Segumpal Harapan dan Seonggok Kalimat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ica menopang dagu gusar. Duduk di meja guru menghadap teman-temannya, dia bisa melihat cowok itu masih bertahan di kursinya. Terkadang Ica pikir, cowok itu adalah salah satu manusia buatan melalui teknologi modern. Seperti robot, hanya saja postur manusianya terlalu kental. Mungkinkah detak jantungnya sudah berhenti? Mungkin juga organ hatinya tidak bekerja dengan baik, atau mungkin cowok itu juga manusia mati yang kemudian dirasuki roh.

Dia bergidik. Saking penasaran kenapa manusia bisa tidak punya ekspresi, Ica mau repot-repot mencari fungsi organ manusia dan hormon yang dihasilkan. Meskipun otaknya lambat sekali dalam menyerap karena bukan bidangnya, tetapi Ica bersikukuh sampai akhirnya menemukan artikel tentang sebuah film Jurassic Park. Dalam film tersebut, bisa muncul lagi binatang purba seperti dinosaurus melalui teknologi rekayasa genetika. Pencangkokan DNA(Deoxyribo Nucleic Acid) darah dari serangga penghisap darah yang terjebak getah pohon, menjadi fosil. Kemudian berhasilah mereka menciptakan dinosaurus.

Sebagai anak Bahasa, Ica tidak paham apa yang dimaksud. Namun otaknya menangkap satu hal, kalau dinosaurus bisa diciptakan melalui teknologi, mungkin saja manusia juga bisa. Terdengar konyol, tetapi Ica sangat penasaran.

Mungkinkah Alvi salah satu manusia ciptaan itu?

Keyakinannya meningkat saat sekalipun tidak pernah melihat Alvi pergi ke kantin. Ica juga belum pernah melihat Alvi minum. Mungkin saja manusia buatan memang tidak lapar dan haus?

Kepalanya sengaja dipukul keras saat pikiran itu semakin jauh melayang. Dia tersadar begitu mendapati setumpuk buku sudah tersusun rapi di depannya. Lima menit lagi istirahat, Ica menghitung jumlah buku untuk memastikan semua temannya mengumpul. Kurang satu, sontak matanya menjelajah untuk menemukan orang yang belum mengumpulkan, dan mendapati Alvi-lah pelakunya.

Ragu Ica mendekat, sekaligus melirik sedang apa cowok itu. Tidak ada, hanya duduk diam menatap keluar.

“Alvi mau ngumpul, nggak?” tanyanya. Tidak melirik sedikitpun, Alvi meletakkan bukunya ke atas tumpukan yang dibawa Ica. Cewek yang rambutnya tidak pernah tergerai itu menghela.

“Bisa minta tolong bantuin bawa ke—”

“Berisik.”

Ica mundur karena kaget. Demi semua jenis mahluk astral di kelas ini, Ica yakin kalau Alvi memang bukan manusia biasa. Tangannya tergerak refleks menutup mulut hingga bukunya terjatuh semua.

“Ya, ampun! Nggak sengaja!” pekiknya kaget. Semuanya jatuh berantakan, sontak dia berjongkok untuk merapikannya lagi. Namun tempat itu terlalu sempit untuk perempuan ceroboh sepertinya. Kepalanya maju dan terantuk meja, pekikannya tak terelakan lagi.

“Dasar ceroboh.” Kalimat itu terdengar kesal, tetapi setelahnya Ica merasakan seseorang menjauhkan meja dan berjongkok di depannya. Mengambil alih buku-buku yang belum selesai dia bereskan.

Tangannya mengepal erat di sisik tubuh. Kepalanya bergerak miring untuk melihat wajah Alvi lebih dekat. Netra cokelat, hidung mancung, dan bentuk wajah yang proporsional. Jarak sedekat ini membuat Ica sadar bahwa rambut Alvi berantakan. Ingatannya berlari pada beberapa minggu lalu, saat beberapa cewek di kelas mendadak heboh membicarakan rambut Alvi yang katanya disisir rapi.

Ketika itu kebetulan sekali Ica sedang dipanggil guru sampai saat dia kembali Alvi sudah kembali ke bentuk semua. Rambut berantakan.

Jarak sedekat ini juga membuat Ica merasakan sesuatu. Deru napas Alvi begitu jelas membuatnya seketika mundur dan terantuk meja di belakangnya.

“Awh!” Dia mengusap belakang kepalanya sambil meringis. Setelah nyeri perlahan mereda, Ica mengedip. Memandang Alvi lebih intens. Gumaman lolos begitu saja dari bibirnya. Alvi beralih menatapnya datar, terlihat keberatan dengan kalimat Ica.

“Kamu manusia sungguhan?” Alvi berlalu, meletakkan buku yang sudah dia ambil ke lantai lagi. Lalu keesokan harinya sampai beberapa hari ke depan, Alvi masih tetap sama. Hanya persepsi Ica yang kini mengalami kemajuan dari Alvi-bukan-manusia menjadi Alvi-manusia-seutuhnya.

Teriakan bendahara kelas menagih uang khas mingguan terdengar menggema di senin pagi. Minggu ini kelas mereka tidak kebagian jadwal upacara, alhasil diam di kelas sambil menunggu guru pengampu datang. Namun lima belas menit berlalu belum ada tanda-tanda kehadiran.

Pintu terbuka dari luar, lalu muncul sosok adik kelas yang akhir-akhir ini sering berkeliaran karena akan bimbingan untuk olimpiade. “Kak Ica disuruh ke kantor sama Pak Juned, suruh bawa buku paket di perpustakaan.”

Ica mengembuskan napas. Baru saja berdoa semoga memang tidak masuk, tiba-tiba berita kemunculannya sudah mengudara.

“Oke. Makasih ya,” ujarnya sambil meninggalkan kelas. Sebenarnya, ada yang mengganjal di pikirannya saat ini. Tentang Alvi yang sudah dia klaim sebagai manusia bukan sungguhan. Apalagi saat melihat wajah Alvi yang tidak senang, jelas saja tersinggung. Mungkin kalau Ica dalam posisi itu, dia tidak akan segan mencakarnya.

Gimana cara minta maafnya, ya? Alvi pelit bicara begitu, nanti didiemin lagi. Kan nggak enak.

Gusarnya semakin bertambah saat dilihatnya cowok tinggi itu berjalan berlawanan arah dengannya. Telapak tangannya disimpan dalam saku celana, melangkah teratur dengan kaki panjang yang tiba-tiba membuat Ica gugup. Pikirannya berkecamuk, rencananya meminta maaf sudah disusun dari kemarin, tetapi keberanian Ica luntur saat berhadapan dengan Alvi.

“Alvi,” panggilnya teramat pelan. Pikirnya Alvi tidak akan mendengar, tetapi mengetahui cowok itu berhenti tepat di depannya membuat Ica seketika gugup. Kata yang sudah dia hafal beberapa hari ini menguap. Tiba-tiba dia kehilangan kemampuan merangkai kalimat. Kosa katanya hilang, beriringan dengan tubuhnya yang berlahan meringsek mundur karena deheman cowok itu mengejutkan.

“Kalau mau bicara, cepat.”

Salahkan Ica yang tiba-tiba merasa excited. Pertama kalinya Alvi bicara duluan, itu pun seakan tidak ingin melihatnya lama-lama. Kemudian gelenyar aneh merasuki nadinya, menimbulkan efek geli berlebihan. Ya ampun, jangan sampai suka beneran sama manusia satu ini.

“Alvi, tunggu!” Ica tersadar saat Alvi akan melangkah pergi. Selama apa dia menghayati perasaan yang tiba-tiba muncul ini? Kira-kira kalau dia bilang maaf sekarang, bagaimana reaksi cowok itu? Senang, atau tersenyum? Ahhh!

“Alvi, Alvi. Tunggu sebentar!” Kali ini Ica memberanikan diri menarik lengan Alvi. Dia tidak mau kehilangan kesempatan lagi. Tubuhnya yang kecil hampir saja terantuk karena usaha yang dikeluarkan tak sebanding dengan massa Alvi.

“Lama.”

Ica tidak mau berhayal lagi. Dia menarik napas panjang, lalu mengembuskan keras menunjukkan kegugupannya saat ini. Tetap saja detak jantungnya tak mau bersantai, memacu semakin cepat hingga tangannya berkeringat. Demam panggung, mungkin jika Ica sedang berpidato bisa dikatakan begitu. Sekarang … demam Alvi.

“Sebenarnya … aku mau minta maaf soal kemaren yang bilang kalau kamu … bukan manusia beneran.” Suara Ica memelan di akhir kalimat. Tangannya sudah beralih meremas satu sama lain di depan perut. Seratus lima puluh tiga dibanding seratus tujuh puluh senti meter, dia harus mendongak untuk melihat reaksi Alvi. Namun, cowok itu terlalu datar untuk menunjukkan ekspresinya.

“Alvi, aku ….”

“Iya.”

Belum selesai Ica bicara, Alvi sudah lebih dulu berlalu. Hanya dengan tiga huruf ambigu itu. Ica melongo, jadi tadi itu apa artinya gelenyar pada seluruh tubuh? Sepertinya hanya Ica yang berlebihan. Segumpal harapnnya untuk bisa berteman baik dengan Alvi hilang hanya dengan seonggok kalimat terakhir cowok itu pagi ini.

———————————
DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) adalah asam nukleat yang menyimpan semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit, dan sifat-sifat khusus manusia. DNA adalah materi genetika yang membawa informasi yang bisa diturunkan. Di dalam sel manusia, DNA bisa ditemukan dalam inti sel dan di dalam mitokondria. (Sumber: Liputan6.com pada 03 Maret 2019)

******

Written by Dyiess_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro