai gue dateng."

"Ta—tapi, Ren. Rena ...." ucap Yafi. Namun, Rena telah lenyap di ujung jalan.

Hampir setengah jam Yafi menunggu kedatangan Rena. Ia bahkan tidak menurunkan tangannya. Entah kenapa ia percaya Rena akan datang menemuinya. Yafi membuang napas kasar. Tangannya terasa pegal. Bodohnya, ia masih mempertahankan sikapnya.

"Yafi," teriak Rena nyaring, ia terkekeh melihat Yafi masih mempertahankan sikapnya.

"Gak pegel?"

"Pegel. Boleh aku turunin gak?"

Rena mengangguk mengiakan ucapan Yafi. "Buat lo," sambung Rena menyerahkan sekantung lolipop kepada Yafi. Mata Yafi berbinar, untuk beberapa minggu ke depan ia tidak akan menyisihkan uangnya untuk membeli lolipop.

"Rena si Kuning Langsat, makasih," ucap Yafi melemparkan senyum manisnya. Rena mengangguk mengiakan ucapan Yafi.

"Yafi, gue duluan, ya," ucap Rena pelan. Yafi mengangguk mengiakan ucapannya. Rena menghentakan kaki meninggalkan dirinya.

Yafi memandangi Rena pada pijaknya, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Tangannya terjulur pelan memasukan lolipop itu kedalam mulutnya.

"Lolipopnya manis kayak kamu, Kuning Langsat," gumam Yafi mengingat senyum Rena yang terlukis indah di sudut bibirnya.

Di kesunyian malam, Rena melangkah pelan menyusuri jalanan kota. Ucapan ibunya bagai lagu lama yang berputar secara berkala. Dadanya sesak. Ibunya bahkan tidak menaruh rasa bangga atas keberhasilannya. Ia menghentikan langkahnya menatap langit malam yang penuh bintang.

"Mama benar. Gue hanya pelukis amatir yang berakhir dengan satu karya" gumamnya tersenyum kecut menatap langit. "Tapi setidaknya, gue tahu gimana rasanya berjuang untuk mendapatkan satu keberhasilan," sambungnya.

Ponselnya berbunyi. Tanganya tergerak cepat membuka notif pesan.

"Rena, selamat. Kamu berhasil nerbitin gambaran kamu di Penerbit Cocano. Pasti kamu seneng. Papa bangga sama kamu, Rena.
Mama yang udah kasih tahu Papa tentang itu, Ren." Suara Rena pelan membaca pesan ayahnya. Bibirnya tersenyum simpul.

"Makasih, Papa. Makasih karena Papa selalu semangatin Rena," ucap Rena seraya mengetik dalam ponselnya.

Setidaknya ayahnya menaruh rasa bangga pada putrinya.
Bagi Rena, kebahagian yang sesungguhnya ialah saat mimpi yang ia tanamkan menjadi nyata. Bukan hanya sebuah untaian kata indah yang bersembunyi di balik kata semu.

***

Written by KumalaMoctility

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro