Si Tanpa Eksistensi di Dunia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sembari menendang kerikil yang ada di depannya, Abel mengeratkan syal di leher. Dia kembali meluruskan pandangan, memperhatikan jalanan ramai sembari melangkah perlahan. Melalui gerbang masuk, gadis itu menuju bangunan besar sebuah rumah sakit, dengan tanpa beban melintasi lobi, kemudian seolah kurang kerjaan, menaiki tangga hingga menuju lantai tiga, terus berjalan ke bangsal Gardenia, menuju kamar 202.

Menuju kamar tempat seseorang yang paling berharga baginya dirawat, menginap dalam keadaan tanpa sadar selama setahun terakhir.

Abel menutup kembali pintu kamar yang barusan dia buka, kemudian menatap wanita yang berbaring di ranjang. Dia terseyum dan menyapa sebelum melepas sepatu,

"Pagi, Bu."

----------<>----------

Seperti hari-hari biasanya, Abel duduk tenang di pojok depan kelas, di dekat pintu. Bolpen di tangannya bergerak-gerak, mengguratkan angka-angka dan huruf di kertas coret-coretan. Mengabaikan kursi Safire—teman sebangkunya—yang kosong, ditinggal tuannya pergi berdiskusi di meja lain. Mengabaikan suara tawa di ujung-ujung kelas, suara anak-anak yang bercanda sembari mengerjakan tugas. Mengabaikan suara-suara dari tengah, suara anak-anak yang sibuk menjelaskan maksud soal dan jawaban kepada yang datang bertanya.

Mata pelajaran matematika, jam kosong, hanya diberi tugas.

"Bel!"

Abel yang tengah berusaha meluruskan keruwetan neutron dalam otak, tanpa banyak ucap langsung merogohkan tangannya ke dalam laci, meraih power bank, kemudian menyerahkannya ke entah siapa—tanpa merasa bahwa dirinya perlu untuk menoleh.

"Makasiiiihh. Peka, deh."

Gadis berambut sebahu itu hanya berdehem dan mengangguk seadanya, kemudian mengeraskan volume musik yang tersambung ke earphone di kedua telinga, kembali meraih alat tulis dan fokus pada lks di hadapannya.

Mata hitam Abel yang terbingkai kacamata bergerak seirama dengan kecepatan bolpen di tangan. Bibir gadis itu bungkam, meski sesekali bergerak-gerak entah menggumamkan apa.

Duduk diam di pojokan kelas tanpa teman dengan earphone menyumpal kedua telinga. Dalam posisi seperti itu, Abel tampak tenang bersama kesendiriannya dalam duduk. Tetapi gadis itu, dia sesungguhnya tidaklah sendiri. Dan dia bahkan tidak diam, melainkan sedang berdiskusi dengan sesuatu. Sesuatu yang dia sebut dalam status di semua media sosialnya.

'Si Tanpa Eksistensi di Dunia'

"Coba kamu tanya aja, deh, Bel. Tanya Ken, coba. Pinter kan dia, tuh? Kalo cuma ngawang-ngawang pake insting nggak bakal ketemu jawabannya."

Abel mengoyangkan kepalanya pelan, bermaksud menggeleng, tidak menyetujui pendapat yang terdengar di dalam kepalanya. Dia tidak dekat dengan Ken—si ranking satu. Meski, sebenarnya dia memang belum pernah benar-benar dekat dengan siapapun. Suntuk tidak juga segera menemukan jawaban, dalam hati Abel membatin, Mes, aku nyerah. Ntar minta contekan ke Safire aja kali, ya?

"Ckckck, usaha dulu sampe maksimal. Punya temen sebangku kok dimanfaatin terus. Yaudah, nggak usah tanya nggak papa, tak temenin sampe ketemu jawabannya."

Gadis berkacamata itu diam-diam tersenyum tipis. Ames memang yang terbaik.

----------<>----------

Abel menekan tombol on, membiarkan blender menghancurkan alpukat dan melarutkan gula bersamanya. Keringat hasil jogging memutari sekeliling kompleks masih menetes di leher dan bawah telinga, tetapi peduli setan. Itu akan segera hilang dalam sepuluh menit.

Gadis berambut sebahu itu mengambil handuk dan baju ganti, lalu kembali ke dapur.

"Oh, udah jadi."

Abel mengangguk menyetujui ucapan Ames. Jusnya sudah siap. Selesai memindahkan jus ke dalam gelas, dia segera menenggaknya sampai habis.

"Inget, nggak? Dulu kita rasanya pernah hampir mati gara-gara jus alpukat."

Ucapan Ames membuat Abel membatu. Ingatan itu tiba-tiba saja datang. Ingatan dari setahun yang lalu. Ingatan tentang, bagaimana dia hampir menjadi gila karena raibnya eksistensi sang ibu dari rumah.

----------<>----------

Kegiatan Abel selalu sama setiap harinya. Bangun pagi, jogging, minum segelas penuh jus alpukat, mampir ke rumah sakit untuk menyapa ibunya, berangkat sekolah, beli roti di kantin untuk sarapan, makan siang di sekolah, selesai sekolah langsung menuju rumah sakit, makan malam dan belajar, kemudian pulang setelah ayahnya tiba sehabis bekerja—mereka bergantian menjaga sang ibu, kemudian tidur, bangun pagi, jogging, dan siklus itu terulang kembali.

Terus, terus, dan terus begitu. Sampai Abel lupa apa makna sebenarnya dari hidup, karena Abel tidak pernah menemukan sesuatu yang bisa dimaknai di hidupnya.

Kalau diingat-ingat, Abel pernah hancur dulu, dan menghancurkan. Hancur karena kecelakaan ibunya yang terjadi demi menyelamatkan dirinya, dan berakhir menghancurkan dapur karena tangan Abel terlalu kaku untuk mampu menguasai wilayah itu.

Sebut saja, tanpa sengaja menghancurkan blender, membakar centong, hampir meledakkan gas, membuat isi telur berceceran di lantai tapur, membelah dua talenan kayu, memecahkan cobek, dan lain sebagainya. Bahkan Abel pernah merasa nyaris mati keracunan karena untuk pertama kalinya, dia meminum jus alpukat yang rasanya sangat jauh berbeda dari jus alpukat yang sebelumnya selalu dia rasakan.

Siapa yang tahu jus alpukat ternyata membutuhkan gula? Dan siapa yang tahu ternyata gulanya ikut diblender bersama alpukatnya? Karena sebelumnya, Abel tidak pernah tahu.

Saat itulah, untuk pertama kalinya, Abel menyadari bagaimana dia sudah terlalu manja selama ini. Benar kata orang, satu-satunya cara agar seseorang sadar bahwa dirinya selalu bergantung adalah dengan menghilangnya tempat dia bergantung.

Abel menggeleng pelan, menghapus ingatan ngawur dan tak penting yang melintas di pikirannya. Dia melanjutkan makan, menghabiskan nasi goreng yang dia pesan.

Langit sudah mulai memerah, lampu-lampu dihidupkan, suasananya mulai suram—karena jam besuk memang sudah habis untuk sore ini. Di kantin rumah sakit yang sepi, Abel tampak menyedihkan. Duduk sendiri, makan sendiri. Meski dia sebenarnya tidak pernah benar-benar sendiri. Bukankah ada Ames yang selalu bersamanya?

Benar, Abel tidak membutuhkan siapapun lagi. Dia punya ayah yang meski selalu sibuk bekerja, tetapi Abel dapat paham bahwa itu juga dilakukan demi kebaikan Abel dan ibunya. Dan Abel punya Ames sebagai teman, sahabat, pacar, kakak, dan adik. Yang kurang dari Abel hanya seorang ibu, itu saja. Tetapi hal tersebut juga bukan masalah. Mau menunggu sampai berapa lama lagi pun, Abel tidak keberatan. Karena dia yakin, ibunya akan bisa kembali bangun dan mengisi kekosongan di sudut ruang hati Abel.

Abel berjanji, dia akan menjadi anak yang berbakti ketika ibunya bangun nanti. Abel berjanji tidak akan manja lagi. Tidak seperti dulu, sekarang Abel sudah bersahabat dengan dapur. Tidak seperti dulu, sekarang Abel terbiasa mencuci baju. Tidak seperti dulu, Abel bisa membuat jus alpukatnya sendiri sekarang.

"Tapi sebenarnya, kamu mulai merasa membutuhkan teman dengan sosok yang nyata, kan?"

Suara Ames terdengar di dalam tengkorak kepala Abel. Abel menggeleng pelan, menggumamkan kata tidak.

"Jangan munafik, Abel. Kamu membutuhkannya, kan? Kamu merindukan kasih sayang sungguhan yang hanya bisa tercipta dengan adanya relasi antar sesama manusia, kamu merindukan pelukan, kamu merindukan senyuman."

Abel kembali menggeleng, kembali bergumam. Dia tidak ingin meninggalkan Ames, dia tidak ingin Ames meninggalkannya. Abel tidak membutuhkan teman, karena Abel memiliki Ames.

"Tapi aku tidak nyata, Abel. Aku hanyalah perwujudan dari khayalan kamu. Aku hanyalah perwujudan dari emosi yang tidak bisa kamu keluarkan.

"Ini tidak sehat. Tidak selamanya kamu bisa melindungi dirimu sendiri dengan terus merasa seolah-olah kamu tidak merasakan sakitnya hidup sendiri. Kamu harus menangis, atau kamu akan semakin menjadi seperti mayat hidup. Kamu harus berteriak, atau beban di batinmu akan terus membunuhmu dengan perlahan. Biarkan seseorang tahu, Abel, biarkan seseorang mendengarmu. Biarkan seseorang memelukmu."

Abel masih menggeleng, kali ini disertai dengan senyuman yang sarat akan rasa sakit. Berbisik pelan tentang betapa bawelnya Ames hari ini.

"Abel, berhenti menyangkal." Ames tidak berhenti berkata.

"Menangis bukanlah aib, singkirkan mindset sialan itu. Membutuhkan pelukan dan ingin didengarkan bukan berarti kamu lemah. Itu hanyalah bukti bahwa kamu adalah manusia. Itu adalah bukti kalau kamu pun memiliki hati. Biarkan seseorang masuk, Abel. Biarkan dirimu sendiri berhenti bergantung padaku. Cukup satu saja Abel, hanya satu orang. Biarkan seseorang tahu mengenai ceritamu, dan aku akan pastikan hidupmu akan jauh lebih baik setelah itu.

Aku bukanlah seseorang, Abel, dan seharusnya tidaklah ada. Karena aku, hanyalah bagian dari emosi Abel, yang Abel pisahkan dari emosi utama Abel sendiri.

Karena Ames dan Abel adalah orang yang sama, Maheswari Sifabella."

----------<>----------

Abel melepas earphone. Isi kepalanya masih membayangkan ucapan Ames kemarin.

Teman, huh?

Gadis itu mengedarkan pandangan ke kelasnya. Bukankah memiliki teman itu, terdengar sangat merepotkan? Dan, menangis di depannya? Oh ayolah, itu memalukan.

Kita mulai tahun depan ya, Ames?

Abel menahan senyum membayangkan Ames memutar bola mata bosan. Gadis itu menunduk, berniat kembali memasang earphone di telinga, mengempaskan jauh-jauh pikiran aneh di dalam kepalanya untuk sementara. Dia perlu waktu lebih panjang untuk berpikir ingin memiliki teman.

Namun tiba-tiba, seseorang dengan pedenya duduk di bangku Safire yang kebetulan memang kosong, lalu tanpa malu mendempetkan tubuhnya ke tubuh Abel, membuat mata gadis itu membola hingga netranya nyaris membesar dua kali dari yang seharusnya.

"Bel, Bel! 'Nurut lo, gue harus pilih mana? Yang ini keliatan lebih imut kan, ya?"

Ames tersenyum, kemudian berbisik untuk yang terakhir kali, "waktunya untuk perubahan."

****

Written by DHoseki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro