RAIN : 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading :)

***


"Lihat siapa yang dat—akh!"

Pemuda itu tersungkur, jatuh dari kursi setelah menerima pukulan tepat di tulang pipi. Suara jerit dan pekikan segera terdengar dari berbagai sudut kantin, yang tanpa sadar telah membentuk seperti melingkar, mengerubungi dua pentolan sekolah yang namanya sudah banyak dikenal itu.

"Bajingan kau!" geramnya, lantas mencengkeram kerah baju pemuda bersurai hitam pekat tersebut. Menariknya dengan emosi yang meledak-ledak. "Berengsek kau!" imbuhnya, yang disertai dengan sebuah pukulan di tempat yang sama.

"Kau yang bajingan, berengsek!"

Kali ini giliran pemuda lain berkulit sedikit kecokelatan yang melayangkan satu jotosan dengan cukup bertenaga. Membalas tamu tak diundang yang tiba-tiba membuat keributan. Rambutnya disugar ke belakang. Wajahnya oriental dan tegas. Bibirnya cukup berisi.

"Lucas, hentikan," perintah pemuda yang sempat dihadiahi bogem mentah tersebut. Ia bangkit sambil menampakkan sedikit seringai. "Tahan dulu. Jangan sampai tulangnya remuk dan kita tidak mendapatkan apa-apa," ucapnya lagi.

Pemuda yang dipanggil Lucas itu segera merapikan kemejanya, duduk dengan ekspresi sebal sementara tangannya ditumpukan pada meja. Menahan amarahnya yang sudah menyala.

Memang dia yang memiliki emosi paling tinggi. Bahkan pemuda Jeon, sang pentolan itu, tampak jauh lebih tenang pembawaannya.

"Oi, Kook. Ada apa?" tanya Jeon Wonwoo pada Jungkook yang masih terduduk di lantai. Melemparkan sebatang rokok pada pemuda Min sambil terkekeh ketika pemberiannya hanya dilihat sekilas, lalu diinjak begitu saja. Lagipula, orang di hadapannya ini tetaplah bayi. Dia tidak akan berani memungut rokok itu dan menjejalkan ke dalam mulutnya.

Jungkook meludah ke sembarang arah mendengar panggilan dari Wonwoo yang sok akrab tersebut. Telinganya tidak sudi mendengar barang sebatas angin berembus. "Basi sekali kau," cibirnya.

"Dari ekspresimu aku bisa menebak kalau itu berkaitan dengan kakakmu. Apa aku salah?"

Wonwoo mendekati Jungkook, merendahkan tubuhnya sambil merangkul bahu lelaki tersebut, kemudian berbisik pelan di sana. "Bukan aku yang melakukannya."

Sebelum itu, Jungkook telah menepis lengan yang mengalung di bahunya cukup keras. Membiarkan gejolak amarahnya meluap lagi. Iris tegas pekat di depannya juga tak jauh beda. Sinarnya penuh kemarahan.

"Kau pikir ada yang percaya?" Jungkook menatap Wonwoo intens.

Jemarinya kembali bergerak, mencengkeram kerah seragam Wonwoo lebih keras. Dalam sekejap mengunci tubuh kekar tersebut sambil membabi buta melayangkan pukulan. Wonwoo belum berniat membalas. Dia hanya terkekeh-kekeh dengan mulut berdarah. Sedangkan penonton dadakan di sana tidak ada satu pun yang ingin atau setidaknya berniat melerai. Bahkan yang bernama Lucas serta rekannya yang lain, Changbin, pun tidak memiliki niatan tersebut.

"Sekali lagi kau berani menyentuhnya, akan kupastikan kau..." Jungkook menjeda kalimatnya kala Wonwoo membalas tatapannya, sementara tangannya berhasil ditahan oleh pemuda tersebut. Air muka keduanya sulit ditebak. Bahkan Wonwoo sekalipun yang memberikan tatapan lain yang tidak mungkin disadari oleh seluruh murid di kantin kala itu. "Akan kupastikan kau...," Jungkook sedikit menggeram. Ia memejam sebentar, sedang mulutnya terbuka, ingin melanjutkan kalimatnya. Namun gagal begitu Wonwoo berbalik menghadiahi wajahnya dengan pukulan, lagi.

"Akan kupastikan apa?" ejek Wonwoo. "Membunuhku?" sinisnya disertai senyum miring. "Coba saja kalau bisa," lalu menarik kuat seragam Jungkook hingga kancing atasnya lepas dan dadanya nyaris terekspos jelas. Ada bekas luka cekung memanjang di sana. Seperti terkena sayatan yang tajam dan dalam. Mungkin saja.

"Sedang apa kalian?!"

Keduanya—bukan, tapi seluruhnya—menoleh ke sumber suara yang datang tiba-tiba. Berdiri dari arah tangga kantin sambil membawa tongkat panjang di tangan. Dia guru Park, yang menangani murid di ruang konseling. Segera saja semua murid yang kebetulan masih bertahan di sana memberi jalan. Yang lain tampak memilih menjauh dari kantin, tidak ingin terlibat lebih.

"Sial," umpat Jungkook. Bibirnya mendesis pelan saat berusaha melepaskan cengkeraman Wonwoo dari seragamnya.

Tidak lupa mengenai catatan poinnya, bukan?

"Sial," dia mengumpat lagi. Kali ini seraya melirik Wonwoo yang sudah berdiri, membenarkan seragamnya sebelum membungkuk hormat kepada guru Park.

Masih dengan tatapan galak, guru Park berujar, "Kalian berdua, ikut saya ke ruang konseling!"

Mungkin saja, Jungkook tidak lagi bisa menginjakkan kaki di sekolah ini esoknya. Astaga.

***

"Kenapa kau melakukannya?"

Itu Yoongi yang berbicara.

Mereka sedang ada di atap sekolah yang sepi dan hampir tidak pernah dikunjungi seorang pun siswa. Sebab, atap di sekolah ini tidak seperti yang ada dalam bayangan kebanyakan orang. Di sini kotor, kumuh, dan hanya ada barang-barang bekas yang ditumpuk tidak beraturan. Pintunya sudah berkarat dan dikunci rapat, kecuali kalau Yoongi yang meminjamnya. Selain itu, letaknya juga cukup terpencil. Di dekat tangga kantin lantai satu yang sudah tidak beroperasi lagi sejak beberapa tahun yang lalu. Sekarang kantin pindah tempat, berada di bawah aula pementasan yang dekat dengan lapangan basket dan voli.

"Sudah kubilang sebelumnya kalau jangan diperpanjang, kenapa tidak mau menurut?!"

Tidak bisa dipungkiri bahwa suara Yoongi meninggi. Selama ini profilnya adalah pemuda lembut yang tidak bisa marah. Setidaknya pada Jungkook, atau siapa pun itu yang ia sayang. Berteriak seperti itu merupakan kali pertama baginya, pun bagi Jungkook yang mendengarnya.

"Hyung, aku hanya ingin memberi pelajaran pada orang yang sudah menyakitimu," Jungkook bermaksud mengutarakan pembelaan diri. Sayangnya, Yoongi tetap tampak tidak bersahabat.

"Lalu kalau mereka membunuhku, kau juga akan membunuh mereka. Begitu?" Yoongi masih belum ingin mengendurkan uratnya. Jungkook jadi kepayahan sendiri.

Dia hampir selalu menuruti kata-kata kakaknya. Mungkin itu juga yang menjadi alasan mengapa dia harus sembunyi-sembunyi jika ditantang sparing oleh Wonwoo. Pada malam hari akan membuat pergerakan diam-diam sebelum bertemu Taehyung di bawah balkon kamarnya. Ia menjadi penurut dan patuh, bahkan seringkali manja kalau itu menyangkut Yoongi.

Dia sangat menyayangi Yoongi dan bersumpah pada dirinya sendiri akan melindungi pemuda itu, bagaimanapun caranya. Atas alasan itu juga dia hanya ingin memperlihatkan sisi sebagai adik pada umumnya, dan beraksi tanpa sepengetahuan Yoongi. Ya, meskipun tetap saja tidak membawa perbedaan besar. Yoongi mengetahui tindakannya dan dia tidak bisa banyak mengelak untuk itu.

"Kau akan menjadi pembunuh kalau seperti itu, Jungkook-ah." Intonasi suaranya sudah sedikit lebih lunak. Tidak seperti tadi yang hendak melahap bocah itu bulat-bulat. Mungkin akan terasa ganjil jika melakukan hal itu lagi.

"Lalu aku akan diam saja saat mereka melakukan itu padamu?" Jungkook masih bersikeras. "Kau terluka seperti itu mana bisa kubiarkan saja?"

"Mereka siapa? Apa kau melihatnya sendiri?" tanya Yoongi. "Tidak, kan?" katanya lagi.

"Hyung, siapa lagi kalau bukan si berengsek Wonwoo itu yang melakukannya?"

"Kau selalu membuat spekulasi sendiri," sanggah Yoongi.

"Siapa lagi kalau bukan dia? Kau selalu diam saja kalau bedebah itu mulai menyakitimu," Jungkook emosi.

"Kau hanya perlu untuk berpura-pura tidak tahu."

"Hyung, kau sudah gila?"

"Ya, anggap saja begitu."

"Hyung!"

Jungkook mengusap wajahnya kasar. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan Yoongi.

"Jangan lakukan apa pun lagi kalau kau selalu pulang dengan luka seperti itu." Yoongi sesungguhnya sudah lelah menceramahi. Dia juga sudah bosan berdebat seperti ini.

Jungkook tidak merespons ucapan Yoongi.

"Tidak bisa, ya, kalau tidak dengan saling pukul seperti itu? Kau akan melukai dirimu sendiri dan mendapat pengurangan poin lagi. Aku tidak ingin itu terjadi," jelas Yoongi, lagi. Kali ini duduk dengan lelah di sebuah kursi panjang yang dihiasi daun-daun kering. Napasnya dibuang kasar. Nyeri di tubuhnya masih terasa.

"Dan juga," Yoongi melanjutkan tanpa menoleh kepada Jungkook, melainkan pada dinding pembatas yang catnya sudah mengelupas. Bibirnya membuka ragu-ragu. Tidak yakin apa ucapannya ini pantas diucapkan di saat seperti sekarang.

"Dan juga?" Jungkook mengulangi saat ditatapnya Yoongi yang tak kunjung melanjutkan.

"Dia masih kakakmu. Mana boleh kau mengatainya berengsek dan bedebah seperti itu?" Yoongi berbicara, agak pelan dan sedikit menggumam.

Desisan keras keluar dari bibir Jungkook. "Kakak? Aku tak pernah lagi menganggapnya begitu. Dia berengsek yang tega menjualku kepada para pria dan wanita gila itu." Rahangnya sudah mengeras, tanpa diminta dengan sengaja kembali memutar kilas balik ketika tubuhnya dijadikan pemuas oleh orang-orang tersebut. Mereka begitu beringas dengan tawa-tawa menggelegar, sementara uang berserakan di sekitarnya. Tubuhnya menjadi tontonan dan 'mainan' berahi secara bergilir. Menyakitkan sekaligus menjijikkan.

Jungkook menengadahkan wajahnya tinggi-tinggi, menghalau cairan yang merembes melalui celah pelupuk mata.

Yoongi memejam sesaat, berusaha menyaring kalimat-kalimat yang baru saja diucapkan Jungkook. Entah kenapa ada gelenyar yang hampir meledak begitu saja. Dia mendadak marah bahkan hanya dengan mendengarnya. Ia tentu tahu betul bagaimana kehidupan adiknya itu sebelum diadopsi oleh ibunya di sebuah panti asuhan. Memang berengsek, atau mungkin bisa disebutkan dengan kata yang lebih kasar lagi. Tapi dia tetap menahan diri.

"Tetap saja, di dalam tubuhnya mengalir darah yang sama denganmu. Kalian saudara," terang Yoongi, yang langsung dihadiahi tatapan marah dari Jungkook. Satu tetes air matanya berhasil lolos.

"Hyung, sudah pernah kukatakan untuk jangan pernah membahas hal itu lagi. Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?" Jungkook mengeratkan gigi-giginya yang saling bergesekan. Tangannya mengepal dengan gemetar.

"Bukan dia yang melakukannya. Jadi, jangan cari masalah lagi dengannya."

Jungkook mengerutkan keningnya sebentar, "Bukan dia? Lalu siapa?"

Yoongi tidak membalas. Kakinya sudah diluruskan, hendak beranjak dari sana kalau tidak Jungkook tahan.

"Siapa?" tanya Jungkook, berusaha memastikan lagi. Namun reaksi Yoongi masih sama, hanya diam saja.

"Lagipula aku sudah diskors. Poinku hanya dikurangi setengah dari sisanya," ungkap lelaki yang pipinya dihiasi memar-memar tersebut. "Aku tidak akan dikeluarkan begitu saja. Jadi cepat katakan," desaknya.

Mungkin Jungkook lupa bagaimana ia harus memohon untuk itu. Di depan guru Park dan juga Wonwoo, ia memohon seperti orang bodoh agar tetap bisa lulus di sekolah ini.

Yoongi diam saja. Memilih membaringkan diri sambil memejamkan mata sejenak, mengurungkan niat untuk beranjak dari sana. Jungkook tetap berdiri pada posisinya, di dekat Yoongi sebelum akhirnya duduk bersandar pada tumpukan kursi dan meja bekas.

"Song Mino, kan?" Jungkook masih menebak-nebak. Dan ia yakin kali ini tidak akan meleset.

Yoongi langsung membuka matanya begitu nama Mino disebut. Terkejut, tentu saja.

Senyum miring langsung terbit dari bibir Jungkook begitu melihat reaksi yang ditunjukkan kakaknya.

"Jadi, aku benar?"







To be continued... :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro